Kalista bangun subuh-subuh untuk pulang ke rumah ibunya. Dia baru ingat jika tidak membawa seragam kerja untuk mengajar. Ketika dia menuruni tangga, Jihan memergokinya.
"Kalista, mengapa berjalan mengendap-ngendap? Mau kemana subuh-subuh begini?" "Aku ingin pulang. Hari ini aku bekerja dan lupa membawa baju dinas," jawab Kalista jujur. "Hari ini hari sabtu, bukan? Biasanya mengajar pakai baju apa?" "Ada baju batik khusus yang dikenakan "Tidak bisa baju batik yang lain? Kalau bisa, aku punya, kok." Jihan terlihat keberatan mengizinkan Kalista untuk pulang. "Tidak bisa, Han. Kami harus memakai baju batik yang seragam." Helaan napas Jihan terdengar lumayan berat, kemudian seperti terpaksa untuk tersenyum lebar. "Aku akan suruh supir mengantarmu." "Tidak usah. Aku akan pesan ojek online saja." "Tidak bisa, Kal. Kau sekarang istrinya Bian. Jadi kau berhak menggunakan semua fasilitas dan pelayanan di rumah ini." Kalista tidak membantah kali ini. Nada suara Jihan terdengar berbeda. Tampak lebih tegas dari biasanya. Membuat Kalista sedikit menciut dan menebak-nebak bila suasana hati sahabatnya sedang tidak bagus. Apa yang membuatnya demikian? Jangan-jangan, Jihan berpikir kalau Kalista dan suaminya habis mengalami malam yang panas. Padahal seluruh badan Kalista pegal-pegal, karena tidur di lantai. Kalista pun pulang diantar supir. Ketika ia tiba di rumah, ibunya heboh dan menanyainya pertanyaan beruntun. "Kok pulang, Kal?" Kalista enggan menjawab. Namun Melisa membututi sampai ke depan pintu kamar mandi. "Kal, ada apa? Jangan katakan kalau kau diusir Bian gara-gara tidak melayaninya dengan baik malam tadi?" Kalista tidak ada waktu untuk melayani praduga sang ibu. Kalista menutup pintu kamar mandi dan segera menyalakan shower. *** Jihan membuka pintu kamar yang ditempati Kalista dan suaminya malam tadi. Jihan tersenyum ketika mendapati suaminya masih meringkuk dengan selimut membungkus tubuhnya. Namun senyumnya luntur ketika mendapati selimut yang terlipat rapi di lantai dan bantal yang diletakkan di atasnya. Jihan langsung menghampiri suaminya dan menyibak selimut. Suaminya pulas dengan pakaian lengkap Padahal selama ini, Bian selalu tidur bertelanjang dada. Bian yang membuka mata perlahan dan mendapati sang istri tercinta di hadapannya, langsung saja menariknya hingga membuat tubuh mungil Jihan terjatuh di atas tubuhnya. "Istriku." Senyum manis Bian menyapa pagi Jihan yang sempat galau. Jujur, meskipun pernikahan Bian dan Kalista adalah usul dari Jihan sendiri, sebagai istri pertama tetaplah terbesit kesedihan dan rasa sakit. Namun Jihan selalu meneguhkan hati bila pilihannya tidak salah. Apalagi Kalista adalah sahabat yang paling ia percaya. Jihan tidak bisa tidur semalaman akibat memikirkan suami dan sahabatnya yang berbagi peraduan. Namun setelah dirinya memasuki kamar ini, Jihan yakin bila malam tadi tidak ada yang terjadi sama sekali diantara Bian dan Kalista. "Mas, malam tadi kalian tidak tidur bersama?" "Tidak. Sahabatmu itu tidur di lantai ketika aku masuk ke sini. Ya, aku bisa apa?" Bian berkilah dan mengendikkan bahu. Jihan mendesah lelah. Harusnya ia tahu kalau Kalista akan melakukan itu. Sepulang Kalista dari bekerja, ia harus berbicara serius dengan sahabatnya itu. "Sayang, aku masih tidak setuju dengan pernikahan ini. Aku melakukan ini, karena murni rasa cintaku padamu. Aku tidak ingin kau nekat seperti malam tadi." "Mas, sayangi Kalista seperti Mas Bian menyayangiku. Kalista itu baik. Bahagiakan dia. Dia pernah gagal berumah tangga dan kehilangan anak. Jangan disakiti, Mas." Bian ingat bila malam tadi sudah berbicara kasar pada Kalista. Meski Jihan mengatakan permohonannya, tetap saja sosok Kalista sudah cela dimata Bian. Terlebih-lebih ibunya yang rela menukar putri kandungnya sendiri dengan sejumlah uang. Ibunya saja matrealistis, bagaimana Kalistanya. "Mas, janji, ya? Janji untuk mencintai Kalista." "Sayang, alasanmu apa sebenarnya jadi memaksa kami menikah? Aku tidak masalah bila tidak punya anak, Jihan. Keinginanku untuk menikahimu, karena murni ingin hidup bersamamu sampai di surga kelak. Tidak ada terbesit niat lain." Jihan tahu bila rasa cinta Bian terhadapnya murni dan tulus. Andai pernikahannya hanya melibatkan antara dirinya dan Bian saja, maka tidak akan jadi soal. Masalahnya adalah keluarga Bian, terutama ibunya. Ibunya sering bertanya mengenai kapan Jihan akan memberinya seorang cucu. Jihan pikir selama ini, Tuhan memang belum memberinya kepercayaan untuk memiliki buah hati. Namun ketika dirinya dan Bian melakukan pemeriksaan, kenyataan pahit harus diterima Jihan. Dia mandul. "Ibumu ingin cucu, darah dagingmu. Membahagiakan orang tua itu kewajiban kita, Mas." "Jihan, kita bisa mengadopsi anak tanpa harus melibatkan Kalista. Lagipula apa kata keluarga besar nanti bila mereka mengetahui soal Kalista." "Kau tenang saja, Mas. Jihan akan membicarakan hal ini pada keluarga besar. Oh ya, Mas. Nanti siang, jemput Kalista di sekolah tempat dia mengajar." Bian malas sekali rasanya harus melakukan itu. Ah, baru hari pertama jadi istrinya, si Kalista itu sudah merepotkannya saja. Jihan tahu kalau Bian enggan menjemput Kalista. Namun, Jihan selalu bisa membuat luluh suaminya. "Aku menjemputnya demi dirimu." Biarlah awal-awalnya Bian terpaksa, pikir Jihan. Nanti lama-lama, Bian akan terbiasa dan akhirnya mereka bisa saling mencintai. "Aku yakin bila Kalista adalah wanita yang tepat untuk mendampingimu." Hmm. Masih saja Jihan membahas soal Kalista. Bian rasanya jenuh mendengarnya. Tetap saja, yang paling pantas menjadi pendamping hidupnya adalah Jihan. "Ingin ku beri satu rahasia, tidak?" Jihan semakin menyamankan posisinya di pelukan Bian. "Apa itu? Cepat beritahu aku yang penuh rasa ingin tahu ini." Jihan terkikik geli,"Sebenarnya Kalista itu penggemar beratmu saat masih SMA. Dia sering memperhatikanmu diam-diam. Kalista selalu memberitahuku tentang apa saja yang mas lakukan. Dia menjadi pengagum rahasiamu sampai dua tahun lebih. Tapi Mas Bian malah mendekatiku." Informasi itu tentu membuat Bian jadi berpikir bila Kalista pasti memiliki niat terselubung, yakni mendekatinya agar menjadi miliknya seutuhnya, karena dulu hanya sebatas mengagumi dirinya dari jauh. Namun Bian tidak akan pernah mau berpaling dari Jihan. Jihan adalah sosok sempurna di mata Bian. Dibanding Kalista, tentu Jihan adalah dewi terindahnya yang paling sempurna. Kalista tidak ada apa-apanya dibanding Jihan. Jadi sangat tidak mungkin Bian bisa mengasihi Kalista. "Sebenarnya aku waktu itu, merasa tidak enak pada Kalista. Kalista mengatakan tidak masalah bila Mas Bian mendekatiku. Tapi aku bisa tahu kalau Kalista sedih. Sejak itu, Kalista tidak pernah lagi cerita tentang Mas. Kalista juga jadi menghindari topik tentang Mas Bian bila aku ingin cerita." "Ck, untuk apa kau merasa bersalah? Lagipula rasa suka itu tidak bisa dipaksakan. Dia menyukaiku, tapi aku tidak menyukainya. Dia tidak berhak protes apalagi marah. Buktinya kita sekarang berjodoh dan saling mencintai " Jihan mengusap dada sang suami yang tertutup kain. "Kalista tidak pernah protes apalagi marah. Justru berkat Kalista, aku jadi tahu banyak hal tentang Mas Bian. Kalista juga bersedia menemaniku memilihkan kado untukmu saat ulang tahun dulu. Ulang tahun pertama Mas Bian yang dirayakan saat kita pertama kali berpacaran. Ingat, kan?" Bian ingat kado pertama yang ia terima dari Jihan. Sepasang sepatu yang akhirnya selalu dipakai Bian selama pertandingan basketnya semasa sekolah dulu. "Ya sudah, Mas. Aku ingin memasak sarapan dulu." Jihan mengurai pelukan Bian. Namun Bian tidak membiarkan Jihan untuk beranjak dari pelukannya. "Aku minta jatah pagi, Sayang."Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu