“Mencintaimu laksana membangun kokohnya rumah dengan nuansa biru haru kesabaran.”
~Novita_A12~“Ku putuskan satu impianAku ingin jadi hafiz Qur’anKu akan bertahan Walau sulit melelahkanAllah beri aku kekuatanKu impikan Sepasang mahkotaKu berikan di akhirat kelakSebagai pertanda Bahwa kau sangat ku cintaAku cinta engkau karena AllahReff:Ku cinta UmmiKu cinta AbiKu harap do’amu Selalu dalam hatiBerharap bersamaDi surga-Nya nantiI love you UmmiI love AbiI love my familyForever in my heart...” Bunyi speaker aktif di kamarku. Ku pasang dengan harapan bisa membantuku saat aku berada di rumah, untuk semakin efektif menghafal al-qur’an. Mengingat aku tidak dari pesantren tahfiz, sehingga aku harus menyiapkan hal-hal yang sekiranya selalu menjadi semangat baru.Gus Ans bergeming, sehingga aku pun cenderung pada tak mengeluarkan suara. Aku masih bingung memulai pembicaraan padahal hanya berbicara lewat telepon, entah apa yang membuat aku seakan merasa Gus Ans ada di hadapanku dengan wajah yang menurutku sedikit menakutkan. Aku memang tidak pernah dengar istilah Gus Ans garang, tapi melihat wajahnya saja, layaknya memaksa menatap sinar metahari, dan aku tidak mampu. “Kenapa diam?” Gus Ans memecahkan keheningan percakapan di antara aku dengannya.“Mmm, Gus Ans kan tidak bertanya apa-apa,” jawabku gagu.“Yasudah, saya tanya.” Ungkapan Gus Ans membuat hatiku semakin tak karuan, padahal aku berharap Gus Ans segera mengakhiri telepon. “Itu tadi suara apa?” Aku bingung, ku putar otakku sembari mengigit Headset berwarna putih. “Mmm, suara nopo, Gus?” “Itu tadi seperti suara speaker aktif ya? Atau kamu punya hp dua?” Aku mengehela napas lega. “Enggeh Gus, speaker aktif yang saya isi dengan beberapa muratal dan lagu religi.”“Kamu suka nasyid itu?”*Nasyid: Lagu“Enggeh, Gus.”“Kenapa?”“Tidak kenapa.”“Bagaimana?”“Tidak bagaimana, Gus.”“Hanna! Maksudku, kamu menghafal qur’an?”“Enggeh Gus, sedikit demi sedikit yang penting berusaha.”“Kapan khatam?"*Khatam: Selesai“Masih jauh Gus.”“Yasudah, nanti khatamin hafalannya di saya saja. Yasudah, gini saja ya, maaf saya mengganggu waktu kamu. Assalamu’alaikum.” Gus Ans langsung mematikan sambungan teleponnya. Padahal aku belum begitu paham dengan maksud Gus Ans tadi. Apa kaitannya antara hafalanku dengan mengkhatamkan bersama Gus Ans. “W*’alaikumussalam W*rahmatullah W*barakatuh. Apa Gus Ans akan membuat program baru di pesantren, ya?” tanyaku dalam hati. “Ah, sudahlah lihat nanti saja, daripada pusing.”Segera kuraih kembali mushfaku, sebelum aku rebahkan badan ini dan berdo’a untuk diberi rizki bisa bangun buat sholat tahajjud dan kembali mengulang hafalanku.***Pagi-pagi buta aku terbangun, tepatnya pukul 02:30. Pernah baca buku bahwa ketika bangun tidur hendaklah baca 10 ayat terakhir dari surat Ali-Imron awali dengan istighfar kemudian basmalah. Segera beranjak ke kamar mandi. Setelah dari kamar mandi, kupakai sedikit wewangian guna mengiringi simpuhan malamku yang tenang.Entah kenapa pagi-pagi buta seperti ini yang sangat aku sukai, dimana polusi belum mencemari dan bising pun masih sama-sama membisu turut membisu seperti bisunya burung-burung berkicau di dekat persawahan sana. “Allahumma Sahhillanaa Fil Qur’an Fii Hifdzihi W* muraja,atihi W*ta’allumihi W*ta’limihi W*fahmihi W*tabarruki Fihi W*j’alhu Syafii’an lanaa Fiid Daaraini Bisyafaa’ati Sayyidis Tsaqalain Yaa Rasulaallah Innaa Natawasaalu bika Ilaa Rabbinaa Fii Qadhaai Haajaatina Isyfa’ lana, Isyfa’ lanaa,isyfa’lanaa,” Aku akhiri do’aku hari ini dengan do’a seperti ini, mengenai artinya aku tidak terlalu paham, aku hanya pernah baca di sebuah buku bahwa do’a ini adalah do’a agar dimudahkan dalam menghafal al-qur’an.Saat kutekadkan membaca do’a tersebut buat pertama kali, aku yakin ini adalah do’a yang sangat bagus, dan saat itu juga aku berharap bahwa kelak suamiku yang akan menuntunku menjelaskan arti dari do’a ini. Aku berjalan menuju kalender di atas mejaku, sekarang adalah tanggal 12 dan beberapa hari lagi akan tiba saat mengembalikan seserahan lamaran kepada keluarga Gus Ans, dan saat itu juga akan ditetapkan mengenai pernikahan kami.Tiba-tiba aku teringat percakapan singkat di telepon semalam, entah kenapa hati bertambah yakin kalau aku bisa membangun rumah tangga dengan penuh cinta, walau sejatinya antara yakin dan tidaknya masih fivety fivety. Segera ku tepis semua pemikiran yang mulai mengarah pada keraguan. Aku beranjak keluar dari kamarku, dan memulai membantu Ibu dari urusan bersih-bersih hingga memasak. *** Pov: Ans“Umi! Aji tidak sarapan dengan kita?” tanyaku sembari menoleh ke arah kamar Aji. “Adikmu, Aji? Dia sedang keluar, katanya mau cari kado pernikahanmu, karena khawatir dia tidak bisa pulang saat dilaksanaknnya pernikahanmu dengan Hanna,” jawab Umi sambil merapikan masakan di meja yang tadi sudah dimasak oleh mbak santri. “Perniakah Ans kan masih lama Mi,” “Kata siapa masih lama? Abahmu menginginkan ketika keluarga Hanna kesini, maka kita menetapkan untuk mempercepat pernikahanmu. Kan, lebih cepat lebih baik.”Aku yang sedang asyik mengunyah roti, sontak tersedak. Aku tidak menyangka, padahal aku masih ingin berusaha mengenal Hanna terlebih dahulu, sebelum benar-benar aku harus selalu bersamanya. Dan aku rasa Hanna masih gugup berbicara denganku, apalagi harus selalu bersamaku, dengan Hanna yang tampak polos seperti itu apa dia sudah memikirkan hidup bersama denganku. Aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha segera sadar dari pikiran yang mulai kemana-mana. “Kenapa Gus?” Aku hanya tersenyum, kemudian Abah pun datang bergabung dengan kita di meja makan.“Adikmu mana Ans?” Aku yang semula duduk, sadar dengan kedatangan abah segera bangkit. Menunggu Abah duduk maka aku pun menyusul. “Aji keluar Bah,” jawab Umi sambil menuangkan air putih ke gelas di depan Abah. “Aji jadi berangkat enam hari lagi?” “Aji bilang semalam demikian Bah,”jelas Umi“Berangkat kemana Mi,” tanyaku kaget.“Adikmu Aji kan harus menyelesaikan S2nya, dan dia kemarin beritahu Umi kalau dia diterima untuk kuliah di Sudan.”Aku hanya tersenyum dan kembali menunduk. Abah, Umi, juga Aku kembali menikmati sarapan pagi ini, tampak sedikit berbeda karena Hanna sedang di rumahnya, sehingga yang masak adalah mbak santri yang lain. “Masakannya beda ya?” tanya Umi sedikit memecahkan keheningan.Aku dengan Abah hanya tersenyum, dengan Abah memandang ke arahku, mukaku terasa mengembang. “Yang masak bukan Hanna, kan Hanna masih mempersipkan untuk bertemu kamu enam hari lagi Ans.”“Oh, enggeh Mi, apa keberangkatan Aji tidak bisa ditunda? enam hari lagi kan ada prosesi antar lamaran dari keluarga Hanna.”“Tidak bisa Ans, karena adikmu sudah boking tiket jauh sebelum pertunanganmu dengan Hanna, jika dibatalkan kan kasihan,” Mendengar pernyataan yang agaknya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, aku kembali pasrah, walau sebenarnya aku menginginkan Aji ada bersamaku. Walau bagaimanapun kehadiran adik saat-saat seperti itu adalah hal yang pasti sangat membahagiakan. ***Enam hari kulalui dengan terasa begitu cepat, entah karena aku yang merasa belum siap atau karena memang satu hari sekarang berlalu begitu cepat dan tergantikan. Aku berharap iman ini masih tetap terjagakan dan terus berpegang teguh pada panji islam. Dan saat ini sudah H-2 dari hari akan datangnya Hanna ke rumahku, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan nanti, aku rasa lebih baik aku diam. “Kira-kira berapa jarak dari pertunagan ini menuju pernikaha, ya... Jika terlalu cepat, apa aku bisa mencintai Hanna dengan secepatnya pula. Hanna! Apakah mencintai itu perlu rumus? Jika iya, maka jelaskan padaku!” gumamku dalam hati. Bersambung...Jangan lupa vote and komen, ya, guys. Biar ngetiknya nambah mangats nih. ;)“Senyum itu mahal harganya, saat diberikan dari orang yang mencinta kepada yang dicinta.”~Novita_A12~Akhirnya aku sedikit lega, sebab bisa bernapas bebas di kamar, dan aku sendiri, sebab gus Ans lebih memilih istirahat di ruang tamu, padahal di sana ramai, aku yakin gus Ans tak akan betah beristirahat di tempat seperti itu. Tapi ada sedikit sedih, saat mengingat gus Ans bahkan tak tersenyum walau sedikit pun, tampak tidak ada pancaran bahagia dari wajahnya, akankah gus Ans menyesal telah menikah denganku. Tapi tidak ingin membicarakan hal ini kepadanya, aku khawatir saat dia capek seperti ini malah akan menimbulkan ke salah pahaman.“Hanna.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu. Segera aku berdiri, dan membukanya. Dan ternyata gus Ans, benar dugaanku, dia tidak mungkin bisa istirahat di tempat seperti itu, aku pun mempersilakan masuk, dengan pintu tidak aku tutup. Gus Ans membuka jaz hitam yang dia pakai, peci dia letakkan, terlihat ketampanan wajahnya semakin bertambah, sela
“Cinta sejati adalah cinta yang mampu mengikat dengan tali yang suci, tali pernikahan yang ikrarnya perlu pertanggung jawaban pada Sang Ilahi.”~Novita_A12~“Qabiltu Nikahaha watazwijaha bil mahril madzkuuri, Haaalan.”Air mata ini menetes mendengar ucapan yang Gus Ans ikrarkan. Kini aku berada di samping Umi, dengan gaun yang serba putih, dengan berbagai hiasan dan riasan di luar biasanya. Sontak gema sholawat memenuhi ruangan setelah Kiai membacakan do’a untuk kami berdua, aku pun langsung sungkem kepada Ibu dan Bu Nyai yang sedari tadi mendampingiku. Suasana ini tidak akan pernah aku lupakan, saat ikrar tadi diucap saat itu juga aku siap mengabdikan jiwa dan ragaku kepada suamiku, gus Asn. Aku berharap gus Ans menjadi perantaraku bisa meraih surga. Tiba-tiba teringat sebuah hadits yang pernah aku pelajari saat ibtida’ dulu, “Anna Ridhoz zauji huwa ridhollah wa ghadhobuz zauji huwa ghadhobullah(Sesungguhnya ridho suami adalah ridho Allah, dan murka suami adalah murka Allah.)”Akad
“Cinta itu kadang membingungkan, datang tak dengan tanda, hilang pun tiba-tiba.”~Tha~Kini hanya aku dan malam, kupandangi bintang, dengan rasa yang entah bagaimana yang tengah kurasakan, aku tiada bisa melukiskan, sedang dengan segera aku akan melaksanakan sebuah pernikahan, pernikahan yang kuanggap sakral dan sejak dulu aku membayangkan bahwa akan menikah dengan penuh gelimang rasa cinta. Namun, nyatanya tidak sesuai kenyataan. Aku menikah dengan tanpa ada rasa sama sekali, entah karena trauma masa lalu sehingga membuatku seakan hambar akan rasa cinta yang sebentar lagi akan mengikatku dengan ikatan pernikahan, dengan ikatan sakral yang suci berjanji kepada Ilahi rabbi.***Menikah menurutku bukan perihal yang main-main, aku hanya menginginkan menikah sekali seumur hidup, dan yang aku dambakan menikah dengan penuh rasa cinta sehingga menjadi perantara hidup bahagia, tetapi beda dengan yang saat ini kurasakan satu hari sebelum hari perniakahanku saja, rasa itu tak kunjung muncul di
“Patuh pada perintah orang tua adalah salah satu cara untuk kita menyicil dalam membalas jasanya, walau sejatinya sampai kapanpun jasanya tak akan sebanding dengan pengorbanannya.”~Novita_A12~Pov: Ans.Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang kurasa hambar, ada senyuman tapi tak mewakili persaan, perasaan ini merasakan ada sebuah keterpaksaan, tapi aku merasa tetap harus melakukan. Hari pernikahanku semakin dekat, dan aku belum ada persiapan perasaan sama sekali, platform sudah Umi pesan, dan kemungkinan untuk di rumah Hanna sudah terpasang, kami yang membiayai dengan ada separuh bantuan dari keluarga Hanna, sebab pernikahan yang cukup meriah ini, Umi yang menginginkan dan mengaturnya aku hanya ikut keputusan Umi dan Abah saja. “Ans!” Terdengar suara Umi memanggil dan langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Aku yang masih asik dengan pemandangan di luar sana menjawab dengan singkat saja. “Enggeh, Mi?” Aku tidak keluar kamar sebab pintuku memang terbuka dan langkah Umi me
“Menikah adalah sakral, maka untuk menikah harus dipersiapkan sebelumnya, sebab semua insan pasti menginginkan satu kali saja seumur hidup melakukan pernikahan.”~Novita_A12~Daun pacar itu kecil, tapi bukan berarti tidak bermanfaat, maka tidak ada alasan bagi seseorang meremehkan pada seorang yang lain hanya karena hal kecil, sebab hal sekecil apapun saat dicipta pasti sudah disiapkan beserta manfaatnya. Daun pacar memang tidak bisa di makan, tapi memiliki fungsi untuk menghias tangan. “Hanna, ada gunting?”tanya Zuhra.“Ada, buat apa?”jawabku yang masih berdiri meletakkan buku yang kubaca tadi. “Buat memotong daun-daun pacar ini, tentunya, Hanna.”Zuhra memang sedikit mudah kesal tapi kesalnya bukan berarti dia mudah marah, dia hanya menggerutu dengan sedikit nada meninggi, kesal. “Hehe, oke. Iya, nih.” Kuserahkan gunting itu padanya. “Oiya, apa perlu aku panggilkan mbak-mbak yang lain guna membantu kamu?”tanyaku pada Zuhra, sebab kasihan jika dia harus mengerjakan sendirian. Aku
“Cinta boleh saja seperti Henna, melekat di tangan berfungsi menghias pemandangan, tapi kekuatan cinta tidak bisa di ukur dengan lekatnya henna pada tangan sebab cinta sejati tak akan pernah luntur sekalipun dipaksa menjauhi.”~Novita_A12~Cuaca hari ini lebih indah dari kemarin, bunga-bunga yang kuncup kini mulai bermekaran, berwarna kuning, pink, juga putih menghias taman, embun pagi masih bermanja-manja dengan dedaunan, mushaf pink yang kupegang, tak ubahnya bunga-bunga tadi, menghiasi hati ini, indah saat kupandang menggoda hati untuk segera bermanja-manja dengan isi di dalamnya. Dengan Al-qur’an hati ini bisa tenang, hati yang sempit menjadi lapang, suasana hati tenteram menentramkan suasana sekitar sebab diikuti jernihnya pikiran. Mukenah putih yang kupakai menutup seluruh tubuhku, hingga angin saja tak dapat melihat, tubuh ini hangat dengan belaian lembut mukenah panjang. Aku tetap ingin menikmati masa-masa sebelum aku mengubah status santriku menjadi seorang istri, yang seb
“Setiap insan di dunia, pasti memiliki yang namanya cinta. Bedanya, ada yang mengungkapkannya, ada pula yang sebatas memendamnya, semua sesuai dengan caranya.”~Novita_A12~Malam dicipta agar insan dapat beristirahat dengan nikmatnya, setelah seharian bekerja, seharian mencoba berpikir akan kekuasan-Nya, maka dijadikan pada malam suasana yang tenang, jauh dari keramaian, dingin agar mendukung suasana turut hening, damai, tenteram dan menentramkan. Aku diam, melihat terangnya lentera malam, bersinar sehingga catatan yang kupegang dapat terlihat jelas dan dapat kulukiskan setiap luapan perasaan. Aku masih dengan meja kecilku, bisa kulipat saat sudah tak lagi membutuhkannya, tapi aku berharap semoga aku akan ditemukan orang yang akan mencintaiku bukan sekadar karena membutuhkanku, tapi murni ingin mmebimbingku juga mengajakku bersama menuju surga-Nya. Aroma bunga sedap malam yang ditanam di taman, semerbak memenuhi seisi ruangan, aku terbuai dengan aromanya mmebuat aku lupa bahwa aku s
Ada yang mengatakan bahwa jika ingin merasakan cinta maka harus tahu siapa yang hendak dicintainya, aku tahu tapi kenapa cinta itu tak kunjung aku rasakan. Apakah aku ini terlalu lemah untuk menemukan, ataukah cinta itu terlalu mungil sehingga netraku tak mampu menjangkau hingga ke angan, atau mungki cinta itu ibarat angin yang sama sekali tidak bisa secara kasat mata aku genggam. Pada intinya, cinta tak ubahnya misteri, tiba-tiba datang dan kemudian pergi. ***Jingga mulai menyapa, sebentar lagi malam menjadi tanda bahwa acara pernikahanku akan segera dilaksanakan, dan aku tetap dengan kubangan rasa yang sama sekali tidak kutemukan cinta di dalamnya. Segera ku larutkan rasa ini pada hafalan qur’an. Aku memuraja’ahnya berharap melalui perantaranya aku bisa mendapat petunjuk perihakl apa yang hendak aku laksankan, pernikahan. ***Setelah muraja’ah kurasa cukup, satu hari satu juz, maka aku raih kitab yang pernah kupelajari di pesantren, hanya ingin berusaha menyibukkan diri agar ti
Aku terngiang-ngiang perihal kejadian saat kajian, kenapa aku harus bertingkah konyol seperti itu. Tapi aku benar-benar khawatir terhadap gus Ans, rasa ini tidak bisa aku sembunyikan, jika pun aku harus nekad bertanya pada Bunyai itu pun tidak mungkin. Malu rasanya seorang wanita yang masih belum sah menjadi istrinya mengkhawatirkan putranya. Tiba-tiba sebuah kertas jatuh dari atas lemariku, dan itu surat yang kemarin aku selipkan di buku catatan. Aku pun ingat bahwa surat itu belum aku balas, langsung aku raih pulpen di tempat pensilku, segera aku mencoba merangkai kata-kata yang layak aku kirimkan pada gus Ans yang masih berstatus guruku. Setelah kurangkai tulisan itu, dan kurasa layak untuk aku kirimkan. Segera aku lipat, sedikit berbeda dengan surat dari gus Ans, surat dariku tidak aku beri parfum, biarkan wangi kertas itu menjadi saksi tulisan sebagai perwakilan rasa ini. ***Setelah surat itu siap, aku pun ke dapur pesantren dan biasanya ada beberapa santri putra yang turut