Kalian sukanya perang yang bagaimana sih?
“Perang?” Suara Arcelia nyaris tak terdengar, seperti embusan napas yang tercampur antara ketakutan dan kebingungan.Lucien menatapnya—sorot matanya serius, tanpa bayangan canda yang biasa ia sembunyikan di balik sarkasme atau sindiran tajamnya. “Bukan perang yang diumumkan dengan genderang atau sihir. Tapi perang diam-diam... yang dimulai dari dalam. Dimulai dari kepercayaan yang dihancurkan. Dari hasrat tersembunyi dan ambisi yang ditanam dalam diam.”Arcelia menunduk, tatapannya jatuh ke tangan sendiri yang masih gemetar. “Dan aku adalah... alasan perang itu?”Lucien merendah, berlutut agar sejajar dengan wajahnya. “Kamu adalah pusat dari badai, Arcelia. Tapi bukan karena kamu lemah atau berbahaya. Tapi karena kau satu-satunya hal yang tidak bisa mereka kendalikan. Kamu istimewa!”Arcelia mengerjapkan mata, menahan emosi yang mulai membasahi sudut pelupuknya. “Aku hanya ingin memahami dunia ini, dunia kalian para iblis yang kami kenal sangat mengerikan... Aku tidak pernah ingin jadi
Istana tampak jauh lebih hangat dalam beberapa hari terakhir. Bukan karena musim semi yang mulai menyentuh taman-taman, melainkan karena kehadiran seorang tamu yang tak biasa—Aeralis, sang “Peri Penjaga Batas” yang kini menjadi pusat perhatian banyak mata, termasuk sang Ratu dan Kaisar.Aeralis dirawat di salah satu paviliun khusus, sayap barat istana, tempat para tamu agung biasanya menginap. Tabib istana menyebut lukanya parah, namun bukan sesuatu yang tak bisa disembuhkan. Hanya saja, energi magis dalam tubuhnya terguncang hebat akibat konfrontasi dengan makhluk bayangan malam itu.Padahal dengan sengaja juga dia meracuni dirinya agar tampak lemah dan tidak berdaya.Pagi itu, Arcelia datang sendiri ke paviliun tempat Aeralis dirawat. Ia membawa bunga malam yang baru dipetik dari taman, disusun dalam vas kristal kecil.“Untukmu,” ucap Arcelia sambil tersenyum lembut, meletakkan vas itu di samping tempat tidur Aeralis.Aeralis yang duduk di ranjang, mengenakan gaun lembut warna biru l
Aula kristal hitam tempat Dewan Penasehat berkumpul dipenuhi keheningan penuh tekanan. Pilar-pilar tinggi menjulang, dihiasi ukiran iblis purba yang seolah mengawasi setiap gerak mereka. Di hadapan tujuh kursi utama, Kaisar Azrael duduk anggun dengan jubah gelapnya, Arcelia di sisi kirinya, dan Aeralis berdiri anggun di belakang mereka—masih tampak lemah namun tak kehilangan aura indahnya.Salah satu penasihat utama, Tuan Garthom, seorang iblis tua bermata satu dan bertanduk ganda, mengangguk ringan saat semua telah duduk.“Tuanku Kaisar, perihal permintaan wanita bernama Aeralis untuk menjadi selir…” suaranya dalam dan berat, “…kami telah meninjau permintaan tersebut dan mempertimbangkan banyak hal.”Seorang penasihat lain menyambung, “Saat ini istana kekaisaran dalam keadaan labil karena potensi ancaman internal. Menambahkan seorang selir, apalagi bukan dari kalangan bangsawan iblis, akan menimbulkan kecemburuan dan kegelisahan dari faksi lain.”Mendengar penjelasan gamblang dewan p
Aula Singgasana diterangi oleh cahaya kristal darah yang bergelayut di langit-langit, seperti bintang yang membeku. Suara dentang lonceng keempat menandai berkumpulnya seluruh anggota Dewan Penasehat, bangsawan istana, dan makhluk-makhluk penting kerajaan iblis. Di singgasana hitam megah bertatahkan oniks dan batu obsidian, Azrael duduk dengan Arcelia di sisi kirinya—anggun, lembut, dan tampak tenang meski jiwanya berkecamuk.Dua pengawal membimbing Aeralis memasuki aula. Ia tampak mengenakan gaun tipis berwarna ungu gelap dengan belahan rendah di punggung, menandakan posisi barunya sebagai calon selir. Langkahnya lembut, nyaris seperti melayang, namun gerakannya tetap membawa kesan lemah yang menyentuh—seolah tubuhnya benar-benar masih dalam proses pemulihan.Azrael bangkit, suara beratnya mengisi seluruh ruangan.“Dengan restu Ratu Iblis, dan pertimbangan dari Dewan Penasehat, serta keadaan yang luar biasa… kami, Kaisar Dunia Kegelapan, menyetujui permintaan Aeralis, peri malam yang
Ruangan pribadi Ratu Arcelia dibalut tenang. Lampu-lampu kristal sihir menyala lembut, dan tirai-tirai merah tua melambai pelan tertiup angin malam. Namun, di balik ketenangan itu, satu sosok duduk gelisah di atas tempat tidur berkanopi hitam—Arcelia.Dengan rambut dikuncir separuh dan mengenakan jubah tidur berbahan halus warna pirus, ia tampak seperti gadis muda yang seharusnya memikirkan pesta dansa… bukan selir baru suaminya.“Dia... dia pasti sekarang sedang... ya ampun.” Arcelia memeluk bantal, wajahnya setengah terkubur dalam bulu halus.“Apa, Yang Mulia?” tanya Lira, dayang pribadi Arcelia yang paling setia—dan juga paling banyak komentar.Arcelia menoleh cepat. “Jangan sok polos. Kamu tahu yang kumaksud.” pipi Arcelia mengembung.Lira pura-pura tidak mengerti. “Oh, maksud Paduka adalah—”“—jangan lanjutkan!” sergah Arcelia, melempar bantal ke arahnya. Dia menutup kedua telinganya sendiri “Ugh! Aku nggak tahu kenapa ini menggangguku banget. Aku yang menyetujuinya, aku yang mem
Langkah kaki terdengar mendekat di lorong utama. Arcelia yang tengah duduk dengan tatapan kosong ke arah semangkuk bubur madu iblis di hadapannya, langsung menegakkan punggung saat aura familiar menyusup ke ruangan. Aura itu hangat… kuat… mendominasi.Pintu terbuka pelan, dan Kaisar Azrael melangkah masuk, masih mengenakan pakaian hitam kebesarannya yang elegan dan berkilau samar seperti malam.Lira langsung berdiri dan menunduk sopan, tapi dengan tatapan penuh makna—sebelum mundur cepat ke arah dapur seperti angin. Sungguh, dayang satu itu tak tahu malu.Azrael melangkah tenang, tapi dalam tatapannya ada senyum tipis yang sulit ditafsirkan. Seolah ia tahu semua yang berkecamuk dalam hati Arcelia.Dan dengan suara rendah, serak, dan penuh godaan, ia bertanya:"Apa kamu merindukanku, Ratuku?"Jantung Arcelia seperti berhenti berdetak selama dua detik. Matanya membelalak kecil. Kalau saja dia tidak ingat siapa dirinya saat ini ‘Seorang Ratu’ dia sudah melompat ke pelukan Kaisar Iblis.A
Langkah-langkah Arcelia terasa berat saat ia kembali ke paviliunnya. Jubah satin merah mudanya bergesekan pelan dengan lantai marmer. Hatinya berkecamuk, seolah ada sesuatu yang salah—tapi ia belum bisa menunjukkannya dengan pasti.Begitu memasuki kamarnya, Lira langsung menyambutnya dengan senyum cerah. Tapi senyuman itu segera memudar saat ia melihat wajah pucat dan ekspresi gelisah tuannya."Yang Mulia… ada apa?" tanya Lira khawatir, buru-buru mendekat dan membantu Arcelia melepas jubah luarnya.Arcelia membuang napas berat, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa empuk dengan gerakan dramatis, membuat bantal-bantal kecil terpental ke lantai."Aku baru saja dari paviliun Aeralis…" gumam Arcelia, menatap langit-langit kosong.Lira duduk di pinggir sofa, mendekat seperti anak anjing yang ingin tahu. "Dan…?"Arcelia menoleh, matanya penuh keraguan. "Lira… apa menurutmu aku hanya cemburu?" Ia menggigit bibir bawahnya, lalu menambahkan dengan nada ragu, "Atau… kamu juga merasa wanita itu punya
Pagi itu, Paviliun Selatan masih diselimuti aroma bunga kering dan dupa herbal yang menenangkan. Angin lembut menggesekkan tirai-tirai sutra yang menggantung di jendela besar, membawa cahaya merah muda ke dalam ruangan mewah tempat Selir Aeralis tinggal.Di antara dentingan teko teh dan suara-suara pelan para pelayan yang sedang merapikan ruangan, terdengar langkah cepat seorang dayang muda memasuki kamar utama."Selir Aeralis! Kami baru saja mendengar kabar dari penjaga..." suaranya sedikit terengah. "Tadi malam ada penyusup... di Paviliun Sang Ratu!"Tangan Aeralis yang sedang menuang teh berhenti di tengah gerakan.Matanya melebar."Apa katamu?" suaranya naik satu oktaf, pura-pura terkejut."Benar, Selir. Seorang penyusup. Tapi Yang Mulia Kaisar segera menangani sendiri, meski identitas penyusup belum diketahui."Secangkir teh bergoyang di tangan Aeralis. Dengan gerakan cepat, ia meletakkan cangkir itu di atas meja."Siapkan pakaianku. Yang sederhana saja tapi rapi." Matanya bersin
Arcelia, perempuan yang tidak lagi mencari tempat di dunia… tapi telah menciptakan tempatnya sendiri. Dia tersenyum menatap semua yang ada di sana dengan senyum menawannya. Semua yang ada di sana masih diliputi ketegangan meskipun pertarungan sudah selesai.Suara hening menggema seperti gema waktu. Lalu… satu suara terdengar.“Hidup Ratu Arcelia.”Disusul suara lain. Lalu bergemuruh.“Hidup Ratu Arcelia!”Para pangeran yang semula menyimpan ragu, kini berdiri dari kursi kehormatan mereka. Kaelthor, yang dikenal paling keras, menjatuhkan tinjunya ke dada dan membungkuk dalam, penuh hormat. Lucien—yang biasanya ringan dan santai—terdiam, matanya berkaca-kaca, lalu tersenyum dan berseru, “Yang Mulia, Anda membuat dunia berhenti hari ini, panjang umur Ratu Arcelia…”Seluruh arena istana, dari panglima, para tetua dewan, hingga para pengawal dan rakyat yang menyaksikan dari bayangan balkon tinggi, bersujud, bersorak, dan berteriak nama ratunya.Arcelia berdiri di tengah semua itu, tak lagi
Malam sebelum pertempuran….Ruang bawah tanah istana itu sunyi, hanya diterangi cahaya kebiruan dari kristal sihir yang tergantung di langit-langit. Peta energi Arcelis tergantung di udara, berputar perlahan—warna hitam keunguan menyelubunginya, tak seperti aura makhluk hidup biasanya.Arcelia berdiri di depan proyeksi itu. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai. Jelas berbahaya.Lucien berdiri di sisinya, satu tangannya menunjuk ke area samar di sekitar dada Arcelis. “Lihat ini,” katanya pelan. “Retakan halus. Energi di sekitar jantungnya tidak stabil.”Azrael menyipitkan mata. “Apa itu berarti… dia punya titik lemah?”Lucien mengangguk. “Menurut penelitianku, Arcelis bukan makhluk utuh. Ia disusun dari berbagai fragmen keinginan dan emosi manusia yang paling kotor—pengkhianatan, iri hati, dendam, obsesi. Semuanya dimanifestasikan, tapi tidak benar-benar menyatu. Titik retak ini—”“—adalah tempat di mana fragmen itu berkonflik,” potong Lira yang sedari tadi memperhatikan proye
Malam turun dengan selimut kelam yang sunyi, tak seperti malam-malam sebelumnya di Istana Neraka yang biasanya riuh oleh denting obor api dan nyanyian bayangan. Malam ini, seluruh kerajaan menahan napas. Esok hari adalah pertarungan yang bisa menentukan takdir dua dunia—dan takdir seorang Ratu.Di dalam kamarnya, Arcelia duduk di depan cermin besar. Rambutnya dibiarkan tergerai, kulitnya pucat tertimpa cahaya biru dari kristal api yang menggantung di langit-langit. Tapi tak ada keraguan dalam mata itu. Hanya ketenangan… dan kedewasaan yang perlahan tumbuh dari luka-luka lama.Lira masuk perlahan, membawa secangkir ramuan hangat. “Yang Mulia… semua sudah disiapkan. Para penasihat juga telah memastikan arena telah dilindungi oleh sihir pengikat. Tidak akan ada intervensi dari luar.”Arcelia mengangguk. “Terima kasih, Lira. Kau sudah bekerja sangat keras, aku bangga padamu!.”Lira tersenyum, tersipu, tapi matanya masih menyimpan kekhawatiran. “Apakah Anda… yakin ingin melakukan ini?”“Buk
Beberapa hari kemudian – Hari yang ditentukan untuk pengujian sudah datang, di Aula Pengujian Istana Iblis semua petinggi istana Iblis datang dan berkumpul.Langit di atas istana tampak kelam, awan sihir menggelayut rendah. Aura magis pekat menyelimuti bangunan kuno tempat Upacara Pengujian Cahaya dan Kegelapan akan dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar berdarah pilihan yang mampu bertahan hidup melewati ritual ini—yang lainnya akan lenyap menjadi abu sihir dan waktu.Arcelia berdiri di sisi kiri aula, mengenakan jubah ratu yang lebih sederhana dari biasanya, hanya dihiasi simbol dua dunia di bagian dada. Matanya menatap lurus ke tengah ruangan, di mana Arcelis berdiri sendirian di atas lingkaran sihir kuno.Di sisi berlawanan, Kaisar Azrael duduk di atas singgasana pengamatan, diapit oleh para penasihat dan pangeran-pangeran kepercayaannya, termasuk Lucien dan Kaelthor.Arcelis terlihat tenang. Terlalu tenang. Wajahnya tanpa ragu. Bahkan tidak ada sedikit pun getaran ketakutan di
Langit di atas istana iblis pekat, tanpa bulan maupun bintang. Angin dingin menari di antara tiang-tiang batu, menabur ketegangan yang menggantung di udara.Arcelia duduk sendirian di balkon pribadi kamarnya. Rambut panjangnya tergerai lepas, dibiarkan tertiup angin malam. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, dan matanya menatap kosong ke arah hamparan langit kelam. Dalam dadanya, ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Dan di balik matanya, ada badai yang ia redam.Dia mendengar langkah berat yang dikenalnya sangat baik. Tapi dia tidak menoleh. Tidak kali ini. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan.“Arcelia….” suara bariton itu memanggilnyaDengan mata merah dan tubuh yang masih terasa kaku dia menoleh, lantas tersenyum samar. Memberi hormat dengan formal kepada Azrael, tidak seperti biasanya. Kaisar Azrael dapat merasakan perubahan kecil pada sikap Ratunya, namun itu tak membuatnya urung untuk menanyakan pertanyaan yang sudah mengganggunya."Kenapa kau tidak menceritakannya padaku
Langkah Arcelia begitu ringan saat memasuki lorong bawah tanah yang tersembunyi di balik istana. Tidak seorang pun tahu bahwa ia diam-diam meminta Lucien menunjukkan tempat gadis manusia itu diamankan. Dua penjaga khusus membungkuk memberi hormat, lalu membuka pintu berat yang berderit pelan.Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya samar dari lentera kecil di sudut tembok. Di dalamnya, duduk seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lusuh, tangan terlipat di pangkuan, tubuhnya bersandar lemah pada dinding batu.Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung bangkit berdiri. Meski tubuhnya tampak lemah, ada aura ketenangan dalam sikapnya.“Hormat kepada Yang Mulia Ratu,” ucapnya pelan, namun penuh hormat.Langkah Arcelia terhenti. Matanya membulat, napasnya seolah tersangkut di tenggorokan. Dalam temaram ruangan itu… gadis itu—kulitnya pucat, rambut hitam legam, dan sorot mata penuh luka serta keteguhan—terlihat seperti cerminan dirinya di masa lalu.“Kamu… dari mana kamu tahu siapa aku?
Setelah pertarungan dan penyucian istana, pertempuran belum benar-benar usai.Bukan dengan sihir atau senjata, tapi dengan kepercayaan dan hati.Kerajaan iblis memiliki pilar-pilar kekuasaan yang tersebar dalam wujud para pangeran, masing-masing dengan karakter dan ego berbeda. Setelah kejatuhan Marovielle dan Sylas, bayang-bayang perpecahan masih menggantung.Azrael mengumpulkan mereka semua... tapi yang membuat mereka tetap duduk dan mendengarkan, bukan hanya titah Kaisar—melainkan suara lembut namun teguh milik Arcelia.“Kalau kalian terus bertahan dalam dinding keangkuhan sendiri, maka kerajaan ini akan tumbang bukan karena perang—tapi karena kalian saling menjatuhkan.”Ucap Arcelia siang itu dalam ruangan bundar tempat dewan para pangeran berkumpul.Lucien, yang berdiri di sisi Arcelia, hanya menyilangkan tangan dan tersenyum tenang.“Ayo, Kakak-kakakku. Dengarkan Ratu kita. Beliau bukan cuma cantik, tapi juga sangat masuk akal. Dan kalau kalian tidak percaya padanya, ya... perca
Langit di atas istana menghitam seperti jelaga. Petir iblis membelah langit, dan angin malam membawa hawa pertanda buruk.Di tengah aula utama yang kini kosong dari pesta, Marovielle berdiri tegak dengan mata menyala ungu keperakan, diapit oleh Sylas dan beberapa makhluk bayangan yang ia panggil dari dunia bawah. Jubah hitamnya berkibar, dan energi gelap menari di sekelilingnya, membuat ubin istana retak-retak."Aku tahu ini jebakan," ucapnya datar namun menggema, "dan aku tetap datang. Tapi kalian lupa satu hal..."Marovielle menatap Azrael, lalu Arcelia."...aku tak pernah datang tanpa persiapan."Dengan satu gerakan tangannya, api hitam menyambar ke segala arah—namun Azrael sudah berdiri di depan Arcelia, memanggil pedang api miliknya, Ignis Vultor, dan menebas energi itu hingga terpecah menjadi ribuan bara.Sylas melompat ke depan, menyerang Kaelthor, matanya penuh amarah dan kebimbangan, tetapi Kaelthor sudah siap. Dengan bantuan Lucien dan dua pangeran lain, mereka menahan Sylas
Pertempuran telah usai, walaupun tidak ada kemenangan ataupun kekalahan dari sisi Arcelia ataupun Marovielle karena dia kabur, namun pertarungan itu menyisakan rasa lelah. Khususnya hati Arcelia. Lelah karena kesal sebab menyadari Kaisar yang selalu bilang ‘cukup dirinya’ tiba-tiba ada di ranjang perempuan lain.Kaisar yang mulai terbiasa dengan Arcelia sangat hafal dengan perangai sang Ratu.Kamar utama terasa hangat oleh cahaya lilin yang berpendar lembut.Arcelia duduk di tepi ranjang besar, memeluk lututnya sendiri. Wajah cantiknya kusut, pipinya mengembung kesal seperti anak kecil yang baru saja direbut mainannya.Azrael, yang baru selesai mengenakan jubah hitam sederhana, mendekat perlahan."Arcelia..." panggilnya lembut.”Ratuku….”Gadis itu mendengus. Membalikkan wajah, menatap ke arah lain, bersikap cuek.Melihat itu, Kaisar hanya tersenyum kecil. Ia lalu duduk di sebelah Arcelia, meraih tubuh kecil itu dan tanpa aba-aba menariknya ke dalam pelukannya.Arcelia berusaha membero