Setuju tidak kalau setiap kebaikan patut dihargai.
Hari itu, Arcelia duduk anggun di sisi kanan Kaisar Azrael, mengenakan gaun hitam dengan sulaman perak yang berkilau di bawah cahaya obor. Gaun itu bukan hanya simbol statusnya sebagai Ratu, tapi juga representasi otoritas kekaisaran yang kini ia emban bersama Azrael.Aula utama dipenuhi oleh para penasihat tinggi, panglima perang, serta penjaga dimensi. Peta-peta besar tergelar di atas meja batu obsidian, menampilkan garis-garis rapuh di sepanjang perbatasan dunia bawah. Titik-titik merah menyala menunjukkan wilayah rawan, tempat keseimbangan dunia berada di ujung tanduk.Suasana begitu tegang, hingga suara Kaisar Azrael memecah keheningan.“Sampaikan temuan terakhir mengenai pintu gerbang dua dunia,” titah Azrael tegas, suaranya menggema di seluruh aula. “Pintu-pintu ini selalu menjadi incaran. Jika salah satu runtuh, keseimbangan yang telah kita jaga selama berabad-abad akan hancur. Bahkan Kaisar Langit tidak akan mampu memperbaikinya.”Salah satu jenderal penjaga perbatasan maju d
Sore itu, Arcelia melangkah perlahan di antara sisa-sisa bekas persembahan peringatan untuk Ratu Api yang telah berlalu beberapa hari lalu. Cahaya temaram senja menyelimuti halaman luas itu, menciptakan suasana syahdu dan hening.Ia menyapa beberapa pelayan dan penjaga yang lalu-lalang di sekitar area. Bagi mereka, melihat sang Ratu berjalan bebas menyusuri sudut-sudut istana adalah hal biasa. Namun, meski Arcelia selalu ramah dan bersahaja, tetap saja bisik-bisik tak sedap terdengar di belakangnya."Ratu terlalu lugu... mengadakan upacara peringatan untuk seseorang seperti Ratu Api.""Jasa besarnya tak bisa menghapus kesalahannya. Dia mencoreng nama Kaisar.""Ratu yang tak bisa menjaga diri, tak layak dikenang."Bagi sebagian dari mereka, Ratu Api adalah noda dalam sejarah kerajaan. Kesalahan masa lalunya dianggap terlalu memalukan—terutama karena sebagai bangsawan, ia ikut larut dalam hasrat rendah seperti rakyat biasa. Mereka yang datang ke peringatan beberapa hari lalu pun, bukan d
Senja merah darah menyelimuti langit dunia bawah, ketika kabut halus turun perlahan menyelimuti taman dalam istana. Ratu Arcelia melangkah pelan di antara batu-batu hitam yang ditumbuhi bunga berapi kecil—tanaman khas dunia bawah yang hanya mekar saat matahari tak terlihat selama seminggu penuh.Ratu Arcelia berjalan dengan pikiran yang masih kacau, dan itu karena Pangeran Api. Dengan reaksi alami Kaisar Azrael tadi malam, tanpa harus mengucapkan kata larangan, Arcelia paham, mungkin dia memang sudah melangkah terlalu jauh dan tidak ada batasan, sehingga membuat seorang pangeran yang introvert salah paham.Di bawah pohon berduri kristal yang tampak seperti patung pahatan, berdirilah Pangeran Api. Seperti biasa, tubuhnya tegap, diam, dengan sorot mata tajam yang menyembunyikan sesuatu di balik ketenangannya.“Pangeran Api,” sapa Arcelia, suaranya lembut namun berwibawa.Pangeran itu menoleh perlahan. Tak ada senyum, hanya anggukan hormat.“Aku tidak ingin kau memiliki pemikiran ataupun
“Dan jangan sekalipun… kau membuat lelaki lain jatuh hati padamu.”Suara Azrael berat, dalam, nyaris seperti gumaman kutukan yang mengendap dalam jiwa. Tatapan matanya kini tak lagi sekadar sendu, melainkan tajam, membakar, menyala merah seperti bara.Dengan satu gerakan, seolah Arcelia tak berbobot, Kaisar mengangkat tubuh sang Ratu ke dalam gendongannya. Ia melangkah mantap ke dalam paviliun, pintu batu menutup sendiri di belakang mereka.Langit dunia bawah tertutup kabut ungu kelam, bulan darah menggantung tepat di puncak. Malam seakan ikut bersekongkol—menyembunyikan segalanya dalam bisu yang sakral.Di dalam ruang megah yang hanya diterangi api iblis yang membara di dinding, Arcelia diturunkan ke atas ranjang besar berlapis kain gelap. Tirai-tirai tebal melambai pelan, menyelimuti mereka dalam dunia kecil yang hanya milik mereka berdua.“Jika kau berani menyembunyikan hatimu dariku…” bisik Azrael, suaranya lebih halus dari sutra, namun penuh ancaman lembut. “Maka malam ini, aku a
Malam turun di atas istana dunia bawah, menyelubungi langit hitam berapi dengan kilatan merah keemasan dari lahar yang mengalir di kejauhan. Arcelia duduk di taman istana, tempat yang jarang dikunjungi selain oleh dirinya sendiri. Taman itu adalah satu-satunya bagian istana yang ia ubah—dengan tanaman-tanaman gelap yang bisa tumbuh di bawah cahaya neraka, dan bunga api biru yang hanya mekar saat bulan darah muncul.Langkah kaki berat tapi anggun terdengar dari arah pintu gerbang taman.Arcelia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang, biasanya juga ada Lucien atau Kaelthor atau pangeran lainnya. “Pangeran Api…” gumamnya lembut, tapi tak kaget saat yang dilihatnya datang adalah Pangeran Api lagi. Arcelia masih memandangi bunga yang mekar pelan di hadapannya. “Kau datang lagi.”“Ratu belum istirahat. Hamba hanya ingin memastikan,” jawabnya. Suaranya tetap berat dan datar, tapi di balik nada datarnya, ada nada halus yang mulai mengandung perhatian.Arcelia menoleh, menatap mata m
Malam di dunia bawah adalah lukisan kekal dalam warna merah dan hitam. Langit kelam berpendar cahaya dari sungai lava yang mengalir tenang di kejauhan, sementara menara istana berdiri angkuh, dibalut bayangan dan bara.Di dalam kamarnya yang megah, Arcelia bersandar di dada Kaisar Azrael. Kulit mereka masih berselimut hangatnya keintiman yang baru saja mereka bagi. Nafasnya belum sepenuhnya tenang, tapi pikirannya melayang jauh.Azrael mengusap punggung Arcelia perlahan, memperhatikan ekspresi damai namun penuh renungan di wajah ratunya.“Kau terlihat tidak tenang malam ini,” gumam Azrael, suaranya berat, serak karena cumbu yang masih membekas.“Benarkah?” tanya Arcelia terdengar sangat santai karena mereka sedang di atas tempat tidur.“Hm….” Kaisar Azrael mengangguk.Arcelia menoleh sedikit, menatap matanya. “Boleh aku mengusulkan sesuatu?”Kaisar tersenyum kecil. “Kau boleh menguasai seluruh neraka jika kau mau, Ratu-ku.”Pipi Arcelia merona merah, ia tersenyum lemah, lalu menghela
Kembali ke Istana Bawah….Istana hitam yang berdiri megah di jantung dunia bawah itu tampak lebih hidup dari biasanya. Namun, bukan karena pesta, melainkan karena kehadiran Ratu mereka—Arcelia. Sosoknya yang agung berjalan berdampingan dengan Kaisar Azrael di lorong panjang berhiaskan obor biru yang berkobar dengan api neraka.Suasana tenang, tapi ada sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang belum didamaikan.Dari balkon tinggi yang menghadap jurang lava abadi, berdiri seorang pria dengan rambut seperti bara membara, matanya menyala merah darah, kulitnya gelap berkilat seperti logam terbakar. Ia adalah Pangeran Api, satu-satunya putra dari Ratu terdahulu yang telah lama meninggal.Ia memandangi pasangan kaisar dan ratu dari kejauhan. Dalam diamnya, hatinya bergejolak seperti lautan magma.“Begitu mudahnya dia melupakan Ibu…”“Begitu cepatnya dia menyerahkan segalanya untuk perempuan itu…”Tak ada yang tahu isi pikirannya. Pangeran Api adala
“Kamu siapa?” tanya Eden dengan nada curiga. Namun, sorot matanya tidak bisa membohongi rasa terpesonanya. Sekilas, ia tersihir oleh kecantikan gadis yang berdiri di ambang pintu. Kecantikannya... nyaris tidak nyata.Lyrienne tersenyum anggun, lalu membungkuk hormat pada Liam dan Marla dengan sikap sopan nan berwibawa.“Perkenalkan, saya Lyrienne Throne, satu-satunya putri dari keluarga bangsawan Throne. Saya datang untuk menyampaikan permohonan maaf atas penolakan yang saya sampaikan sebelumnya.”Nada bicaranya tenang, penuh penghormatan, dan tanpa cela.Liam mengangguk pelan, tersenyum bijak. “Tidak perlu meminta maaf, Nona Lyrienne. Setiap orang memiliki hak untuk memilih. Perjodohan bukanlah sebuah paksaan.”“Paman sungguh bijaksana. Terima kasih atas pengertiannya.” Lyrienne lalu menoleh pada Marla, masih dengan senyuman anggun. “Bibi, saya membawa tonik herbal dan beberapa lembar sutra terbaik dari utara. Saya harap Bibi berkenan menerimanya sebagai bentuk penghormatan saya.”Ma
Tak ada yang benar-benar tahu, mengapa kesialan selalu mengikuti Arcelia ke mana pun ia melangkah—mengapa orang-orang yang menyayanginya selalu berakhir dalam kesakitan atau kehilangan. Tak ada yang tahu… kecuali satu orang: ibunya. Sayangnya, rahasia itu dikubur bersama jasad sang ibu, tak pernah terucap pada siapa pun.Dulu, selama sepuluh tahun pernikahan mereka, Bennet dan istrinya hidup dalam cinta yang tulus, namun tanpa kehadiran seorang anak. Setiap tahun yang berlalu tanpa tangisan bayi menjadi luka sunyi dalam hati sang ibu. Ia tahu Bennet tak pernah menyalahkannya—ia adalah pria yang penuh kesabaran dan ketulusan. Tapi rasa bersalah itu tumbuh seperti benalu, menggerogoti hatinya dari dalam.Suatu hari, dalam keputusasaan yang lembut, ia pergi diam-diam ke sebuah kuil tua di luar perbatasan kota. Di sana, ia berdoa dalam sunyi, membawa persembahan kecil berupa bunga dan air murni. Dalam keheningan dupa dan desir angin lembah, seorang biksu tua mendatanginya—langkahnya tenang