Share

Bab 4. Aku hanya ingin bebas dari rumah ini.

"Apa kamu sudah gila menikahi wanita yang tak jelas asal usulnya. Jika orang-orang sampai mengetahui hal ini! Mamah tidak bisa membayangkannya." Caterina menekan tombol kursi rodanya, lalu pergi dengan wajah kecewa.

Amira pun segera menghampiri Marc, "Maaf Om, aku harus pergi. Aku tidak mau terlibat dalam urusan keluarga Om."

Amira melangkah melewati Marc yang berdiri di bibir pintu, namun langkah kakinya harus terhenti karena Marc menarik tangannya.

"Setelah suasana semakin kacau, kamu ingin pergi begitu saja?" tanya Marc tanpa melihat lawan bicaranya.

"Bukan begitu Om," bantah Amira.

"Aku tidak menerima alasan apapun, kamu harus tetap tinggal di rumah ini sampai anak itu lahir." Marc melepaskan tangan Amira, lalu pergi.

"Ya Tuhan, ini ujian apa cobaan? Masalah yang satu saja belum selesai, sekarang malah timbul masalah baru. Amira, Amira, kamu benar-benar ceroboh, kenapa harus menuruti perintah Marc! Sekarang kamu jadi terjebak di lobang yang salah," ucap dalam batin Amira, sambil menatap punggung Marc yang sedang menaiki anak tangga menuju lantai tiga.

....................

Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, Amira satu hari penuh hanya berdiam diri di dalam kamar, sebab Marc melarangnya ke luar dari  sana bahkan pria tampan berusia 40 tahun ini meminta seorang pengawal untuk berjaga di depan pintu.

"Iya Mam, sebentar lagi aku ke sana."

Kata-kata itu menyambut Marc yang baru muncul dari balik pintu.

"Kamu tidak boleh pergi," ucap Marc dengan santai.

"Eh, Om." Amira segera memutuskan sambungan teleponnya, lalu menaruh ponselnya di atas meja.

"Mulai hari ini kamu tidak perlu lagi bekerja, aku akan memberimu uang bulanan." Marc melangkah menuju lemari kecil yang terletak di samping tempat tidur.

Ia meraih sesuatu dari sana lalu memberikannya kepada Amira, "Pakailah kartu ini" ucapnya.

Amira sempat terdiam, ia memperhatikan kartun berwarna hitam yang diberikan Marc. Amira tahu kartu itu bisa ia gunakan untuk berbelanja sesuka hati, tetapi hal itu tidak membuat Amira lupa akan seseorang yang jauh di seberang sana.

"Maaf Om, aku tidak butuh ini," tolak Amira sambil mengembalikan kartu ke tangan Marc.

"Apa kamu butuh uang cash?" tanya Marc.

"Tidak, aku hanya ingin bebas dari rumah ini dan kembali bekerja seperti biasa. Aku mohon, tolong jangan bawa aku dalam masalahmu." Amira menyatukan kedua telapak tangannya.

Marc menghela napas kasar, "Kamu hanya menambah masalah jika meninggalkan rumah ini. Bukan masalah untukku, tapi masalah untuk dirimu sendiri." 

Marc mengingatkan Amira, namun wanita cantik itu mengabaikannya. Ia meraih tasnya yang terletak di atas meja rias, lalu memasukkan ponselnya ke dalam sana dan bergegas ke luar dari kamar.

Amira baru saja menuruni anak tangga, tiba-tiba seorang wanita cantik muncul dari pintu utama. Wanita itu menghampiri Caterina yang duduk di ruang tamu, keduanya pun terlihat akrab. Seketika itu juga ponsel Amira bergetar.

"Amira, kapan kamu gajian? Tagihan rumah sakit harus segera dibayar." Pesan yang masuk di ponsel Amira.

Amira mendengus, ia memutar langkahnya lalu kembali ke kamar. Tentu hal itu membuatnya malu, bahkan tak sanggup untuk menegakkan kepala.

"Aku tahu kamu pasti kembali," ucap Marc yang duduk di sofa sambil memainkan ponsel.

"Iya, aku tidak akan meninggalkan rumah ini. Tapi! Kamu harus memberiku uang," sahut Amira sambil melangkah menghampiri Marc.

Marc tersenyum, "Berapa yang kamu butuhkan?"

"Tiga puluh juta," jawab Amira tanpa ragu-ragu.

"Baiklah, tapi ingat! Bersikaplah menjadi istri yang baik dan patuh kepada suami," tegas Marc.

"Iya, aku berjanji akan menuruti semua perintah Om. Tapi Om harus memberiku uang setiap bulan." Amira pun tidak kalah tegas.

Keduanya membuat kesepakatan, Amira berjanji akan bersikap layaknya seorang istri dan akan meninggalkan kediaman Louis setelah anaknya lahir. Begitu juga dengan Marc, pria tampan itu berjanji tidak akan menyentuh Amira dan memberinya uang bulanan.

"Permisi Tuan," ucap seorang pelayan seiring dengan ketukan pintu.

Amira dan Marc refleks memutar kepala ke arah datangnya suara.

"Makan malam sudah siap, nyonya besar dan nona Karra sudah menunggu di meja makan, Tuan," lanjut pelayan.

"Hum," sahut singkat Marc.

Berbeda dengan Amira, mendengar nama Karra membuatnya teringat akan perdebatan Marc dengan ibunya tadi pagi. 

"Kamu kenapa?" tegur Marc karena Amira menatap kosong ke arahnya.

"Ah, tidak apa-apa Om," sahut Amira.

"Jangan memanggilku Om." Nada itu terdengar tegas di telinga Amira.

Keduanya pun meninggalkan kamar, melangkah menuju ruang makan yang terletak di lantai satu. Dari kejauhan Amira sudah melihat dua orang wanita duduk di meja makan, kedua wanita itu menatapnya dengan tatapan tajam.

"Selamat malam Marc," sapa wanita yang bernama Karra.

"Malam Karra," sahut Marc dengan nada datar.

"Oh iya, wanita ini siapa?" tanya Karra.

"Dia Amira, istriku," jawab Marc sambil menarik bangku untuk Amira.

Tentu sikap Marc membuat Amira semakin gugup, ia tidak menyangka pria tampan itu akan memperlakukannya layaknya ratu. Sebaliknya juga ia merasa takut, karena Caterina tidak berhenti menatapnya sejak tadi.

"Oh ya," sahut singkat Karra, ia bangkit dari tempatnya, lalu menyodorkan tangannya dan disambut oleh tangan Amira.

"Amira," ucap Amira memperkenalkan dirinya, sambil tersenyum ramah.

"Karra, tunangan Marc," balas Karra dengan senyum seribu arti.

Amira hanya tersenyum merespon ucapan Karra,  wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan rasa cemburu ataupun marah. Tentu hal itu membuat Caterina semakin kesal, ia meminta Karra datang ke sana hanya untuk membuat Amira cemburu.

Setelah selesai makan, Marc dan Caterina terlebih dahulu meninggalkan meja makan. Sedangkan Amira melangkah menuju dapur dan diikuti oleh Karra.

"Amira," panggil Karra yang membuat Amira memutar tubuh.

"Iya," sahut singkat Amira.

"Bisakah kita bicara sebentar?" ajak Karra yang langsung melangkah menuju balkon.

Amira terlebih dahulu menaruh piringnya di atas wastafel, membasuh tangannya dengan sabun lalu menghampiri Karra.

"Kamu terlalu percaya diri menikah dengan Marc." Kata-kata itu terlontar dari mulut Karra setelah Amira mendaratkan bokongnya di atas kursi.

"Apa kamu tidak sadar siapa dirimu? Kamu itu tidak selevel dengan keluarga Louis, Nyonya Amira," lanjut Karra.

Nada bicara Karra benar-benar berubah seratus persen, wajahnya terlihat kesal dan marah.

"Aku tahu itu, tapi mau bagaimana lagi! Aku dan Marc saling mencintai." Amira berusaha memberanikan diri.

"Cinta?" tanya Karra dengan nada mencibir sambil tersenyum mengejek. "Kamu mencintai orang yang salah Amira! Lebih baik akhiri hubunganmu dengan Marc, sebelum kamu menyesal. Karena sampai kapanpun keluarga Louis tidak akan pernah menerima kamu sebagai menantu di rumah ini," lanjutnya.

============

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status