“Apakah mencintaimu perlu rumus? Jika iya, jelaskan padaku!”
~Novita_A12~Kling... (Notifikasi pesan masuk)Ternyata pesan dari adikku, Aji. “Mas! Hanna besok ulang tahun.”Aku kaget saat membaca pesan Aji, aku terdiam dan tidak langsung membalas pesannya. “Kenapa Ji?” Ku layangkan Message balasanku.“Ya, Mas tidak mau kasih dia kejutan gitu?”“Buat apa? Mas kan masih belum sah jadi suaminya, nunggu pas sudah sah lah, InsyaAllah.”“Cie cie, yang udah mulai bisa menerima Hanna nie ye...” Aku tidak membalas pesan Aji sebab jika tetap aku balas, dia akan terus membahas Hanna. Aku matikan data seluler, hp ku letakkan di atas meja. Segera kuraih kitab yang hendak aku sampaikan buat kajian Ba’da dzuhur. Kitab kupegang dengan posisi diri menghadap kiblat, duduk di atas meja belajar adalah hal yang sejatinya bisa membuatku ingat masa kecil dan masa depan. Teringat masa kecil saat untuk belajar saja aku harus dipaksa Umi, dan untuk masa depan, aku belajar salah satu tujuanku untuk bekal menghadapi masa depan yang mungkin kondisinya sudah tidak akan sama dengan masa sekarang. *** Pov: HannaRuang tamu adalah tempat favorite ku bersama ibu, aku sangat suka saat-saat yang seperti ini, aku baring di pangkuan ibu, ibu membelai rambutku, dan kami membahas tentang sesuatu.Terkadang yang dibahas adalah yang aku sendiri belum pernah terpikir ke arah sana, tugas istri mungkin. Aku hanya selalu mengikuti kajian mengenai akhlak istri terhadap suami, tapi untuk mempraktikkan, aku belum terlintas untuk melakukan. “Hanna!” “Iya Bu,” jawabku sambil lalu beranjak dari baringku. “Nanti kamu akan ikut suamimu, jaga baik-baik perasaan suamimu, saat itulah kamu di uji untuk bisa menerapkan semua ilmu yang kamu peroleh di pesantren.”“Bu, bolehkah Hanna jujur pada ibu?” Air mataku tiba-tiba mengantung. “Boleh, Nak. Kenapa tidak?”“Hanna tidak mencintai Gus Ans.” Aku menunduk, air mata itu jatuh. “Kenapa, Nak? Apakah sebelum gus Ans melamarmu, ada orang lain yang ingin serius padamu?”Aku hanya terdiam, aku bingung harus menjawab apa. Jika aku jawab gus Aji, tentu Ibu tidak akan percaya padaku. gus Aji kemarin mengantarkan gus Ans untuk melamarku, berarti gus Aji sudah tidak ada perasaan apa-apa padaku. “Tidak,” jawabku pelan sembari menggeleng dan mengusap rintik dari mataku.“Jika demikian, apa yang kamu beratkan? Menikah itu tidak semua harus berlandaskan cinta, tugasmu adalah menerima semua kelebihan dan kekurangan suamimu. Patuh pada semua titah suami, surgamu ada padanya.”“Tapi, Bu.” Ibu menggelengkan kepalanya dengan sungging di tubir bibirnya, memberi isyarat aku tidak boleh banyak mengeluh. Ibu menyuruhku mandi dan segera sholat, aku mengiyakan dengan berusaha tetap bisa membalas senyum ibu, aku tak ingin jika nanti Ibu malah khawatir padaku. ***“Ya Allah, kini pergantian malam dan siang begitu cepat. Tidak terasa dua hari lagi hamba sudah harus ke rumah gus Ans untuk prosesi mengembalikan lamaran, dengan artian pernikahan akan segera dilaksanakan.Apa hamba sanggup Ya Rabb, berikanlah hamba petunjuk dan kelapangan dalam menjalankan ini smeua Ya Rabb, jika memang gus Ans adalah jodoh yang Engkau takdirkan untuk hamba, maka permudahkan semua jalannya Ya Rabb, permudahahkan juga hati ini untuk bisa menerima.Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad W* Aalihi Muhammad, Rabbana Taqabbal Minna Bisirril Fatihah.”Kuraih mushafku dan mengaji sesuai target harianku, tak lupa ziyadah hingga muraja’ah.*Ziyadah: Menambah hafalan.*Muraja’ah: Mengulang hafalan.Terdengar suara ketuk pintu dengan suara panggilan dari Ibu, “Nak!” Aku segera berdiri dan membuka pintu.”Enggeh Bu.” “Ini baju yang dari gus Ans kemarin, besok kamu pakai ya. Jangan lupa cincinnya juga, Ibu lihat kamu tidak memakai cincin itu.” Kuraih baju yang ibu bawa, baju dengan nuansa putih, jubah dengan kerudung serba putih. Aku termenung duduk di tepi ranjang dengan memandangi baju yang baru saja aku terima dari ibu. Tetap bertanya-tanya pada dalam benakku apakah aku bisa mencintai gus Ans, melihat saat kajian saja aku takutnya tak karuan, apalagi harus hidup bersama dengannya. ***Ku nyalakan data hp yang sedari pagi belum aku nyalakan sama sekali, terbiasa di pondok tidak pernah main hp sehingga saat di rumah pun hp tak lagi menjadi prioritas. Dan lagi aku pernah bertekad untuk tidak membuka hp sebelum aku selesai membaca, menghafal, dan memuraja’ah Al-Qur’an.Tekad ini sudah bulat sejak aku putuskan untuk menjatuhkan diri ini untuk menghafal Al-Qur’an. “Assalamu’alaikum.” Pesan dari nomor baru lagi. Ada perasaan enggan membalas, tapi karena dia berucap salam maka aku pun harus menjawabnya. Dan lagi bisa jadi ada hal penting. “W*’alaikumussalam W*rahmatullah.”“Hanna! Ini aku Aji, besok kamu ulang tahun ya? Mabruk Alfa mabruk ya. Aku tidak mengucapkan besok karena pasti kamu akan sibuk dengan Mas Aji. Intinya Mabruk Alfa Mabruk calon kakak ipar.” Aku kaget bukan main, dari mana gus Aji tau tanggal lahirku, dan ini membuatku kembali teringat pada surat yang pernah gus Aji kirimkan dan aku belum sempat membalasnya gus Aji sudah berangkat ke Jombang.“Gus! Apakah gus tahu? Sejak surat itu aku terima cinta ini perlahan tumbuh dan hingga kini aku belum bisa melupakannya, apa maksud gus yang sekarang malah membiarkan aku menikah dengan kakakmu,” gumamku dalam hati. Aku pun tetap memandangi pesan gus Aji, tak terasa air mata ini tumpah. Perasaanku bercampur aduk, ada perasaan bersalah, sebab aku sudah menjatuhkan cinta pada orang yang senantiasa aku sendiri belum tahu apakah dia benar-benar mencintaiku atau hanya memberi harapan saja. Dan aku pun merasa bersalah sebab hingga aku bertunangan dengan gus Ans, hatiku masih berpihak pada gus Aji. Ku usap air mataku dan kujawab pesan dari gus Aji, “Enggeh Gus, terimakasih.” Itu adalah balasan terakhir dan chatku hanya berakhir pada centang biru. Ingin rasanya aku tanyakan apa maksud dari surat itu, tapi kurasa gus Aji sudah melupakannya. Hp itu kututup kembali aku keluar rumah berniat untuk menghilangkan perasaan-perasaan gundah. *** Pov: Aji“Hanna, apa kamu benar-benar tidak mau menanyakan surat yang aku pernah berikat padamu waktu itu,” gumamku sembari berharap Hanna kembali online kupandangi layar hpku dengan tetap pada percakapan antara aku dengan Hanna. Aku merasa bodoh, padahal nomor Hanna sudah tersimpan begitu lama di ponselku tapi aku tak kunjung berjaya untuk menghubunginya, dan sekarang dia sudah hampir sepenuhnya milik kakakku, “Haruskah aku benar-benar kehilangan Hanna?” aku berkata dalam hati dengan beribu-ribu harap yang hal itu bisa dikatakan mustahil aku dapatkan. Segera aku beranjak dari tempat dudukku, aku tidak ingin pemikiran ini menjadi larut dan menuntunku untuk melakukan hal yang buruk. Kurasa ini memang sudah takdirku, Hanna akan menjadi kakak iparku, dan aku yakin Allah sudah meyiapkan yang terbaik untukku. Aku menghela napas panjang, “Aku harus melupakan Hanna, dan fokus pada belajarku. Bismillah.” “Mau kemana Ji?” Tiba-tiba terdengar suara Mas Ans, sontak aku kaget khawatir Mas Ans mendengar semua perkataanku. “Ti-tidak Mas, Mas sudah dari tadi di situ?” “Baruu aja, melihat kamarmu terbuka, Yasudah, Mas masuk saja.”Aku lega mendengar jawaban Mas Ans. Dan dari saat ini juga aku bertekad tidak lagi memikirkan apalagi mengharapkan Hanna. “Aku ikhlaskan cintaku untukmu, Mas.”gumamku dalam hati. Bersambung...Jangan lupa bantu vote and komen, ya. Terima kasih, happy reading🤗“Senyum itu mahal harganya, saat diberikan dari orang yang mencinta kepada yang dicinta.”~Novita_A12~Akhirnya aku sedikit lega, sebab bisa bernapas bebas di kamar, dan aku sendiri, sebab gus Ans lebih memilih istirahat di ruang tamu, padahal di sana ramai, aku yakin gus Ans tak akan betah beristirahat di tempat seperti itu. Tapi ada sedikit sedih, saat mengingat gus Ans bahkan tak tersenyum walau sedikit pun, tampak tidak ada pancaran bahagia dari wajahnya, akankah gus Ans menyesal telah menikah denganku. Tapi tidak ingin membicarakan hal ini kepadanya, aku khawatir saat dia capek seperti ini malah akan menimbulkan ke salah pahaman.“Hanna.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu. Segera aku berdiri, dan membukanya. Dan ternyata gus Ans, benar dugaanku, dia tidak mungkin bisa istirahat di tempat seperti itu, aku pun mempersilakan masuk, dengan pintu tidak aku tutup. Gus Ans membuka jaz hitam yang dia pakai, peci dia letakkan, terlihat ketampanan wajahnya semakin bertambah, sela
“Cinta sejati adalah cinta yang mampu mengikat dengan tali yang suci, tali pernikahan yang ikrarnya perlu pertanggung jawaban pada Sang Ilahi.”~Novita_A12~“Qabiltu Nikahaha watazwijaha bil mahril madzkuuri, Haaalan.”Air mata ini menetes mendengar ucapan yang Gus Ans ikrarkan. Kini aku berada di samping Umi, dengan gaun yang serba putih, dengan berbagai hiasan dan riasan di luar biasanya. Sontak gema sholawat memenuhi ruangan setelah Kiai membacakan do’a untuk kami berdua, aku pun langsung sungkem kepada Ibu dan Bu Nyai yang sedari tadi mendampingiku. Suasana ini tidak akan pernah aku lupakan, saat ikrar tadi diucap saat itu juga aku siap mengabdikan jiwa dan ragaku kepada suamiku, gus Asn. Aku berharap gus Ans menjadi perantaraku bisa meraih surga. Tiba-tiba teringat sebuah hadits yang pernah aku pelajari saat ibtida’ dulu, “Anna Ridhoz zauji huwa ridhollah wa ghadhobuz zauji huwa ghadhobullah(Sesungguhnya ridho suami adalah ridho Allah, dan murka suami adalah murka Allah.)”Akad
“Cinta itu kadang membingungkan, datang tak dengan tanda, hilang pun tiba-tiba.”~Tha~Kini hanya aku dan malam, kupandangi bintang, dengan rasa yang entah bagaimana yang tengah kurasakan, aku tiada bisa melukiskan, sedang dengan segera aku akan melaksanakan sebuah pernikahan, pernikahan yang kuanggap sakral dan sejak dulu aku membayangkan bahwa akan menikah dengan penuh gelimang rasa cinta. Namun, nyatanya tidak sesuai kenyataan. Aku menikah dengan tanpa ada rasa sama sekali, entah karena trauma masa lalu sehingga membuatku seakan hambar akan rasa cinta yang sebentar lagi akan mengikatku dengan ikatan pernikahan, dengan ikatan sakral yang suci berjanji kepada Ilahi rabbi.***Menikah menurutku bukan perihal yang main-main, aku hanya menginginkan menikah sekali seumur hidup, dan yang aku dambakan menikah dengan penuh rasa cinta sehingga menjadi perantara hidup bahagia, tetapi beda dengan yang saat ini kurasakan satu hari sebelum hari perniakahanku saja, rasa itu tak kunjung muncul di
“Patuh pada perintah orang tua adalah salah satu cara untuk kita menyicil dalam membalas jasanya, walau sejatinya sampai kapanpun jasanya tak akan sebanding dengan pengorbanannya.”~Novita_A12~Pov: Ans.Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang kurasa hambar, ada senyuman tapi tak mewakili persaan, perasaan ini merasakan ada sebuah keterpaksaan, tapi aku merasa tetap harus melakukan. Hari pernikahanku semakin dekat, dan aku belum ada persiapan perasaan sama sekali, platform sudah Umi pesan, dan kemungkinan untuk di rumah Hanna sudah terpasang, kami yang membiayai dengan ada separuh bantuan dari keluarga Hanna, sebab pernikahan yang cukup meriah ini, Umi yang menginginkan dan mengaturnya aku hanya ikut keputusan Umi dan Abah saja. “Ans!” Terdengar suara Umi memanggil dan langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Aku yang masih asik dengan pemandangan di luar sana menjawab dengan singkat saja. “Enggeh, Mi?” Aku tidak keluar kamar sebab pintuku memang terbuka dan langkah Umi me
“Menikah adalah sakral, maka untuk menikah harus dipersiapkan sebelumnya, sebab semua insan pasti menginginkan satu kali saja seumur hidup melakukan pernikahan.”~Novita_A12~Daun pacar itu kecil, tapi bukan berarti tidak bermanfaat, maka tidak ada alasan bagi seseorang meremehkan pada seorang yang lain hanya karena hal kecil, sebab hal sekecil apapun saat dicipta pasti sudah disiapkan beserta manfaatnya. Daun pacar memang tidak bisa di makan, tapi memiliki fungsi untuk menghias tangan. “Hanna, ada gunting?”tanya Zuhra.“Ada, buat apa?”jawabku yang masih berdiri meletakkan buku yang kubaca tadi. “Buat memotong daun-daun pacar ini, tentunya, Hanna.”Zuhra memang sedikit mudah kesal tapi kesalnya bukan berarti dia mudah marah, dia hanya menggerutu dengan sedikit nada meninggi, kesal. “Hehe, oke. Iya, nih.” Kuserahkan gunting itu padanya. “Oiya, apa perlu aku panggilkan mbak-mbak yang lain guna membantu kamu?”tanyaku pada Zuhra, sebab kasihan jika dia harus mengerjakan sendirian. Aku
“Cinta boleh saja seperti Henna, melekat di tangan berfungsi menghias pemandangan, tapi kekuatan cinta tidak bisa di ukur dengan lekatnya henna pada tangan sebab cinta sejati tak akan pernah luntur sekalipun dipaksa menjauhi.”~Novita_A12~Cuaca hari ini lebih indah dari kemarin, bunga-bunga yang kuncup kini mulai bermekaran, berwarna kuning, pink, juga putih menghias taman, embun pagi masih bermanja-manja dengan dedaunan, mushaf pink yang kupegang, tak ubahnya bunga-bunga tadi, menghiasi hati ini, indah saat kupandang menggoda hati untuk segera bermanja-manja dengan isi di dalamnya. Dengan Al-qur’an hati ini bisa tenang, hati yang sempit menjadi lapang, suasana hati tenteram menentramkan suasana sekitar sebab diikuti jernihnya pikiran. Mukenah putih yang kupakai menutup seluruh tubuhku, hingga angin saja tak dapat melihat, tubuh ini hangat dengan belaian lembut mukenah panjang. Aku tetap ingin menikmati masa-masa sebelum aku mengubah status santriku menjadi seorang istri, yang seb