Share

10. Clark Kent KW 3

Aku masuk ke kamarku dan menyalakan laptopku sambil berbaring di kasur super empukku, aku akan menghubungi Evan, si superman yang merangkap pengikut setiaku lewat aplikasi skype. Kuhubungi dia dan dalam dua kali panggilan, muncullah wajah Clark Kent kw.3 di monitor laptopku.

"Evan... you must help me..!" Aku berteriak pelan ke headset yang kupasang agar pembicaraanku tidak didengar siapapun.

"Help?" Tanyanya gak connect, bingung dengan ekspresi lebayku barusan.

"Yup... Bokap gw mau ngawinin gw sama om-om dari Brunei..!!" Jawabku dengan dramatis ke sohib kelahiran Melbourneku ini.

"Soo...??" Jawabnya lagi.. ihh ni anak, otaknya rakitan mana sih.. lemot banget gak loading-loading. Aku diam sambil memelototi layar laptop, menunggu si superman abal ini nyambung dan menangkap maksudku.

"Oh... my... Gosh... really??" Teriaknya lebay, "tell me... tell me..," dan akhirnya aku menceritakan kejadian aku di sofa ruang tamuku itu.

Evan adalah mahasiswa jurusan hukum di kampusku, sedangkan aku mengambil jurusan fotografi di kampus yang sama, kami bertemu pada homecoming yang berisi mahasiswa-mahasiswa upperclass, alias populer, dan si Evan ini salah satu bintangnya kampus, ganteng, kulit kecoklatan karena berjemur dan dia pemain basket andalan kampus. 

Aku yang saat itu jadi trending di kampus karena fashion keluaran terbaru yang selalu nempel di tubuhku diundang ke kasta kelas atas itu dan mengenal Evan lalu akrab dengannya saat itu juga.

Evan memberitahuku bahwa aku bisa mengatakan tidak saat acara pernikahanku nanti, dia bilang, kan kamu pasti ditanya bersedia nikah apa enggak sama om-om itu. Humm... sesaat aku optimis dengan masalah ini, badai pasti berlalu, yupp... Evan benar. Lalu, 1 menit kemudian aku termenung menatap wajah Evan di monitor ku, ada kalung berbentuk salib di lehernya. Hish... Evan sableng.

"Evaaan.... Im a moslem!!!" Teriakku sambil berbisik kepadanya.

"So what??" Tanyanya gak berdosa.

"Beda lah.. yang berhak menikahkan aku tu ya cuma si papi, kalau papi udah acc, aku ga bisa bilang enggak," jelasku padanya.

"Its not fair..!!" Teriaknya lagi.

Mungkin yang sableng di sini adalah aku, bertanya kepada teman beda bangsa, budaya dan agama.

"But.. itu hukumnya di kami... Evan.. tell me.. I'm dead!" Ucapku lemas dan menutup mataku sejenak.

"You're dead!" Jawabnya sambil ketawa dan malah menyuruhku menikmati pernikahanku dengan om-om tajir asal Brunei.

 

"Kau senang teman cantikmu harus berending tragis seperti ini? bahkan captain tim football di Aussy minta aku pacaran sama dia.. aku tolak. Famous loh dia! Dan sekarang nasibku mau dinikahin dadakan sama om-om pula!"

"Aku sedih, tapi... mungkinkah itu sebuah karma?" Evan tertawa kencang, "Itu karma untukmu yang bertingkah seperti princess dan menolak pria-pria yang naksir dengan kamu!"

"Jahat! How could you! Jangan-jangan kamu sekongkol sama papi!"

"Kenal aja enggak... sekongkol lagi! Udah... enjoy deh... tanggung enak!" Ucapnya cekikikan, sungguh kalau ia secara fisik ada si Jakarta, aku akan menghajarnya habis-habisan. 

Kesal, aku putuskan koneksi video call dari temanku itu dan memutuskan untuk mengistirahatkan badanku, berharap tidur bisa menghapus kenyataan pahit hidupku.

Keesokan harinya, sesuai dengan kebiasaan keluarga ini, sarapan bersama, saat yang dulu selalu kunanti karena satu-satunya waktu berkumpul dengan keluarga, namun sekarang menjadi saat yang paling menakutkan. Kenapa? Karena harus berhadapan dengan papiku. 

Saat ini, aku sedang duduk di meja makan, memandang ke arah papi dengan mata anak kucing terlantar yang minta diberi susu, aku berharap si papi mau mengkasihaniku dan membatalkan rencana konyol itu. 

Aku sudah merencanakannya sejak pagi tadi, berpakaian tertutup dipadu dengan wajah mengenaskan, mudah-mudahan manjur. Ku tetapkan pilihan berpakaian hari ini dengan dress coklat selutut berlengan panjang dengan kerah menyerupai sweater keluaran ModCloth kupadukan dengan legging coklat muda dengan motif tribal.

Papi yang kupandangi dengan wajah layu, malah balik menaikkan alisnya bingung, lalu seakan mengerti raut wajahnya kembali menjadi datar.

"Percuma... keputusan ini sudah fix, nanti sore kamu terbang ke Brunei dan pendekatan dengan calon suamimu, kamu akan tinggal dirumah keluarganya, karena dia sudah tinggal di apartemen pribadinya sendiri!" Ucap papi sambil mengambil sandwich tuna dan mengunyahnya santai.

"Semua sudah diurus, mulai dari pakaianmu, paspor, supir sudah beres, kamu tinggal berangkat," lanjutnya.

Lemas, pasrah.. Itu yang kurasa saat ini, aku masuki kamarku, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Mau tak mau aku harus menurut dengan perintah papi, alasan pertama adalah karena beliau adalah satu-satunya orangtua ku, bandel-bandel gini aku masih takut durhaka. Lalu alasan kedua, karena papi sudah terlanjur merencanakan semuanya dan kalau aku nekat kabur nama papi dan perusahaan yang hancur. 

Kuputuskan untuk menyiapkan pakaian yang akan kupakai nanti menuju Brunei, walau galau ga berarti aku ga mikirin fashion, fashion itu adalah penghiburku disaat lelah... serius aku udah mulai ngaco.

Saat ini, menjelang sore hari di Brunei Darussalam, tepatnya di Bandar Seri Begawan, di dalam sebuah mobil yang membawaku menuju rumah calon mertuaku (katanya) dan yang menjemputku tadi di bandara adalah supir pribadi keluarga si om-om nyebelin itu.

 

Dari awal sebenarnya aku tidak berharap untuk perhatian lebih dari si calon suamiku itu, tapi mbok yaa dijemput gitu loh. Sudahlah, abaikan, ku nyalakan Handphoneku setelah mengganti sim yang bisa beroprasi disini. Sekitar 20 menit perjalanan, aku tiba di sebuah rumah mewah yang berada di perkampungan tak jauh dari BSB. Walau letaknya di kampung, akses jalan utama bisa untuk dilewati lima mobil, tepat di depan rumah ini ada sebuah departement store cukup besar. 

Rumah berlantai dua dengan halaman yang sangat luas, dan kulihat dari luar terdapat dua mobil diparkir berdampingan, "mudah-mudahan rumahnya sepi," doaku dalam hati setelah melihat hanya ada dua mobil yang terparkir di halaman luas yang bisa dijadikan lapangan sepak bola. Memang sepanjang perjalanan, kulihat mayoritas penduduk di wilayah ini memiliki lahan dan rumah yang besar dan asri, sebagian bergaya victorian dan lainnya bergaya modern. 

Aku bersimulasi dalam hati, kalau si calon sudah sangat tua aku akan pura-pura kesurupan sampai dia ilfill denganku. Kalau si calon gak terlalu tua tapi jelek, aku mau pura-pura pingsan sampai ileran biar dia ilfil sama aku. Kalau si calon muda, ganteng, baik kayak Joong Ki aku langsung pura-pura muntah karena hamil, lho?

Kalau si calon memang memiliki rumah ini, postif ia memang orang tajir melintir, tapi.. kalau ini hanya milik orangtuanya dan dia gak punya apa-apa... beh, ogah deh, meni-pediku sebulan aja udah puluhan juta, emang situ sanggup? Baju eike sebulan harus beli minimal lima setel dan harus couture, gengsi aku kalau harus pakai baju branded biasa. Semoga.. oh semoga pria yang menjadi calonku seperti Lee Joongki yang ganteng, tajir, bening dan baik hati.


Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sitiwaniza Siti
pasrah dengan nasib diri sebagai anak yang harus menurut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status