Share

Dinikahi Dosen
Dinikahi Dosen
Penulis: Najma A

Tiba-tiba ngajak nikah

Tatapan melototku sudah mulai pudar. Hanya saja, kepalaku mau tak mau harus celingukan ke kanan dan ke kiri. Bagaimana tidak terkejut, saat dosenku sendiri dengan gaya sok cool nya malah menawariku untuk membina bahtera rumah tangga yang katanya orang penuh asam manis itu.

"Nggak bisa Pak. Apa motif Bapak tiba-tiba mau menikahi saya?" tanyaku masih berusaha sopan, walau beberapa saat lalu, aku sempat berkata padanya 'Bapak sudah nggak waras?'

Tatapanku tetap awas, khawatir jika ada yang melihat interaksi antara aku dan seorang pria tua menyebalkan di depanku ini. Perawakannya yang tinggi, membuat aku harus mendongak untuk menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Menebak-nebak apa sih yang tengah mengganggu otak orang yang katanya cerdas melebihi Albert Einstein ini.

"Satu semester saja, kau harus jadi istriku Mel," katanya, dengan tatapan entah. Memohon sepertinya.

"Satu semester, maksudnya?" tanyaku tidak paham. Tadi katanya mau menikahiku, dan apa tadi, satu semester? nikah apaan yang dia tawarkan itu?

"Sebagai dosen yang tahu adab, etika dan moral, anda serius bicara begitu Pak? maksudnya nikah kontrak yang kaya di novel-novel gitu?" aku menggelengkan kepala, telapak tanganku mengelus dahiku yang berkeringat.

"Sebagai dosen yang beradab, beretika, dan bermoral, saya tidak akan main-main dengan ucapan saya," ucap pria yang bernama lengkap Alvin Mahendra itu dengan mantap. Aku merinding mendengarnya, apanya yang enggak main-main, wong tadi katanya nikahnya cuma satu semester, nikah itu 'kan untuk seumur hidup? bukannya dia udah niat mau main-main dalam hidup ini. Ayolah, orang tua, tidak ada waktu lagi bagimu untuk bersenda gurau di dunia yang fana ini.

Harusnya, dia banyak mengingat mati. Enggak inget umur apa? huh

"Tapi, kenapa nanggung sekali Pak? kalau mau nikahin, kok cuma satu semester?" aku merasa bodoh sendiri ketika menanyakan itu. Terlihat dia menghela nafas kasar, menyugar rambutnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri, masuk ke dalam celananya, eh? saku celananya.

"Saya harus menuntaskan nazar saya," ucapnya serius seraya menatapku. Justru hal itu membuatku mundur beberapa langkah, membuat sneaker ku yang sudah butut sedikit mengeluarkan angin. Saking, kagetnya mungkin. Sampai sepatu aja terkentut-kentut mendengar ucapan berat itu.

"Emang apa nazar Bapak?" tanyaku penasaran, sembari membetulkan pashmina yang aku kenakan. Bukan mau tebar pesona, hanya saja angin sore itu terus saja menggoyangkan kerudungku.

"Nikahin anak Pak Amran. Dan itu kamu."

"Ha?" aku melongo, kalau dia punya nazar menikahi anak orang, kenapa harus aku?

"Lah kenapa harus saya orangnya? lalu apa hubungannya dengan Bapak saya? dan kok, Bapak kenal Bapak saya?" tanyaku beruntun.

"Ceritanya panjang. Dan cewek yang harus saya dinikahin ya harus kamu. Pokoknya, patuhi saja saya," balasnya.

"Yang jelas dong Pak, harus ada alasan kenapa saya yang bapak pilih, gimana sih? Lagian, kenapa nazarnya nggak dibatalkan aja, 'kan bisa?"

"Tidak bisa. Udah terlanjur, dan itu adalah hutang saya."

"Makanya kalau ngomong di pikir dulu. Kapan Bapak bernazar?" tanyaku lagi, sedikit kesal karena nazar yang dimaksud Pak Alvin benar-benar, asal-asalan menurutku.

"Kamu nggak perlu tahu." Dia melipat tangan di depan dada.

"Nggak papa deh kalau nggak mau ngasih tahu. Saya juga nggak mau kawin sama Bapak." Aku berkata dengan cuek.

"Yang ngajakin kawin kamu siapa? saya ngajak nikah, nikah bukan berarti kawin, ingat!" dia seperti emak-emak yang memberi peringatan, mukanya tampak mengancam.

"Ya sama aja, nikah ujung-ujungnya kawin juga 'kan? masa bapak nggak tertarik nanti sama saya, kalau udah sekamar bareng?" belaku, emang bener. Enggak mungkin dia bakal tahan nafsu, kalau sudah melihat seluk beluk tubuhku. Ya 'kan?

"Astaga, mesum sekali kamu anak kecil. Tontonannya pasti nggak bener nih." Tangannya seperti akan menoyor kepalaku, namun tertahan di udara. Dia kembali menurunkannya.

"Idih sotoy. Ogah saya nikah sama Bapak. Selisih umur kita aja jauh banget tau. Saya lahir tahun 99, Bapak 89, 'kan jauh banget? heh, dikira saya sugar baby nanti." Omonganku mulai tidak sopan, tatapanku menatapnya jijik. Ya, sikapnya saat ini begitu membuatku ilfeel. Pantas saja, di usia yang hampir kepala tiga itu dia belum menikah. 

"Cuma enam bulan. Satu semester aja, selama saya mengampu mata kuliah ABK di kelas kamu," ucapnya yakin.

"Uh, tetep nggak mau. Saya yang bakal dirugikan ini mah. Bapak dapet enaknya aja. Pas saya hamil, terus di tinggalin."

Aku menyilangkan di depan dada. Enak sekali dia ngomong begitu. Kalau tiba-tiba dia khilaf, terus ngehamilin aku selama enam bulan, aku kudu kumaha?" Aku menggeleng keras.

"Saya, nggak bakal hamilin kamu. Saya udah punya seseorang yang akan dijadikan istri, dan dia sangat, sangat, sangat bertolak belakang dengan kamu." Dia seperti berusaha meyakinkanku.

"Ah masa, bukannya Bapak jomblo?" tanyaku mencibir.

"Heh, sembarangan. Mau saya kasih lihat foto cewek saya?" tawarnya.

Aku mengibas telapak tangan di wajah, merasa malas, bodo amat dia punya kekasih atau belum. Yang jelas, aku tetap akan kukuh memegang pendirianku, tidak akan mau menerima tawaran konyolnya.

"Ya udah Bapak ganti aja, nazarnya nikahin cewek Bapak itu. Kok susah-susah milih saya. 'Kan sayanya jadi repot juga Pak." Aku memberi solusi. Lebih baik begitu, karena kasihan juga melihat wajahnya yang semakin lama terlihat frustasi.

"Bantu saya Mel, cuma enam bulan, setelah itu, kita selesai dan hidup dengan kebahagiaan masing-masing."

"Ini siapa yang nazar, siapa yang repot. Nyusahin orang aja." Aku berdecak, lebih baik pergi sepertinya. Ya, aku berbalik badan, tapi suaranya kembali menginterupsi.

"Kamu bakalan dapat feedback banyak kalau mau ikutin saya Mel," ucapnya setengah berteriak. Aku membalik badan, menatapnya kesal.

"Misal, kamu pengen nggak buka usaha di umur kamu yang segini? mau 'kan? nah, saya bakal kasih kamu peluang itu. Terus, kalau kamu kesusahan ngerjakan tugas dari saya, tenang aja, ada layanan VVIP dari saya. Bahkan, kalau nanti kamu udah garap skripsi, pasti saya bantu dari awal sampai akhir. Nggak usah lagi khawatir biaya wisuda, semuanya saya tanggung."

Tawaran dia memang menggiurkan, tapi ayolah, tidak semudah itu. Walau aku memang ingin membuka usaha atau bisnis ala-ala influencer yang lagi naik pamor itu, tapi tetap saja, aku ingin mencari modal sendiri, bukan dengan cara menjual diri pada Pak Dosen.

"Mentang-mentang kaya, nggak bisa seenaknya dong Pak. Denger ni," aku menunjuk dada pria itu. "Saya masih punya harga diri. Itu yang Bapak sebutkan tadi, sama saja membeli saya untuk dijadikan 'something' yang konteksnya negatif. Nanti, apa kata ayam kampus? mereka aja cuma dibayar, sedangkan saya, langsung dinikahi."

"Saya nggak pernah mengatakan kamu ayam Kampus Mel. Dan jangan samakan saya seperti om-om yang membeli mereka. Saya, cuma ingin jadikan kamu istri sementara, sebagai penebus janji. Dari pada saya terus dihantui setiap malam. Tolong lah, saya berusaha merendah dihadapan kamu."

"Nggak bisa Pak. No, no, no, itu salah Bapak. Bapak sendiri yang harus nanggung konsekuensinya. Saya mah nggak mau ikut-ikutan. Apalagi ini nggak main-main. Saya nggak mau jadi janda setelah enam bulan. Apa kata dunia? janda itu ya Pak, denger ni, banyak kena fitnah tau. Dia itu soalnya bisa lebih bersinar dari pada perawan huh."

"Emang kamu tau sinar mereka apa dan gimana?" tanyanya menginterogasi, menatap remeh ke arahku. Dasar menyebalkan. Di saat memohon saja, masih angkuh.

"Mana saya tahu. 'Kan cuma katanya." Aku mencebik.

"Ngomong tuh, nggak boleh katanya-katanya doang. Nggak pasti, bisa jadi hoax. Kamu udah mahasiswa, tapi kalau ngomong nggak pakai referensi. Kalau saya jadi dosbing kamu nanti si skripsi, di jamin, nggak saya kasih lulus. Referensi itu penting."

Tuh 'kan dia malah ceramah, mentang-mentang dosen. Apa enggak habis kosa katanya selama dua jam berceloteh di depan kelas, kini malah di depanku.

"Udahlah, saya lelah ngomong sama Bapak. Saya akan anggap kita nggak pernah ngomongin ini sebelumnya. Bapak dihantuin atau apapun karena janji itu, saya nggak peduli. Dan saya rasa itu hak saya, so nggak perlu minta maaf 'kan? kalau begitu, saya pamit, salam dari binjai!"

"Saya bakal buat kamu setuju Mel," ucapnya yang masih bisa ku dengar.

"Up to you," aku menjawab lirih. Tapi, diam-diam aku penasaran, sejak kapan Pak Alvin kenal dengan Bapakku?

Aku berlalu dari sana setelah menempelkan jari telunjuk dan tengah di pelipis. Mengucap salam ala anak muda zaman now dengan gaya angkuh. Huh, enggak peduli, ekspresi Pak Alvin yang tampaknya tidak baik-baik saja.

Kalau suka ceritanya, jangan lupa berlangganan, kasih ulasan serta komen di setiap episodenya ya😘

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Siti Rokayah
keren ceritanya
goodnovel comment avatar
Iteung
keren...keren
goodnovel comment avatar
Maifa Yetty
keren ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status