Share

6. Aku Nggak Suka Kamu Punya Pacar

“Gimana? Jadi nggak aku masakin tapi bayar dua puluh ribu?” ulang April lagi.

“Yaudah, yaudah.”

Cuma dua puluh ribu saja, kok. Enteng, batin Sean menyombongkan diri.

Dengan perasaan senang April menyalakan kompornya yang sudah lama tidak ia gunakan.

Masih bisa tidak, ya? Ah, untung saja masih mau menyala.

Memang April membeli kompor dan mejikom. Jaga-jaga kalau dia kabur dari rumah maka dia masih bisa masak sendiri daripada beli makanan karena menurut April memasak sendiri lebih hemat.

Sekiar sepuluh menitan April berkutat di dapur mungilnya tersebut untuk membuat dua mangkuk mie rasa ayam bawang dengan telur ceplok setengah matang.

“Udah jadi!”

April tersenyum senang dan menaruh dua mangkuk mie buatannya di atas meja lipat panjang. Mereka berdua saat ini seperti sedang makan di tempat makan lesehan saja. Sean menyantap mie telur ceplok setengah matang buatan April. Enak juga, sih.

Di sela-sela menikmati makanan. Sean terkekeh sendiri. Kalau diingat-ingat lagi, sudah berapa lama, ya, dia tidak makan mie instant seperti ini?

Mungkin sudah bertahun-tahun, kah? Pasti Oma akan marah besar jika tahu kalau Sean makan sembarangan.

“Nama kamu siapa?” tanya April karena memang mereka berdua belum memperkenalkan diri masing-masing secara formal.

“Sean. Kalau mau panggil sayang juga boleh.”

April memutar bola mata mendengarnya.

“Oh, iya. Omong-omong kenapa kamu ambil kuliah di sini? Kenapa nggak kuliah di Jakarta atau Jogja gitu yang tempat kuliahnya lebih bagus daripada di sini?” tanya April mencoba mengajak Sean ngobrol ringan.

Sean terdiam sejenak. “Karena aku mau ambil jurusan TI,” jawabnya dengan satai.

Sean tidak mau memberitahu April mengenai apa alasan sebenarnya dia ambil kuliah di sini yang sebenarnya tak lain adalah untuk menyelidiki keberadaan Mamanya karena Sean merasa belum dekat dengan April.

April menganggukkan kepala mendengarnya. Memang, sih, kampus dekat sini akreditasnya sudah A.

Lagi pula kalau dihitung-hitung biaya masuk TI sampai lulus S1 di sana setara, kok, dengan biaya di fakultas kedokteran kampus lain.

Untuk anak orang kaya macam Sean harga segitu hanya sekuku hitamnya saja.

Sekilas April melirik ke arah Sean yang masih menikmatinya mienya sambil fokus menonton layar TV yang menampilkan acara musik.

Kalau dilihat-lihat lagi sebenarnya bocah ini ganteng juga jika sedang diam seperti itu.

Rahang yang kokoh, alis hitam tebal, hidung mancung dengan pahatan yang sempurna, bibir yang membuat April menelan salivanya sampai membuat April lupa jika dia sudah memiliki kekasih.

Ketika April Sedang asyik mengamati wajah Sean, tibat-tiba bocah itu memalingkan wajah ke arahnya membuat April kaget dan membuang muka ke arah samping untuk memutus kontak mata di antara mereka berdua.

“Cie, diem-diem curi-curi pandang ke aku, ya? Iya-iya aku ini emang ganteng, kok, Sayang,” goda Sean sambil menyisir rambutnya ke belakang.

“NAJIS!”

April yang merasa malu pun berdiri pura-pura menaruh piring kotornya di ember wadah piring kotor membuat Sean terkekeh geli.

Walaupun wanita itu galak, tapi dia manis juga. Apalagi ketika pipinya memerah seperti tadi.

“Oh, iya. Gasnya habis. Aku mau ke warung sebentar buat beli gas dan mie instant. Siapa tahu nanti malam kamu kelaperan, soalnya di sini nyari grabfood setelah jam dua belas malam itu susah kecuali pesen nasi goreng. Itu pun kalau Abang grabfood-nya nggak nge-cancle.”

Sean yang sedang bersandar santai di sofa pun hanya menganggukkan kepala cuek sambil memainkan ponselnya.

***

“Bu, beli gas, dong. Sama mie-nya empat bijih, ya,” kata April kepada si pemilik warung.

“Oke, tunggu dulu, ya, Mbak.”

Si Ibu-ibu penjual itu pun mengangguk dan mengambilkan tabung gas di belakang.

“April! Dicariin ternyata di sini!” teriak Dina senang sambil menekan klaksonnya membuat April kaget.

“Lah, ngapain kamu di sini?” tanya April terheran-heran melihat kehadiran Dina yang tiba-tiba di sini.

“Jalan, yuk. Makan di luar gitu sekalian tlaktirin aku makanan. Orang habis dapet rezeki nomplok gitu, kok, hari ini.”

Dina menaik turunkan alisnya. Ternyata kedatangan Dina ke sini hanya untuk meminta April mentlaktirnya.

“Mana ada! Orang kamu, kan, nggak ngebantuin aku. Bocah itu sendiri, kok, yang dateng buat nyewa tempat aku,” kata April mencari-cari alasan menolak ajakan Dina karena April itu orangnya pelit.

Dina memanyunkan bibir.

“Alah pelit banget, sih, Pril. Yuk, ah, cabut. Daripada sumpek di rumah mulu. Sesekali nyenengin diri sendiri, kek, Pril.”

“Tapi....”

Akhirnya April pun luluh oleh godaan setan yang dibiskan Dina. Setelah membayarkan gas dan mie pesanannya. April malahan tidak langsung pulang ke rumah.

Ia menitipkan barang belanjaannya dulu pada pemilik warung lantaran April malas mengantar belanjaannya ke rumah.

“Buk, titip barangku dulu, ya. Ada urusan soalnya. Nanti malam aku ambil lagi.”

“Oke Mbak April. Siap.”

Dina mengulurkan helm kepada April dan April membonceng di belakang. Setelah itu April malahan tancap gas jalan-jalan ke mall bersama Dina.

Tidak apalah. Benar kata Dina. Sesekali menyenangkan diri sendiri itu tidak dosa. Lagi pula anak itu pasti baik-baik saja walau ditinggal sendiri di rumah.

***

Sean mengibaskan tangannya di depan tubuh karena merasa kepanasan bukan main.

“April ke mana, sih. Beli Gas di Hiroshima, ya? Kok, lama banget pulangnya!”

Entah mengapa Sean merasa gerah. Mungkin efek setelah makan. Padahal dua jendela rumah sudah terbuka lebar tapi tetap saja rasanya gerah sampai peluhnya menetes di pelipis.

Sean berjalan menelusuri rumah ini untuk mencari kipas angin tapi ternyata April tidak memiliki kipas angin sama sekali.

Sean menggelengkan kepala. Tidak pernah sama sekali Sean hidup miskin seperti ini lantaran Sean dan garis keturunannya sudah kaya tujuh turunan sejak lahir.

Tapi tidak apa. Setidaknya dengan kesusahan seperti ini semua, hidupnya terasa tidak monoton. Anggap saja saat ini dia sedang miskin dadakan.

Mending tinggal di sini dan sesekali adu mulut dengan April daripada tinggal sendiri di apartement.

Orang yang tinggal di apartement itu biasanya tidak asik. Jarang yang namanya ngobrol ataupun ngerumpi. Palingan mereka berangkat pagi untuk kuliah ataupun kerja dan pulang malam hanya untuk setor nyawa, tidur. Hidupnya monoton berputar-putar pada siklus seperti itu terus.

Sean teringat sesuatu. Tadi sebelum ke sini Kokonya sempat memberikannya nomor w******p salah satu bawahannya yang dipekerjakan khusus oleh Kokonya untuk melayaninya apabila dia terjadi sesuatu.

Sean menelepon nomor tersebut. Tertera nama Eden di kontak yang dikirim Kokonya.

“Halo,” kata Sean tidak bersemangat.

“Ya, Halo. Dengan siapa? Ada yang bisa saya bantu?”

Jelas adalah!

“Ini Sean. Keponakannya Pak Hans. Ini Eden, kah? Tadi kata Kokoku hubungi kamu aja kalau aku ada apa-apa,” ucap Sean tanpa basa basi.

“Eh, iya, Mas. Benar saya Eden. Bagaimana Mas Sean. Ada yang bisa saya bantu?”

Sean menghela napas.

“Aku pengen kamu kirimi aku tiga AC sama satu unit Kulkas yang bagus ke alamat ini. Cepetan, ya, soalnya aku kepanasan banget.”

Hening sesaat di seberang sana. Mungkin Eden sedang berpikir kenapa Tuannya meminta dia untuk mengirimkan AC dan Kulkas.

“Halo. Denger nggak? Masih nyambung, kan?!” kata Sean kesal karena merasa diabaikan oleh lawan bicaranya.

“I-iya Mas. Denger, kok. Saya denger.”

“Oh, iya. Jangan lupa pilih yang harganya paling mahal. Kulkasnya dua pintu.Cepetan, oke?”

“Baik Mas Sean. Siap.”

Sean tersenyum senang ketika mematikan teleponnya.

Ternyata belum genap satu jam anak buah Koko yang bernama Eden tersebut sudah datang sambil membawa barang pesanannya dengan menggunakan mobil pick up.

Eden menyuruh para tukang untuk memasangkan AC-nya. Sean hanya tinggal duduk manis di sofa sambil jarinya bergerak mentransferkan uang perabotan yang dibelinya.

Sean menyuruh para tukang untuk memasang satu AC di kamarnya. Satunya lagi di kamar April dan yang terakhir dipasang di ruang tamu yang menyatu dengan dapur ini.

Semuanya sudah terpasang rapi. Kulkasnya sendiri sudah berdiri kokoh di dekat tembok dapur.

“Ada yang perlu dibantu lagi, Mas Sean?” tanya Eden kepada Sean.

“Nggak ada. Makasih, ya.”

“Baik. Nanti kalau ada apa-apa hubungi saya lagi saja.”

Sean menganggukkan kepala dan menyuruh Eden untuk pulang. Kini dia sudah tidak kepanasan lagi.

Tapi yang membuat Sean kesal adalah hari sudah lewat magrib tapi April belum juga pulang.

Sean mengembuskan napas kesal. Si April itu beli gas kenapa lama sekali, sih! Kenapa tak pulang-pulang!

Sean uring-uringan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Padahal dia sudah mengerti jika nantinya April tidak tinggal di sini tapi kenapa baru ditinggal beberap jam saja rasanya Sean sudah rindu....

Rindu berdebat dengan April maksudnya.

***

Pukul setengah delapan malam April baru pulang ke rumah—bahkan dia lupa jika gas yang telah dibelinya belum dia ambil di warung.

Senyum April mengembang. Hampir empat jam dia jalan-jalan di mall bersama Dina untuk memanjakan diri.

Hari ini dia membeli sepatu kerja baru, baju atasan baru, mereka berdua tadi juga makan di rumah makan Jepang sampai kenyang sekali rasanya.

Uh, bahagianya dia hari ini. Dan tentu saja uang untuk memanjakan diri tadi adalah uang dari hasil memeras keponakan bosnya itu. Hahahaha.

“Asalammualaikum,” suara renyah April terdengar ketika membuka pintu rumah membuat Sean seketika menengok ke arahnya.

“Waalaikumsallam. Udah pulang?”

Tiga tote bag terlihat sedang dijinjing April yang saat ini masih tersenyum lebar.

“Loh. Mana gasnya?” tanya Sean sambil menaikkan sebelah alisnya.

April tidak terlalu memedulikan ucapan Sean. Dia sudah kelewatan senang. Apalagi rasanya udara sangat sejuk ketika dia memasuki rumah.

Ah, sempurnanya hidup ini. Akhirnya Cinderella menjemput kebahagiaannya.

Tapi tunggu dulu, kenapa banyak sekali kardus-kardus di pojokan rumah. Mata April meneliti sekitar dan mendapati ternyata ada benda putih di atas ruangan yang tak lain adalah AC.

Sontak mulut April menganga lebar. Hah! Pantas saja udaranya terasa sejuk!

“Kok, ada AC di sini? Siapa yang beli?!” teriak April memekakan telinga.

Sean berdecak. Kenapa, sih, wanita ini hobi sekali teriak-teriak tidak jelas. Bisa rusak gendang telinganya tahu!

“Siapa yang beli?!” ulang April bertanya dengan galak.

“Ya, aku lah. Emangnya siapa lagi.”

“Terus nanti listriknya siapa yang bayar?! AC listriknya tinggi tahu!”

“Ya, kamu, lah, yang bayar. Kan, Ibu kostnya kamu,” jawab Sean dengan enteng sambil menikmati wajah April yang sedang melongo sambil mengerjabkan mata.

“Enak aja! Mana ada! Nggak mau! Besok suruh orang buat copot lagi AC-nya pokoknya.”

April tidak mengira kalau bocah ini sudah berbuat aneh-aneh padahal baru ia tinggal sebentar. Belum cukup sampai di sana. Ternyata ada penghuni baru di dapur mungilnya.

“Kamu juga beli kulkas?!” teriak April sambil berkacak pinggang, kesal dengan Sean. Hancur sudah biaya listriknya.

“Iyalah. Aku, kan, harus makan buah segar setiap hari. Kurang baik apa aku sampai kamu kubeliin kulkas sama tiga AC.”

“Tiga?!”

Sean mengangguk dengan jumawa.

“Terus nanti token listriknya siapa yang bayar!”

Rasanya April ingin menangis saat ini juga. April mengacak rambutnya frustrasi bukan main.

Satu juta tujuh ratus ribu rupiah tidak sebanding dengan biaya rumah sakit jika dia kena serangan jantung lantaran kwalahan menghadapi Sean yang selalu berhasil membuatnya naik darah.

“Cup-cup... jangan nangis. Aku, kok, yang bayar biaya listriknya. Nanti kamu total aja rinciannya waktu akhir bulan. Cuma duit listrik, doang, apa susahnya.”

April menatap Sean dengan kesal. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bocah ini tidak tahu, ya, jika orang di luar sana untuk mendapatnya seribu rupiah saja susah.

“Kenapa manyun-manyun kayak gitu, hah?” ucap Sean ketika melihat bibir April gemetar hendak mewek.

Mata April memerah seperti hendak menangis betulan. Sean pikir alasannya April hampir menangis karena dia membeli AC dan kulkas tanpa izin terlebih dahulu kepada April. Padahal April menahan tangis karena frustrasi menghadapi kelakuannya.

Ini saja baru satu hari. Bagaimana jika takdir memaksanya untuk tinggal dengan Sean satu tahun coba? Bisa-bisa kena stroke, darah tinggi, atau malahan sakit jiwa!

Untung saja dia tidak tinggal satu rumah dengan Sean karena setelah menikah dengan Tara, April akan ikut dengan suaminya.

“Ck!” Sean berdecak, ia mengambil dompetnya yang berada di saku belakang dan mengeluarkan uangnya.

“Nih, ambil-ambil. Aku bayar listriknya. Cash!” kata Sean sambil menghamburkan uang dalam dompetnya sampai berterbangan ke mana-mana.

Uangnya campur-campur, ada yang berwarna merah, biru dan hijau tapi lebih banyak uang berwarna merah.

Melihat hal tersebut April pun tidak menyia-nyiakan kesempatan hujan uang ini.

Kini wajah sedihnya yang tadi hilang membuat Sean melongo tidak percaya.

Mata April seolah berubah hijau seketika. April buru-buru memunguti uang yang berhamburan di lantai dan langsung memasukkannya ke dalam kutang membuat Sean tercengang.

Astaga! Seumur hidup Sean tidak pernah menemui orang se-absurd April. Sean pikir April akan marah dan berakting layaknya aktris melankolis seperti di layar televisi yang jual mahal sambil mengatakan....

“Tolong, ya, yang sopan sama aku. Emangnya aku apaan sampai kamu lempar uang seperti itu!”

Tapi kenyataannya siapa tahu jika April semata duitan itu!

“Makasih, ya, Sean ganteng,” ucap April setelah memunguti semua uang yang dihamburkan Sean dan menyimpan semua uang Sean ke dalam kutangnya.

April buru-buru lari ke dalam kamarnya.

Lumayan, rezeki nomplok!

“Pril! Pril balikin, dong, uang aku. Eh, masak diembat semua?!”

Sean berdiri dari posisi duduknya. Sebenarnya uang Sean banyak. Hanya saja bertengkar dengan April adalah satu hal yang seru yang tidak bisa dibelinya dengan uang. Wajah kesal April adalah hiburan mahal baginya.

Ketika Sean sudah sampai di depan pintu kamar April. Sean urung untuk bergerak masuk.

Dia hanya mengernyit dan mengamati April dari belakang. Tampak April sedang bertepuk tangan girang dan melipat kerja di atas mejanya.

Sean tidak paham dengan apa yang sedang wanita itu lakukan saat ini. Sean lebih memilih untuk bersandar di bingkai pintu untuk mengamatinya saja.

April meluruskan uang yang dikeluarkannya dari dalam kutangnya kemudian menatanya dengan rapi dan memasukkan uang tersebut ke dalam amplop yang tadi telah dibuatnya.

Setelah mengamati itu semua barulah Sean mengerti apa yang sedang April lakukan.

Tapi... ekspresi Sean berubah ketika matanya membaca tulisan di amplop hijau yang tadi dibuat oleh April.

Tulisan di amplop itu tak lain adalah....

April Tara

Tabungan buat bantu nikah nanti.

Jadi, April sudah memiliki pacar, ya? Dan dia dengan pacarnya sebentar lagi juga akan menikah?

Tapi entah kenapa, Sean merasa tidak suka akan hal itu.

***

Hai... Cuma mau ngingetin, nih. Jangan lupa berikan like & komennya, siapa tahu kalian kelupaan ninggalin jejak karena keasyikan baca. Hehe. Makasih. (IG: Mayangsu_)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status