Demi melunasi hutang keluarganya, Tiara terpaksa menikah dengan pria beristri. Pernikahan itu hanyalah cara agar pasangan tersebut mendapatkan keturunan. Jadi Tiara harus melahirkan seorang anak untuk mereka,setelah itu ia bisa bebas. Namun, apakah semuanya akan semudah itu?
Lihat lebih banyakRestoran itu berdiri megah di jantung kota Jakarta, terpancar dari kemewahan eksteriornya yang didominasi oleh arsitektur klasik dan sentuhan modern. Lampu-lampu temaram dengan warna keemasan menghiasi setiap sudut bangunan, memancarkan kilau yang elegan namun hangat. Langit-langitnya yang tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang anggun dan eksklusif.
Begitu memasuki restoran, pengunjung akan disambut oleh lantai marmer berkilauan dan deretan meja yang tertata rapi dengan taplak putih dan piring porselen berkelas. Musik jazz yang halus mengalun pelan di latar belakang, menambah nuansa intim. Para pelayan berpakaian rapi dengan seragam hitam putih, gesit dan sopan dalam melayani, siap memberi rekomendasi anggur terbaik untuk melengkapi sajian.
Restoran ini memiliki dinding kaca besar yang memperlihatkan pemandangan gemerlap kota Jakarta di malam hari, memberi sensasi makan malam yang romantis dan berkelas. Di bagian sudut, terdapat bar yang elegan dengan berbagai macam koleksi anggur dan minuman dari seluruh dunia, lengkap dengan bartender yang handal dalam meracik cocktail spesial. Aroma steak yang dipanggang sempurna bercampur dengan wangi truffle dan rempah, mengisi udara dengan kelezatan yang menggugah selera.
Setiap sudut restoran ini memang dirancang untuk menciptakan pengalaman bersantap yang tak terlupakan, tempat di mana percakapan mendalam, bisnis kelas atas, hingga momen romantis banyak terjadi. Para tamu, yang sebagian besar berpakaian formal, terlihat menikmati malam mereka dengan tenang, membawa kesan glamor yang seolah menjadikan tempat ini sebuah oasis mewah di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta.
Seorang pelayan wanita tengah berjalan cepat namun anggun, melangkah di antara meja-meja dengan penuh percaya diri. Sosoknya yang tinggi dan anggun menarik perhatian, terutama dengan rambut panjangnya yang tergerai rapi. Di bawah cahaya hangat lampu restoran, kulit putihnya tampak berkilau, memberi kesan profesional namun tetap bersahabat. Malam itu, ia terlihat sibuk melayani tamu yang memenuhi restoran, senyumnya tak pernah pudar meski langkahnya cepat.
Ketika ia menuju dapur untuk mengambil pesanan berikutnya, seorang pelayan laki-laki mendekatinya dengan nampan berisi hidangan yang sudah siap disajikan. Pelayan pria itu berusia sebaya, ramah dan sangat menghormati rekan kerjanya.
“Meja nomor tujuh, kamu handle, kan?” katanya sambil memberikan isyarat ke meja yang dimaksud, di mana dua tamu tengah menunggu dengan sabar.
Wanita itu mengangguk cepat, menerima nampan dari tangan rekannya dengan cekatan. "Iya, mereka pesan filet mignon dengan saus truffle. Kamu mau ambil yang meja sembilan?”
"Okey," jawab rekannya sambil tersenyum. "Aku kesana, ya."
Ia mengangguk lagi, kali ini sambil tersenyum tulus. “Thanks! Sukses malam ini, kita hampir penuh.”
Mereka bertukar pandang penuh pengertian sebelum berpisah, masing-masing membawa makanan ke meja tamu. Begitu sampai di meja nomor tujuh, pelayan wanita itu meletakkan nampan dan mulai menyajikan hidangan dengan sangat hati-hati, menjaga agar tidak ada percikan atau kesalahan.
"Selamat malam, Pak, Bu," sapaannya terdengar ramah dan sopan. "Ini filet mignon dengan saus truffle untuk Anda, dan untuk Ibu, risotto dengan udang panggang. Saya harap Anda menikmati hidangannya. Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?"
Salah satu tamu, pria dengan setelan jas rapi, mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Terima kasih. Ternyata pelayanan di sini sebagus yang saya dengar."
Wanita itu tersenyum, dengan lembut menanggapi pujian tersebut. "Kami berusaha memberikan yang terbaik, Pak. Kalau ada yang Bapak dan Ibu perlukan, silakan panggil saya, ya. Saya akan senang membantu."
Wanita yang duduk di samping pria itu pun menambahkan, "Apa kamu punya rekomendasi anggur yang cocok untuk hidangan ini?"
Dengan sikap profesional yang tak terbantahkan, pelayan itu menjelaskan beberapa pilihan anggur yang akan melengkapi hidangan mereka, mulai dari anggur merah dengan rasa berry hingga anggur putih dengan aroma citrus. "Kami memiliki beberapa pilihan yang cocok, Bu. Saya bisa membawa daftar anggurnya, atau jika Ibu ingin mencoba rekomendasi chef kami, saya bisa langsung siapkan satu botol."
Si tamu wanita terlihat puas. "Baik, saya akan mencoba rekomendasi dari chef. Terima kasih ya, Mbak."
“Dengan senang hati, Bu. Saya akan segera kembali dengan anggurnya,” ujarnya sebelum kembali ke dapur dengan senyum yang tak pernah luntur.
Meski padat, ia tetap terlihat tenang dan profesional, selalu ramah pada setiap tamu yang ditemuinya. Interaksi kecil namun hangat dengan tamu-tamu itu membuat suasana terasa lebih akrab, menciptakan kesan bahwa di balik semua kemewahan restoran itu, ada sentuhan pribadi yang benar-benar diperhatikan.
Tiara, nama pelayan wanita itu, sudah hampir tiga tahun bekerja di restoran mewah ini. Di usia 26 tahun, ia telah menjadi salah satu pelayan terbaik yang dimiliki restoran itu. Dengan pengalamannya, Tiara sudah sangat terbiasa menghadapi berbagai tipe tamu—mulai dari yang hangat dan ramah hingga yang dingin dan menuntut. Ia sudah hafal standar pelayanan yang diharapkan di tempat ini, dan bahkan kadang menjadi andalan bagi rekan-rekannya untuk menangani tamu-tamu penting.
Setelah kembali dari meja tamu dengan anggur yang diminta, Tiara menghampiri meja lain yang baru saja diduduki oleh sekelompok eksekutif muda. Mereka tampak menikmati suasana santai setelah hari yang panjang. Salah satu pria di antara mereka mengangkat tangannya untuk memanggil Tiara.
"Selamat malam, Mbak Tiara!" sapanya dengan nada ceria setelah membaca nama di pin kecil di dadanya. “Boleh minta rekomendasi untuk makanan yang cocok disantap beramai-ramai?”
Tiara tersenyum hangat. “Selamat malam, Pak. Untuk makanan yang bisa dinikmati bersama, kami punya beberapa pilihan platter yang lengkap. Salah satunya ada ‘chef’s special platter’ dengan berbagai jenis daging panggang, sosis, dan beberapa saus khas. Ini biasanya jadi favorit tamu-tamu kami untuk berbagi.”
Pria itu dan rekan-rekannya saling melirik, tampak antusias. "Wah, itu menarik. Sepertinya bisa kita coba. Tambahkan juga beberapa botol anggur yang kira-kira cocok, ya."
Tiara mengangguk mantap, mencatat pesanan sambil sesekali menatap tamu-tamu itu untuk memastikan tidak ada yang terlewat. “Baik, Pak. Saya akan siapkan segera.”
Tiara kembali ke dapur, meletakkan catatan pesanan dan berbicara singkat dengan koki. Koki mengangguk sambil tersenyum, sudah tahu Tiara selalu memberi rekomendasi yang tepat untuk tamu-tamu spesial. Begitu hidangan mereka siap, Tiara dan rekan kerjanya bekerja sama membawa piring besar berisi platter spesial dan botol-botol anggur yang sudah dipilihkan.
Sesampainya di meja, Tiara memaparkan hidangan dengan senyum khasnya yang hangat. "Ini adalah chef’s special platter, lengkap dengan daging panggang, sosis, dan saus yang telah dipilihkan khusus. Silakan dinikmati, dan semoga cocok dengan selera Bapak dan Ibu sekalian."
Para tamu itu terlihat puas, bahkan salah satu dari mereka tampak mengambil foto hidangan sebelum mulai menyantapnya. "Terima kasih, Mbak Tiara. Pelayanannya benar-benar prima,” ucap salah satu dari mereka.
Tiara tersenyum sopan, menanggapi dengan nada tulus, “Terima kasih kembali, Pak. Saya senang bisa membantu. Kalau ada kebutuhan lain, silakan panggil saya kapan saja.”
Melanjutkan pekerjaannya di malam itu, Tiara tetap ramah dan penuh perhatian kepada setiap tamu, memberikan pengalaman bersantap yang nyaman dan berkesan. Bagi Tiara, pekerjaan ini bukan sekadar pekerjaan biasa. Bertahun-tahun berada di restoran ini telah membentuknya menjadi sosok yang kuat, tenang, dan selalu profesional.
Saat malam semakin larut dan restoran mulai sepi, Tiara dan rekan-rekannya bergerak cepat untuk membereskan meja-meja dan merapikan peralatan makan. Begitu semua tugas selesai, Tiara bergegas ke ruang ganti, melepas seragamnya dan berganti dengan pakaian kasual. Ia merasa lelah namun puas dengan pekerjaannya malam itu, terutama karena para tamu tampak puas.
Sambil menghela napas lega, Tiara keluar dari ruang ganti, namun begitu ia membuka pintu dan melangkah ke luar, ia terkejut melihat beberapa rekan kerjanya sudah menunggu di sana dengan senyum lebar. Di tangan mereka, ada kue kecil yang dihiasi lilin angka "26", dan mereka serempak berseru, "Selamat ulang tahun, Tiara!"
Mata Tiara membulat, kaget sekaligus terharu. Ia tidak menyangka teman-temannya akan ingat hari ulang tahunnya, terlebih di tengah kesibukan mereka. Ia menutup mulutnya, tak mampu menahan senyum lebar dan sedikit tawa malu.
"Serius, kalian ingat?" tanyanya, suaranya terdengar gemetar karena rasa haru.
"Ya iyalah, masa enggak?" salah satu rekannya, Rina, berkata sambil tersenyum. "Kita tahu kamu selalu sibuk dan nggak pernah minta dirayain, tapi kali ini kami nggak bisa biarkan kamu pulang tanpa perayaan."
Rekan-rekan lainnya tertawa dan bertepuk tangan, menyemangati Tiara yang tampak sangat bahagia. Tiara pun diminta meniup lilin, dan ia memejamkan mata sejenak, membuat permohonan sebelum meniup lilin tersebut.
“Terima kasih banyak, teman-teman!” katanya sambil tersenyum lebar setelah meniup lilin. "Aku benar-benar nggak nyangka kalian akan merencanakan ini semua."
“Kita nggak bisa biarin hari ulang tahunmu lewat begitu aja, Tiara,” kata Andre, salah satu pelayan yang akrab dengannya. "Kamu kan udah seperti keluarga di sini."
Mereka semua menikmati kue sederhana yang dibawa rekan-rekannya, sambil berbincang ringan dan saling tertawa. Malam itu terasa hangat dan akrab, berbeda dengan rutinitas formal yang biasanya mereka jalani di restoran. Tiara merasa sangat dihargai dan diperhatikan. Di tengah kesibukan dan tantangan pekerjaan mereka, momen seperti ini membuat segalanya terasa lebih berarti.
Setelah perayaan kecil itu, Tiara berterima kasih berkali-kali kepada teman-temannya. Baginya, kejutan ini bukan hanya tentang merayakan ulang tahun, tetapi juga tentang rasa kebersamaan dan persahabatan yang ia bangun selama hampir tiga tahun bekerja di sana. Perasaan itu membuatnya semakin bersyukur dan bersemangat menghadapi hari-hari ke depan di restoran yang telah menjadi seperti rumah kedua baginya.
-----
Suasana itu sangat berbanding terbalik dengan suasana di sebuah ruang makan yang luas dan mewah, suasana makan malam yang seharusnya hangat dan menyenangkan justru terasa tegang dan canggung. Lampu gantung kristal yang indah berkilauan di atas meja panjang, memantulkan cahaya ke piring-piring porselen dan peralatan makan perak yang tertata rapi. Di atas meja, hidangan-hidangan mewah telah disiapkan oleh koki pribadi keluarga, dari daging panggang, hidangan laut, hingga dessert yang menggoda selera. Namun, semua kelezatan itu tampak tak cukup untuk mencairkan suasana.
Di ujung meja, duduk seorang wanita muda bernama Clarisa. Ia mengenakan gaun sederhana namun anggun, rambutnya ditata rapi. Namun, raut wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Di sampingnya duduk suaminya, Adrian, yang terlihat mencoba mengalihkan perhatian dengan menyantap makanan di hadapannya tanpa berkata-kata, seolah menghindari percakapan yang akan muncul.
Keduanya ditemani oleh orang tua Adrian, yang duduk di seberang meja. Sang ibu, wanita yang selalu tampil elegan dan penuh wibawa, menatap Clarisa dengan pandangan penuh harap, tetapi sedikit tajam. Percakapan ringan yang sempat terjadi tadi mulai menghilang, hingga akhirnya, dengan nada suara yang terdengar tenang namun penuh tekanan, ibu Adrian membuka pembicaraan.
"Clarisa, sayang," katanya sambil tersenyum tipis. "Kapan ya kira-kira kami bisa punya cucu? Sudah empat tahun kalian menikah, dan kamu tahu kami sudah sangat ingin menggendong cucu pertama kami."
Clarisa merasakan dadanya berdebar, ia menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan tertekan yang ia rasakan. Pertanyaan ini bukan kali pertama ia dengar. Bahkan, mungkin ini sudah menjadi pertanyaan keseribu kalinya sejak ia dan Adrian menikah. Setiap kali bertemu dengan keluarga suaminya, topik yang sama selalu muncul, seolah-olah tak ada hal lain yang bisa mereka bicarakan.
Clarisa menghela napas dalam, mencoba menjawab dengan tenang, walaupun suaranya terdengar sedikit gemetar. "Kami juga berharap begitu, Mama... Kami... sudah berusaha, hanya saja... mungkin masih belum waktunya."
Raut wajah ibu Adrian berubah sedikit, namun ia tak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. "Berusaha, ya? Apa kalian sudah konsultasi ke dokter? Zaman sekarang, banyak cara, Clarisa. Teknologi medis sudah canggih, dan kalau benar-benar serius, seharusnya kalian bisa menemukan solusi," ujarnya, nadanya terdengar seolah sedang menegur.
Adrian, yang sejak tadi berdiam diri, akhirnya angkat bicara. Ia meletakkan garpunya dan menatap ibunya dengan tegas. "Ma, ini bukan topik yang mudah buat kami. Kami juga sedang menjalani proses ini dengan usaha terbaik yang bisa kami lakukan."
Namun, ibunya hanya mengangguk pelan, seolah-olah tak begitu peduli dengan keberatan Adrian. Ia mengarahkan pandangan pada Clarisa lagi, yang masih menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan kecewa dan sakit hatinya. Sementara itu, ayah Adrian hanya diam, menatap ke arah makanan, seolah tidak ingin terlibat dalam percakapan ini.
"Kalau memang perlu, mungkin Mama bisa rekomendasikan dokter spesialis yang bagus," tambah ibunya lagi, tak memperhatikan raut wajah Clarisa yang semakin murung. "Mama benar-benar ingin kalian segera memberi kami cucu."
Clarisa menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. Ia tahu mereka sudah berusaha, bahkan ia dan Adrian sudah berkonsultasi ke beberapa dokter, tetapi hasilnya memang belum seperti yang diharapkan. Tekanan yang datang, terutama dari ibu mertuanya, hanya membuat beban yang dirasakannya semakin berat. Clarisa merasa ingin segera meninggalkan meja makan, namun ia tahu bahwa melakukannya hanya akan membuat suasana semakin buruk.
Adrian meletakkan tangannya di atas tangan Clarisa, memberikan isyarat dukungan dan pengertian. "Ma, tolong beri kami waktu. Ini bukan hal yang bisa dipaksakan. Kami butuh ketenangan dalam menghadapi ini."
Untuk sesaat, hening menyelimuti ruangan. Ibu Adrian akhirnya menutup mulutnya, walau ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan. Suasana makan malam itu tetap dingin dan tegang, seolah-olah setiap kata dan ekspresi membawa kepedihan tersendiri. Di dalam hati, Clarisa berdoa semoga suatu saat tekanan ini akan berkurang, agar ia dan Adrian bisa menikmati pernikahan mereka tanpa terbebani oleh ekspektasi yang menghimpit.
Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe
Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga
Tiara duduk di meja dapur, di depannya ada tumpukan bawang putih yang siap dikupas. Ia mengambil satu per satu siung bawang putih itu, jari-jarinya lincah mengupas kulit tipisnya. Di sebelahnya, Bi Susi sibuk melakukan hal yang sama, sesekali tersenyum sambil bercerita tentang sebuah sinetron yang baru saja ditontonnya."Sinetron ini ceritanya tentang seorang wanita yang kaya raya, tapi hidupnya penuh masalah," Bi Susi mulai bercerita, antusias. "Dia punya suami yang tampan, tapi ternyata diam-diam punya selingkuhan."Tiara mengangguk perlahan, meski ia sebenarnya tidak tahu sinetron apa yang dimaksud. "Hmm, terus gimana, Bi?""Suaminya itu ketahuan sama istrinya waktu lagi makan malam romantis sama selingkuhannya," lanjut Bi Susi, wajahnya penuh ekspresi. "Istrinya marah besar, tapi karena dia masih cinta, dia memaafkan suaminya. Tapi, tahu nggak, Mbak Tiara? Selingkuhannya itu malah ngelawan, dia ngaku hamil sama suaminya!"Tiara hanya tersenyum kecil, membiarkan Bi Susi melanjutkan
Adrian mengemudikan mobilnya dengan penuh perhatian, menyusuri jalanan kota yang semakin padat seiring dengan bertambahnya waktu, apalagi nanti malam adalah malam minggu, di mana banyak orang akan lebih banyak keluar rumah. Udara petang yang sejuk membelai wajahnya melalui jendela yang sedikit terbuka.Sejak meninggalkan rumah, ia telah berhenti di beberapa toko buah dan supermarket. Di setiap tempat, ia dengan sabar menanyakan stok mangga, tetapi jawaban yang diterima selalu sama, musim mangga sudah berakhir. Beberapa penjual bahkan menatapnya dengan simpati, menyadari betapa gigihnya ia mencari buah yang sudah jarang ditemui itu. Adrian hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum melanjutkan perjalanannya ke tempat berikutnya.Waktu terus berjalan, jarum jam di dashboard mobil menunjukkan hampir tiga jam sejak ia mulai berkeliling. Rasa lelah mulai menguasai tubuhnya, namun tekadnya belum luntur. Setiap kali ia teringat wajah Tiara yang berharap dan sedikit murung, semanga
Clarisa sedang duduk di depan cermin besar berbingkai kayu mewah di ruang rias yang terang, di sebuah kantor gedung sebuah televisi tempat variety shownya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela besar, memantulkan bayangan wajahnya yang cantik dan tenang di permukaan cermin. Di sekelilingnya, berbagai alat rias tertata rapi di meja panjang, dari palet warna, kuas, hingga produk kecantikan yang tampak mahal. Di sudut ruangan, sofa empuk berwarna krem terlihat nyaman, lengkap dengan bantal-bantal kecil yang menghiasinya.Lina, seorang makeup artis, berdiri di sampingnya dengan sikap profesional namun ramah. Tangannya yang terampil bergerak dengan cekatan, mengoleskan foundation pada wajah Clarisa dengan kuas lembut. Sesekali, Lina berhenti untuk memastikan setiap detail sempurna, mencocokkan warna dan tekstur agar sesuai dengan kulit Clarisa."Mbak Clarisa, kamu masih aja secantik dulu. Aku suka merias kulitmu, halus banget," Lina memuji sambil terus bekerja, matanya fokus pada seti
Clarisa melangkah menuju kantor Adrian siang itu. Sesampainya di lantai yang dituju, ia berjalan melewati beberapa karyawan yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Matanya tiba-tiba tertarik pada seorang karyawan wanita yang duduk di sudut ruangan, tampak sibuk dengan sesuatu yang berbeda dari yang lain.Penasaran, Clarisa mendekat dan melihat lebih jelas. Di meja karyawan itu, ada dua testpack kehamilan dan foto USG yang sedang dirangkai dengan hiasan manis. Clarisa mengerutkan kening, merasa aneh melihat hal itu dilakukan di tengah jam kerja.“Ini jam kerja, kenapa kamu malah sibuk dengan hal seperti ini?” tanya Clarisa dengan nada tajam.Karyawan itu mengangkat wajahnya, tampak terkejut sejenak sebelum menjawab dengan tenang, “Saya pikir Bu Clarisa sudah tahu, ini Pak Adrian yang menyuruh saya.”Clarisa merasa hatinya mencelos mendengar jawaban itu. Wajahnya berubah sedikit. “Benarkah itu foto USG bayiku?” tanyanya, berusaha memastikan.Karyawan itu mengangguk, tersenyum ramah. “Iya, B
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen