LOGINBagaimana jika seorang detektif andal yang menyimpan trauma, terobsesi pada seorang penulis amatir, yang naskah fiksinya menjadi panduan pembunuhan berantai? *** WARNING! Cerita ini bukan untuk kalian yang memiliki pola pikir hitam vs putih, malaikat vs setan, baik vs jahat. *** SINOPSIS Gregory Evans, seorang detektif dengan masa lalu kelam, tak bisa mengenyahkan bayangan seorang wanita muda berambut pirang dan bermata hijau yang tak sengaja bertabrakan dengannya di depan stasiun kereta api bawah tanah. Greg bahkan menyimpan lembaran judul naskah cerita kriminal yang jatuh dari tangan wanita itu. Yang mengejutkan, judul naskah itu ditemukan di sebuah TKP pembunuhan di samping jasad korban. Hal yang mengindikasikan bahwa pembunuhan tersebut adalah pertunjukan yang meniru fiksi. Greg segera melacak wanita pemilik naskah tersebut yang tak lain adalah Tara Bradley, seorang pustakawan pemalu yang terobsesi menjadi penulis sukses. Tara yang menggunakan nama pena 'Violet Crow' mengakui telah menulis naskah itu sebagai fantasi balas dendam atas para penulis yang telah mencuri idenya. Kini, wanita itu dihantui oleh naskahnya sendiri. Seseorang di luar sana mewujudkan fantasinya tanpa perasaan, tanpa kompromi. Greg yang menyadari bahwa Tara adalah pusat dari misteri ini, terjebak di antara tugasnya sebagai detektif dan ketertarikan pribadi yang tumbuh sejak awal pertemuan mereka. Dia berpacu dengan waktu untuk mengungkap identitas sang pembunuh sebelum babak selanjutnya dari The Silent Slasher terwujud. Sekaligus mempertaruhkan karirnya karena terlibat hubungan terlarang dengan Tara.
View More"Pernahkah kau mengenal dan mengagumi seorang wanita, karena dia terlihat begitu polos, seakan tak tersentuh kerusakan dunia? Sebelum kemudian kau sadar, dialah yang memadamkan seluruh lentera di hidupmu. Aku pernah. Dulu. Dulu sekali. Waktu aku masih seorang bocah yang tak berdaya. Sekarang, wanita semacam itu muncul lagi di hidupku. Hanya saja, kali ini, aku lebih berkuasa darinya. Sekaligus terobsesi pada kegelapannya."
Gregory Alistair Evans *** Pagi merambat pelan menyentuh jendela sebuah rumah bergaya Victoria di kawasan Mayfair. Langit di atasnya masih gelap oleh awan tebal. Dan di lantai dua rumah itu, lampu kuning temaram masih menyala dari balik tirai ruang kerja. Di dalam ruangan, seorang wanita duduk gemetar di depan meja kayu. Rambut ombre merah mudanya acak-acakan. Mata dengan contact lens ungunya membelalak dalam ketakutan yang merayap dari tengkuk hingga ke ujung jari. Piyamanya basah oleh keringat dingin. Kainnya menempel di kulit. Wanita itu seorang penulis. Baru saja menandatangani kontrak besar untuk novel berikutnya. Dunia menyebutnya berbakat. Akan tetapi, pagi itu, dia bukan siapa-siapa. Tangannya bergerak pelan di atas tombol-tombol mesin ketik tua. Satu per satu. Mengikuti instruksi yang dibisikkan oleh seseorang di belakang punggungnya. Dentuman tiap huruf terdengar nyaring. Bersahutan dengan laju detik jarum jam yang menunjukkan pukul 05.40. Tidak seperti ketukan biasa. Lebih seperti hukuman yang sedang dijatuhkan. Di belakangnya, sosok dengan jaket bertudung kepala warna gelap menelusuri rak buku. Tangannya yang terbungkus sarung tangan latex hitam menyentuh buku-buku yang berjajar. Lalu, berhenti di satu novel dengan nama wanita itu tertera di sampul. Dia menariknya perlahan. Membolak-balik. Bibirnya terangkat sedikit, bukan senyum, lebih seperti cemoohan. "Hebat sekali," ucapnya lirih. "Sampul cantik. Tapi isinya... aku rasa kita tahu dari mana asalnya." Wanita itu tidak menjawab. Dadanya naik-turun dengan cepat. Suara tarikan napasnya meneriakkan ketakutan. Matanya menatap kosong ke mesin ketik. Seolah-olah menoleh ke belakang bisa memperburuk situasi. Sosok bertudung itu berjalan pelan. Jemarinya menyusuri permukaan bingkai foto. Foto sang penulis saat menerima penghargaan 'Penulis Muda Berbakat'. Senyumnya lebar. Dia berdiri di tengah lampu sorot dan buket bunga. "Senang rasanya dipuja banyak orang, ya?" bisik sosok itu. Dia menoleh. "Aku juga pernah dipuji. Tapi tidak pernah mencuri." Wanita itu menoleh perlahan, tubuhnya gemetar. "Aku tidak tahu apa maksudmu... Kumohon... ini semua hanya kesalahpahaman..." Sosok tadi meletakkan buku yang dipegangnya. Beralih ke dinding tempat piagam-piagam tergantung rapi. Salah satunya bahkan dibingkai dengan emas tipis. Dia menyentuhnya, mengusapnya perlahan dengan jari seperti sedang membaca jejak dosa. "Kau punya banyak pengakuan. Tapi, tidak satu pun pengakuan untuk orang yang sebenarnya menulis kisah itu lebih dulu." "Sosok itu melangkah perlahan mendekat kembali ke meja. Diletakkannya lima lembar kertas di depan si wanita. "Akhir kisah hidupmu sudah ditulis. Kau mau membacanya?" "Aku... Aku akan melakukan apa pun. Aku bisa bayar. Berapa pun yang kau minta..." Wanita itu mengiba. Bibirnya dan suaranya bergetar. Air matanya luruh seperti hujan yang kembali turun. "Aku tidak butuh uangmu," sahut lawan bicaranya. Pelan. Rendah. Namun, terdengar seperti sedang menyampaikan berita buruk. "Yang kubutuhkan..." Dia membelai lembaran kertas di tangannya, "...adalah menuntaskan akhir bab ini." Wanita itu kian tersedu sambil menggeleng. "Aku tidak mencuri! Cerita itu... itu ide umum. Siapa pun bisa menulisnya!" Sosok itu berjalan pelan ke arah rak kecil tempat guntingan-guntingan kliping disematkan. Dia mengambil salah satunya dan membaca sepenggal kalimat. "Bakat muda yang mengguncang industri penerbitan Inggris dengan suara unik dan penuh orisinalitas." Dia terdiam sesaat sebelum memiringkan kepala dan bertanya, "Ironis, bukan?" Tidak ada teriakan. Tidak ada bentakan. Akan tetapi, setiap kata yang terucap dari mulutnya merambat di udara seperti ancaman yang nyata. Sang penulis wanita berdiri mendadak. Terdorong oleh insting untuk menyelamatkan diri. Kursinya terjatuh ke belakang. "Tolong! Jangan lakukan ini. Tinggalkan aku! Aku mohon..." Dia berlari menuju pintu. Sungguh nahas, pintu itu terkunci. Tangannya dengan tak sabar memutar kenop dan mengguncangnya dengan sekuat tenaga. "TOLONG! SIAPA PUN! TOLONG AKU!" Namun, tetap tidak ada jawaban. Hanya suara napasnya yang terpecah memenuhi ruangan. Diikuti suara denting seperti logam dicabut dari porosnya. Wanita itu menoleh. Napasnya tertahan. Sosok di belakangnya memegang dua batang besi kecil. Tombol huruf dari mesin ketik. "Jangan... kumohon..." Wanita itu menggigil kali ini. Suara langkah kaki perlahan mendekat menggema di udara. Setiap langkah seperti siaran ulang masa lalu yang tidak bisa dihapus. "Aku akan mengaku! Aku akan menulis pengakuannya! Aku akan membatalkan kontrak! Aku akan..." Terlambat. Yang terdengar selanjutnya adalah desis napas terakhir. Meninggalkan bekas cipratan merah di permukaan pintu, lantai, dan dinding. Wajah wanita itu menunduk. Tubuhnya terjatuh di lantai berlapis karpet warna krem. Beberapa menit kemudian, dia sudah kembali di kursinya. Kepalanya terkulai di atas meja. Darahnya membasahi lima lembar naskah di bawah dagunya. Dua batang tombol huruf menancap di lehernya. C dan V. Bersambung...Pintu di belakang Tara menutup dan terkait dengan suara pelan. Seolah mengunci mereka berdua di dalam ruangan yang intim itu. Wanita itu mempersilakan Greg mendahuluinya, melewati dapur kecil yang temaram.Tara tidak tahu pasti. Alasan apa yang bisa membuatnya membiarkan pria asing bernama Gregory Evans itu masuk. Selain karena pria itu menunjukkan pengenal sebagai polisi. Mungkin... ketakjuban, yang membuatnya nyaris tak bisa memercayai penglihatannya sendiri. Pria bermantel abu-abu di trotoar stasiun Holloway Road pagi tadi... yang seperti tokoh detektif di film noir... yang buru-buru Tara hindari... kini berdiri di depannya.Tara yakin. Itu dia. Tidak salah lagi. Meskipun, pria itu telah mengganti mantel dengan blazer yang juga berwarna abu-abu. Blazer yang pas membentuk bahu lebarnya, yang kontras dengan keadaan Tara yang kacau.Rambut hitamnya. Mata kelabunya. Celana jeans gelap. Aroma parfum bercampur tembakau yang sama meskipun lebih pudar. Tara tidak mungkin lupa. Dan di
Greg tidak langsung keluar dari mobil saat tiba di Notting Hill. Pria itu duduk diam di belakang kemudi. Matanya menatap bangunan apartemen bata merah di seberang jalan. Di atasnya, langit mulai berubah warna. Dari kelabu pucat menjadi kelabu pekat. Seperti sesuatu yang sedang menantinya di depan sana.Tangan kirinya bertumpu di atas kemudi. Jari-jarinya menyentuh permukaan jam tangan dengan tali kulit hitam. Benda itu masih terawat. Hadiah dari institusi dua tahun lalu. Setelah Greg berhasil menutup kasus pembunuhan satu keluarga di Camden. Kasus yang merusak tidur banyak orang. Termasuk dirinya.Kasus itu juga yang membawanya ke posisi Kepala Detektif Inspektur, sekaligus menghancurkan kehidupan pribadinya.Hari ini, rasa itu kembali.Akan tetapi, ada yang berbeda.Sesuatu tentang wanita bernama Tara Bradley membuat pikirannya tidak bergerak dengan logika yang biasa.Apakah ini soal insting penyelidikannya......atau sesuatu yang lebih intim?Dalam hati, Greg mengakui. Ini bukan k
Greg baru saja hendak menekan tombol interkom ketika pintunya diketuk. "Masuk," ujarnya tanpa menoleh.Dari balik pintu, seorang wanita muda, lebih muda dari Tara, dengan rambut coklat berpotongan bob dan poni rata muncul. Tubuhnya yang mungil dibungkus gaun formal biru muda dan cardigan putih. Sebuah kontras dibandingkan dengan maskulinitas yang mengisi setiap sudut kantor polisi Hackney. Seakan mempertegas perbedaan itu, di tangannya, ada sebuah piring berisi beberapa potong pastries. "Snack sore dari Komandan, Inspektur," ucap wanita itu, Lucy Redcliff, semringah. Matanya yang biru terang berbinar-binar. Kehadirannya di ruangan Greg seperti sinar matahari kebahagiaan yang menyusup di tengah badai yang tak kunjung reda. Justru karena itulah, jadi terasa asing dan menjengkelkan. Greg mengangkat wajahnya, ekspresi wajahnya yang semula tegang melembut. Sebuah respon yang sudah dia latih. Agar Lucy merasa nyaman dan kerasan bekerja bersamanya.Pria itu tertawa rendah. "Terima kasih,
Sore menjelang ketika ponsel Greg berdering. Getaran kecil di atas meja membuat cangkir kopinya ikut bergetar. Di layar, muncul nama Liam Stewart. Pena Greg yang semula bergerak di atas lembaran evaluasi tim, langsung terjatuh di atasnya. "Ya, Liam.""Inspektur," balas Liam dengan suaranya yang parau dan cepat. Seperti seseorang berhari-hari terkena serangan insomnia. "Aku sudah menemukan info soal Tara Bradley dan nama pena Violet Crow.""Langsung saja, Liam," perintah Greg sambil memijat pelipisnya.Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan ke jendela. Pria itu mengintip ke halaman gedung dari balik tirai aluminium yang setengah tertutup. Dari tempatnya berdiri, Greg bisa melihat bentangan langit kelabu dihiasi matahari pukul tiga yang enggan bersinar. Sepertinya, gerimis masih akan turun seperti kasus yang tak pernah berhenti berdatangan.Di trotoar halaman markas, beberapa petugas beristirahat. Mereka berbincang, mengepulkan asap rokok, dan menyesap kopi dari gelas kertas. Seoran
Hari menjelang siang. Jejak hujan di permukaan aspal mulai mengering. Suasana di salah satu jalan di kawasan Notting Hill itu diliputi keheningan. Sebagian besar penghuni pergi bekerja atau beraktivitas di dalam ruangan.Di dalam apartemen kecilnya, Tara mencoba mengalihkan perhatian dari pesan misterius yang tadi diterimanya. Ada tugas dari Kepala Perpustakaan Kota Notting Hill, tempat dia bekerja. Tugas itu harus selesai sebelum pukul tiga. Hari ini adalah hari libur perpustakaan. Seharusnya, Tara bebas tugas. Namun, seperti pegawai lainnya, dia tidak berani menolak perintah Ellaine Stapleton. Tara tidak mau ambil risiko terus menerus ditekan sampai akhirnya terpaksa mengundurkan diri.Ponsel dia matikan dan sembunyikan di kabinet dapur. Agar tidak membuyarkan konsentrasinya."Itu hanya orang iseng," pikir Tara sambil mendengus pelan, setengah menghibur diri. Berupaya mengenyahkan kegundahannya.Pandangannya kini tertuju pada halaman kosong di layar laptop. Jemarinya bertengger di
Udara siang itu terasa lembab ketika Greg kembali ke kantor. Bekas hujan masih membayang di kaca mobilnya. Dia melangkah cepat, seolah-olah ingin menyalip detak jarum jam yang berputar tanpa terasa. Pria itu bahkan melewatkan ajakan makan siang dari Rachel.Tak ingin membuang waktu, Greg langsung menuju ruangannya. Dia melewati lorong yang dipenuhi aroma kopi, kepulan asap rokok, dan dengungan printer tua, tanpa menyapa siapapun. Sesampainya di meja, Greg membuka ponselnya. Di dalamnya, ada beberapa foto yang berisi hasil bidikan yang telah membuatnya gelisah sejak meninggalkan TKP Clarissa Maynard. Jemarinya menekan dan memperbesar gambar di dalamnya. Bab satu naskah The Silent Slasher yang ditulis oleh seorang penulis bernama Violet Crow. Nama yang terdengar asing. Entah memang dia tidak terkenal. Atau, Greg yang belum pernah mendengar namanya.Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu menarik kursi dan membenamkam punggung di sandaran. Tangannya membuka folder gallery perlahan. S






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments