Share

2. Alasan Pulang ke Indonesia

"Mungkin Tuhan mempertemukan kita karena kau ditakdirkan sebagai pelengkap cerita."

(Sean)

***

"Heh! Nggak punya mata, ya?!" teriak bocah ingusan di depan April dengan galak membuat April melongo tidak percaya.

What....

The....

Fuuck!

DIA YANG MENABRAK KENAPA PULA DIA YANG LEBIH GALAK, HAH!

April balik menerocosi bocah kurang ajar di depannya tersebut.

"Enak aja! Kan, kamu yang nabrak aku! Lagi pula, ngapain juga kamu pakai kacamata hitam di dalam ruangan? Buta, ya!" balas April tak kalah sengitnya membuat Sean tertohok.

Luar biasa, Sean tidak mengira jika ada wanita yang berani mengatainya balik.

Heh, wanita ini tidak tahu, ya, jika yang saat ini sedang diajaknya bicara adalah keponakan petinggi di perusahaan ini?

"Haha. Kamu nggak tahu siapa saya?" ucap Sean dengan jumawa.

Dih!

"Memangnya saya peduli?!"

Sean semakin ternganga. Ya, ampun, mulut wanita ini benar-benar pedas sekali.

April dan Sean saling bersitatap dengan sengit. Sekilas April menatap tampilan bocah di depannya. Baju hitam dengan jaket denim yang menghiasi tubuhnya. Lalu celana sobek-sobek model kekinian. Seperti preman!

Siapa sebenarnya bocah aneh ini? Mana dia juga tidak memakai id card lagi. Dipikirnya kantor ini tempat pengungsian orang asing apa!

Dalam diam mereka saling menilai satu sama lain. Alis Sean terangkat sebelah, menilai penampilan April perlahan dari bawah ke atas. Rok span hitam dengan atasan blouse berwarna biru muda. Kemudian beralih pada nama di id card wanita tersebut. Adinda Aprilia namanya. Terukir senyum tipis di sudut bibir Sean. Namanya cantik juga. Tapi sayang sekali pemiliknya sangat galak seperti herder.

"Lihat ke mana mata kamu, hah!"

Buru-buru April menutupi bagian atasnya yang sedang dilihati oleh Sean.

"Mesum!" tambah April sambil menunjuk ke arah Sean dengan galak.

Sean memutar bola matanya ke atas. Siapa juga yang mengamati miliknya dia. Kepedean sekali wanita satu ini.

"Triplek," celetuk Sean dengan cuek yang mengundang gelak tawa Riki yang berada di sebelahnya.

Merah sudah wajah April, antara malu dan marah sekaligus.

"Mana ID card kamu?" tanya April lagi sambil menodongkan tangannya.

Sean mengernyitkan dahi. Hah, sejak kapan dia harus membawa id card di perusahaannya Kokonya sendiri? Biasanya dia juga bebas keluar masuk seenak jidat di perusahaan ini tanpa harus menunjukkan id card, tuh.

Sean tidak menanggapi ucapan April dan memilih untuk bersandar pada tembok di belakangnya sambil menikmati wajah galak April yang tampak semakin kesal.

Sebenarnya kalau diperhatikan dengan saksama. Wajah wanita ini cantik juga. Hidungnya mancung, dengan rambut kecoklatan dikucir rapi serta bibir semerah buah cherry. Mengundang sekali untuk dikecup.

Kalau boleh jujur, dia manis.

'Tapi sayangnya kalau dilihat-lihat lagi memang rata, sih.' Hahaha.

"Kalau nggak punya Id card apa lagi nggak ada urusan di sini. Mending kalian pergi aja daripada saya panggilin satpam buat ngusir kalian!" desak April dengan kesal.

"Boss...." Riki—sahabat Sean—hendak menginterupsi supaya mereka tidak diusir. Namun Sean hanya tersenyum sambil memberikan kode kepada Riki supaya dia tetap diam saja. Biar Sean yang mengurusi ini semua.

Sean pikir, mungkin dia akan betah tinggal di sini. Setidaknya ada orang yang bisa diajaknya untuk bertengkar setiap hari.

April buru-buru menelpon nomor satpam untuk mengusir bocah yang sampai saat ini masih dikiranya adalah gelandangan nyasar.

"Awas, ya, kalian!" ucap April sambil menunggu teleponnya tersambung.

Dengan gerakan cepat Sean mendekat dan menyentuh dagu April sehingga kini April agak mendongak. Untuk seper sekian detik lamanya, pipi April terasa menghangat diperlakukan seperti itu.

"Nama kamu siapa, Manis?" tanya Sean menggoda. Bahkan sekarang April dapat merasakan embusan hangat dari napas Sean yang menerpa pori-pori wajahnya. Kalau sudah begini, biasanya wanita-wanita akan bertekuk lutut takluk akan pesona yang ditebarkannya.

Namun dugaan Sean meleset. April menepis dengan kasar tangannya lalu mendorong tubuhnya hingga Sean mundur satu langkah kembali ke belakang.

"Yang sopan, ya, kamu!"

Sean terkekeh senang.

Ternyata tidak mempan, ya? Menggemaskan!

"Kok, nggak kesambung, sih," gerutu April sembari menatap ponselnya.

"Kenapa nggak sekalian nelpon Pak Presiden?" ejek Sean membuat April mendengus.

"Pokoknya kalian harus pergi dari sini!"

"Kalau nggak mau gimana?"

April semakin kesal. Sudah tadi pagi dia apes. Sekarang dia juga harus menghadapi bocah antah berantah yang menyebalkan ini pula.

"Kalau kamu nggak mau pergi. Bakalan Saya usir paksa dari sini!"

April kehilangan kesabarannya. Dia menarik lengan Sean tapi Sean tidak bergeming karena perbedaan tenaga. Sean hanya terkekeh.

Dina, teman satu divisi April yang baru datang langsung memelototkan mata ketika melihat ribut-ribut di depan sana.

Heh! Apa April tidak tahu, ya, siapa yang saat ini sedang ditarik-tariknya seperti itu?!

"Pril!" Dina melotot dan melepaskan tangan April dari lengan Sean.

"Eh, ada Mas Sean. Kapan ke sininya, Mas? Hehe, udah lama, ya, Mas Sean nggak kelihatan," ucap Dina sambil menarik lengan temannya yang berada di sampingnya.

"Kamu kenal, Din, sama bocah kurang ajar ini?" gerutu April sambil menunjuk Sean yang kembali bersandar di tembok lagi.

"Diem kamu!" bisik Dina memberikan kode supaya April me-rem ucapannya.

Ya, jelas sajalah Dina kenal! Memangnya siapa yang tidak kenal dengan Sean keponakan Pak Hans direktur utama di kantor ini? Semua orang juga tahu kali. Apalagi Sean dulu pernah magang di sini.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi wajar juga kalau April tidak mengenalnya. April, kan, baru bekerja di sini sekitar satu setengah tahun. Tapi bedanya karena kinerja April bagus, April sudah mendapatkan promosi untuk menjadi kepala tim di divisi pemasaran.

"Dia keponakannya Pak Hans!" bisik Dina sambil menyikut April yang kini membuka mulutnya tidak percaya.

"A-Apa? Pak Hans yang direktur itu?"

"Iyalah. Ya, kali Hans tukang siomay!"

April merengut melihat bocah itu kini menyeringai penuh kemenangan. Lagi pula bisa-bisanya Pak Hans yang beribawa memiliki keponakan seperti itu.

"Udah-udah, ayo Pril buruan kita masuk ke lift. Kami duluan, ya, Mas Sean. Hehe," ucap Dina sambil meringis. Dina berlalu setengah menarik lengan April yang masih menatap Sean dengan wajah merengut.

Ketika sudah berada di dalam lift barulah Dina memarahi April habis-habisan.

"Gila, ya, kamu cari masalah sama keponakannya Pak Hans. Udah bosen kerja di sini kamu? Udah kaya, hah?"

"Ya, mana aku tahu dia keponakannya Pak Hans! Tapi tadi dia, tuh, nggak sopan banget tahu Din sama aku. Masak dia ngatain aku but—" April menahan ucapannya ketika ternyata keponakannya Pak Hans itu juga ikut masuk ke dalam lift yang sedang mereka naiki ini.

Kini posisi April bersandar pada dinding lift sedangkan Sean berdiri persisi di depannya. Untung saja Sean tidak mengajaknya bertengkar lagi. Dia lebih sibuk memainkan gawainya.

Hening sesaat di antara mereka berempat. Hanya suara denting lift yang terdengar.

"Eh, Pril. Katanya rumahmu yang ada di Sadewa kamu sewain, ya?" tanya Dina ketika teringat akan suatu hal.

"Iya."

"Masih disewain nggak rumah kamu yang itu?" tanya Dina lagi.

"Masih. Kenapa emangnya?"

"Kemarin ada temen aku yang kebetulan lagi nyari kost-kostan di deket UDINUS. Terus, kan, ceritanya aku tawarin rumah kamu itu ke dia. Katanya dia minat buat nempatin, Pril."

Wajah April yang semula tertekuk kini berubah senang. Dina memutar bola mata ke atas. Dasar April, kalau sudah dengar hal berbau uang pasti langsung berbunga-bunga.

"Boleh-boleh. Orangnya suruh ngehubungi aku aja, Din."

"Tapi dia mintanya tiga ratus ribu sebulan, Pril. Gimana? Mau nggak?"

April berdecak mendengarnya.

"Mana ada kost-kostan tiga ratus ribu. Orang itu tempatnya strategis banget, loh, Din, di deket UDINUS. Deket sekolahan juga. Mau ke pasar pun juga tinggal jalan kaki bentaran, doang, udah sampai. Ya, kali mau ditawar tiga ratus ribu," ucap April menerocos sebal. Sepertinya teman Dina itu sama sekali tidak tahu harga kost-kostan sampai menawar harga Afgan, tega.

Kalau kost-kostan di gang sempit, mah, wajar jika ditawar tiga ratus ribu.

"Kemarin aja ada yang menawar lima ratus ribu aku tolak, kok."

"Lha, terus gimana? Cancle aja, nih, jadinya?"

"Ya, cancle ajalah. Bilangin ke dia buat naikin harga. Kalau dia mau, tujuh ratus ribu per bulan baru aku kasih. Di sana aja kost-kostan mahasiswi sepetak paling murah enam ratus lima puluh ribu, kok. Itu pun kamar mandinya sharing. Sedangkan rumah aku itu full satu rumah. Kandang ayam kali, Din, tiga ratus ribu."

Dina memutar bola matanya untuk ke dua kalinya. Sahabatnya ini memang jeli sekali kalau sudah berurusan uang. Sean yang diam-diam menyimak pembicaraan dua wanita di belakangnya itu hanya diam saja sambil mengangkat sebelah alisnya.

Jalan Sadewa? Bukannya itu dekat dengan tempat kuliahannya yang baru, ya? Kemarin malam Sean memang sudah meniliknya melalui google maps. Cocok juga, sih, sebenarnya. Apalagi Sean juga kebetulan sedang mencari tempat tinggal dekat sana.

"Nanti, deh, kalau kamu bisa ngedapetin orang buat ngekost atau pun kontrak di rumahku bakalan aku kasih komisi, Din."

"Oke!" Dina tersenyum senang mendengar kata komisi.

Dentum lift berbunyi, April dan temannya pun keluar dari dalam lift sambil masih berdiskusi mengenai rumahnya yang hendak disewakan itu.

***

"Koko ada di dalam, Mbak?" tanya Sean kepada wanita yang sedang menata tumpukan map di atas meja kerjanya.

"Mas Sean!" Shelly—sekretaris pribadi Kokonya itu pun berteriak senang ketika melihat kedatangannya.

"Mas Sean! Ini beneran Mas Sean?!"

Sean mengangguk.

"Ya, ampun! Udah lama banget Mas Sean nggak ke sini. Bukannya Mas Sean masih kuliah di luar negeri, ya? Atau jangan-jangan Mas Sean ke sini dalam rangka liburan?"

Sean hanya terkekeh melihat Selly sesenang itu melihat kedatangannya.

"Koko ada di dalam?" ulang Sean untuk ke dua kalinya.

"Ada, Mas. Ada. Kebetulan Bapak lagi di da--."

Belum sempat menyelesaikan ucapannya Sean sudah menerobos masuk begitu saja membuat si pemilik ruangan kaget.

Awalnya Pak Hans hendak marah dengan siapa yang berani-beraninya menerobos masuk tanpa permisi sama sekali. Tapi melihat ternyata keponakannya yang datang, pria berusia lima puluhan itu pun batal marah, malahan seketika wajahnya berubah berbinar.

"Loh, Sean. Kamu kapan ke sini?"

Pak Hans memeluk keponakannya dengan erat. Sean pasrah. Kokonya ini benar-benar berlebihan sekali menyambut kedatangannya.

Sebenarnya Koko adalah panggilan untuk Kakak/Abang bagi keturunan Tionghoa. Tapi karena Omnya itu satu frekuensi dengannya. Maka Pak Hans tidak keberatan dipanggil Koko karena dia menolak tua.

"Gimana kabar kamu? Ayo-ayo duduk dulu. Sekalian Koko suruh Selly buat bawain kopi ke sini."

Sean menurut. Kokonya memang orang ke dua yang selalu heboh ketika menyambut kedatangannya selain Oma.

"Kabar Sean baik, kok, Ko. Koko sendiri gimana kabarnya?"

"Koko juga baik. Kapan kamu pulangnya? Kenapa nggak ngabarin Koko kalau kamu udah sampai di Indo? Kan, kalau kamu ngabarin dulu, Koko bisa nyuruh orang buat jemput kamu di bandara."

Sean mendengus lelah. Ya, Tuhan. Kokonya benar-benar berlebihan. Riki yang melihat hal tersebut pun hanya mampu menutup mulutnya menahan tawa membuat yang ditertawai melotot tajam sambil memberikan bahasa isyarat. 'Diem, lo!'

"Sean baru kemarin, kok, Ko pulang ke Indonesianya. Semalem Sean nginep di rumahnya Riki karena Sean nggak mau Oma heboh kalau sampai tahu Sean udah pulang ke Indo."

Pak Hans tergelak.

"Iya-iya. Emang lebih baik kamu nggak ngomong daripada Omamu heboh nyariin kamu."

Sean menyesap kopi yang dibawakan oleh Mbak Selly.

"Jadi, kamu mau ambil liburan beberapa hari di sini?"

Sean menggeleng. Menaruh gelas kopinya di atas meja. "Nggak, Ko. Rencananya Sean mau menetap di sini selamanya."

Mendengar hal tersebut, Pak Hans otomatis mengernyitkan dahi.

"Kenapa kamu tiba-tiba mau nerusin kuliahmu di sini? Dulu aja kamu ngebet banget pengin kuliah di Singapura."

Ya, memang begitulah adanya.

"Ada masalah? Atau kamu nggak betah tinggal di Singapura?"

Sean menggeleng. Ia nampak menghela napas berat. Agak ragu bagi Sean ketika hendak menjawab pertanyaan Kokonya.

"Karena... karena Sean dapet info kalau Mama ada di sini, Ko."

Manik mata Pak Hans membulat penuh. Setelah Sean mengucapkan hal tersebut, ruang Pak Hans tiba-tiba lengang dalam kebisuan.

Pak Hans menggeleng lemas, sebelum menimpali ucapan keponakannya.

"Nggak mungkin, Sean. Bahkan kamu sendiri lebih tahu daripada Koko kalau Mama kamu sudah lama meninggal, bukan?"

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agunk Putra
nulis komen juga harus banyak kata , ribet nih novel
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status