Setelah 1 tahun berlalu,Dan ketika ketenangan mulai tidak lagi dirasakan.Bagas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan malam yang lengang. Tangannya mencengkeram erat setir, sementara dadanya bergemuruh hebat, penuh dengan emosi yang tak tertahan. Ada api yang menyala di dalam dirinya, amarah yang membuncah sejak tadi. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan rongga dadanya tak cukup menampung segala ledakan perasaan yang bergolak.Jalanan yang sepi justru memberi alasan kuat baginya untuk semakin menekan pedal gas tanpa ampun. Lampu-lampu jalan berlari mundur, bayangan pepohonan di sisi jalan bergeser cepat seperti ilusi. Di benaknya hanya ada dua kemungkinan malam itu: ia bisa mati di jalanan karena kebutannya sendiri, atau berhasil mengejar waktu untuk menyergap istrinya—Naila—yang ia yakini sedang melakukan sesuatu yang tak seharusnya.“Naila selingkuh.”Kata-kata itu pernah diucapkan berkali-kali oleh sepupunya, Namira. Seolah menjadi mantra jahat yang sel
Bab — Malam Penuh KeteganganMalam itu seperti berjalan dengan irama yang berbeda. Jam di dinding ruang bersalin berdetak, tapi setiap ketukannya terdengar jauh lebih lambat dari biasanya, seolah ingin menyiksa kesabaran setiap orang yang menunggu. Lampu putih terang menyelimuti ruangan, menciptakan suasana steril namun dingin, seakan setiap detik di sana adalah ujian mental.Alika terbaring di ranjang persalinan. Tubuhnya sudah berkeringat, meski pendingin ruangan menyala cukup dingin. Nafasnya tersengal, pendek-pendek, berusaha mengikuti arahan bidan yang tak henti memberikan instruksi lembut. Wajahnya pucat, rambutnya sebagian menempel di dahi karena basah oleh keringat.Sadewa duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya erat-erat. Genggamannya kuat, seakan ia bisa memindahkan sedikit rasa sakit itu dari tubuh Alika ke dirinya sendiri. Jantungnya berdetak cepat, namun bibirnya berulang kali berusaha tersenyum menenangkan, meski jelas senyum itu penuh kepura-puraan.“Bang…” s
Bab — Malam Penuh KeteganganMalam itu datang dengan tenang, seolah langit sedang menjaga sebuah rahasia besar yang belum terungkap. Bulan menggantung redup, separuh wajahnya tertutup awan tipis yang berarak pelan. Di rumah kecil Sadewa dan Alika, lampu ruang tamu sudah dimatikan, menyisakan cahaya temaram dari kamar utama. Suara jam dinding berdetak pelan, seperti menghitung waktu yang semakin mendekat ke sebuah momen yang ditunggu-tunggu namun juga mencemaskan.Alika berbaring di ranjang dengan tubuh yang kian berat. Perutnya sudah membesar sempurna, menandai usia kandungan yang memasuki bulan terakhir. Malam itu, ia terbangun oleh rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang perut bagian bawahnya. Tarikan rasa sakit itu datang cepat, menusuk seperti gelombang singkat, lalu hilang kembali.Tangannya spontan meraih sisi ranjang, menggenggam sprei erat-erat. Nafasnya tertahan, kemudian keluar dengan berat. Ia menoleh ke samping, melihat Sadewa yang terlelap dengan posisi miring, wajahnya tenan
Bab — Sepasang yang DinantiBeberapa bulan kemudian…Ruang pemeriksaan itu terasa hangat oleh cahaya lampu putih yang lembut, cahaya yang memantul pada dinding-dinding berwarna krem pucat, menghadirkan kesan bersih dan menenangkan. Aroma antiseptik tipis masih tercium, bercampur dengan suara samar-samar mesin yang berdengung, menambah kesan khas ruangan medis. Suasana di dalam ruangan itu begitu khidmat, seolah-olah setiap detik sedang menjadi saksi perjalanan besar sebuah kehidupan baru yang tengah tumbuh.Di hadapan mereka, layar monitor menampilkan bayangan hitam-putih yang bergerak pelan, sesekali bergoyang halus seiring pergerakan alat USG di tangan sang dokter. Di layar itulah, sebuah sosok mungil tampak bersemayam—bayi kecil yang menjadi pusat perhatian, pusat harapan, dan sumber kebahagiaan yang tidak terlukiskan bagi Sadewa dan Alika.Alika, yang berbaring di ranjang pemeriksaan dengan perut kian membesar, menggenggam erat tangan Sadewa. Jemari keduanya saling bertaut, saling
Bagas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan malam yang lengang. Tangannya mencengkeram erat setir, sementara dadanya bergemuruh hebat, penuh dengan emosi yang tak tertahan. Ada api yang menyala di dalam dirinya, amarah yang membuncah sejak tadi. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan rongga dadanya tak cukup menampung segala ledakan perasaan yang bergolak.Jalanan yang sepi justru memberi alasan kuat baginya untuk semakin menekan pedal gas tanpa ampun. Lampu-lampu jalan berlari mundur, bayangan pepohonan di sisi jalan bergeser cepat seperti ilusi. Di benaknya hanya ada dua kemungkinan malam itu: ia bisa mati di jalanan karena kebutannya sendiri, atau berhasil mengejar waktu untuk menyergap istrinya—Naila—yang ia yakini sedang melakukan sesuatu yang tak seharusnya.“Naila selingkuh.”Kata-kata itu pernah diucapkan berkali-kali oleh sepupunya, Namira. Seolah menjadi mantra jahat yang selalu mengusik pikiran Bagas. Ia ingat jelas bagaimana Namira, dengan wajah p
Bab — Cahaya Baru di Rumah MerekaPagi itu, Sadewa membuka matanya lebih dulu, sebelum cahaya matahari sepenuhnya menembus celah tirai kamar. Udara terasa lembut, hangat, bercampur dengan aroma khas rumah yang tenang. Ia membalikkan tubuhnya sedikit, pandangannya langsung jatuh pada wajah Alika yang masih tertidur dengan damai. Nafas istrinya naik turun teratur, lembut, seakan sedang mengiringi lagu pagi yang penuh ketenangan.Senyum kecil muncul di wajah Sadewa. Ada rasa syukur yang kembali menyeruak, seperti setiap pagi sejak kabar kehamilan itu mereka terima. Bedanya, kali ini ia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana perubahan kecil demi kecil yang terjadi pada istrinya saat pertama kali hamil. bagaimana Alika kini mulai mengeluh mual atau terkena morning sickness akibat menampung kehidupan baru, buah cinta mereka.Sebab dulu saat Alika hamil Langit, istri nya sama sekali tidak pernah mengeluh. Lebih tepatnya, Alika tidak berani mengeluh mengingat bagaimana pernikahan a