Share

Bab 5. Apa istrinya bernama Adella.

"Aku yakin, suatu saat mereka pasti menerimaku."

Jawaban Amira membuat amarah Karra memuncak. Wanita cantik bertubuh tinggi itu meremas seluruh jari lentiknya, sungguh ia tak menyangka Amira berani menantangnya.

"Kamu begitu yakin?" tegas Karra.

"Kamu di sini?" Terdengar suara bariton Marc, "Sayang, angin malam tidak baik untuk wanita hamil," lanjutnya berpura-pura mesra.

Jantung Amira seketika berdegup kencang mendengar Marc memanggilnya sayang. Bahkan ia sulit untuk menelan saliva, tetapi Amira berusaha tetap tenang agar Karra tidak curiga.

"I..iya Mas," sahut Amira dengan senyuman manis, "Aku masuk dulu ya?" lanjutnya pamit kepada Karra.

Karra mengangguk sambil tersenyum paksa, matanya menatap punggung Amira yang sedang melangkah sambil bergelayut di lengan Marc. Ingin rasanya menghajar Amira habis-habisan, memberi pelajaran kepada wanita hamil itu. Tetapi Karra tidak mungkin melakukan hal itu di hadapan Marc.

Mau tidak mau, Karra harus tetap terlihat baik dan sopan. Menunjukkan sikap ramah dan perhatian untuk menarik simpati Marc. Karra pun meninggalkan balkon, melangkah menuju ruang tamu untuk menghampiri Caterina.  

Sedangkan di tempat lain Amira semakin gugup, ia perlahan melepaskan tangannya dari lengan Marc. Suasana ini benar-benar mendebarkan, membuat darahnya memompa lebih kencang.

"Aku akan tidur di sofa," ucap Amira.

"Hum," sahut singkat Marc.

Keduanya membasuh wajah ke dalam kamar mandi secara bergantian. Lalu tidur di tempatnya masing-masing, Amira di sofa sedangkan Marc di tempat tidur.

Tanpa terasa malam berlalu begitu cepat, tepat pukul 5 pagi Amira sudah bangun dari tidurnya. Wanita cantik itu membersihkan tubuh di kamar mandi lalu bergegas menuju dapur.

"Biar aku bantu Mbak," sodor Amira saat tiba di dapur.

"Jangan Nyonya, nanti tuan marah." Tentu pelayan menolak bantuan Amira! Sebab dia adalah istri dari tuan rumah itu.

"Gak apa-apa Mbak, aku sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Tuan sudah tahu itu, jadi tuan tidak akan marah," ucap Amira sambil meraih wortel dari  atas meja lalu memotongnya.

"Oh iya, Mbak sudah lama bekerja di sini?" lanjut Amira sembari bertanya.

"Jangan panggil aku Mbak, Nyonya. Panggil Bibi Hanum saja." Tentu Hanum merasa tidak pantas dipanggil Mbak oleh Amira!

"Oh baik lah Bi," sahut tulus Amira sambil tersenyum.

"Saya sudah 25 tahun bekerja di rumah ini, Nyonya." Hanum menjawab pertanyaan Amira sebelumnya.

"Wao, sudah lama ya Bi," timpal Amira, "Berarti Bibi sudah banyak tahu tentang tuan Marc," lanjutnya.

Wajah Hanum seketika tegang mendengar ucapan Amira. Entah apa yang membuat pelayan 45 tahun itu terlihat gugup.

"Bi, Bi Hanum," panggil Amira yang membuat Hanum tersadar.

"Ha, iya Nyonya," jawab Hanum dengan wajah takut. 

"Bibi kenapa? Sakit?" tanya Amira karena melihat wajah Hanum pucat.

Hanum menggeleng, "Tidak Nyonya," ucapnya.

Amira mengerutkan kening, seketika ia curiga melihat sikap Hanum. Kenapa pelayan itu berubah saat ia menanyakan tentang Marc? Ada apa dengan Marc? Pertanyaan itu muncul di kepala Amira.

Namun ia mengurungkan rasa curiganya, dan akan menanyakannya saat waktu yang tepat. Mungkin saja Hanum enggan untuk membuka mulut, sebab di sana ada beberapa pelayan.

Tidak lama kemudian, pelayan satu persatu meninggalkan dapur. Amira pun segera menghampiri Hanum yang berdiri di dekat kompor.

"Bi, aku tahu Bibi menyembunyikan sesuatu," todong Amira tanpa basa-basi.

"Ti...tidak Nyonya, saya tidak menyembunyikan apapun," bantah Hanun dengan terbata-bata.

Amira meraih kedua tangan Hanun, "Aku berjanji, tidak akan mengatakannya kepada siapapun," ucapnya untuk menyakinkan.

Sebelum membuka mulut, Hanum terlebih dahulu menarik napas lalu membuangnya dengan lembut.

"Sebelum menikah dengan Nyonya, tuan Marc sudah pernah menikah...."

"Apa istrinya bernama Adella?" sela Amira dengan bertanya.

Hanum mengangguk, "Iya, nyonya Adella. Tuan sangat menyayangi nyonya Adella, tetapi sayang! Hubungan mereka tidak pernah direstui oleh nyonya Caterina, sebab nyonya Adella dari keluarga sederhana."

Hanun menceritakan tentang Adella, istri sah Marc yang sudah 10 tahun pergi meninggalkan kediaman Louis, menghilang begitu saja bagikan ditelan bumi.

"Kalau tuan sangat menyayangi istrinya! Terus kenapa Adella pergi?" tanya Amira.

"Aku juga tidak tahu Nyonya, padahal nyonya Adella juga sangat menyanyi dan mencintai tuan Marc. Semenjak kepergian nyonya Adella, tuan Marc menutup pintu  hatinya rapat-rapat untuk wanita, diapun selalu menghabiskan waktunya di kantor dan kelap malam. Itu sebabnya kami terkejut saat tuan membawa Nyonya ke rumah ini."

Amira menghela napas kasar, "Apa Adella baik-baik saja?" ucapnya.

"Semoga saja Nyonya. Tapi kepergian nyonya Adella benar-benar misterius, di mana pagi itu tuan Marc berdebat dengan nyonya besar, siangnya nyonya Adella meninggalkan rumah dan malamnya nona Karra tiba-tiba kembali dari Prancis." Hamun menceritakan semuanya kepada Amira.

"Apa Marc sudah dijodohkan dengan nona Karra sebelum menikah dengan Adella?" Entah mengapa Amira tiba-tiba ingin tahu tentang keluarga Louis, terutama Marc.

"Iya, sejak kecil tuan Marc dan nona Karra sudah dijodohkan, Nyonya. Tetapi tuan Marc tidak pernah setuju dengan perjodohan itu dan menikah dengan wanita lain, hal itu membuat almarhum tuan besar tiba-tiba kena serangan jantung," jawab Hanum.

"Apa hal ini yang membuat Adella pergi? Atau karena hal lain?" tanya dalam hati Amira.

"Aku berharap Nyonya bisa mengubah kehidupan tuan Marc, menyayanginya setulus hati dan menemaninya hingga tua nanti." Hanum kembali membuka mulut.

"Amin." Hanya itu yang terucap dari mulut Amira.

Keduanya pun bergegas menyiapkan sarapan di atas meja, setelah itu Amira kembali ke kamar. Setibanya di sana, ia melihat Marc sudah tak ada lagi di atas tempat tidur.

"Hem..." Marc sengaja berdehem.

Kepala Amira refleks memutar ke arah datangnya suara, seketika matanya membulat melihat Marc ke luar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.

=============

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status