"Kamu kekasih gadis ini?" tanya pria tua itu sambil memandang Ranggi dengan tatapan sinis.Dengan sangat terpaksa Ranggi menjawab, "Iya, dan Vanya sedang hamil anak saya.""Kalau begitu, artinya kamu harus membayar utang ayah gadis ini kepada saya. Semuanya 150 juta."Ranggi sontak membelalak. Dia lantas memicing tajam pada Vanya yang masih memeluk tubuhnya."Uang itu harus ada besok. Kalau tidak, gadis ini dan orang tuanya akan saya habisi." Setelah mengatakan itu, pria tua tersebut keluar dari kafe Ranggi."Saya bukan--" Ranggi hendak mengatakan yang sesungguhnya. Dia tidak sudi membantu Vanya jika seperti ini akhirnya. Namun, Vanya segera membungkam mulut Ranggi dengan tangannya.Vanya menggeleng dengan tatapan mengiba. "Please," ucapnya tanpa suara.Dari dinding kaca Ranggi bisa melihat pak tua itu sudah benar-benar pergi. Dia lekas mendorong Vanya. "Apa ini, Van? Bukannya kamu sedang bersembunyi di rumah Reta? Kenapa malah ketemuan dengan orang yang kamu hindari?""Aku tadi ke min
"Sunshine?"Ranggi sontak melebarkan mata begitu istrinya memanggil dengan suara dingin. Orang yang menyaksikan reaksi Ranggi mungkin berpikir jika pria itu seperti sedang melihat algojo yang akan mengeksekusi mati dirinya.Ranggi menelan ludah. Mentari datang di saat yang tidak tepat. Semua ini gara-gara si kakek bau tanah yang kembali lagi ke kafe. Dia meminta pembuktian jika Ranggi dan Vanya betulan sepasang kekasih dengan menikah langsung di hadapannya.Gila, bukan? Vanya memang biang masalah!Ranggi segera berlari mendekati Mentari. Digenggamnya kedua tangan kurus perempuan itu. "Sunshine, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan semuanya," ucap Ranggi, "Aku cuma akting demi membantu perempuan itu," sambungnya.Ranggi lalu menjelaskan cepat kronologi kenapa dia bisa terjebak dalam situasi tidak menyenangkan seperti ini. Masa bodoh dengan Vanya. Pernikahannya dengan Mentari jauh lebih penting."Percaya padaku, Sunshine." Ranggi menciumi punggung tangan Mentari. "Aku ti
"Kamu kenapa melamun, Sunshine?"Mendapati istrinya bengong di depan cermin, Ranggi segera mendekat. Mentari tetap tidak bereaksi sampai Ranggi merebut sisir dari tangannya, lalu merapikan rambut panjang perempuan itu."Bukan apa-apa," sahut Mentari.Mendapat jawaban yang kurang memuaskan, Ranggi cemberut. Bibirnya benar-benar maju seperti bebek. "Apa kamu masih menganggapku orang asing, Sunshine? Sehingga kamu belum bisa percaya padaku."Mentari mendongak menatap tepat di mata pria itu. Mentari mencari sesuatu dari sorot suaminya yang mungkin selama ini tersembunyi. Namun, yang Mentari temukan tetap kesungguhan, dan cinta yang terpancar."Sunshine, aku tahu aku ganteng. Tapi, ditatap seperti itu bikin aku salah tingkah," ucap Ranggi. Bola matanya bergulir ke kiri dan kanan karena tatapan Mentari sangat intens.Mentari menghela napas. "Sasi pernah bilang kalau kamu mungkin mau-mau saja dibelah dadanya demi membuktikan cinta kamu."Ranggi sontak membelalak. Dia refleks mundur satu lang
"Ranggi, kalau suatu hari nanti aku menyakitimu, bagaimana?"Angin menerpa wajah Mentari yang membuka kaca helmnya. Saat ini dia dan Ranggi sedang berboncengan mengelilingi kota hanya untuk jalan-jalan. Mereka mengunjungi satu per satu tempat hits meskipun hanya sebentar."Kalau yang menyakitiku itu kamu, Sunshine, aku tidak masalah," sahut pria itu sambil menoleh sekilas."Aku serius, Ranggi.""Aku juga serius, Sunshine. Memangnya hal menyakitkan apa yang akan kamu lakukan?" Ranggi balik bertanya.Mentari mengeratkan pelukannya ke pinggang Ranggi. "Aku bilang kalau.""Satu-satunya yang akan menyakitiku itu kalau kamu pergi dariku dengan sengaja," ucap Ranggi sambil menghentikan motornya di parkiran sebuah taman.Keduanya lantas turun. Ranggi menggengam tangan sang istri saat mereka berjalan menyusuri taman yang dipenuhi anak muda tersebut. Ada yang berkelompok, menyendiri, atau berpasangan seperti mereka."Kita foto dulu di sana," ujar Mentari seraya menunjuk spot foto berupa dinding
"Mbak Tari?"Mentari mengangguk. "Pesanan saya sudah bisa dibawa, Mbak?" tanyanya."Sudah, Mbak," ucap perempuan bernama Ratu itu. Dia ke dalam rumahnya sebentar, lalu kembali membawa box berisi empat cup strawberry cream cheese.Mentari sengaja memesan dessert dari Ratu hanya untuk bertemu dengannya secara langsung. Mentari ingin tahu siapa Ratu sebenarnya. Namun, dia ternyata tidak pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya. Reaksi yang ditunjukkan Ratu juga biasa saja. Tidak ada yang mencurigakan."Mbak Ratu pernah dengar soal Sasi Dessert?" tanya Mentari memancing.Ratu tampak berpikir sejenak. "Tidak, Mbak," jawabnya."Yang viral di aplikasi X, loh, Mbak."Ratu menggeleng. "Saya tidak punya aplikasi itu, Mbak. Jadinya tidak tahu apa yang viral. Memangnya kenapa, Mbak?"Ekspresi Ratu terlalu tenang. Mentari tidak bisa mendeteksi kebohongan dari sorot maupun raut wajahnya. "Tidak. Saya pikir Mbak tahu, so
Dulu Reta hanya marah karena sang papa sering menjadi alasan mamanya menangis. Namun, setelah dia beranjak dewasa dan tahu arti sebuah perselingkuhan, kemarahan itu berkembang menjadi rasa benci yang teramat dalam.Suri sering mengingatkannya agar tidak menyimpan dendam. Akan tetapi, salahkan Panca yang menampakkan diri di hadapan Reta lagi. Kemunculannya membuat luka Reta kembali menganga. Perbuatan buruk sang papa kembali menghantam ingatan. Menjadi mimpi buruk saat pria itu melakukan kekerasan terhadap mamanya.Hari ini Panca berusaha menemui Reta untuk yang kesekian kali dalam satu bulan ini. Anehnya, Panca selalu menunggu Reta di gerbang sekolah. Dia sengaja melakukan itu agar pertemuan ayah dan anak itu bisa disaksikan oleh orang banyak, sehingga Reta bisa lebih menjaga sikap. Jika Panca ke rumah, pastilah Reta tidak akan ragu mengusirnya meski dengan kekerasan sekalipun.Kemarin-kemarin Reta hanya mengabaikannya. Namun, sekarang dia sudah sangat muak. Kesabarannya habis begitu
Mentari langsung membuang muka, menyembunyikan wajah agar Panca tidak melihat, apalagi mengenalinya. Sementara Reta justru mendengkus kasar. Dia tahu ini bukan kebetulan. Panca pasti sengaja merencanakannya. Pria itu memaanfaatkan Reta yang sedang gencar mempromosikan jualan Mentari di media sosialnya."125 ribu untuk tiga cup," ucap Reta dingin seraya mengulurkan dus kemas.Gadis itu memindai sebentar keadaan kediaman Panca. Ternyata memang sudah menjadi gembel. Seharusnya Panca bisa lebih berhemat."Tidak mau masuk dulu, Nak?" Pria itu bertanya."Bayar sekarang atau aku bawa lagi?" Reta sangat malas berbasa-basi."Barangkali kamu ingin mendengar penjelasan tentang yang Papa ucapkan waktu itu."Dugaan Reta benar. Panca memancingnya ke tempat ini. Mungkin dia belum tahu alamat rumah Reta."Oke, kalau memang tidak jadi dibeli. Menyusahkan orang saja," ujar Reta sambil memutar tubuh.Namun, Panca tidak membiarkannya pergi begitu saja. Pria itu menahan Reta di pundaknnya. "Kiani, kamu ha
08XX : [Wah, Tari. Kejutan apa ini? Kamu menikah dengan mantan adik iparku?]Mentari spontan menelungkupkan layar ponselnya ke dada. Tanpa perlu menebak, dia langsung tahu siapa yang mengirim pesan itu meskipun Panca memakai nomor baru.Perempuan itu membasahi bibir. Jantung mendadak berdebar keras. Dia lantas menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri. Ibu jarinya bergerak memencet tombol on/off agar ponselnya mati. Namun, Mentari yakin Panca akan tetap mengganggunya. Panca tidak akan melepaskannya begitu saja."Wajah kamu pucat. Kamu baik-baik saja, kan, Sunshine?" tanya Ranggi yang baru kembali dari kamar mandi.Mentari sebisa mungkin membentuk senyuman tulus. "Iya," jawabnya seraya mengangguk pelan.Namun, Ranggi tetap ingin memastikan. Dia segera menempelkan telapak tangannya di kening Mentari, kemudian turun ke leher perempuan itu. Ranggi lantas mendudukkan dirinya di samping sang istri. "Kamu pasti mengkhawatirkan Sasi, kan?"Sebelum pesan dari Panca datang, Mentari me