Mata Anna mengerjap, menyusaikan dengan cahaya lampu diruangan serba putih. Lagi, ia menghela nafas kecewa saat tau jika dirinya tengah kembali memasuki ruangan rumah sakit dengan bau obat-obatan yang khas. Namun kali ini rasanya sedikit berbeda, kaki Anna terasa perih seakan ada luka yang mengganggu disana. Anna terbangun untuk memastikan hal itu, benar saja betis kanan Anna kini sudah terbalut perban dengan sisa-sisa darah disana. Sebenarnya ia kenapa? Anna bertanya dalam hati. Matanya kembali memejam beberapa detik mengingat apa yang sebenarnya terjadi dan ya ia ingat sebelum akhirnya ia terjatuh pingsan, ia tak sengaja menjatuhkan fotonya di atas nakas kamarnya. "Sayang, kamu sudah siuman nak?" suara ayah dan ibunya mengintrupsi. Anna berbalik, melihat kearah dua sejoli yang baru saja memasuki ruangannya. "Ayah, ibu maaf" itulah kata-kata yang bisa Anna ucapkan saat kedua orangtuanya mendekat mencium puncak kepalanya. "Tak perlu minta maaf sayang, ini terjadi karena kehend
Raut wajah sedih selarut malam ini terlihat jelas dari wajah Darius, ia sungguh tak tega melihat sahabat satu-satunya itu mengalami musibah yang tiada hentinya. Adrian mengerutkan kening ketika ia dan Rama baru saja sampai rumah, ia kebingungan saat melihat pemandangan tak biasanya selarut ini. "Ram, kamu istirahat saja sana. Biar aku yang samperin Om ius" titah Adrian seolah mengerti dengan kelelahan yang Rama rasakan. Rama mengangguk dengan senyum penuh kemenangan, akhirnya bos nya itu mengerti akan keadaannya sekarang. "Saya duluan ya bos, selamat beristirahat" ujarnya sebelum meninggalkan Adrian. Adrian hanya mengangguk, ia pun berjalan menghampiri Darius yang tengah menikmati secangkir kopi panas di ruang keluarga dengan tv yang menyala. "Om, kok belum tidur?" basa-basinya bertanya. Darius menoleh, ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Adrian mengerti, ia mulai duduk disebelah Darius berharap om nya itu bisa berbagi cerita padanya. Sudah lima menit berlalu na
Menolak keinginannya sama saja seperti tidak berbakti kepadanya.***Sudah hampir pukul tiga pagi, Adrian masih saja belum bisa terlelap. Perdebatannya dengan sang paman sungguh membuat pemikirannya terganggu. Gadis itu, gadis yang entah sejak kapan menjadi beban pikirannya sungguh meresahkan hatinya. Permintaan Darius tadi, jelas membuat dirinya merasakan pergulatan batin yang sangat amat. Bagaimana bisa pamannya itu ingin menikahkan dirinya dengan perempuan yang jelas-jelas sudah memiliki calon pendamping hidup. Ini aneh, mengapa disaat dirinya baru saja mau membuka hati yang datang malah gadis manja yang jelas-jelas tak Adrian sukai. "Kamu boleh tidak menurutiku, asal kamu jangan pernah anggap saya dan bundamu sebagai keluarga kamu lagi" ucapan Darius tadi sebelum dirinya benar-benar beranjak begitu mengganggu pikirannya. Bagaimana bisa ia berpisah dengan keluarga kecil ini, sementara bundanya adalah satu-satunya orang yang paham kehidupannya jauh dibanding dengan ibu kan
Jam menunjukan pukul tiga sore hari, Dirgantara dan Darius begitu sibuk menyiapkan berkas-berkas surat rujukan untuk Anna yang akan diberangkatkan nanti malam sementara Anna dan ibunya masih saja tetap saling diam dengan pemikirannya masing-masing. Tetes demi tetes air mata Anna keluar, ia menangis dalam diam. Sungguh ia tak percaya nasibnya akan sesedih ini. Begitu pula dengan ibunya, ia juga ikut menangis dalam diam. Bingung, itulah yang saat ini Ajeng rasakan. Entah harus bagaimana dan apa yang akan ia katakan nanti jika Anna tau bahwa dirinya diberangkatkan ke penang bukan hanya untuk berobat seperti biasa melainkan untuk menjalankan operasi pengangkatan rahimnya."Hey, bidadari-bidadari papah kenpa pada bengong?" sontak kedua wanita yang sama-sama tengah bergulat dengan pemikiran masing-masingnya itu menoleh kearah suara."Sejak kapan papah masuk keruangan ini?" tanya Ajeng berdiri mendekati Dirgantara.Dirgantara menggeleng, terkekeh akan tingkah kedua perempuan yang ia
"Ayah perginya jangan lama-lama ya," rengek Ratu digendongan Adrian. "Ayah jangan seperti ibu yang pergi dan gak kembali," kali ini celetuk Raja yang berada di atas koper yang Rama dorong. Adrian menghela napas panjang, tangannya terulur mengusap wajah Ratu yang sedari tadi tidak bisa berhenti merengek. Wajar putrinya itu masih dalam masa penyembuhan setelah hampir tiga hari Demamnya tak turun-turun. Sementara itu Ajeng, Anna, Dirgantara masih belum tiba dibandara membuat Rama, Adrian serta si kembar harus menunggu dengan sabar. "Ratu sayang, selama papa pergi kamu jangan nakal ya sama Om Rama." nasehat Adrian mendudukan Ratu dipangkuannya setelah mereka memutuskan untuk menunggu keluarga Dirgantara diruang tunggu biasa. "Abang enggak pah?" protes Ratu yang tak terima jika hanya dirinya saja yang mendapat wejangan dari sang ayah. "Ya abang juga, kalian berdua jangan nakal ya. Jangan manja juga sama Oma, kesihan Oma udah tua nanti kalau sakit gimana?""Kan ada kakek yang bakal r
Tiga jam sudah perjalanan yang dilalui Adrian, Anna serta ibunya. Selama perjalanan Anna enggan untuk membuka suara meski ibunya beberapa kali mengajaknya berinteraksi. Adrian yang melihatnya berdecak tak suka melihat sikap perempuan itu sama sekali tak menghargai usaha ibunya.Hanya karena sakit, bukan berarti Anna harus mengabaikan orang disekitarnya jelas Adrian tak suka apalagi yang Anna abaikan ialah wanita yang pernah berjuang melahirkannya dan sekarang sedang berikhtiar demi kesembuhannya dan Adrian rasa ini keterlaluan. Harusnya Anna sebagai anak perempuan satu-satunya itu bisa menghargai usaha sang ibu. "Nak, mau minum? Bentar lagi pesawatnya take off," tawar Ajeng. Anna menggeleng lemah seraya memalingkan wajahnya.Ajeng tersenyum getir, ia tak tau harus dengan cara apalagi untuk bisa menghibur putrinya itu. Adrian yang melihatnya begitu iba, ia ingin sekali menasehati Anna namun siapa dia? Hanyalah pria biasa yang kebetulan mengenal mereka lewat sang paman, tidak lebih da
Sudah larut malam, namun mereka masih saja berputar-putar mengelilingi kota Penang mencari penginapan yang sedari tadi sudah penuh.Anna lelah, begitupun dengan Ajeng. Ibunya itu kini tertidur pulas dengan tubuh bersandar dikursi mobil. Sementara Anna, ia masih menahan kantuknya dengan menggulir-gulir ponsel seraya mencari hotel yang masih mau menerima tamu selarut malam begini. "Kita mau kemana lagi mbak? Ini sudah larut malam, semua hotel pasti sudah tidak menerima tamu" ungkap Suryono memecah keheningan.Anna menoleh, ia pun menggeleng tak tau harus mencari kemana lagi. "Bapak bilang kalau gak nemuin hotelnya, mbak sama ibu mbak suruh buat dibawa ke apartemennya. Gimana mbak mau?" tawar Suryono. Anna menggeleng. "Tidak usah, saya gak enak sama tuan kamu. Saya sudah merepotkan dia berkali-kali" jujur inilah alasan Anna yang sebenarnya mengapa ia begitu menolak mentah-mentah tawaran Adrian tadi. Apalagi ia merasa bersalah atas sikapnya yang cuek terhadap anak-anak Adrian saat diba
"Kalian ngapain disana?"Anna dan Suryono terperanjat kaget. Ia menoleh ke arah Adrian yang berdiri tegap memandangi mereka. "Enggak ngapa-ngapain tuan. Saya dan mbak ini gak sengaja bertemu disini" jelas Suryono. Adrian menyipitkan mata, berjalan menghampiri keduanya."Kamu ngapain disini An? Ada yang sakit?" tanyanya Adrian dengan wajah datar. Anna berdecak, ia menatap wajah Adrian yang masih sama. Angkuh dan dingin. "Tidak, saya hanya haus" jawab Ayana cepat berlalu meninggalkan Adrian. Adrian menggelengkan kepalanya menatap kepergian Anna, sementara Suryono dibuat menunduk menunggu tuannya yang berdiri menghalangi jalannya. "Apa sih, gak jelas" gumam Adrian sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan. Matanya berbinar menatap Anna yang tengah meneguk segelas air putih ditangannya. "No, kamu tunggu saya diluar ya. Saya haus, mau minum dulu" ucap Adrian tanpa menoleh kearah Suryono sedikit pun. Kakinya melangkah menjauhi Suryono.Suryono hanya mengangguk tanpa curiga sedik