"Apa kamu sudah gila menikahi wanita yang tak jelas asal usulnya. Jika orang-orang sampai mengetahui hal ini! Mamah tidak bisa membayangkannya." Caterina menekan tombol kursi rodanya, lalu pergi dengan wajah kecewa.
Amira pun segera menghampiri Marc, "Maaf Om, aku harus pergi. Aku tidak mau terlibat dalam urusan keluarga Om."
Amira melangkah melewati Marc yang berdiri di bibir pintu, namun langkah kakinya harus terhenti karena Marc menarik tangannya.
"Setelah suasana semakin kacau, kamu ingin pergi begitu saja?" tanya Marc tanpa melihat lawan bicaranya.
"Bukan begitu Om," bantah Amira.
"Aku tidak menerima alasan apapun, kamu harus tetap tinggal di rumah ini sampai anak itu lahir." Marc melepaskan tangan Amira, lalu pergi.
"Ya Tuhan, ini ujian apa cobaan? Masalah yang satu saja belum selesai, sekarang malah timbul masalah baru. Amira, Amira, kamu benar-benar ceroboh, kenapa harus menuruti perintah Marc! Sekarang kamu jadi terjebak di lobang yang salah," ucap dalam batin Amira, sambil menatap punggung Marc yang sedang menaiki anak tangga menuju lantai tiga.
....................Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, Amira satu hari penuh hanya berdiam diri di dalam kamar, sebab Marc melarangnya ke luar dari sana bahkan pria tampan berusia 40 tahun ini meminta seorang pengawal untuk berjaga di depan pintu."Iya Mam, sebentar lagi aku ke sana."
Kata-kata itu menyambut Marc yang baru muncul dari balik pintu.
"Kamu tidak boleh pergi," ucap Marc dengan santai.
"Eh, Om." Amira segera memutuskan sambungan teleponnya, lalu menaruh ponselnya di atas meja.
"Mulai hari ini kamu tidak perlu lagi bekerja, aku akan memberimu uang bulanan." Marc melangkah menuju lemari kecil yang terletak di samping tempat tidur.
Ia meraih sesuatu dari sana lalu memberikannya kepada Amira, "Pakailah kartu ini" ucapnya.
Amira sempat terdiam, ia memperhatikan kartun berwarna hitam yang diberikan Marc. Amira tahu kartu itu bisa ia gunakan untuk berbelanja sesuka hati, tetapi hal itu tidak membuat Amira lupa akan seseorang yang jauh di seberang sana.
"Maaf Om, aku tidak butuh ini," tolak Amira sambil mengembalikan kartu ke tangan Marc.
"Apa kamu butuh uang cash?" tanya Marc.
"Tidak, aku hanya ingin bebas dari rumah ini dan kembali bekerja seperti biasa. Aku mohon, tolong jangan bawa aku dalam masalahmu." Amira menyatukan kedua telapak tangannya.
Marc menghela napas kasar, "Kamu hanya menambah masalah jika meninggalkan rumah ini. Bukan masalah untukku, tapi masalah untuk dirimu sendiri."
Marc mengingatkan Amira, namun wanita cantik itu mengabaikannya. Ia meraih tasnya yang terletak di atas meja rias, lalu memasukkan ponselnya ke dalam sana dan bergegas ke luar dari kamar.
Amira baru saja menuruni anak tangga, tiba-tiba seorang wanita cantik muncul dari pintu utama. Wanita itu menghampiri Caterina yang duduk di ruang tamu, keduanya pun terlihat akrab. Seketika itu juga ponsel Amira bergetar.
"Amira, kapan kamu gajian? Tagihan rumah sakit harus segera dibayar." Pesan yang masuk di ponsel Amira.
Amira mendengus, ia memutar langkahnya lalu kembali ke kamar. Tentu hal itu membuatnya malu, bahkan tak sanggup untuk menegakkan kepala.
"Aku tahu kamu pasti kembali," ucap Marc yang duduk di sofa sambil memainkan ponsel.
"Iya, aku tidak akan meninggalkan rumah ini. Tapi! Kamu harus memberiku uang," sahut Amira sambil melangkah menghampiri Marc.
Marc tersenyum, "Berapa yang kamu butuhkan?"
"Tiga puluh juta," jawab Amira tanpa ragu-ragu.
"Baiklah, tapi ingat! Bersikaplah menjadi istri yang baik dan patuh kepada suami," tegas Marc.
"Iya, aku berjanji akan menuruti semua perintah Om. Tapi Om harus memberiku uang setiap bulan." Amira pun tidak kalah tegas.
Keduanya membuat kesepakatan, Amira berjanji akan bersikap layaknya seorang istri dan akan meninggalkan kediaman Louis setelah anaknya lahir. Begitu juga dengan Marc, pria tampan itu berjanji tidak akan menyentuh Amira dan memberinya uang bulanan.
"Permisi Tuan," ucap seorang pelayan seiring dengan ketukan pintu.
Amira dan Marc refleks memutar kepala ke arah datangnya suara.
"Makan malam sudah siap, nyonya besar dan nona Karra sudah menunggu di meja makan, Tuan," lanjut pelayan.
"Hum," sahut singkat Marc.
Berbeda dengan Amira, mendengar nama Karra membuatnya teringat akan perdebatan Marc dengan ibunya tadi pagi.
"Kamu kenapa?" tegur Marc karena Amira menatap kosong ke arahnya.
"Ah, tidak apa-apa Om," sahut Amira.
"Jangan memanggilku Om." Nada itu terdengar tegas di telinga Amira.
Keduanya pun meninggalkan kamar, melangkah menuju ruang makan yang terletak di lantai satu. Dari kejauhan Amira sudah melihat dua orang wanita duduk di meja makan, kedua wanita itu menatapnya dengan tatapan tajam.
"Selamat malam Marc," sapa wanita yang bernama Karra.
"Malam Karra," sahut Marc dengan nada datar.
"Oh iya, wanita ini siapa?" tanya Karra.
"Dia Amira, istriku," jawab Marc sambil menarik bangku untuk Amira.
Tentu sikap Marc membuat Amira semakin gugup, ia tidak menyangka pria tampan itu akan memperlakukannya layaknya ratu. Sebaliknya juga ia merasa takut, karena Caterina tidak berhenti menatapnya sejak tadi.
"Oh ya," sahut singkat Karra, ia bangkit dari tempatnya, lalu menyodorkan tangannya dan disambut oleh tangan Amira.
"Amira," ucap Amira memperkenalkan dirinya, sambil tersenyum ramah.
"Karra, tunangan Marc," balas Karra dengan senyum seribu arti.
Amira hanya tersenyum merespon ucapan Karra, wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan rasa cemburu ataupun marah. Tentu hal itu membuat Caterina semakin kesal, ia meminta Karra datang ke sana hanya untuk membuat Amira cemburu.
Setelah selesai makan, Marc dan Caterina terlebih dahulu meninggalkan meja makan. Sedangkan Amira melangkah menuju dapur dan diikuti oleh Karra.
"Amira," panggil Karra yang membuat Amira memutar tubuh.
"Iya," sahut singkat Amira.
"Bisakah kita bicara sebentar?" ajak Karra yang langsung melangkah menuju balkon.
Amira terlebih dahulu menaruh piringnya di atas wastafel, membasuh tangannya dengan sabun lalu menghampiri Karra.
"Kamu terlalu percaya diri menikah dengan Marc." Kata-kata itu terlontar dari mulut Karra setelah Amira mendaratkan bokongnya di atas kursi.
"Apa kamu tidak sadar siapa dirimu? Kamu itu tidak selevel dengan keluarga Louis, Nyonya Amira," lanjut Karra.
Nada bicara Karra benar-benar berubah seratus persen, wajahnya terlihat kesal dan marah.
"Aku tahu itu, tapi mau bagaimana lagi! Aku dan Marc saling mencintai." Amira berusaha memberanikan diri.
"Cinta?" tanya Karra dengan nada mencibir sambil tersenyum mengejek. "Kamu mencintai orang yang salah Amira! Lebih baik akhiri hubunganmu dengan Marc, sebelum kamu menyesal. Karena sampai kapanpun keluarga Louis tidak akan pernah menerima kamu sebagai menantu di rumah ini," lanjutnya.
============"Aku yakin, suatu saat mereka pasti menerimaku."Jawaban Amira membuat amarah Karra memuncak. Wanita cantik bertubuh tinggi itu meremas seluruh jari lentiknya, sungguh ia tak menyangka Amira berani menantangnya."Kamu begitu yakin?" tegas Karra."Kamu di sini?" Terdengar suara bariton Marc, "Sayang, angin malam tidak baik untuk wanita hamil," lanjutnya berpura-pura mesra.Jantung Amira seketika berdegup kencang mendengar Marc memanggilnya sayang. Bahkan ia sulit untuk menelan saliva, tetapi Amira berusaha tetap tenang agar Karra tidak curiga."I..iya Mas," sahut Amira dengan senyuman manis, "Aku masuk dulu ya?" lanjutnya pamit kepada Karra.Karra mengangguk sambil tersenyum paksa, matanya menatap punggung Amira yang sedang melangkah sambil bergelayut di lengan Marc. Ingin rasanya menghajar Amira habis-habisan, memberi pelajaran kepada wanita hamil itu. Tetapi Karra tidak mungkin melakukan hal itu di hadapan Marc.Mau tidak mau, Karra harus tetap terlihat baik dan sopan. Menunjukkan si
pria tampan itu hanya melilitkan handuk berwarna putih di pinggulnya, sehingga menunjukkan tubuh bagian atasnya yang begitu sixpack bak roti sobek. Wanita manapun yang melihatnya pasti akan terlena, begitu juga dengan Amira! Tanpa sadar ia menatap Marc dari ujung kaki hingga ujung kepala, sambil menelan saliva dengan susah paya."Jangan menatapku seperti itu, nanti kamu jatuh cinta," tegur Marc yang membuat Amira malu dan salah tingkah."Ma...ma...maaf Om," ucap Amira yang langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Melihat Marc bertelanjang dada membuat jantung Amira berdegup kencang, dan mengigat seseorang. Dada itu tidak jauh berbeda dengan pria yang sudah menghamilinya, sayangnya Amira tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena malam itu suasana kamar benar-benar gelap tanpa adanya cahaya lampu. Pada saat ia terbangun di pagi hari, pria itu sudah tak ada lagi di sampingnya."Marc, Marc."Amira terperanjat mendengar suara teriakan Caterina memanggil Marc. Ia bergegas ke lu
Tanpa terasa benda bulat yang tertempel di tembok menunjukkan pukul 7 malam. Di mana saat ini keluarga Louis sudah berkumpul di meja makan, hanya Amira yang tak ada di sana."Hanum," panggil Marc."Iya Tuan." Hanun segera menghampiri Marc."Panggilkan nyonya ke kamar," perintah Marc.Caterina refleks menghela napas kasar, selera makannya tiba-tiba hilang membayangkan wajah Amira."Mamah kenapa?" tanya Marcell yang duduk di samping Caterina."Tidak apa-apa," jawab singkat Caterina.Walupun Caterina tidak mengatakan apapun, Marc sudah tahu ada apa dengan ibunya. Sebenarnya Marc tidak ingin membuat ibunya kesal, tetapi Marc sudah bosan selalu dipaksa untuk menikah dengan Karra.Hanya dengan cara ini lah ibunya berhenti memaksanya, Karra pun tak mungkin bersedia menjadi istri yang kedua begitu juga dengan keluarganya.Hanya menunggu beberapa menit, Hanun terlihat melangkah menuju ruang makan bersama Amira. Wanita cantik itu sengaja menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Caterina. Na
Tepat pukul 8 pagi, Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Sebelum ke rumah sakit ia terlebih dahulu menemui sahabatnya Erika. "Amira," ucap Erika yang baru membuka pintu. "Suprise." Amira langsung memeluk sahabatnya. Keduanya pun masuk ke dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil berbincang-bincang. Tentu Eribka bertanya dari mana sahabatnya selama ini! Sebab Amira pergi tanpa memberitahu Eribka. "Kamu dari mana Ra? Kok gak bilang-bilang? Ponselmu juga kenapa gak bisa dihubungi? Kamu baik-baik saja kak?" Eribka menjajah Amira dengan berbagai pertanyaan. "Iya, aku baik-baik saja, ini buktinya! Aku masih bisa datang kemari dalam keadaan utuh," jawab Amira sambil tersenyum dengan nada bercanda. "Kamu udah buat aku khawatir Amira! Kamu menghilang begitu saja, kamu pergi ke mana sih?" Eribka terus saja bertanya. "Maaf Rib, aku sudah membuatmu khawatir," sesal Amira dengan wajah bersalah. "Iya, iya. Tapi katak dulu kamu pergi ke mana?" Sebelum membuka mulut Amira terlebih dahulu
Setelah menaruh tas ke dalam kamar, Amira segera menuju kamar mandi yang terletak di lantai satu. Matanya seketika membulat melihat pakaian yang bertumpu di atas ember, sungguh Amira tak menduga pakai yang akan ia cuci sebanyak itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Tiba-tiba terdengar suara Caterina.Amira memutar tubuh, "Tidak Nyonya," seiring bersama anggukan kepala."Kalau tidak keberatan! Ayo kerjakan," desak Caterina dengan wajah malas, "Satu lagi, jangan menggunakan mesin cuci," lanjutnya."Tapi Nyonya....""Tidak ada tapi-tapian," sela Caterina yang membuat Amira terdiam, "Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis. Kamu sadar gak, kalau kamu tidak pantas menjadi menantu keluarga Louis?" lanjutnya menghina Amira."Iya Nyonya, aku sadar," jawab Amira."Kalau begitu akhiri hubunganmu dengan Marc, kalau tidak! Kamu akan menjadi babu di rumah ini, selamanya akan dianggap sebagai babu," tegas Caterina dan langsung pergi.Amira hanya terdiam mematung, dipandangnya punggung Caterina ya
"Apaan sih?" Marc melepaskan tangan Amira dari tangannya."Tenang Om, aku gak akan melakukan yang macam-macam," canda Amira sambil tersenyum tipis."Aku tahu itu," timpal Marc dengan wajah kesal."Om, aku boleh ikut gak? Aku...." Amira belum selesai bicara tetapi Marc sudah menyelanya."Gak bisa, apa yang harus aku katakan jika mereka bertanya siapa kamu?" Marc langsung menolak tanpa mendengar ucapan Amira terlebih dahulu."Om, aku itu..." "Pokoknya gak bisa, kamu di rumah saja." Lagi-lagi Marc menyela ucapan Amira."Aku bukan ikut sama Om." Suara Amira sedikit meninggi, "Aku itu hanya menumpang di mobil Om," lanjutnya menjelaskan."Maksud kamu?" Marc sedikit bingung, ia tidak dapat mencerna maksud dari ucapan Amira."Aku mau nginap di kos temanku, tapi aku numpang di mobil Om. Maksudnya! Om antar aku ke kos temanku, begitu Om." Amira menjelaskannya."Huh, bilang dong dari tadi." Marc menyalahkan Amira, padahal ia yang tak memberi wanita cantik itu kesempatan untuk bicara."Aku siap
"Sebenarnya kamu siapa?" Pertanyaan itu membuat Amira refleks memutar kepala, ditatapnya Karra yang sedang menggenggam pergelangan tangannya dengan erat."Benarkah kamu istri Marc? Atau hanya wanita bayaran?" lanjut Karra dengan wajah penuh tanya.Tentu Karra merasa curiga, Marc datang ke sana hanya seorang diri. Sedangkan Amira datang ke sana bersama temannya, bukankah seharusnya Marc dan Amira datang bersama? "Saya istrinya," jawab singkat dengan wajah datar.Karra tersenyum sinis, "Dari wajahmu sudah menunjukkan kebohongan, Amira. Sebaiknya berhentilah ikut campur dalam urusan keluarga Louis, kamu tidak tahu seperti apa Tante Caterina." Karra mengingatkan Amira, namun wanita cantik itu tak sedikitpun gentar. Uang membuat Amira tidak merasa takut, apalagi perjanjiannya dengan Marc hanya beberapa bulan. Jika dihitung dari usia kandungannya, ia hanya perlu bersabar selama 7 bulan 2 Minggu."Nyonya Caterina tidak mungkin melakukan sesuatu, karena saat ini aku sedang mengandung cucu
"Maaf Nyonya." Hanya itu yang terucap dari mulut Amira.Caterina menekan tombol kursi rodanya, ia bergerak menuju Amira yang berdiri di dekat tangga."Apa aku bisa minta tolong?" ucap Caterina."Tolong apa Nyonya?" Tentu Amira bertanya!"Tolong ambil kursi rodaku di gudang, yang ini sudah tak enak lagi dipakai," jawab Caterina dengan santai."Oh baik Nyonya, tapi gudangnya di mana Nyonya?" Amira dengan tulus menanggapi permintaan Caterina."Kamu ke luar dari pintu samping, di dekat taman ada sebuah rumah, nah itu gudangnya." Caterina memberitahu tempatnya.Tanpa ragu Amira bergegas menuju pintu samping, ditatapnya sebuah rumah sederhana di dekat taman. Kaki mungilnya segera melangkah menuju gudang, kunci yang diberikan Caterina ia buat untuk membuka pintu.Amira baru saja masuk ke dalam gudang, tiba-tiba seseorang mengunci pintu dari luar. Seketika itu juga lampu mati yang membuat Amira berteriak ketakutan."Tolong buka pintunya, tolong," teriak Amira sambil mengetuk pintu dengan sek