Beranda / Romansa / Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya / Dia bukan anakku, pelacur!.

Share

Dia bukan anakku, pelacur!.

Penulis: Tiffany
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-09 18:44:25

Bagas sontak melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya langsung mundur perlahan, langkah-langkahnya goyah, seolah lututnya kehilangan daya topang. Getar hebat tampak jelas di jemarinya yang menggantung di sisi tubuh. Tatapannya kosong seketika, seperti baru saja ditampar kenyataan yang tak pernah ia bayangkan.

“Apa yang kau katakan barusan?” suaranya tercekat, pelan namun tajam, penuh tekanan. Wajahnya memucat, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Aku hamil."

Tidak ada laki-laki yang tidak akan terguncang mendengar kabar bahwa perempuan yang pernah ia tiduri kini mengandung anaknya. Terlebih bagi Bagas, lelaki muda penuh ambisi yang masih ingin menikmati hidup bebasnya tanpa beban tanggung jawab. Masa depan adalah rencana besar yang belum ingin ia kotori dengan hal-hal yang tak terduga—apalagi sesuatu yang menyangkut anak dari perempuan yang bahkan tak pernah ia anggap penting.

Alika bukanlah tipenya. Jauh dari selera dan standar perempuan yang biasa mengelilinginya—cantik, modis, dan berasal dari keluarga terpandang. Alika hanyalah gadis polos dari kampung, yang pernah ia dekati hanya karena rasa penasaran dan sebuah taruhan konyol dengan teman-temannya. Taruhan bahwa ia bisa mengambil keperawanan seorang gadis lugu. Dan kini, perempuan itu berdiri di hadapannya dengan kalimat yang menghantam seperti palu godam: Aku hamil.

Bagas meneguk ludah. Tenggorokannya terasa kering.

“Jangan main-main denganku,” katanya dengan suara rendah tapi tajam. Rahangnya mengeras, wajahnya kaku, matanya bergerak gelisah. Dalam diam, ia mencoba menata pikirannya yang kalut, mencoba mencerna kemungkinan bahwa Alika tidak sedang berbohong—atau malah sebaliknya, sedang menjebaknya.

“Aku tidak main-main,” sahut Alika dengan bibir bergetar. Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. Ia menatap Bagas dengan cemas, berharap kehadirannya membawa kepastian, bukan kehancuran.

“Aku benar-benar hamil, Bagas.” lanjutnya, suara lirih itu terdengar menyayat. Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah. Ketakutan dalam dirinya nyaris meledak saat melihat ekspresi Bagas yang berubah dingin, nyaris kejam.

Sejak awal ini yang paling dia takuti, dia takut seandainya Bagas tidak menerima kehamilannya. Dan seribu sesal jelas saja menghantam dirinya saat ini.

Bagas terdiam. Matanya terpaku ke arah Alika, namun pikirannya melayang jauh. Kata-kata itu terus bergema dalam benaknya: Aku hamil. Ia mencoba mengendalikan detak jantungnya yang mulai tak karuan. Nafasnya pendek-pendek. Tubuhnya terasa ringan, hampir seperti melayang. Lalu perlahan, ia mengangkat pandangannya dan menatap Alika tajam—tatapan yang bisa membuat siapa pun bergidik ngeri.

“Berani sekali kau membohongiku,” desisnya, suaranya pelan namun penuh ancaman, dia jelas saja tidak akan mempercayainya.

Alika terkejut. Ia mengerutkan kening, air mata mulai membasahi pipinya.

“Kau hanya ingin menekanku karena aku berusaha menjauh darimu. Ini hanya trik murahan agar aku tidak memutuskan hubungan kita, bukan?” Bagas mendengus sinis, tentu saja dia sudah menebak nya.

Itu lagu lama. Ia terlalu sering melihat skenario seperti ini. Perempuan-perempuan yang mengemis, menciptakan drama kehamilan palsu hanya agar tetap berada di sisinya. Bagas meyakini Alika tak jauh berbeda. Tidak ada alasan baginya untuk percaya begitu saja.

Namun Alika tidak menyerah pada tuduhan itu. Ia tahu kemungkinan ini akan terjadi, maka ia datang membawa bukti. Dengan tangan gemetar, ia membuka tasnya, mengaduk isinya dengan panik, lalu mengeluarkan sesuatu—benda pipih yang langsung disodorkan ke arah Bagas.

"Aku sudah melakukan tesnya, bahkan aku melakukannya sebanyak dua kali." Dia mencoba untuk meyakinkan Bagas jika tidak hanya sekali dia melakukan tes kehamilan.

Dengan curiga, Bagas mengambil benda itu. Tangannya menggenggam alat tes kehamilan. Dua garis merah terpampang jelas. Bola matanya langsung membesar, tubuhnya menegang.

“Kita bisa ke dokter untuk memastikannya,” suara Alika gemetar tapi tegas. “Tapi aku tidak mendapat menstruasi bulan ini. Aku yakin ini bukan kesalahan. Aku benar-benar hamil.”

Tangannya bergerak pelan, mencoba menggenggam lengan Bagas. Tatapannya penuh pengharapan, penuh luka. “Kau pernah berjanji akan bertanggung jawab padaku. Temui orang tuaku, Bagas. Lamar aku…”

Tangisnya pecah. Ia menggigit bibir, tak kuasa menahan air mata yang meleleh deras di pipinya.

"Aku mohon."

Bagas mematung. Otaknya mendadak buntu. Ia mengingat dengan jelas bahwa saat itu ia tidak menggunakan pengaman—karena ia yakin tidak akan terjadi apa-apa. Berkali-kali ia melakukan hal yang sama dengan perempuan lain dan semuanya baik-baik saja. Mengapa Alika? Kenapa harus sekarang?

Kepalanya berdenyut hebat. Ia memejamkan mata, menahan pusing yang datang tiba-tiba. Namun ketika ia membuka mata lagi, bukan ketakutan yang muncul—melainkan seringai. Seram. Dingin.

“Kau pikir aku sebodoh itu untuk percaya begitu saja?” tanyanya pedas. “Kau yakin anak itu milikku?” sebaris pertanyaan itu diberikan pada Alika.

Alika terkejut bukan main. “Apa maksudmu, Bagas?”

Bagas melepaskan genggamannya dengan kasar. “Berapa banyak perempuan yang ingin menikah denganku, hah? Gadis-gadis yang bahkan jauh lebih dari dirimu mengemis untuk menjadi istriku. Dan kau pikir kau bisa mendapatkan aku hanya dengan… ini?” tentu saja dia mencibir, baginya hal seperti itu hanya trik murahan. 

"Siapa yang akan percaya dengan hal menjijikan seperti ini, alik?" Dia menunjuk alat tes kehamilan itu dengan jijik, meremehkan Alika dengan tatapan muak.

“Kau tidak lebih dari gadis kampung yang berani menjual diri untuk naik kelas. Kau pikir aku tidak tahu cara-cara licik macam itu? Berpura-pura hamil, menjebak, memohon tanggung jawab. Trik lama.”

Air mata Alika makin deras. Ia tidak menyangka lelaki yang pernah ia percaya, yang sempat ia anggap sebagai penyelamat, kini berkata sekejam itu.

“Bagas… bagaimana bisa kau berkata begitu? Aku mencintaimu…” isaknya.

“Cinta?” Bagas tertawa sinis. “Gadis miskin seperti kamu hanya ingin meraih mimpi cepat. Naik status. Dan menjadikan aku sebagai tangga. Tapi sayangnya, aku bukan orang bodoh.”

Ia menatap Alika dengan pandangan penuh penghinaan.

“Kau bermimpi kalau aku akan bertanggung jawab atas anak yang bahkan belum tentu milikku, pelacur!”

Kata terakhir itu membuat dunia Alika runtuh. Tubuhnya gemetar hebat. Ia mencoba mendekat, menggenggam tangan Bagas, mencoba mengingatkannya akan janji dan kebersamaan mereka.

Namun Bagas menepisnya kasar. Tangannya mendorong Alika dengan satu hentakan kuat.

"Menyingkir dari ku."

Brakkk!

Tubuh Alika terjatuh keras ke lantai. Sebuah suara nyaring terdengar saat tubuhnya membentur lantai, perutnya menghantam keras. Gadis itu mengerang, tubuhnya melingkar memegangi perut, wajahnya memucat, bibirnya bergetar dalam kesakitan yang luar biasa. Namun jauh lebih sakit dari fisik adalah luka batin yang menganga karena dihancurkan oleh lelaki yang ia percayai.

Dan Bagas sama sekali tidak peduli di mana dia menatap jijik ke arah perempuan itu kemudian dia bergerak meninggalkan Alika tanpa perasaan. Bagi nya mana mungkin dia mau bertanggung jawab atas kehamilan perempuan tersebut , dan dia akan menyelesaikan Alika dengan caranya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 114

    Akhirnya keinginan Bagas terkabul. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, sang manajer hotel dengan wajah dingin yang seolah-olah tidak pernah menunjukkan simpati sedikit pun, mengizinkan Bagas untuk naik ke lantai atas dan masuk ke kamar yang dimaksud. Bagas merasa seakan beban berat yang sejak tadi menekan dadanya sedikit berkurang, meski di sisi lain justru muncul kegelisahan baru yang tidak kalah besar. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap pijakan di lantai marmer hotel itu menyeret beban masa lalu yang tidak pernah benar-benar selesai.Di sisi lain, sosok Sadewa yang berdiri tidak jauh darinya sama sekali tidak menunjukkan gelagat akan ikut campur. Pria itu seakan tidak memiliki kepentingan atas apa yang sedang terjadi, tidak merasa perlu ikut serta dalam drama yang tengah Bagas hadapi. Gerak-geriknya justru memperlihatkan ketidakpedulian yang menusuk. Alih-alih mendekat atau sekadar memberi tanda perhatian, Sadewa malah tampak sibuk berbicara dengan seseorang yang

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 113

    “Kenapa kamu ada di sini?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Bagas, terdengar lebih cepat dan lebih kasar dari yang seharusnya. Ia bahkan tidak sempat menimbang kalimat lain yang lebih halus, karena kegelisahan sudah mendesak dadanya sejak pertama kali pandangan matanya tertumbuk pada sosok laki-laki di hadapannya. Tubuhnya menegang, jantungnya berdegup tidak karuan, seolah-olah ada sesuatu yang besar, gelap, dan berbahaya tengah melayang-layang di udara, siap jatuh menimpa dirinya kapan saja.Laki-laki itu—Sadewa. Nama yang tidak asing di telinganya, wajah yang hampir mustahil dilupakan, sosok yang dalam pandangan banyak orang digambarkan sempurna. Dan kini, ia berdiri tepat di hadapan Bagas, membuat seluruh pikirannya kalut, penuh spekulasi, penuh prasangka.Sadewa… Ya, dia laki-laki yang selama ini dianggap banyak orang sebagai definisi kesempurnaan seorang pria. Wajahnya tampan dengan garis tegas, tubuhnya tegap, sikapnya selalu tenang. Tidak pernah sekali pun Bagas m

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 112

    Enam Tahun yang LaluKampus XXXXX JakartaTatapan mata Bagas terhenti pada sosok perempuan yang seharusnya tidak lagi ia lihat, seorang gadis sederhana yang pernah ia rusak masa depannya hampir dua bulan lalu. Atau mungkin sudah lewat lebih lama dari itu—Bagas bahkan tak ingat persis kapan peristiwa itu terjadi. Yang jelas, ia yakin sudah mendekati dua bulan sejak malam penuh dosa itu. Malam di mana ia menghancurkan mahkota kesucian seorang gadis bernama Alika, dengan dalih janji manis pernikahan yang sesungguhnya hanya kebohongan.Bagas mengingat samar bagaimana gadis itu percaya penuh pada ucapannya, menerima rayuan kosongnya, dan menyerahkan sesuatu yang paling berharga dengan harapan akan diikat dalam janji suci. Namun, bagi Bagas, semua itu tidak lebih dari permainan. Mana mungkin ia benar-benar menikahi gadis miskin yang bahkan pakaiannya terlalu sederhana, jauh dari standar pergaulan yang ia kenal? Tidak mungkin, tidak selevel, dan sungguh tidak pantas.Pernikahan yang ia janji

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 111

    Hotel xxxxxx Pusat KotaPesan singkat itu masih jelas terpampang di layar ponsel Bagas."Hotel xxxxxx pusat kota."Itulah kalimat terakhir yang ia terima melalui WhatsApp, sebuah pesan singkat namun cukup untuk membuat seluruh tubuhnya terasa panas, seakan darah mendidih di dalam nadi. Tanpa pikir panjang Bagas langsung melajukan mobil menuju alamat yang tertera. Pedal gas ia pijak dalam-dalam, jarum speedometer terus merayap naik, melawan arus lalu lintas yang padat. Ia tidak peduli pada klakson kendaraan lain yang berbunyi panjang, tidak peduli pada tatapan kesal para pengendara yang ia lewati dengan kecepatan nyaris gila. Yang ada di pikirannya hanya satu: bagaimana caranya sampai secepat mungkin di hotel itu.Setiap detik terasa begitu panjang. Di kepalanya, bayangan wajah Naila berkelebat silih berganti. Wajah istrinya ketika tersenyum, ketika memeluknya dengan hangat, lalu wajah yang kini mungkin sedang bercumbu dengan pria lain di dalam kamar hotel mewah itu. Dada Bagas bergeta

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 110

    Setelah 1 tahun berlalu,Dan ketika ketenangan mulai tidak lagi dirasakan.Bagas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan malam yang lengang. Tangannya mencengkeram erat setir, sementara dadanya bergemuruh hebat, penuh dengan emosi yang tak tertahan. Ada api yang menyala di dalam dirinya, amarah yang membuncah sejak tadi. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan rongga dadanya tak cukup menampung segala ledakan perasaan yang bergolak.Jalanan yang sepi justru memberi alasan kuat baginya untuk semakin menekan pedal gas tanpa ampun. Lampu-lampu jalan berlari mundur, bayangan pepohonan di sisi jalan bergeser cepat seperti ilusi. Di benaknya hanya ada dua kemungkinan malam itu: ia bisa mati di jalanan karena kebutannya sendiri, atau berhasil mengejar waktu untuk menyergap istrinya—Naila—yang ia yakini sedang melakukan sesuatu yang tak seharusnya.“Naila selingkuh.”Kata-kata itu pernah diucapkan berkali-kali oleh sepupunya, Namira. Seolah menjadi mantra jahat yang sel

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 109

    Bab — Malam Penuh KeteganganMalam itu seperti berjalan dengan irama yang berbeda. Jam di dinding ruang bersalin berdetak, tapi setiap ketukannya terdengar jauh lebih lambat dari biasanya, seolah ingin menyiksa kesabaran setiap orang yang menunggu. Lampu putih terang menyelimuti ruangan, menciptakan suasana steril namun dingin, seakan setiap detik di sana adalah ujian mental.Alika terbaring di ranjang persalinan. Tubuhnya sudah berkeringat, meski pendingin ruangan menyala cukup dingin. Nafasnya tersengal, pendek-pendek, berusaha mengikuti arahan bidan yang tak henti memberikan instruksi lembut. Wajahnya pucat, rambutnya sebagian menempel di dahi karena basah oleh keringat.Sadewa duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya erat-erat. Genggamannya kuat, seakan ia bisa memindahkan sedikit rasa sakit itu dari tubuh Alika ke dirinya sendiri. Jantungnya berdetak cepat, namun bibirnya berulang kali berusaha tersenyum menenangkan, meski jelas senyum itu penuh kepura-puraan.“Bang…” s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status