Share

Part 6

Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.

Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.

Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.

Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan celana pendek hitam, dan kaos polos hitam, terlihat sangat pas dengan postur tubuhnya yang tinggi tegap nan kekar, tapi celananya? bukankah batas aurat pria dari atas pusar sampai bawah lutut?

"Mas, celananya kependekan, dengkulnya kelihatan, aurat, Mas!" ucapku pelan, sambil beranjak untuk mengambil tas ransel yang biasa Mas Hendra pakai sebagai tempat pakaian ganti.

Mas Hendra yang tengah merapikan rambutnya yang basah, hanya menoleh padaku, lalu dengan cepat mengambil kunci mobil yang tergantung di tempat gantungan berbagai macam kunci.

Aku menyodorkan tas yang barusan telah aku isi dengan beberapa pakaian ganti Mas Hendra, tak lupa aku letakkan kitab Al-Qur'an berukuran kecil diatas tumpukan pakaianya, berharap Mas Hendra bisa membacanya disela-sela waktu luangnya.

"Jangan lupa salat, Mas!" ucapku setelah mencium punggung tangan Mas Hendra.

"Cerewet kamu, Dek!" tukas Mas Hendra dengan nada kesal.

*

"Kamu kalau pegang uang anakku, dikelola sebaik mungkin, ditabung buat masa depan anak-anak, malu jadi orang tua kalau enggak bisa ngasih apa-apa ke anak," ucap Ibu mertuaku pagi ini ketika aku tengah mengiris kacang panjang untuk ditumis sebagai lauk untuk sarapan.

"Aku belum sepeserpun dikasih uang sama Mas Hendra, Bu," Ibu melotot mendengar jawabanku, tatapan Ibu mertua memang selalu seperti itu, seperti tidak suka dengan keberadaanku disini.

"Jangan bilang sepeserpun, mahar sama cincin yang kamu pakai itu pakai uang siapa?"

"Monggo, Bu, kalau Ibu enggak ikhlas, saya bisa kembalikan,"

"Ngelunjak kamu, Najma? Sadar diri kamu kesini cuma bawa raga, jangan mentang-mentang jadi anak kepala desa. kepala desa miskin aja, kok, bangga! masa jabatan tinggal setahun lagi, kan? sawah enggak punya, rumah cuma sebesar itu, keluargamu makan juga ngandelin bisnis kerupuk emakmu yang melempem itu, sudah tau pas-pasan, pake beranak tiga lagi, enggak kaget, sih, kalau Ayahmu ngebet banget mau jodohin kamu sama anakku, biar bebannya berkurang, sekarang aku yang ketiban beban," cerca Ibu dengan uraian kalimat pedasnya, marah? Sudah pasti, siapa yang tidak marah ketika keluarga di jelek-jelekin seperti itu, mungkin sikap buruk Mas Hendra menurun dari Ibu mertua, simpulku.

Aku berlari menuju kamar, dalam bingkai kemarahan aku mengambil beberapa lembar dari uang yang diberikan Ayah saat aku akan pindah tinggal kesini, uang dengan nominal lima belas juta, setelah aku hitung jumlah uang yang Ayah berikan padaku tanpa sepengetahuan Mas Hendra.

"Buat kebutuhan kamu, Nak. Kalau kamu mau kuliah Ijin dulu sama suamimu, bilang kalau kamu mau melanjutkan pendidikan, Ayah yang bayar semua biayanya kalau kamu diperbolehkan," ucap ayah waktu itu, sembari memberiku amplop yang berisi uang itu, yang kemudian aku selipkan diantara lipatan pakaianku di koper.

"Kalau ikut mertua, harus benar-benar luasin sabar, Nduk. setiap kesabaran untuk kebaikan pasti Allah balas dengan ujung yang bahagia, nikah ibadah terlama, selalu posisikan diri agar terhindar dari amal buruk," berlanjut Ibu dengan nasihatnya kala itu, ketika aku berpamitan dalam pelukannya.

Rasa marahku yang meluap-luap berangsur hilang ketika mengingat setiap nasihat orang tuaku, aku yang tadinya berniat melempar uang berjumlah satu juta kepada ibu mertua sebagai balasan dari segala hinaan yang terlontar, kini hanya bisa menangis, sendiri dalam kamar luas yang terasa sesak, tidak ada kebahagiaan bak secuil pun yang aku rasakan sejak masuk dalam istana keluarga Wiyoto.

Aku kembali ke dapur, mengerjakan kembali urusan dapur yang barusan aku tinggalkan, Ibu kembali menatapku dengan tajam, wajan dengan ukuran kecil yang dipegangnya tiba-tiba di lempar dengan sengaja ke arah kanan, lalu melewatiku yang tengah mengiris bawang, air mata kembali mengalir meskipun sudah kutahan sekuat yang aku bisa.

"Lihat tuh, Pak. Menantu pilihanmu, sudah berani dia sama Ibu," teriak ibu mengadu pada Bapak mertua yang tengah fokus pada laptopnya, mengerjakan sesuatu diruang tamu.

Bapak mertua adalah seorang kepala sekolah di salah satu SMA favorit di kecamatan, yang tiga tahun lagi sudah purna tugas, itulah kenapa Ibu selalu membandingkan level kekayaan keluargaku dengan keluarganya.

Kekayaan keluarga Mas Hendra memang di atas rata-rata jika dibandingkan dengan keluargaku, Bapak mertua dengan gajinya yang cukup tinggi, belum lagi sawah warisan dari orang tua Ibu dan Bapak mertua yang hampir empat hektare luasnya, dan juga Mas Hendra yang menjadi aparatur negara, itulah kenapa hampir seluruh warga desa sangat hormat pada keluarga ini, namun ada juga yang tampak risih dengan keangkuhan Ibu mertua.

"Dinasehati baik-baik, Bu! Jangan dimarahi, arahkan pelan-pelan, dulu Ibu juga pernah diposisi Najma, menjadi menantu dari emak-ku dulu, belum satu minggu Ibu udah minggat, enggak mau balik serumah sama emak, merajuk minta rumah sendiri. Ingat, kan?" jawab Bapak mertua sebagai respon dari aduan Ibu.

Aku merasa sedikit lega, setelah mendengar penuturan Bapak barusan, setidaknya tidak semua dari anggota keluarga ini memiliki sikap yang buruk.

Bapak mertua memang jarang sekali dirumah, waktunya setelah mengajar beliau habiskan untuk menonton tayuban diberbagai kecamatan sekitar, bersama beberapa orang temannya sesama penggemar seni tayub.

menurut gosip tetangga yang beredar, itu karena Bapak tidak betah di rumah, karena kecerewetan Ibu. Bahkan dari yang aku dengar, Bapak mempunyai selingkuhan diluar sana, bukan hanya satu, tapi lebih dari lima wanita, dan Bapak selalu bergilir menemui mereka setiap harinya.

Kaget bukan main saat aku tau gosip seperti itu, antara percaya dan tidak, percaya karena selama sebulan tinggal disini, hanya empat kali aku melihat Bapak, itupun hanya sebentar, setiap pagi menjelang sarapan. Dan tidak percaya karena Bapak menurutku adalah orang yang baik, seorang guru, dan pernah menjadi guru mengaji waktu mudanya, itu yang aku tau dari Ayah tentang Bapak mertua.

"Kalau Ibu ngoceh jangan didengar, Nduk! Pergi saja, dolan ke rumah tetangga, atau kemanapun, nanti kalau cape juga diam sendiri, wes pokoknya betah-betahin tinggal disini sementara, nanti biar Bapak ngomong sama Hendra biar beli rumah buat tinggal berdua," tutur Bapak sembari menyendok nasi hendak sarapan.

Aku hanya mengangguk, tanpa diminta itulah yang selama ini aku lakukan, aku yang ketika dirumahku tidak suka dolan ke tetangga, kini dirumah mertua justru lebih sering main ke rumah tetangga, apalagi banyak dari tetangga sekitar yang seumuran denganku, rumah besar ini menjadi semakin tidak berarti bagiku.

Bahkan ketika datang waktu pulang aku merasa enggan, karena selalu ada lisan tajam Ibu yang siap menyambutku, selalu mencari kesalahan meskipun seluruh pekerjaan rumah tangga sudah aku selesaikan.

*

Selepas salat isya' berjamaah di masjid yang berjarak tiga puluh meter dari rumah, aku segera berlari kecil, ada panggilan alam yang harus segera aku tunaikan, perutku tiba-tiba saja mulas, mungkin karena rujak cilok super pedas yang sore tadi aku makan.

Dengan tergesa-gesa aku membuka gerbang rumah, ketika hendak menutup kembali gerbang, tiba-tiba tubuhku terpental kebelakang, seperti ada yang menarik mukena-ku dari belakang, setelah aku lihat tenyata ujung belakang mukena yang aku pakai terlilit dengan engsel pintu gerbang.

Tubuhku yang sudah dipenuhi keringat dingin karena menahan mulas, tidak sabar lagi jika harus berkutat dengan lilitan mukena yang terlihat sangat susah untuk di urai, segera aku tarik mukena itu dengan keras, berharap bisa sobek dan terlepas, namun usahaku gagal, karena mukena-ku cukup tebal.

Hingga tiba-tiba datang seseorang turun dari mobil yang berhenti tepat didepan gerbang, membantuku melepas lilitan mukena pada engsel, setelah berhasil terlepas dalam sekejap, aku segera mengucap terima kasih pada laki-laki yang wajahnya tertutup dengan masker hitam, menutup gerbang lalu kembali berlari menuju rumah.

"Najma!" teriak laki-laki yang tadi membantuku, aku menoleh sesaat, lelaki itu masih berdiri diluar gerbang sembari melihatku.

Aku tidak fokus pada siapapun, rasa mulas ini semakin menjadi, aku kembali bergegas, tujuanku satu, kamar mandi.

"Najma, ada Tante Narti, heran aku sama kamu, dari tadi belum juga keluar dari kamar mandi," teriak Ibu mertua di depan pintu kamar mandi yang berada dalam kamarku.

Ibu mertua tau kalau aku sedang buang air besar, sebab tadi ketika aku berlarian dan melewati Ibu mertua yang tengah menonton televisi, tanpa sengaja aku buang angin cukup nyaring.

"Tante Narti?" ucapku pelan hampir berbisik, sembari mengingat nama yang seperti tidak asing ditelinga.

Bersambung..

Oleh : Seema Zuhda

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status