Laili berusaha fokus mengerjakan soal Ujian Nasional, di tengah kedukaan yang menghampirinya. Ini hari ketujuh kepergian sang ibu untuk selama-lamanya. Air mata Laili terus saja mengalir, saat sedikit saja menunduk untuk membaca soal ujian tersebut. Matanya berkabut, beberapa kali ia harus mengusap air mata dan air hidung yang turun bersamaan.
"Laili, kalau masih tidak bisa tenang, kamu boleh ke kamar mandi dahulu!" suara Pak Yudi yang kebetulan mengawas di ruangan X tempat Laili kini berada.
"Maaf, Pak. Saya bisa," ucap Laili dengan suara bergetar.
Ia kemudian berusaha kembali fokus, mencoba mengatur nafas naik dan turun secara teratur. Mengusap air matanya dengan tisu yang memang ia sudah sediakan. Laili melirik jam di dinding, masih empat puluh lima menit lagi dan ia baru menyelesaikan lima belas soal. Berkali-kali Laili beristigfar agar hatinya tenang.
Alhamdulilah, pukul dua belas siang, Laili keluar dari ruangan sebagai peserta terakhir. Untung saja Bu Amar yang saat itu kebetulan mengawas di ujian kedua, mau menunggu Laili hingga selesai. Bu Amar begitu memahami kesedihan yang dialamai Laili, yang kini benar-benar menjadi yatim piatu.
"Pulang dengan apa, Li?" tanya Bu Amar.
"Naik angkutan, Bu. Sepeda anak majikan saya sedang rusak," jawab Laili tanpa semangat.
"Ada ongkos tidak?" tanya Bu Amar lagi.
"Ada, Bu. Saya permisi ya, Bu," pamit Laili sambil mencium punggung tangan Bu Amar.
"Yang sabar ya," bisik Bu Amar sambil mengusap lengan Laili.
"Iya, Bu. Terimakasih." Laili menunduk, lalu segera berlalu dari hadapan Bu Amar, wali kelasnya. Ia tidak ingin semua orang iba padanya, ia harus kuat. Walaupun ia sendiri tak yakin, bisa atau tidak.
Kakinya seakan melayang di udara saat menapaki tanah. Laili sudah kehilangan semangat hidupnya, untuk apa ia sekolah tinggi, jika ibunya telah tiada. Semuanya sia-sia. Pandangannya menoleh, saat suara parau lelaki yang ia kenal, berada tidak jauh dari tempat ia berdiri saat ini. Benar saja, ada Danu di sana. Mantan pacarnya yang kini sedang bersenda gurau dengan seorang siswi kelas dua. Berwajah cantik, berkulit putih dan terlihat energik. Senyum keduanya tak lekang, bahkan saling menggenggam jemari satu sama lain. Hal yang tidak pernah ia lakukan dulu, saat masih menjalin hubungan dengan Danu.
Danu dan sang pacar menoleh pada Laili yang kini tersenyum tipis pada keduanya. Namun, bukannya dibalas dengan senyuman, mereka malah terlihat canggung sepersekian detik, untuk selanjutnya mereka melewati Laili seperti orang yang tidak dikenal. Air mata Laili yang belum kering, kini turun kembali. Kenapa Tuhan memberikan cobaan padanya di saat yang sama? Dua orang yang ia sayangi, pergi meninggalkan dirinya.
"Teh Laili!" suara Doni, anak majikannya terdengar dari arah depan. Benar saja, Doni sedang berada di dalam mobil sang papa, tengah melambaikan tangan padanya. Laili menghapus air mata, lalu bergegas menghampiri mobil majikannya yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah.
"Kenapa, Don?" tanya Laili.
"Eh, kok malah nanya. Ini lho, kita emang mau jemput Teteh," sahut Doni sambil memerintah Laili membuka pintu penumpang belakang. Laili menurut, ia membuka pintu penumpang belakang, lalu duduk dengan sedikit risih. Ini adalah pertama kalinya sang majikan menjemputnya. Ada apa ya? Laili bermonolog.
Mobil berjalan dengen kecepatan sedang membelah jalan ibu kota. Tidak ada pembicaraan di dalamnya, Laili kini memejamkan mata. Jujur, hati, pikiran, dan tubuhnya begitu lelah selama sepekan kepergian sang ibu. Sedangkan Doni asik bermain gadgetnya. Sesekali Arya melirik Laili yang masih saja berwajah sembab, dan mata tertutup. Jelas sekali terlihat, bahwa gadis remaja ini masih berkabung atas kematian sang ibu. Keluarga satu-satunya yang ia punya. Ada air mata yang tampak menetes di sudut matanya.
Arya Jovan, lelaki dewasa berusia tiga puluh delapan tahun menarik nafas panjang, lalu menghembuskan cepat, sambil mengusap wajahnya kasar ia kembali fokus pada jalanan padat merayap di depan sana. Tak lama, mobil berhenti di sebuah toko roti. Laili terbangun dari tidurnya, sambil mengucek kedua matanya, mencoba memperhatikan sekeliing.
"Li, tolong belikan roti untuk Nyonya!" ujar Arya sambil memberikan uang seratus ribu rupiah.
"Baik, Tuan. Roti yang biasakan?"
"Iya. Cepat ya!" pesan Arya pada Laili.
Laili turun dari mobil, lalu dengan setengah berlari masuk ke dalam toko roti langganan keluarga majikannya ini. Ia memilih beberapa roti yang biasa dibeli oleh majikannya. Lalu mengantre di kasir untuk membayar belanjaannya. Setelah membayar di kasir, Laili kembali berlari masuk ke dalam mobil.
"Ada semua?"
"Ada, Tuan."
Mobil kembali melanjutkan perjalan ke rumah keluarga Arya. Hanya perlu waktu lima belas menit, mereka telah sampai di pekarangan rumah. Ada seorang wanita paruh baya yang tengah menyuapi Dira, di teras rumah.
"Teh, itu Bik Kokom. Dia yang akan membantu Teteh mengerjakan pekerjaan rumah, betulkan, Pa?" ujar Doni sambil bertanya pada sang papa.
"Iya."
Ketiganya turun, Laili berjalan di belakang sang majikan, membiarkan lelaki di depannya lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sedangkan ia berhenti sebentar berkenalan dengan Bik Kokom, serta menggoda Dira yang sangat mengenalinya.
"Assalamualaikum, Bik. Saya Laili." Laili mengulurkan tangan untuk bersalam.
"Wa'alaykumussalam. Saya Bik Kokom." Keduanya berbasa-basi sebentar, kemudian Laili pamit masuk ke dalam rumah. Ia masuk ke dalam kamar yang kini harus berbagi dengan Bik Kokom. Cepat Laili mengambil pakaian ganti, lalu ia bawa ke kamar mandi. Setelah mandi, bersih, dan segar. Laili melanjutkan pekerjaan rumah yang biasa ia lakukan sepulang sekolah, yaitu mencuci piring, mengangkat pakaian dari jemuran, serta menjaga Dira.
"Teh Laili, dipanggil papa dan mama!" seru Anes dari lantai atas.
"Iya, De. Sebentar," sahut Laili sambil mematikan kran air dan mengeringkan tangannya. Kakinya melangkah ringan naik ke lantai atas, tempat di mana kamar majikan dan anak majikannya berada.
Tuk!
Tuk!"Masuk."
Laili membuka pintu kamar majikannya perlahan, sudah ada kedua majikannya di sana dengan wajah terlihat cukup serius.
"Duduk di sini saja!" Bu Ririn menepuk kursi kecil di samping tempat tidurnya. Laili yang tadinya ingin duduk di lantai, kini sudah berdiri dan duduk dengan kaku tepat di depan majikannya. Tuan Arya berwajah masam, sedangkan Nyonya Ririn tersenyum padanya.
"Ada apa ya, Nyonya?" tanya Laili sambil menunduk, ia tidak berani mengangkat wajahnya.
"Kamu mau tidak, menjadi maduku?"
"M-madu apa, Nya?" kali ini Laili menatap Bu Ririn dengan penuh tanda tanya.
"Istri kedua suamiku."
"A-apa?"
****
Arya membaringkan pelan tubuh Laili di atas ranjang baru miliknya yang berukuran tidak terlalu besar. Lelaki itu sangat ingin menunaikan kewajibannya malam ini, tapi juga sangat gugup. Arya khawatir Laili merasa kaget sekaligus kesakitan. Apa yang harus ia lakukan nanti jika hal itu benar terjadi? Dengan tangan gemetar dan sesekali melirik pintu, Arya memiringkaan wajah Laili agar mendekat padanya. Detak jantung istri mudanya itu bahkan terdengar begitu jelas ke dalam indera pendengarannya. Pertanda Laili dan dirinya sama-sama gugup. āKita harus belajar mencintai mulai hari ini,ā bisik Arya tepat di depan bibir Laili. Embusan napas keduanya seakan berlomba bagaikan habis berlari jauh. Pelan dan hati-hati, Arya mendekatkan bibirnya ke bibir Laili yang masih tertutup rapat bagaikan dilem. Dikecupnya tipis, lalu dirasakannya tubuh istri mudanya yang sedikit terlonjak kaget. āTak apa. Jangan takut. Ayo sini, lihat wajah saya,ā bisik Arya mesra dengan
Pesta pernikahan Laili dan Arya berlangsung meriah. Banyak sanak-saudara berkumpul dan banyak juga teman sejawat. Ya, setelah dua bulan Laili melahirkan bayi kembarnya secara normal, Arya memberikan pesat pernikahan meriah untuk Laili. Berikut dengan status sebagai istri yang sah secara agama dan negara.Senyum lebar Laili terus saja mengembang di atas pelaminan sana. Dengan gaun pernikahan putih modern ala boneka, Laili tampil sangat cantik. Bahkan sang suami tak bisa berpaling dari melirik istri mudanya yang sangat cantik. Tak lupa dua bayi kembar mereka ikut berada di dalam keranjang bayi dihias begitu cantik, berdampingan dengan kursi pengantin.Banyak ucapan selamat, serta pujian yang tamu berikan pada Laili dan Arya. Tak elak lagi, Arya menjadi bulan-bulanan teman-teman seumurannya karena berhasil mendapatkan daun muda yang sangat cantik. Suasana meriah, mewah, serta ramah, begitu mengesankan bagi siapa saja yang menghadiri pernikahan Laili dan Arya. Banyak makan
Acara peresmian toko akseseoris Laili berjalan dengan lancar, walaupun hanya berlangsung selama satu jam. Bayi Maura dan Maira yang masih sangat kecil membuat Arya dan Laili tak mau berlama-lama di sana. Setelah potong pita dan makan cake bentuk jepitan rambut, mereka semua kembali ke rumah dengan hati senang. Laili bahkan tak henti melirik suaminya dengan tatapan penuh sukur.Mimpi apa ia kemarin, sehingga mendapat kejutan yang sangat istimewa dari suaminya. Kapan suaminya menyiapkannya? Padahal suaminya tak pernah lembur di luar semenjak ia melahirkan."Pa, terimakasih," ucapnya dengan mata kembali berkaca-kaca."Bunda sukakan?""Anes juga suka, Pa. Sukaa ... banget," potong Anes dengan seringai lebar. Di tangannya ia sedang memilin kunciran rambut motif hello kity."Kalau Bunda repot urus dedek bayi kembar, biar Anes yang di toko ya," ujar Anes dengan polosnya."He he he ... Mau ngapain Anes di toko?""M
"Pa, mau BAB ini!" rintih Laili yang kini sudah berbaring gelisah di brangkar kamar bersalin."Tahan, Sayang. Memang seperti itu, sabar ya." Arya berusaha menenangkan dengan mengusap rambut Laili dengan lembut."Uuh ... Pa, ini mau cepirit beneran!" Laili gelagapan dengan rasa mulas yang mirip seperti mulas ingin BAB."Pa." Keringat bercucuran dengan deras, membasahi kening dan lehernya, padahal ruangan bersalin memiliki pesnin pendingin ruangan yang cukup baik."Eeeemm ....""Jangan ngeden ya, Mbak. Masih pembukaan enam, sabar ya. Empat pembukaan lagi," terang suster sambil tersenyum."Sus, ini bukan mules mau lahiran kayaknya. Saya mau BAB beneran, Sus. Tolong! Masa saya BAB di sini? Pa, uuh ... Mules, Pa. Mau BAB beneran, Pa," rengek Laili kimi dengan derai air mata."Ssst ... Jangan buang tenaganya! Sabar, tahan sedikit lagi.""Papa sabar,sabar terus. Sini Papa aja yang gantiin, ih ... Orang sakit beneran ini. Pokokny
Arya masih terus memandangi wajah istrinya yang pucat pasi dengan luka di kening. Sudah tiga jam berlalu dan Laili belum sadar juga. Untunglah luka Laili tidak terlalu parah, hanya saja sepertinya Laili syok berat dengan kecelakaan yang menimpa dirinya dan juga Ririn. Kandungan Laili juga sudah di cek, kedua janinnya aman walau tadi sempat ada benguran cukup hebat.Keduanya ditabrak oleh motor yang dikemudikan oleh orang mabuk. Motor lelaki besar, menghantam kedua wanita itu hingga terpental. Jika Laili terpental ke trotoar, maka Ririn terpental hingga menubruk tiang listrik yang ada di seberang, dengan kondisi sekarang kritis. Pelaku penabrakan sudah digelandang ke kantor polisi dterdekat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya yang lalai, hingga mengakibatkan nyawa orang lain hampir melayang."Pa.""Ya Allah, alhamdulillah, Bunda udah sadar." Arya lega melihat Laili membuka mata."Haus, Pa," rengek Laili dan sigap Arya mengambilkan minum untuk istrin
Sehari pulang dari rumah sakit, Laili sudah benar-benar berdamai dengan suaminya dan sangat menikmati perannya sebagai istri dari Arya Jovan, apalagi saat pagi hari seperti ini. Entah dari mana datangnya, ataukah bawaan hamil semata. Untuk pertama kalinya, Laili memakaikan suaminya pakaian dalam, kaus, dan juga celana panjang, tak lupa memasang gesper sebagai pelengkap ketampanan pria dewasa.Mirip saat Laili memakaikan Anes baju, begitulah yang ia lakukan pada suaminya. Arya tak sedikit pun menolak, lelaki itu malah tertawa-tawa saat yang dilakukan Laili, menurutnya sangat konyol tapi mengasikkan. Yang lebih menggelikan lagi adalah, Arya dipakaikan minyak telon lengkap dengan bedak tabur. Mulai dari perut, dada, punggung, hingga leher. Sehingga harum Arya seperti harumnya Dira. Apa Arya protes? Tidak. Ia lebih mengikuti maunya Laili, dari pada istrinya stres dan berakibat fatal pada kandungannya."Dah, selesai," kata Laili sembari menepuk tangannya yang penuh de
Laili tidak banyak bersuara pagi ini. Dia masih merasa takut dengan suaminya. Sedangkan Arya sudah bersikap biasa saja dan dia tidak paham jika sang istri masih ketakutan dengan dirinya. Arya keluar dari kamar mandi dan mendapati kemeja kerja dan celana bahan warna hitam sudah ada di atas ranjang. Namun tidak ada istrinya di sana. Biasanya, Laili selalu bertanya, mau pakai kemeja apa hari ini. Namun pagi ini, Laili belum bicara apapun sejak bangun tidur.Arya memakai baju kerjanya dengan cepat, lalu berjalan keluar kamar, menghampiri Doni, Anes, dan juga Laili yang sudah siap di meja makan. Arya mengambil posisi di sebelah Doni, karena Laili memilih duduk di sebelah Anes. Biasanya, Laili selalu duduk di sampingnya."Ayo dimakan," katanya sambil tersenyum tipis penuh paksaan. Anes dan Doni menyendok sendiri sarapannya, setelah mereka selesai, baru Laili menyendokkan nasi untuk Arya dan juga untuknya. Doni memperhatikan Papa dan Bunda tirinya bergantian. Mulut Laili tert
"Assalamualaykum. Permisi, Nyonya," tegur Laili yang sudah berdiri di depan pintu. Alex dan Ririn melepas ciumannya, lalu terbelalak melihat Laili yang tergugu di depan pintu, dengan membawa tas pakaian."Wa'laykumussalam. Mari masuk Laili," ajak Alex, Laili menurut. Kakinya melangkah pelan masuk ke dalam kamar isolasi Dira."Dira bagaimana kabarnya, Nya?""Gak perlu kamu tahu! Mau apa kemari?" Laili terdiam saat Ririn masih saja bicara ketus padanya."Mau antar pakaian ganti Nyonya. Bau ketek nanti kalau gak ganti baju," terang Laili sambil menyerahkan tas jinjing berisi pakaian Ririn."Sudah selesaikan? Udah sana pergi!" usir Ririn."Iya, saya juga mau pergi. Gak mungkin saya mau gangguin yang pacaran," sahut Laili membuat Alex tertawa."Laili, kamu jangan bingung ya, saya memang akan menikahi Ririn setelah perceraiannya dengan Arya selesai. Kamu dengan Arya, aman. Saya pun dengan Ririn, aman. Begitukan, Sayang?"
Ririn menangis tersedu, saat Dira jatuh, kemudian pingsan. Berselang sepuluh menit, Dira sadar, kemudian Dira mengalami muntah-muntah dengan suhu tubuh kembali naik. Bayi itu kejang, hingga tiga kali. Membuat Laili ikut menangis sekaligus lemas. Ia tak sampai hati melihat Dira yang terbujur kaku di atas brangkar dengan jarum infus di punggung tangannya. Dira mengalami pendarahan dalam otaknya.Jangankan Laili, Arya pun ikut meneteskan air mata. Sungguh kasihan Dira jika memiliki ibu bertabiat tak baik seperti Ririn. Tidak, ini bukan Ririn, Arya bahkan tak mengenali sosok wanita yang pernah menjadi istrinya ini."Semua gara-gara kalian," lirih Ririn sambil menatap tajam Laili serta Arya."Apa maksudmu?" tanya Arya dengan suara tak suka."Seandainya wanita pelakor ini tak ikut-ikutan menggendong Dira, tentu anakku tak jadi seperti ini, hiks.""Sampai kapan Nyonya akan menyalahkan saya? Apa menunggu ada anggota keluarga yang merenggang nyawa? Se