MasukGeng Jangan lupa bintang 5 nya buat Lily yaaaa mamacih
Setelah mengatakan itu, Ivy langsung pergi begitu saja meninggalkan David yang terluka. Ia panik, tapi tak lupa dengan ponsel yang baru saja dibelikan Bunga. Ivy juga meminta uang kepada Bunga dengan cara paksa. Ia tak peduli dengan tangisan Axel dan David yang berdarah-darah *** Di mansion. Ponsel Arsen yang ada di atas meja berdering. Tatapannya langsung tertuju ke ponselnya, begitu juga dengan Lily. Arsen mengambil ponselnya, begitu melihat nama Thomas terpampang di layar, Arsen segera menggeser tombol jawab sebelum menempelkan ponsel di telinga. “Pak, saya mendapat informasi soal Ivy. Dia berada di apartemennya dan sekarang Ivy kabur lagi setelah melukai Pak David.” “Apa?” Arsen sangat terkejut mendengar penjelasan Thomas. “Bagaimana bisa David terluka?” “Ivy menyerangnya dengan vas bunga sebelum kabur. Sekarang Pak David sudah dilarikan ke rumah sakit.” Arsen benar-benar tak menyangka kalau kejadian seperti ini akan terjadi. “Bagaimana dengan putranya?” tan
Bunga sudah keluar dari apartemen. Dia menoleh ke belakang, memastikan Ivy tidak mencurigai dan mengikutinya. Setelah memastikan aman. Bunga mengeluarkan ponselnya, lalu dia mendial nomor Thomas. Bunga dengan cemas menunggu panggilannya dijawab Thomas, begitu mendengar suara Thomas dari seberang panggilan, Bunga segera bicara. “Saya hanya ingin bertanya, kenapa Ivy bisa keluar dari penjara? Bukankah seharusnya dia dipenjara dan dihukum berat karena perbuatannya?” tanya Bunga. “Apa dia mendatangimu?” tanya Thomas dari seberang panggilan. “Iya, dia muncul di apartemen bersama Axel. Bahkan tadi dia berniat meminta ponsel saya untuknya. Untung saja saya berhasil mencegahnya atau dia akan tahu apa yang sudah saya lakukan kepadanya,” balas Bunga. “Hm … kalau begitu kamu berhati-hatilah. Hapus juga semua riwayat telepon dan kontak yang berhubungan denganku.” Bunga mengangguk-angguk sambil berucap, “Ya, saya mengerti.” Setelah menghubungi Thomas, Bunga menghela napas berat.
Bunga berusaha bersikap tenang.“Apa Anda terburu-buru? Kalau tidak, setelah ini akan saya berikan,” ucap Bunga agar Ivy tidak menyentuh ponselnya.Ivy menyipitkan mata karena Bunga kukuh tidak mau memberikan ponsel itu, Ivy terus memperhatikan gerak-gerik Bunga yang aneh, tetapi Ivy akhirnya bersikap biasa.“Baiklah,” katanya, “aku mau segera,” imbuhnya.Bunga bisa bernapas lega. Dia mencoba tetap tersenyum ke Ivy walau terlihat begitu dipaksakan.“Kamu masih bekerja di agensi?” tanya Ivy lagi.Bunga lagi-lagi meneguk ludah kasar karena pertanyaan Ivy. Dia sudah keluar dari agensi setelah Arsen memberinya uang banyak melalui Thomas. Tapi Ivy tidak boleh tahu, atau tamat riwayatnya.“Ah, ya. Tentu saja masih, mau dapat uang dari mana kalau saya tidak bekerja,” balas Bunga.Ivy mengangguk percaya. Dia duduk di dekat Bunga yang masih berberes-beres.“Bagaimana di penjara? Apa Anda masih bisa memakai barang haram itu?” tanya Bunga untuk menutupi kegugupannya. Dia berusaha bersikap biasa
Lily tampak gusar. “Berarti tadi yang kulihat tidak salah, Sayang. Itu memang Ivy,” ucap Lily begitu yakin setelah mendengar perkataan Audrey. Audrey bingung sampai menatap bergantian pada Lily dan Arsen yang saling tatap dengan ekspresi terkejut. Saat Arsen ingin membalas ucapan Lily, ponselnya lebih dulu berdering, membuat Arsen segera mengeluarkan ponsel dari saku jas, lalu melihat nama Thomas terpampang di layar. “Ini Thomas, dia pasti mau memberi informasi soal Ivy,” kata Arsen. “Kalau begitu segera jawab,” kata Lily tak sabaran. Arsen segera menggeser tombol jawab lalu menempelkan ponsel di telinga. “Halo, Pak.” Begitu mendengar suara Thomas dari seberang panggilan, Arsen langsung bertanya, “Bagaimana?” “Ternyata benar, Pak. Ivy membayar polisi agar bisa keluar dari tahanan. Sekarang dia tidak berada di dalam penjara.” Tatapan Arsen menajam mendengar penjelasan Thomas. “Dia benar-benar keterlaluan,” geram Arsen, “dan polisi-polisi itu, bagaimana bisa disuap agar mele
Hari berikutnya. Arsen pergi ke ARS seperti biasa. Dia kembali bekerja mengurus berkas-berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Arsen tampak biasa saja, hingga saat Thomas masuk ke dalam ruangannya, lalu kembali meletakkan tumpukan berkas di meja, Arsen berhenti membalikkan lembaran kertas dan tatapannya kini tertuju pada Thomas. “Ada apa, Pak?” tanya Thomas saat menyadari tatapan tak biasa dari atasannya ini. Arsen mengembuskan napas kasar, dia memijat keningnya sejenak, sebelum kembali menatap pada Thomas yang masih berdiri di depan meja, menunggu dirinya bicara. “Aku mulai lelah mengurus dua perusahaan sekaligus,” kata Arsen. Thomas diam sesaat, dia bisa melihat rasa lelah itu memancar dari sorot mata Arsen. “Jika seperti itu, apa tidak lebih baik dimarger saja perusahaannya agar lebih enak untuk Anda dalam mengelolanya?” tanya Thomas memberi usulan. Arsen lagi-lagi mengembuskan napas kasar, sebelum menjawab, “Aku takut kalau mertuaku salah paham.” Thomas terdiam lagi, menc
Mobil Arsen akhirnya sampai di mansion. Lily segera turun bersama Audrey disusul Arsen. “Hera, ajak Audrey mandi dulu, ya,” kata Lily saat Hera datang menyambut mereka. “Baik, Nona.” Hera mengangguk, lalu dia segera menggandeng tangan Audrey untuk diajak pergi ke kamar. Lily juga pergi ke kamarnya, saat Arsen masuk ke kamar, Lily langsung menghampiri kemudian bertanya, “Soal apa yang Audrey tanyakan tadi, kenapa kamu jawab begitu? Maksudnya apa?” Arsen tersenyum kecil mendengar pertanyaan Lily. “Tentu saja aku mau memberi pengertian dan pelajaran baik untuk Audrey,” balas Arsen. Lily mengerutkan kening, sampai dia kembali bertanya, “Pelajaran apa?” Arsen melangkah lebih dekat ke Lily, sambil memeluk pinggang Lily, Arsen menjelaskan. “Besok, Audrey libur, kan?” Lily mengangguk-angguk masih tak paham hubungan antara libur dengan nasib anak kecil tadi. “Agar Audrey paham, besok aku ingin mengajaknya ke panti asuhan,” ucap Arsen lagi. Lily terkejut, tapi juga senang dengan ide







