"Aku yakin, suatu saat mereka pasti menerimaku."
Jawaban Amira membuat amarah Karra memuncak. Wanita cantik bertubuh tinggi itu meremas seluruh jari lentiknya, sungguh ia tak menyangka Amira berani menantangnya.
"Kamu begitu yakin?" tegas Karra.
"Kamu di sini?" Terdengar suara bariton Marc, "Sayang, angin malam tidak baik untuk wanita hamil," lanjutnya berpura-pura mesra.
Jantung Amira seketika berdegup kencang mendengar Marc memanggilnya sayang. Bahkan ia sulit untuk menelan saliva, tetapi Amira berusaha tetap tenang agar Karra tidak curiga.
"I..iya Mas," sahut Amira dengan senyuman manis, "Aku masuk dulu ya?" lanjutnya pamit kepada Karra.
Karra mengangguk sambil tersenyum paksa, matanya menatap punggung Amira yang sedang melangkah sambil bergelayut di lengan Marc. Ingin rasanya menghajar Amira habis-habisan, memberi pelajaran kepada wanita hamil itu. Tetapi Karra tidak mungkin melakukan hal itu di hadapan Marc.
Mau tidak mau, Karra harus tetap terlihat baik dan sopan. Menunjukkan sikap ramah dan perhatian untuk menarik simpati Marc. Karra pun meninggalkan balkon, melangkah menuju ruang tamu untuk menghampiri Caterina.
Sedangkan di tempat lain Amira semakin gugup, ia perlahan melepaskan tangannya dari lengan Marc. Suasana ini benar-benar mendebarkan, membuat darahnya memompa lebih kencang.
"Aku akan tidur di sofa," ucap Amira.
"Hum," sahut singkat Marc.
Keduanya membasuh wajah ke dalam kamar mandi secara bergantian. Lalu tidur di tempatnya masing-masing, Amira di sofa sedangkan Marc di tempat tidur.
Tanpa terasa malam berlalu begitu cepat, tepat pukul 5 pagi Amira sudah bangun dari tidurnya. Wanita cantik itu membersihkan tubuh di kamar mandi lalu bergegas menuju dapur.
"Biar aku bantu Mbak," sodor Amira saat tiba di dapur.
"Jangan Nyonya, nanti tuan marah." Tentu pelayan menolak bantuan Amira! Sebab dia adalah istri dari tuan rumah itu.
"Gak apa-apa Mbak, aku sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Tuan sudah tahu itu, jadi tuan tidak akan marah," ucap Amira sambil meraih wortel dari atas meja lalu memotongnya.
"Oh iya, Mbak sudah lama bekerja di sini?" lanjut Amira sembari bertanya.
"Jangan panggil aku Mbak, Nyonya. Panggil Bibi Hanum saja." Tentu Hanum merasa tidak pantas dipanggil Mbak oleh Amira!
"Oh baik lah Bi," sahut tulus Amira sambil tersenyum.
"Saya sudah 25 tahun bekerja di rumah ini, Nyonya." Hanum menjawab pertanyaan Amira sebelumnya.
"Wao, sudah lama ya Bi," timpal Amira, "Berarti Bibi sudah banyak tahu tentang tuan Marc," lanjutnya.
Wajah Hanum seketika tegang mendengar ucapan Amira. Entah apa yang membuat pelayan 45 tahun itu terlihat gugup.
"Bi, Bi Hanum," panggil Amira yang membuat Hanum tersadar.
"Ha, iya Nyonya," jawab Hanum dengan wajah takut.
"Bibi kenapa? Sakit?" tanya Amira karena melihat wajah Hanum pucat.
Hanum menggeleng, "Tidak Nyonya," ucapnya.
Amira mengerutkan kening, seketika ia curiga melihat sikap Hanum. Kenapa pelayan itu berubah saat ia menanyakan tentang Marc? Ada apa dengan Marc? Pertanyaan itu muncul di kepala Amira.
Namun ia mengurungkan rasa curiganya, dan akan menanyakannya saat waktu yang tepat. Mungkin saja Hanum enggan untuk membuka mulut, sebab di sana ada beberapa pelayan.
Tidak lama kemudian, pelayan satu persatu meninggalkan dapur. Amira pun segera menghampiri Hanum yang berdiri di dekat kompor.
"Bi, aku tahu Bibi menyembunyikan sesuatu," todong Amira tanpa basa-basi.
"Ti...tidak Nyonya, saya tidak menyembunyikan apapun," bantah Hanun dengan terbata-bata.
Amira meraih kedua tangan Hanun, "Aku berjanji, tidak akan mengatakannya kepada siapapun," ucapnya untuk menyakinkan.
Sebelum membuka mulut, Hanum terlebih dahulu menarik napas lalu membuangnya dengan lembut.
"Sebelum menikah dengan Nyonya, tuan Marc sudah pernah menikah...."
"Apa istrinya bernama Adella?" sela Amira dengan bertanya.
Hanum mengangguk, "Iya, nyonya Adella. Tuan sangat menyayangi nyonya Adella, tetapi sayang! Hubungan mereka tidak pernah direstui oleh nyonya Caterina, sebab nyonya Adella dari keluarga sederhana."
Hanun menceritakan tentang Adella, istri sah Marc yang sudah 10 tahun pergi meninggalkan kediaman Louis, menghilang begitu saja bagikan ditelan bumi.
"Kalau tuan sangat menyayangi istrinya! Terus kenapa Adella pergi?" tanya Amira.
"Aku juga tidak tahu Nyonya, padahal nyonya Adella juga sangat menyanyi dan mencintai tuan Marc. Semenjak kepergian nyonya Adella, tuan Marc menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk wanita, diapun selalu menghabiskan waktunya di kantor dan kelap malam. Itu sebabnya kami terkejut saat tuan membawa Nyonya ke rumah ini."
Amira menghela napas kasar, "Apa Adella baik-baik saja?" ucapnya.
"Semoga saja Nyonya. Tapi kepergian nyonya Adella benar-benar misterius, di mana pagi itu tuan Marc berdebat dengan nyonya besar, siangnya nyonya Adella meninggalkan rumah dan malamnya nona Karra tiba-tiba kembali dari Prancis." Hamun menceritakan semuanya kepada Amira.
"Apa Marc sudah dijodohkan dengan nona Karra sebelum menikah dengan Adella?" Entah mengapa Amira tiba-tiba ingin tahu tentang keluarga Louis, terutama Marc.
"Iya, sejak kecil tuan Marc dan nona Karra sudah dijodohkan, Nyonya. Tetapi tuan Marc tidak pernah setuju dengan perjodohan itu dan menikah dengan wanita lain, hal itu membuat almarhum tuan besar tiba-tiba kena serangan jantung," jawab Hanum.
"Apa hal ini yang membuat Adella pergi? Atau karena hal lain?" tanya dalam hati Amira.
"Aku berharap Nyonya bisa mengubah kehidupan tuan Marc, menyayanginya setulus hati dan menemaninya hingga tua nanti." Hanum kembali membuka mulut.
"Amin." Hanya itu yang terucap dari mulut Amira.
Keduanya pun bergegas menyiapkan sarapan di atas meja, setelah itu Amira kembali ke kamar. Setibanya di sana, ia melihat Marc sudah tak ada lagi di atas tempat tidur.
"Hem..." Marc sengaja berdehem.
Kepala Amira refleks memutar ke arah datangnya suara, seketika matanya membulat melihat Marc ke luar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.
=============pria tampan itu hanya melilitkan handuk berwarna putih di pinggulnya, sehingga menunjukkan tubuh bagian atasnya yang begitu sixpack bak roti sobek. Wanita manapun yang melihatnya pasti akan terlena, begitu juga dengan Amira! Tanpa sadar ia menatap Marc dari ujung kaki hingga ujung kepala, sambil menelan saliva dengan susah paya."Jangan menatapku seperti itu, nanti kamu jatuh cinta," tegur Marc yang membuat Amira malu dan salah tingkah."Ma...ma...maaf Om," ucap Amira yang langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Melihat Marc bertelanjang dada membuat jantung Amira berdegup kencang, dan mengigat seseorang. Dada itu tidak jauh berbeda dengan pria yang sudah menghamilinya, sayangnya Amira tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena malam itu suasana kamar benar-benar gelap tanpa adanya cahaya lampu. Pada saat ia terbangun di pagi hari, pria itu sudah tak ada lagi di sampingnya."Marc, Marc."Amira terperanjat mendengar suara teriakan Caterina memanggil Marc. Ia bergegas ke lu
Tanpa terasa benda bulat yang tertempel di tembok menunjukkan pukul 7 malam. Di mana saat ini keluarga Louis sudah berkumpul di meja makan, hanya Amira yang tak ada di sana."Hanum," panggil Marc."Iya Tuan." Hanun segera menghampiri Marc."Panggilkan nyonya ke kamar," perintah Marc.Caterina refleks menghela napas kasar, selera makannya tiba-tiba hilang membayangkan wajah Amira."Mamah kenapa?" tanya Marcell yang duduk di samping Caterina."Tidak apa-apa," jawab singkat Caterina.Walupun Caterina tidak mengatakan apapun, Marc sudah tahu ada apa dengan ibunya. Sebenarnya Marc tidak ingin membuat ibunya kesal, tetapi Marc sudah bosan selalu dipaksa untuk menikah dengan Karra.Hanya dengan cara ini lah ibunya berhenti memaksanya, Karra pun tak mungkin bersedia menjadi istri yang kedua begitu juga dengan keluarganya.Hanya menunggu beberapa menit, Hanun terlihat melangkah menuju ruang makan bersama Amira. Wanita cantik itu sengaja menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Caterina. Na
Tepat pukul 8 pagi, Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Sebelum ke rumah sakit ia terlebih dahulu menemui sahabatnya Erika. "Amira," ucap Erika yang baru membuka pintu. "Suprise." Amira langsung memeluk sahabatnya. Keduanya pun masuk ke dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil berbincang-bincang. Tentu Eribka bertanya dari mana sahabatnya selama ini! Sebab Amira pergi tanpa memberitahu Eribka. "Kamu dari mana Ra? Kok gak bilang-bilang? Ponselmu juga kenapa gak bisa dihubungi? Kamu baik-baik saja kak?" Eribka menjajah Amira dengan berbagai pertanyaan. "Iya, aku baik-baik saja, ini buktinya! Aku masih bisa datang kemari dalam keadaan utuh," jawab Amira sambil tersenyum dengan nada bercanda. "Kamu udah buat aku khawatir Amira! Kamu menghilang begitu saja, kamu pergi ke mana sih?" Eribka terus saja bertanya. "Maaf Rib, aku sudah membuatmu khawatir," sesal Amira dengan wajah bersalah. "Iya, iya. Tapi katak dulu kamu pergi ke mana?" Sebelum membuka mulut Amira terlebih dahulu
Setelah menaruh tas ke dalam kamar, Amira segera menuju kamar mandi yang terletak di lantai satu. Matanya seketika membulat melihat pakaian yang bertumpu di atas ember, sungguh Amira tak menduga pakai yang akan ia cuci sebanyak itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Tiba-tiba terdengar suara Caterina.Amira memutar tubuh, "Tidak Nyonya," seiring bersama anggukan kepala."Kalau tidak keberatan! Ayo kerjakan," desak Caterina dengan wajah malas, "Satu lagi, jangan menggunakan mesin cuci," lanjutnya."Tapi Nyonya....""Tidak ada tapi-tapian," sela Caterina yang membuat Amira terdiam, "Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis. Kamu sadar gak, kalau kamu tidak pantas menjadi menantu keluarga Louis?" lanjutnya menghina Amira."Iya Nyonya, aku sadar," jawab Amira."Kalau begitu akhiri hubunganmu dengan Marc, kalau tidak! Kamu akan menjadi babu di rumah ini, selamanya akan dianggap sebagai babu," tegas Caterina dan langsung pergi.Amira hanya terdiam mematung, dipandangnya punggung Caterina ya
"Apaan sih?" Marc melepaskan tangan Amira dari tangannya."Tenang Om, aku gak akan melakukan yang macam-macam," canda Amira sambil tersenyum tipis."Aku tahu itu," timpal Marc dengan wajah kesal."Om, aku boleh ikut gak? Aku...." Amira belum selesai bicara tetapi Marc sudah menyelanya."Gak bisa, apa yang harus aku katakan jika mereka bertanya siapa kamu?" Marc langsung menolak tanpa mendengar ucapan Amira terlebih dahulu."Om, aku itu..." "Pokoknya gak bisa, kamu di rumah saja." Lagi-lagi Marc menyela ucapan Amira."Aku bukan ikut sama Om." Suara Amira sedikit meninggi, "Aku itu hanya menumpang di mobil Om," lanjutnya menjelaskan."Maksud kamu?" Marc sedikit bingung, ia tidak dapat mencerna maksud dari ucapan Amira."Aku mau nginap di kos temanku, tapi aku numpang di mobil Om. Maksudnya! Om antar aku ke kos temanku, begitu Om." Amira menjelaskannya."Huh, bilang dong dari tadi." Marc menyalahkan Amira, padahal ia yang tak memberi wanita cantik itu kesempatan untuk bicara."Aku siap
"Sebenarnya kamu siapa?" Pertanyaan itu membuat Amira refleks memutar kepala, ditatapnya Karra yang sedang menggenggam pergelangan tangannya dengan erat."Benarkah kamu istri Marc? Atau hanya wanita bayaran?" lanjut Karra dengan wajah penuh tanya.Tentu Karra merasa curiga, Marc datang ke sana hanya seorang diri. Sedangkan Amira datang ke sana bersama temannya, bukankah seharusnya Marc dan Amira datang bersama? "Saya istrinya," jawab singkat dengan wajah datar.Karra tersenyum sinis, "Dari wajahmu sudah menunjukkan kebohongan, Amira. Sebaiknya berhentilah ikut campur dalam urusan keluarga Louis, kamu tidak tahu seperti apa Tante Caterina." Karra mengingatkan Amira, namun wanita cantik itu tak sedikitpun gentar. Uang membuat Amira tidak merasa takut, apalagi perjanjiannya dengan Marc hanya beberapa bulan. Jika dihitung dari usia kandungannya, ia hanya perlu bersabar selama 7 bulan 2 Minggu."Nyonya Caterina tidak mungkin melakukan sesuatu, karena saat ini aku sedang mengandung cucu
"Maaf Nyonya." Hanya itu yang terucap dari mulut Amira.Caterina menekan tombol kursi rodanya, ia bergerak menuju Amira yang berdiri di dekat tangga."Apa aku bisa minta tolong?" ucap Caterina."Tolong apa Nyonya?" Tentu Amira bertanya!"Tolong ambil kursi rodaku di gudang, yang ini sudah tak enak lagi dipakai," jawab Caterina dengan santai."Oh baik Nyonya, tapi gudangnya di mana Nyonya?" Amira dengan tulus menanggapi permintaan Caterina."Kamu ke luar dari pintu samping, di dekat taman ada sebuah rumah, nah itu gudangnya." Caterina memberitahu tempatnya.Tanpa ragu Amira bergegas menuju pintu samping, ditatapnya sebuah rumah sederhana di dekat taman. Kaki mungilnya segera melangkah menuju gudang, kunci yang diberikan Caterina ia buat untuk membuka pintu.Amira baru saja masuk ke dalam gudang, tiba-tiba seseorang mengunci pintu dari luar. Seketika itu juga lampu mati yang membuat Amira berteriak ketakutan."Tolong buka pintunya, tolong," teriak Amira sambil mengetuk pintu dengan sek
"Apa Mamah mengusir kakak ipar dari rumah ini?" tanya Marcell saat Caterina dan Karra akan masuk, sedangkan Marc sudah terlebih dahulu meninggalkan teras.Caterina menghentikan kursi rodanya, "Apa Mamah seburuk itu?" Bukannya menjawab, Caterina justru balik bertanya. "Tidak, Mamah tidak seburuk itu," sahut Marcell, "Aku percaya Mamah tidak mungkin melakukannya," lanjutnya.Marcell terpaksa mengatakan hal itu agar ibunya tidak marah dan tersinggung. Marcell takut, Caterina berbuat nekat lagi dengan membahayakan dirinya sendiri. Seperti kejadian 10 tahun yang lalu, di mana saat itu Marc menuduh ibunya mengusir istrinya Adella dari kediaman Louis. Caterina yang kesal dituduh oleh putranya! Lantas melompat dari lantai dua, sehingga membuat kedua kakinya patah dan lumpuh hingga saat ini."Kalau begitu, jangan tanya Mamah lagi." Setelah mengatakan itu, Caterina masuk ke dalam rumah bersama Karra."Tapi aku tidak percaya, Mamah dan Karra menyembunyikan sesuatu," ucap dalam hati Marcell samb