Share

Aku hamil

Author: Tiffany
last update Last Updated: 2025-05-09 18:27:55

Alika meremas kedua telapak tangannya dengan gelisah. Sejak pagi, matanya terus menyapu sekeliling, mencari-cari sosok Bagas. Lelaki itu telah menghindarinya selama berminggu-minggu, dan sikap dinginnya kini berubah menjadi sesuatu yang membuat hati Alika benar-benar kacau. Bagas baru bersedia menemuinya—jika Alika mau diajak ke hotel dan menghabiskan malam bersamanya.

“Alika?”

Suara lembut itu datang dari Joanna, sahabat terdekatnya.

“Ya?” Alika menoleh, menatap Joanna dengan pandangan kosong, tak benar-benar mendengar apa yang dikatakannya tadi.

“Kamu nggak dengar apa yang aku ucapkan dari tadi, ya? Ada masalah?” Joanna menatapnya dengan dahi berkerut, bingung melihat ekspresi resah di wajah sahabatnya.

“Bahkan...” Joanna memutar-mutar jari telunjuknya, memperhatikan Alika lebih saksama. “Pandanganmu ke mana-mana. Kamu sedang mencari seseorang? Ada yang terjadi?”

“Ah, tidak. Maaf,” Alika menjawab lirih, kembali meremas tangannya dan menghindari kontak mata dengan Joanna.

“Kamu pucat, maksudku…” Joanna menghentikan ucapannya sejenak. Ia menatap wajah Alika dengan seksama.

Terlalu pucat. Terlalu kurus. Nafasnya pun terdengar tidak beraturan.

Joanna menggeleng pelan. Entah apa yang dipikirkannya, tapi kekhawatiran mulai merayap.

“Aku hanya kelelahan,” ucap Alika cepat, berusaha menenangkan.

“Jangan terlalu memaksakan diri. Kamu bisa bekerja, kuliah, bahkan bantu orang tua, tapi jangan lupa, Alika, kesehatanmu juga penting,” kata Joanna cepat, suaranya penuh iba.

Sudah bukan rahasia lagi di kampus mereka soal latar belakang Alika—mahasiswi jalur prestasi dan beasiswa. Tanpa otak cemerlang, tak mungkin Alika duduk di bangku kampus elite itu. Kehidupan Alika sangat kontras dengan mahasiswa kebanyakan yang hidup dalam kemewahan dan glamor. Banyak yang mencoba mengikuti gaya hidup para ‘elit’ dan tumbang di tengah jalan. Tapi Alika, dia memilih jalur aman—meski jalur itu perlahan menghancurkan jiwanya.

Alika hanya mengangguk lemah. Semua orang tampaknya mengkhawatirkan kesehatannya. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih berat yang tengah dia sembunyikan. Bahkan dari orang tuanya.

“Pulang nanti langsung kerja?” Joanna bertanya lagi.

Alika mengangguk.

“Nggak bisa libur sehari aja? Aku ingin ajak kamu ke suatu tempat.” Nada suara Joanna berubah riang, penuh semangat, matanya menyiratkan harapan.

“Mau ke mana?” Alika mengerutkan kening.

“Rahasia.” Joanna terkekeh, meletakkan jari telunjuk ke bibirnya.

Alika hendak menjawab, namun tatapannya tiba-tiba terhenti. Di kejauhan, sosok yang sejak tadi dia cari akhirnya muncul.

“Bagas…” gumamnya pelan. Napasnya tercekat.

Tanpa pikir panjang, ia langsung melangkah, mencoba mengejar pria itu. Joanna terkejut, berusaha menyusulnya.

“Hey, Alika! Aku cuma bercanda, kok. Ada apa?” Suara Joanna nyaris tenggelam oleh langkah cepat Alika.

Joanna akhirnya mengikuti arah tatapan Alika. Di sana—Bagas. Bersama seorang gadis yang menggandeng lengannya. Wajah Bagas seketika panik melihat Alika mendekat.

“Bagas! Kita perlu bicara!” seru Alika, napasnya memburu, wajahnya cemas.

“Apaan sih? Aku pikir nggak ada yang perlu dibahas di antara kita. Kamu kenapa, sih? Aku sudah tolak cinta kamu, kenapa kamu masih nggak tahu malu?” kata Bagas dingin, sinis. Matanya menatap Alika seperti melihat sampah.

Tubuh Alika kaku. Genggaman tangannya di lengan Bagas perlahan mengendur.

“Apa?” bisiknya dengan bibir bergetar.

“Hei, kalian dengar, kan?” seru Bagas keras. “Lihat gadis miskin ini! Dia nembak aku, aku tolak, sekarang dia ngejar-ngejar aku kayak orang gila!”

Suasana mendadak gaduh. Mahasiswa-mahasiswi di sekitar menoleh, berkerumun, bisik-bisik.

Joanna ternganga. Tak percaya apa yang ia dengar. Alika mundur selangkah, tubuhnya gemetar hebat.

“Bagas… kau bicara apa?” suara Alika parau, nyaris tak terdengar. Wajahnya memucat.

Sakit. Kata-kata Bagas seperti pisau yang menusuk-nusuk harga dirinya. Padahal, lelaki itu pernah mengucapkan janji manis yang membuatnya menyerah sepenuh hati.

“Aku udah bilang, aku tolak kamu, gadis kampung. Jangan buat keributan di kampus ini!” Bagas semakin keras, sengaja membuatnya tampak menjijikkan di depan publik.

Orang-orang mulai bergunjing.

“Dia pikir siapa dirinya?”

“Perempuan nggak tahu malu.”

“Kasihan banget... nggak tahu diri.”

“Memalukan. Bikin perempuan kelihatan murah.”

Tatapan sinis menghujani Alika. Ia tak lagi bisa membedakan mana yang lebih menyakitkan—penghinaan dari Bagas atau bisikan dari orang-orang di sekitarnya.

Joanna nyaris menarik Alika menjauh, tapi sebelum ia sempat bertindak, Alika kembali melangkah maju.

“Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu… setelah semua yang kita lalui?” Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya.

Belum sempat ia bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi, Bagas sudah lebih dulu menghancurkannya.

Bagaimana jika ia mengatakan yang sesungguhnya?

Bahwa dirinya tengah mengandung anak Bagas.

Apakah lelaki itu akan lebih kejam dari hari ini?

Bukankah Bagas yang menggoda, merayu, dan memberinya janji manis? Bukankah lelaki itu yang dulu membuatnya percaya… hingga menyerahkan segalanya?

Dan sekarang… setelah semuanya terjadi, Bagas memperlakukannya seperti sampah.

“Setelah semua apa?” Bagas meninggikan suara. Di balik nada kasarnya, ada kegelisahan yang samar. Ia khawatir Alika akan membuka aib mereka di tempat umum. Itu akan menghancurkan reputasinya.

Mana sudi dia mengakui pernah tidur dengan gadis kampung yang tak sepadan?

Dan Alika, bola matanya berkaca-kaca, menatap lelaki di hadapannya seolah tak percaya. Ucapan Bagas barusan menghantam hatinya tanpa ampun. Seketika, jutaan sesal menyerbu dirinya—rasa hancur yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata. Ia menggeleng pelan, tangan kanannya secara naluriah menyentuh perutnya.

Belum sempat ia mengungkapkan keadaan sebenarnya, Bagas sudah lebih dulu menolaknya, bahkan merendahkannya. Alika menggigit bibir. Jika begini respons Bagas sebelum tahu kebenarannya, bagaimana reaksi laki-laki itu bila tahu ia sedang mengandung anaknya? Apakah ia akan semakin memakinya?

Padahal sejak awal, Bagaslah yang lebih dulu menggoda, merayu, menyuapinya dengan janji-janji manis hingga ia kehilangan arah dan menyerahkan segalanya. Kini, setelah semuanya terjadi, dengan enteng Bagas memperlakukannya seolah ia tak lebih dari sampah.

Dan jika saat ini ia mengungkapkan bahwa ia tengah mengandung anak Bagas, akankah laki-laki itu menendangnya sejauh mungkin? Tidak mengakuinya? Tidak mengakui anak mereka?

“Kau benar-benar tidak tahu malu.” Dan Bagas berusaha menahan kemarahannya. Bagi Bagas, Alika bukan siapa-siapa. Ia tak lebih dari kotoran yang pantas dibuang setelah dipakai.

“Apa kau ingin memutarbalikkan keadaan? Menuduh aku yang menggoda?” Bagas menaikkan sebelah alisnya. Tatapannya tajam, penuh ancaman. Ia menatap Alika seperti hendak menyuruhnya diam, agar tak menimbulkan masalah.

“Kau yang mengejarku. Orang-orang pun bisa menebaknya. Jadi, jangan berlagak seolah-olah aku yang menggoda,” tudingnya dingin.

“Aku tidak pernah berpikir seperti itu, Bagas... kau...” suara Alika tercekat. Tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Bagas sudah mencengkeram lengannya.

Tanpa aba-aba, lelaki itu menyeretnya menjauh dari kerumunan. Tindakan tiba-tiba Bagas membuat semua orang di sekitar, termasuk gadis yang berdiri di sampingnya dan Joanna, terperanjat. Mereka hanya bisa terdiam saat Bagas menarik Alika secara kasar, membawanya ke arah parkiran dengan langkah cepat.

Di dalam dadanya, Bagas dipenuhi amarah. Ia ingin segera menyelesaikan semuanya—mengancam, membungkam, atau bahkan menyogok Alika agar menghilang. Rasa jengkel menggunung dalam dirinya sejak ditolak untuk kembali meniduri perempuan itu. Jika Alika bersedia kembali tidur dengannya, mungkin ia masih bisa mempertimbangkan hubungan diam-diam di belakang semua orang. Lagipula, baginya, Alika hanya tempat pelampiasan. Tak lebih.

“Kenapa kamu sebodoh ini mengejarku? Aku sudah bilang... hubungan kita selesai jika kamu tidak mau kembali tidur denganku.” Bagas menggertakkan giginya. Di parkiran yang sepi, ia mencengkeram wajah Alika kasar, menekannya hingga perempuan itu meringis.

“Bagas... sakit...” Alika berbisik lirih, suaranya penuh ketakutan. Ia mencoba melepaskan diri, namun genggaman Bagas terlalu kuat.

“Pergilah… menjauh dariku, dan berhentilah membuatku muak. Kau yang memutuskan untuk berhenti dan mengakhiri hubungan ini.”

Bagas akhirnya bicara. Rahangnya mengeras, sorot matanya penuh amarah, menatap tajam ke arah Alika. Bola matanya yang memerah jelas menunjukkan betapa marahnya dia.

“Kenapa kau seperti ini?” suara Alika bergetar, lirih, nyaris tak terdengar. “Aku… aku tidak pernah bilang ingin mengakhiri hubungan kita." Air mata mulai jatuh perlahan dari pelupuk matanya, membasahi pipi yang pucat.

“Bagaimana bisa kau berkata hubungan ini telah berakhir, Bagas? Itu… itu tidak mungkin.”

Bayangkan bagaimana bibir Alika bergetar saat kata-kata itu meluncur, seolah menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kesedihan.

“Aku hamil…” ucap Alika akhirnya, lirih. Patah.

Dan bayangkan bagaimana ekspresi Bagas berubah drastis ketika mendengar kalimat itu. Wajahnya yang tadinya marah membeku, matanya membelalak, seperti menolak percaya.

“Apa…?” suaranya serak. Tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Aku hamil,” ulang Alika dengan suara serak,

hampir seperti bisikan. Getar di nadanya tak bisa disembunyikan, dan air matanya kini mengalir deras di kedua pipinya.

“Aku… aku takut…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 144

    Bab: Bayangan di Balik JeritanHening.Namun bukan hening yang menenangkan — melainkan hening yang menggigit, membungkam napas, dan membuat waktu terasa macet di antara detik yang panjang.Alika masih duduk di kursi kayu itu, tangannya terikat di belakang, kulit pergelangannya memerah dan lecet oleh gesekan tali kasar. Cahaya lampu di langit-langit bergetar pelan, seperti sedang menahan napas bersama dirinya.Bagas masih berdiri di depan, tubuhnya tegap tapi goyah — seperti seseorang yang berjuang menahan kegilaan yang hampir tumpah. Di tangan kanannya, kain hitam itu terlipat rapi, sedangkan di tangan kirinya ia memegang pita plastik, mengelusnya perlahan seolah sedang menenangkan diri.Suara tetesan air dari pipa bocor di sudut ruangan masih terdengar. Ritme lambatnya seperti jam pasir yang menghitung waktu menuju kehancuran.“Bagas,” suara Alika memecah hening itu, pelan, datar, tapi cukup untuk membuat laki-laki itu berhenti.Ia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata merah ya

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 143

    Bab Terjebak dalam Bayangan BagasUdara yang menusuk dingin menyambut Alika ketika kelopak matanya perlahan terbuka. Napas pertamanya terasa berat dan getir, seolah udara di sekelilingnya membawa aroma karat dan debu yang melekat di dinding. Cahaya redup dari lampu kuning pucat bergetar pelan di langit-langit ruangan, menciptakan bayangan yang menari-nari samar di dinding bata yang sudah terkelupas. Suara gemericik air menetes di suatu sudut, lambat, ritmis, dan memantul di seluruh ruangan yang hening.Ia mencoba memfokuskan pandangan, dan barulah menyadari keadaan dirinya. Tali kasar menjerat kuat kedua pergelangan tangannya di belakang kursi kayu tua, membuat kulit di bawahnya perih dan memerah. Kakinya pun terikat, meski tidak seketat tangan, cukup untuk membuatnya sulit bergerak. Tubuhnya terasa berat, lidahnya kering, dan kepalanya berdenyut. Ia tahu efek obat yang diberikan Bagas tadi belum benar-benar hilang dari sistem tubuhnya.Alika menarik napas panjang, mencoba mengatur de

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 142

    Bab: Dalam Cengkeraman ObsesiPelukan Bagas pada tubuh Alika semakin erat, seakan ia hendak menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa kali ini ia tidak akan lagi kehilangan perempuan itu. Kedua lengannya mengunci rapat, menolak segala kemungkinan Alika bisa melepaskan diri. Tubuh perempuan itu nyaris tak berdaya, berat seakan tidak lagi memiliki tenaga untuk menolak. Langkah kaki Bagas terdengar berat, namun setiap hentakannya mengandung kepastian. Suara dentum sol sepatunya bergema pelan di lantai ruangan yang sunyi, memantul ke dinding yang putih dingin, lalu hilang dalam keheningan yang terasa mencekik.Pintu belakang ruang periksa ia dorong perlahan. Gerakannya hati-hati, seperti seekor hewan buas yang menyelinap keluar dari sarangnya, memastikan tak ada mata lain yang menyaksikan. Matanya liar, bergerak cepat dari sisi ke sisi, penuh kewaspadaan namun juga menyimpan semangat yang membara. Pandangan itu bukan lagi pandangan seorang pria waras, melainkan tatapan seseorang yan

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 141

    Bab: Jerat Obsesif BagasRuang periksa itu diliputi keheningan yang begitu menekan. Hanya ada dengung monoton mesin pendingin di langit-langit yang sesekali terdengar beradu dengan detak jarum jam di dinding. Bau antiseptik yang tajam menusuk hidung, bercampur dengan aroma obat-obatan yang menempel pada udara. Suasana itu kaku, dingin, seolah menyelimuti setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang tak terlihat.Alika duduk bersandar lemah di kursi periksa, tubuhnya tampak ringkih meski ia berusaha menegakkan bahu agar tidak terlihat kalah. Wajahnya pucat, rahang tegang menahan rasa pusing yang semakin menusuk kepala. Kelopak matanya terasa berat, pandangannya mulai berkunang-kunang, seperti dunia di sekelilingnya sedang goyah. Nafasnya sedikit lebih cepat, dadanya naik turun dengan ritme yang tidak stabil, namun ia tetap mencoba mengatur diri agar terlihat tenang di depan pria yang kini berdiri di hadapannya.Pria itu, Bagas, berdiri tidak jauh. Sorot matanya tak pernah lepas dari tub

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 140

    Bab: Rasa Aneh yang MerambatRuang periksa itu kembali diliputi keheningan yang menyesakkan. Cahaya putih lampu neon menyinari setiap sudut ruangan, begitu terang namun justru menambah kesan dingin dan kaku. Bau antiseptik menusuk tajam, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan yang terus berputar tanpa belas kasih. Suasana yang seharusnya menenangkan malah terasa seperti jeruji tak kasatmata, menahan napas siapa pun yang berada di dalamnya.Di ruangan itu, hanya ada dua sosok yang saling berhadapan: Alika dan Bagas. Jarak fisik mereka tidak jauh, hanya dipisahkan meja dan kursi yang sederhana, namun jarak batin yang membentang terasa amat luas, nyaris tak terjembatani.Alika mengangkat gelas yang baru saja diberikan Bagas. Cairan bening di dalamnya tampak biasa saja, tanpa aroma yang aneh, tanpa warna yang mencurigakan. Dengan gerakan tenang, ia meneguk sedikit saja—hanya sekadar membasahi bibirnya—lalu meletakkannya kembali di atas meja. Tidak ada ekspresi lega, tidak ada

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 139

    Suasana ruang periksa itu kembali dipenuhi ketegangan yang begitu pekat, seolah-olah udara di dalamnya menjadi lebih berat, menekan ke setiap sudut ruangan hingga sulit bernapas. Lampu putih di atas kepala memancarkan cahaya terang yang menusuk, tetapi terasa dingin, kaku, dan sama sekali tidak membawa kehangatan. Suara detak jam dinding terdengar jelas, memecah kesunyian yang kian menyesakkan, seperti menghitung setiap detik yang berjalan begitu lambat.Alika melangkah pelan, seolah setiap gerakannya terukur dengan hati-hati agar tidak runtuh oleh emosi yang masih bergemuruh di dadanya. Ia lalu meletakkan Choco, kucing mungil kesayangannya, di atas meja periksa dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya bergerak halus, jemarinya menyentuh bulu cokelat lembut itu, seakan memberi rasa aman pada makhluk kecil yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Choco menguap kecil, memperlihatkan gigi mungilnya, kemudian meringkuk dengan nyaman sambil mengeluarkan dengkuran lirih. Suara i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status