Share

Part 5

POV IRSYAD

[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]

Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.

[Terlambat?]

[Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,]

Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.

Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah.

Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu ketika di mushola sekolah lamaku di Jawa, tanpa sengaja arah tatap kami bertemu, aku yang salah tingkah segera memalingkan wajah, namun ketika aku kembali mencari sosoknya, nihil, dia sudah hilang dari pandangan.

Momen yang terekam sempurna oleh netra, tersimpan rapi dalam memori ingatanku, dan selalu saja muncul setiap aku memikirkannya, menjadi pemacu diriku selama ini untuk berjuang keras, hingga membawaku pada titik sukses di usiaku yang belum genap dua puluh tahun.

Aku berbelok ke sebuah rumah dengan model klasik khas Jawa, rumah yang penghuninya selalu aku cari ketika aku sedang dalam emosi apapun. Sedih, senang, kecewa, bahagia, mereka yang selalu menjadi tempatku pulang, orang tuaku.

Air mata kubiarkan mengalir begitu saja, untuk saat ini aku hanya ingin berada diantara kedua orang tuaku, kupencet bel berkali-kali, kulihat jam pukul satu pagi, tidak peduli apakah aku mengganggu waktu istirahat Mama Papaku, aku butuh mereka untuk menghilangkan sakit di dadaku ini.

Mama akhirnya membuka pintu, setelah memastikan bahwa yang datang benar-benar aku, dengan meneleponku. Kulihat tadi, Mama beberapa kali mengintip dari jendela, tingkah Mama yang penakut itu berhasil membuatku tersenyum ditengah rasa sedihku.

Aku dengan cepat masuk dalam rumah yang hampir dua tahun menjadi tempatku tinggal bersama orang tuaku, dan tepat enam bulan terakhir ini aku sudah tidak lagi tinggal bersama mereka, dari hasil bisnis yang aku rintis sejak menginjakkan kaki di luar Jawa ini, aku berhasil membeli sebuah rumah, salah satu bagian dari mimpiku, yang menjadi penunjang dari mimpi utamaku, yakni menikah di usia muda, bersama wanita yang memunculkan rasa cinta, Najma.

"Apa ini? Anak tampan Mama nangis? Terakhir kali kamu nangis waktu pindah dari Jawa kesini? Mau kayak waktu itu lagi? Jangan, dong, Nak! Mama enggak mau kamu mogok makan sampai sakit seperti dulu, kamu lagi kangen suasana Jawa? Ahad kita ke Jawa, kebetulan sepupumu Mas Hendra mau nikah, udah jangan nangis, ya. Udah, baik-baik sama diri sendiri, jangan dzalim pada diri sendiri, nangis enggak apa-apa, yang penting jangan kayak waktu itu lagi, ya!" ujar Mama tampak panik melihatku tersedu, Mama dengan traumanya akibat ulahku dulu.

Bukan mogok makan seperti yang dibilang Mama barusan, aku hanya tidak bernafsu dengan makanan, jenis makanan apapun tidak bisa diterima oleh lambungku, patah hati terhebatku kala itu, yang membuat ragaku menjadi korban, hingga hampir satu bulan aku terbaring di atas ranjang rumah sakit akibat sakit lambung yang hampir saja merenggut nyawaku.

Mama yang berkali-kali mencoba membujuk papa agar bisa kembali ke Jawa demi aku agar sembuh, dan Papa yang hanya diam tanpa kata. Sebagai kepala keluarga ada banyak hal yang mungkin menjadi pertimbangan Papa waktu itu, tanggung jawab besar itu akan sangat sulit dilakukan jika harus kembali ke Jawa, karena di Jawa sudah tidak ada lagi peluang untuk berbisnis, sedangkan disini kesuksesan bisa sangat cepat diraih oleh pebisnis seperti Papa.

Mama juga pernah meminta agar aku dan Mama bisa pulang ke Jawa, menjalani hubungan jarak jauh dengan Papa, namun Papa dengan cepat menolak permintaan Mama.

"Papa bukan seseorang dengan iman yang kuat, jika Papa disini sendirian, akan banyak wanita penggoda yang mendekat, dan Papa tidak mau menerima kehancuran hidup hanya karena nafsu sesaat, mengertilah, Ma! Kita sudah berusaha dengan maksimal agar Irsyad cepat sembuh, sekarang kita gencarkan doa, semoga yang maha kuasa segera angkat penyakit anak kita," ucap Papa kala itu, seperti ada sebuah energi yang tiba-tiba saja menguatkan hatiku, aku ingin seperti Papa, mencintai satu wanita dengan tanggung jawab penuh, dan aku harus sembuh.

Ahad, sekitar pukul tujuh pagi, aku sudah menginjakkan kaki di tanah Jawa, setelah berbagai macam urusan bisnis aku serahkan penuh pada asistenku, dan aku selama seminggu terakhir benar-benar mempersiapkan segalanya untuk berkunjung ke Jawa, termasuk membeli cincin dengan ukuran yang aku yakin akan sangat cantik jika tersemat di jari manis Najma.

Sebelum berusaha mencari alamat rumah Najma hari ini, aku terlebih dulu mengikuti acara sepupuku, Mas Hendra, yang akan melangsungkan pernikahan pagi ini, tepat pukul delapan pagi, aku dan keluarga besar sampai di kediaman calon istri Mas Hendra, rumah dengan gaya lawas, teras dan halaman yang sangat luas, bagian dalam rumah pun demikian, tetap luas meskipun dilengkapi dengan perabotan rumah tangga era modern.

"Kamu Irsyad, kan?" ucap seorang pemuda yang usianya sebaya denganku.

Aku mengangguk sembari mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya, tapi dia justru memelukku.

"Kamu pasti lupa sama aku, kan, Syad? Aku temanmu dulu pas kamu masih sekolah SMA disini," aku hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat kembali masa itu, setidaknya aku harus tau nama orang dengan tubuh kekar yang kini tengah memelukku.

Yang aku ingat, waktu itu aku hanya memiliki satu teman dengan badan super gemuk, berkulit hitam dan berwajah kusam, Beni namanya, dia sangat baik, ketika banyak dari pelajar pria tidak suka kepadaku karena wajahku yang mungkin membuat mereka kalah saing, tapi Beni justru mendekatiku dengan kalimat lucunya yang mengatakan bahwa aku adalah idolanya.

"Aku akan menjadikan kamu role modelku, Bro! Suatu saat aku akan menjadi sepertimu," ucapnya kala itu.

Aku terperanjat, benarkah yang memelukku ini Beni? Jika benar, dia kini telah benar-benar berubah, fisik dan penampilannya seperti bukan Beni yang aku kenal dulu sebagai temanku.

"Kamu Beni?"

"Akhirnya kamu ingat, Bro!" ucap Beni kegirangan sembari melepas pelukannya.

Aku menepuk keras lengannya, dan kembali memeluknya.

Beni yang kini lebih tinggi dari aku itu mengajakku duduk disudut ruang tamu yang menjadi tempat Mas Hendra melangsungkan akad, sembari memegang pundak ku, Beni menceritakan seluruhnya tentang dia bagaimana bisa benar-benar merubah total fisiknya, aku hanya tertawa menanggapi hal-hal lucu yang terselip dalam ceritanya, dan sesekali memuji usaha kerasnya untuk berubah, hingga datanglah bapak penghulu yang dalam sekejap mengheningkan suasana yang tadinya riuh dengan suara yang saling bercerita, termasuk Beni dan Aku yang kini terdiam dan fokus dengan acara ijab qobul yang sesaat lagi akan dimulai.

Mas Hendra tampak sangat biasa, tanpa ada rasa gugup, Mas Hendra bisa dengan cepat menyelesaikan kalimat ijab dengan satu tarikan nafas, berlanjut suara kompak dari saksi nikah yang berkata "Sah!"

Aku tersenyum mendengar Mas Hendra menyebut nama calon istrinya, nama yang sama dengan seseorang yang masih aku perjuangkan untuk bisa berjodoh dengannya,

Tak lama kemudian datang seorang wanita dengan gaun pengantin putih, dan kerudung lebar dengan warna senada.

"Itu Najma yang satu sekolah dengan kita dulu, Syad, yang dari kelas IPA. Baru tau aku, kalau suaminya sepupumu,"

Aku sontak menoleh, tak percaya dengan ucapan Beni yang berada disebelah kiriku.

"Najma?" tanyaku tercekat, beni hanya mengangguk pelan.

Aku menggenggam pergelangan tangan Beni, menariknya keluar dari rumah istri Mas Hendra, masih belum percaya dengan apa yang Beni katakan barusan, dadaku bergemuruh, kecewa dan sedih yang luar biasa, serentak datang menguasai diri.

sesaat sebelum benar-benar keluar dari rumah itu, aku mencoba memperhatikan wajah pengantin wanita, tapi tidak bisa, karena wanita yang baru saja sah menjadi istri Mas Hendra itu menunduk sangat dalam, seperti sengaja menyembunyikan wajahnya dari pandangan seluruh keluarga dan tamu yang melihatnya.

Beni terlihat bingung dengan perubahan rona wajahku yang tiba-tiba, apalagi melihat air mata yang berhamburan keluar dari mataku, seperti tau dengan keadaan hatiku, Beni segera menarik lenganku, berlari kecil menuju rumah yang berada tepat disebelah kanan rumah mertua Mas Hendra tadi.

Beni mengatakan bahwa ini rumahnya, seluruh keluarganya sedang berada dirumah mertua Mas Hendra, dalam sepi aku mencoba mengontrol diri, ada banyak yang ingin aku tanyakan pada Beni yang kini tengah mengambil air minum untukku.

"Ben, tadi beneran Najma yang dulu satu sekolah dengan kita? Dari kelas IPA? Yang kalau kemana-mana sama temannya yang bernama Leni kalau tidak salah, beneran Najma yang itu, Ben?" tanyaku dengan suara berat, dengan air mata yang terus mengucur deras.

"Betul, Syad. Bahkan Leni tadi ada di sana, kamu tidak dengar tadi Mas Hendra, sepupumu itu menyebut namanya pas akad? Haiba Najma Tsakiba, itu nama panjangnya Najma, Syad."

Aku sontak menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, aku bahkan tidak tau nama panjang dari Najma, gadis yang kini telah sah menjadi istri dari sepupuku sendiri, inikah maksud dari kata terlambat yang dikirim Najma sebagai balasan dari pesan panjangku?

"Kenapa, Syad? Kamu suka sama Najma?" tanya Beni yang aku jawab dengan anggukan pelan.

Aku bangkit dari tempat duduk, mondar-mandir dengan rasa putus asa, pemikiran buruk untuk menggagalkan pernikahan yang sudah terjadi entah darimana bisa menghampiri, aku benar-benar seperti di ambang kematian, merasakan kehilangan yang teramat dalam.

"Kenapa kamu tidak pernah bilang dari dulu, Ben? Kalau kamu tetangganya Najma!" bentaku tiba-tiba, yang membuat Beni semakin kebingungan.

"Kamu juga tidak pernah bilang kalau kamu suka sama Najma, Syad! Kalau kamu bilang aku pasti juga akan langsung bilang kalau aku tetangganya Najma," sungut Beni, seperti tidak terima akan sikapku.

Aku kembali menghempaskan diri di sofa ruang tamu Beni, mengusap kasar wajah yang basah karena air mata, entah bagaimana aku akan menjalani hidup kedepannya, benar kata Najma, aku memang terlambat, aku memang menyiapkan segalanya, tanpa mengetahui seluruhnya tentang Najma, andai aku lebih dulu dari Mas Hendra, mungkin seluruh langkah juangku tidak berujung semenyakitkan ini.

"Syad, kamu disini? Mama cariin dari tadi, malah ngumpet disini,"

Beni segera berdiri menghampiri Mama, memperkenalkan diri sembari bersalaman sopan pada Mama, aku dengan langkah cepat mendekati Mama yang masih berdiri di depan pintu, aku memeluk Mama, dengan tersengal-sengal aku menceritakan segalanya, Mama mengeratkan pelukannya, mengusap lembut kepala belakangku, tak berselang lama pundak kananku basah oleh air mata Mama.

Setelah puas menangis menumpahkan semua kesedihan, aku melepaskan diri dari pelukan Mama, Mama tersenyum sedih menatapku, sembari mengusap wajahku yang basah, Mama memberitahu alasan kenapa dia mencariku.

"Kalau begitu kamu disini saja, Syad! Mama sama Papa saja yang foto sama pengantinnya, habis ini kita pulang saja, Mama takut kalau kamu sakit lagi kayak dulu, tetap kuat, ya, Nak! Yakin Allah akan menolongmu dengan cara-Nya," ucap Mama lalu beranjak pergi dari rumah Beni.

Aku mematung melihat mama berlalu, Najma yang seharusnya menjadi calon menantu Mama, tapi justru menjadi menantu saudaranya Mama, aku masih tidak rela, tapi aku bisa apa, salahku juga karena selama ini hanya terbuai oleh bayangan indah tentang masa depan, tanpa memikirkan perkara seperti ini akan terjadi.

Dengan berat langkah, aku memaksakan diri kembali ke rumah Najma, aku hanya ingin melihat wajahnya untuk terakhir kali, tapi ini salah, aku tidak diperbolehkan melihat wajah Najma meskipun aku ingin, ada aturan agama yang mewajibkanku untuk menundukkan pandangan.

Aku pun berbalik arah, namun baru selangkah aku kembali berhenti, lalu balik kanan lagi, meneruskan langkah menuju rumah Najma.

"Maaf, tadi habis angkat telepon," ucapku menghampiri Mas Hendra.

Dalam sekelebat aku melihat, Najma yang sedang dalam pelukan Mama, lalu dilepaskan pelukannya, mungkin Mama terkejut dengan kedatanganku, setelah tadi aku beritahu sesuatu yang aku sembunyikan dengan rapi selama ini.

Mama menggenggam erat tangan kiriku, menguatkanku dan seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Selamat, ya, Mas! Semoga samawa, semoga selalu dimampukan menjadi suami yang benar-benar bertanggung jawab terhadap dunia akhirat keluarga," meskipun dengan suara parau, lisanku masih lancar berucap, terselip harap agar Mas Hendra bisa selalu membahagiakan Najma.

"Terima kasih, Syad!"

Bersambung..

Oleh : Seema Zuhda

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status