Bab — Sepasang yang DinantiBeberapa bulan kemudian…Ruang pemeriksaan itu terasa hangat oleh cahaya lampu putih yang lembut, cahaya yang memantul pada dinding-dinding berwarna krem pucat, menghadirkan kesan bersih dan menenangkan. Aroma antiseptik tipis masih tercium, bercampur dengan suara samar-samar mesin yang berdengung, menambah kesan khas ruangan medis. Suasana di dalam ruangan itu begitu khidmat, seolah-olah setiap detik sedang menjadi saksi perjalanan besar sebuah kehidupan baru yang tengah tumbuh.Di hadapan mereka, layar monitor menampilkan bayangan hitam-putih yang bergerak pelan, sesekali bergoyang halus seiring pergerakan alat USG di tangan sang dokter. Di layar itulah, sebuah sosok mungil tampak bersemayam—bayi kecil yang menjadi pusat perhatian, pusat harapan, dan sumber kebahagiaan yang tidak terlukiskan bagi Sadewa dan Alika.Alika, yang berbaring di ranjang pemeriksaan dengan perut kian membesar, menggenggam erat tangan Sadewa. Jemari keduanya saling bertaut, saling
Bagas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan malam yang lengang. Tangannya mencengkeram erat setir, sementara dadanya bergemuruh hebat, penuh dengan emosi yang tak tertahan. Ada api yang menyala di dalam dirinya, amarah yang membuncah sejak tadi. Setiap tarikan napas terasa berat, seakan rongga dadanya tak cukup menampung segala ledakan perasaan yang bergolak.Jalanan yang sepi justru memberi alasan kuat baginya untuk semakin menekan pedal gas tanpa ampun. Lampu-lampu jalan berlari mundur, bayangan pepohonan di sisi jalan bergeser cepat seperti ilusi. Di benaknya hanya ada dua kemungkinan malam itu: ia bisa mati di jalanan karena kebutannya sendiri, atau berhasil mengejar waktu untuk menyergap istrinya—Naila—yang ia yakini sedang melakukan sesuatu yang tak seharusnya.“Naila selingkuh.”Kata-kata itu pernah diucapkan berkali-kali oleh sepupunya, Namira. Seolah menjadi mantra jahat yang selalu mengusik pikiran Bagas. Ia ingat jelas bagaimana Namira, dengan wajah p
Bab — Cahaya Baru di Rumah MerekaPagi itu, Sadewa membuka matanya lebih dulu, sebelum cahaya matahari sepenuhnya menembus celah tirai kamar. Udara terasa lembut, hangat, bercampur dengan aroma khas rumah yang tenang. Ia membalikkan tubuhnya sedikit, pandangannya langsung jatuh pada wajah Alika yang masih tertidur dengan damai. Nafas istrinya naik turun teratur, lembut, seakan sedang mengiringi lagu pagi yang penuh ketenangan.Senyum kecil muncul di wajah Sadewa. Ada rasa syukur yang kembali menyeruak, seperti setiap pagi sejak kabar kehamilan itu mereka terima. Bedanya, kali ini ia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana perubahan kecil demi kecil yang terjadi pada istrinya saat pertama kali hamil. bagaimana Alika kini mulai mengeluh mual atau terkena morning sickness akibat menampung kehidupan baru, buah cinta mereka.Sebab dulu saat Alika hamil Langit, istri nya sama sekali tidak pernah mengeluh. Lebih tepatnya, Alika tidak berani mengeluh mengingat bagaimana pernikahan a
Bab — Bayangan Masa LaluBagas berdiri di samping mobil, tubuhnya goyah seakan kehilangan keseimbangan. Nafasnya berat, tersengal, seolah ada sesuatu yang menghimpit dadanya begitu kuat. Keringat dingin mulai merembes di pelipis meski sore itu udara tidak terlalu panas.“Pak, Anda baik-baik saja?” Rio kembali mengulang, kali ini suaranya lebih mendesak.Bagas tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri mematung, matanya kosong menatap lantai parkiran yang dipenuhi garis cat putih dan hitam. Dunia seakan berputar, membuatnya nyaris kehilangan pijakan.Alika.Nama itu bergaung begitu keras di dalam kepalanya, menggema tanpa henti, menusuk setiap sudut kesadarannya. Sosok perempuan itu muncul lagi setelah bertahun-tahun ia berusaha menyingkirkannya dari hidup. Perempuan yang seharusnya ia jaga, yang seharusnya ia cintai… tetapi justru ia hancurkan dengan tangan dan kesalahannya sendiri.Dan anak itu.Bayangan wajah bocah kecil yang berdiri di samping Alika tadi kembali mengoyak batinnya. A
Bab — Pertemuan yang Tidak DiundangMalam belum tiba, tetapi langit kota sudah mulai memudar warnanya. Sisa cahaya matahari yang menempel di dinding-dinding gedung tinggi perlahan ditelan oleh bayangan panjang, meninggalkan kesan senja yang redup di antara gemerlap lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Bagas menatap arlojinya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tiga.Pertemuan dengan salah satu investor seharusnya berlangsung siang ini, di restoran sebuah hotel berbintang di pusat kota. Namun, agenda berubah. Investor itu mendadak menunda hingga malam, alasan yang diberikan sederhana—urusan mendesak dengan klien luar negeri. Bagas tidak bisa berbuat banyak selain menyesuaikan diri, meski dalam hati ia merutuk jadwal yang berantakan.Ia sudah terlanjur berada di sekitar kawasan hotel. Perjalanan dari kantor menuju sini memakan waktu, dan kembali lagi hanya untuk menunggu akan terasa mubazir. Perutnya juga belum diisi sejak pagi, hanya ditopang oleh secangkir kopi
Bab — Rapat yang KosongPagi itu, cahaya matahari merambat perlahan menembus kaca jendela tinggi di lantai sepuluh gedung perusahaan cabang Baskoro. Kota di bawah sana masih padat dengan deru kendaraan, suara klakson, dan hiruk-pikuk manusia yang bergegas menuju tujuan masing-masing. Namun semua itu hanya terdengar sayup, nyaris lenyap di balik kedapnya kaca modern. Yang tersisa hanyalah siluet jalanan, laju mobil yang tampak seperti semut kecil dari ketinggian, serta bayangan gedung-gedung lain yang berbaris kaku.Di dalam ruang rapat, udara begitu berbeda. Pendingin ruangan berdesis pelan, meniupkan hawa dingin yang menusuk kulit, meninggalkan sensasi kaku dan formalitas yang tak bisa dihindarkan. Kursi-kursi kulit hitam berjajar rapi mengelilingi meja panjang berbentuk oval, permukaannya mengilap karena dipoles setiap pagi oleh petugas kebersihan. Di atas meja, tumpukan berkas, map tebal, botol air mineral, dan laptop yang terbuka memenuhi pandangan.Bagas duduk di kursi paling ten