Share

Part 7

Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.

Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.

Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.

Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.

Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, satu-satunya sahabatku di masa putih abu-abu, yang tingkahnya persis seperti ijat dalam film kartun si botak kembar.

Aku tersenyum mengingat kekonyolan Leni, mataku yang sejak tadi belum juga berpindah arah pandang, tanpa sengaja bertemu dengan arah pandang Irsyad yang tiba-tiba mendongak lalu tatapannya tepat ke arahku, hanya tiga detik, lalu Irsyad dengan cepat kembali menunduk.

Berganti Tante Narti yang menoleh kebelakang, menatapku yang tanpa beliau sadari aku telah berdiri di belakangnya sejak tadi.

Aku tersenyum, lalu segera mendekat, mencium punggung tangan beliau, lagi-lagi seperti waktu pertama kali kami bertemu, Tante Narti menarik tanganku dengan lembut, lalu memelukku dengan erat, kulihat Ibu mertua yang sejak tadi duduk disamping Tante Narti tersenyum, senyum yang sama sekali belum pernah aku lihat sejak tinggal disini.

"Tante Narti bagaimana kabarnya?" ucapku dalam pelukan Tante Narti.

"Enggak usah tanya kabar Tante, Tante justru yang khawatir sama keadaan kamu disini, kamu baik-baik saja, kan, Ma?" bisik Tante Narti ditelinga kananku.

"Alhamdulillah, Tante. Najma baik-baik saja, kok,"

"Tante ada kabar buruk, nanti Tante ceritain kalau Yune sudah tidur, Tante nginep semalam disini, nanti Tante tidur sama kamu, ya? Hendra lagi dinas, kan?" kali ini Tante tidak lagi berbisik, karena Ibu mertua baru saja pergi ke arah dapur, mungkin mengambil camilan untuk disuguhkan, Yune adalah sebutan Tante Narti untuk Ibu mertua, yang berarti kakak perempuan.

Aku hanya mengangguk pelan, meskipun muncul penasaran dari ucapan Tante Narti barusan, Kabar buruk apa yang Tante Narti bawa? Sekarang jaman digital, bukankah dengan benda pipih bernama handphone kita sudah bisa berbagi kabar, sepenting apakah kabar buruk itu hingga Tante Narti bela-belain terbang kemari hanya untuk menyampaikan kabar itu padaku?

Aku menepis segala tanda tanya yang muncul di kepala, dan sontak tersenyum dengan pemikiranku yang kepedean, Tante Narti dan Irsyad pasti ada urusan penting di Jawa, lalu kabar buruk yang entah apa itu mungkin kebetulan beliau dengar, lalu disampaikan padaku sekalian mampir kesini, dirumah kakaknya Tante Narti, Bapak mertuaku.

"Om Andri enggak ikut, Tan?" tanyaku baru ingat akan ketidakhadiran Om Andri.

"Ikut, tadi di masjid tidak sengaja bertemu sama temannya, masih ngobrol di sana, tadi kamu kenapa mukena bisa nyantol di gerbang, terus lari-lari kayak orang ketakutan?"

Aku membelalak mendengar pertanyaan Tante Narti, berarti mobil yang tadi berhenti depan gerbang? Dan laki-laki bermasker hitam yang membantuku melepas lilitan mukena dipintu gerbang? Irsyad?

Aish.

Sontak aku menutup mata dengan tangan kiriku, sudah pasti karena aku malu, pantesan tadi Irsyad memanggilku, mungkin karena heran dengan tingkahku, orang mau bertamu tapi pintu gerbang malah aku tutup lalu gembok, kemudian lari terbirit-birit kayak habis ketemu hantu.

"Kebelet itu tadi, Dek Nar. Perutnya kebanyakan di isi makanan pedas," celetuk Ibu mertua yang muncul dengan membawa nampan berisi camilan.

Irsyad yang masih berkutat dengan ponselnya, tiba-tiba kudengar dia tertawa pelan, mungkin ada hal lucu di gadget yang dari tadi dipegangnya.

Tante Narti pun ikut tertawa, lalu kembali memelukku yang masih berdiri menahan malu.

*

"Sudah ijin Mas Hendra, Nduk?" tanya Ibu mertua yang selama ini tidak pernah memanggilku seperti itu dan dengan nada selembut itu, apakah beliau sedang pencitraan didepan adik iparnya? Ah, aku segera menepis prasangka buruk, aku baru satu bulan tinggal bersamanya, mungkin ada sisi lain dari ibu mertua yang belum aku tau.

"Belum, Bu." jawabku kemudian.

"Sudah, aku saja yang telpon Hendra, Yu, sebentar," sahut Tante Narti sembari mengambil ponselnya, mencari kontak Mas Hendra lalu memanggilnya.

tak lama panggilan tersambung, dan Tante Narti menyampaikan keinginannya yang ingin mengajakku pergi ke pasar malam yang berada di lapangan desa sebelah.

"Ya sudah, ini kunci pintu rumah sama gerbang bawa, kunci dari luar, Dek Nar," ucap Ibu mertua setelah mendengar percakapan Tante Narti dan Mas Hendra yang mengijinkan aku ikut bersama Tante Narti, sembari menyerahkan kunci rumah pada Tante Narti.

"Gus Yoto enggak pulang, Yu?"

"Gus-mu itu habis subuh baru pulang, tidur sebentar, lanjut ngajar, setiap hari ,ya, seperti itu," jelas Ibu Mertua terkekeh menceritakan kebiasaan Bapak mertua.

Waktu hampir pukul sepuluh malam, angin malam di musim kemarau ini terasa sangat dingin, tanganku yang tengah menyetir motor seperti akan kesemutan, sudah lama aku tidak keluar malam dengan mengendarai motor, Tante Narti berada di belakangku, yang dengan rapat melingkarkan tangannya di perutku, mungkin takut karena aku bonceng dengan motor.

Tadinya Tante Narti mengajakku naik mobil saja, namun aku tolak dengan alasan jalanan di desa akan lebih mudah dilalui jika naik motor.

Padahal alasan utamaku, aku tidak bisa jika harus semobil dengan Irsyad, Meskipun dibersamai dengan Tante Narti dan Om Andri.

Status ku sebagai istri Mas Hendra membuatku harus menjaga betul posisiku agar tidak terjerumus, meskipun pernikahan ini tidak aku inginkan akibat ulah bejat Mas Hendra waktu itu.

"Sama motor dibelakang, Pak" ucapku pada tukang parkir, sembari memberikan uang sepuluh ribu.

"Syad, tunggu disitu aja sama Papa, nanti biar Mama mudah nyari kamu," ucap Tante Narti pada putranya, sambil menunjuk salah satu warung kopi yang berada didekat tempat parkir.

Aku yang telah menerima karcis parkir, segera digandeng oleh Tante Narti yang netranya tampak berbinar melihat gemerlap pasar malam yang ramai pengunjung itu.

"Tanganmu dingin banget, Ma," aku hanya tersenyum mendengar ucapan Tante Narti.

"Tunggu disini sebentar!" Perintah Tante yang sontak melepas gandengan, lalu berlari kecil menuju warung kopi diseberang jalan, yang disana Irsyad tengah duduk dengan Om Andri.

Aku segera membalikkan badan, tidak mau lagi lepas kendali menatap yang bukan mahram.

Sambil menunggu Tante Narti yang mungkin membeli minuman hangat di warung kopi, aku menggosok kedua telapak tanganku, berharap bisa mengusir dingin yang hinggap, sembari menatap lalu lalang pengunjung yang rata-rata dari kalangan emak-emak dan anak-anak.

"Sudah, Ayo!" ujar Tante Narti dari arah belakang, dan aku yang baru saja menganggukkan kepala sebagai respon ajakan Tante Narti barusan, dibuat kaget oleh blazer abu tua yang Tante Narti pakaikan di pundak ku.

Aku segera melepasnya, sebab aku tau siapa pemiliknya, dan memberikan kembali pada Tante Narti.

"Terima kasih, Tan, tapi aku sudah enggak kedinginan," tuturku sopan, sembari meletakkan blazer dengan aroma parfum yang harumnya sangat menyengat itu pada tangan kiri Tante Narti, lalu dengan segera kedua tanganku menggandeng lengan kanannya, dan mengajaknya masuk ke area lapangan tempat pasar malam.

Setelah puas menjajal segala jenis wahana permainan, menonton atraksi pemotor di tong edan, dan uji nyali masuk rumah hantu, kini aku dan Tante Narti duduk di kursi panjang yang disiapkan untuk pengunjung di tepi lapangan, sembari menikmati sosis bakar yang aku beli namun di bayar oleh Tante Narti.

"Kamu siap mendengar kabar buruk yang Tante bilang tadi, Ma?"

"Kabar buruk apa memangnya, Tante?"

"Tentang Hendra,"

"Ada apa dengan Mas Hendra, Tan?"

"Istrinya Hendra sebenarnya bukan hanya kamu, tapi hanya kamu yang sah secara negara, sebelum kamu Hendra sudah menikah dengan dua wanita sekaligus secara agama, dan kabarnya lagi, baru-baru ini Hendra menikah lagi dengan seorang gadis seumuran kamu, kawin siri juga, itu baru yang dinikahi, karena menurut sumber yang Tante percaya, Hendra kedapatan menzinai setiap wanita yang menemaninya minum miras di warung remang-remang langganannya, yang terletak di salah satu desa yang terkenal seluruh wanitanya adalah kupu-kupu malam, selain tukang zina, Hendra juga pemabuk berat, Ma!"

Bersambung..

Oleh : Seema Zuhda

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status