Share

11. Goes To Brunei

Aku berdiri di depan pintu kayu rumah megah ini, memandang ke bawah melihat penampilanku. Coat pink selutut dengan renda keluaran ModCloth dipadu dengan dark wash jeans dan sepatu balet pink keluaran JimmyChoo, secara keseluruhan penampilanku sangat layak dan sopan. 

Kuketuk pintu di hadapanku sekali,... tak ada jawaban, kuketuk lagi pintu itu, ... tak ada jawaban lagi.

"Humm... pertanda buruk dari langit!!" Ucapku pelan dengan kesal.

Kuketuk lagi pintu di depanku dengan kesal, dan masih tak ada jawaban, kulihat tanganku yang sudah memerah akibat mengetuk, no.. no.. menggedor lebih tepatnya pintu nyebelin di depanku ini.

Supir yang tadi mengantarku akhirnya datang menghampiriku dengan senyum ramah, pria yang rambutnya semua berwarna abu-abu mungkin 50an menurutku, dia memencet bel rumah yang... ternyata oh ternyata ada di sebelah kananku, tepatnya di dinding dan berada 10 centi dari kepalaku. 

"Memang orang Brunei jangkung-jangkung apa ya... masang bel rumahnya tinggi banget," dumelku dalam hati.

Dipencetnya bel rumah dua kali oleh sang bapak supir, lalu pintu itupun dibuka oleh seorang wanita dengan kerutan halus diwajah, dan berbusana muslim sederhana. Wanita itu tersenyum ramah kepadaku. Kesan pertamaku,"...gak jangkung.. terus maksud bell rumahnya tinggi apa coba?" Batinku.

"Faiza? You're so beautiful!" Ucapnya sambil memelukku, aku yang dipeluk malah bengong, kalau dipuji cantik sudah biasa, tetapi ini langsung dipeluk ibu-ibu yang tidak kukenal, di negara orang pula.. kalau aku warga keturunan arab mungkin ekspresiku saat ini adalah, "ajiiiibbb."

Saat pelukan itu berakhir, wanita di depanku ini mengelus rambutku perlahan, dari pucuk kepalaku sampai ke pundak, dan diulangnya sebanyak 4 kali sambil tersenyum manis menatap manik mataku.

Reaksiku? Jangan tanya reaksiku seperti apa.. heran, speechless, dan kesal.. kesal karena ibu-ibu ini mengelus rambutku seperti gukguk, isshhh.

"Ayo masuk..." Ucap sang ibu dengan bahasa Inggris logat melayunya.

Aku hanya mengagguk sambil tersenyum tipis dan mengikuti langkahnya, kami berjalan cukup jauh untuk sampai di ruang tamu, atau apapun nama ruangan ini, karena ruangan ini berisi sofa-sofa besar berwarna cokelat tua dan beralaskan karpet senada. 

Sepanjang perjalananku dari pintu masuk sampai ke ruangan ini, aku sudah melewati beberapa lorong-lorong besar yang entah menuju kemana, jadi pintu masuk rumah ini terdapat diruangan sejenis foyer atau ruangan transit yang menghubungkan beberapa ruangan disekitarnya. Jelas sekali kediaman calon suamiku (kalau jadi dan mudah-mudahan enggak) sangat luas. 

Rumah luas dan berfoyer seperti ini lumayan langka di Jakarta, ya iyalah.. mahalnya kayak apa tanahnya, tetapi di Australia sana sering kutemui rumah teman kampusku yang bermodel seperti ini.

"Silahkan duduk," tawar wanita yang belum kuketahui namanya, dan oh.. iya... kok dia bisa tau namaku yah.

"Maaf.. tapi ibu siapa ya?" Tanyaku sambil menikmati empuk dan lembutnya sofa ini.

"Oh... Ayahmu belum cerita ya nak? Saya ini ibunya Benjamin, calon suamimu." Jelasnya sambil duduk di sampingku dan terus memandangiku dengan senyumannya.

Heran, apa mungkin orang Brunei hobbynya nyengir apa yah... dari supir sampai majikan senyumnya non-stop.

"Nama ibu..." Lanjutku dan sebelum kalimatku selesai ia langsung menjawab.

"Fatimah,..nama saya Fatimah dan suami saya Yusuf Ahmed, Benjamin anak sulunh kami. Kamu cukup memanggil saya ibu, semua memanggil saya seperti itu, dan kamu kan memang calon menantu, jadi mulai dari sekarang harus terbiasa memanggil saya ibu." Jelasnya panjang lebar.

"Ooh..." Jawabku sambil memutar kedua ibu jariku, kebiasaan saat aku menghadapi moment -moment ajaib. Bingung mau berbicara apa lagi, aku hanya mengaggukkan kepalaku sambil menyenderkan tubuhku lebih dalam ke sofa empuk ini.

Menyadari ke enggananku ibu Fatimah memanggil asisten rumah tangganya untuk membuatkan ku minuman. "Ben sebentar lagi datang, tadi dia menelpon ibu."

"Oo.. iya." Jawabku kaku, bingung juga mau jawab apa coba.

Satu jam berbasa-basi dengan Ibu Fatimah, yang ditunggu akhirnya datang juga. Note ya... BUKAN AKU.. tapi emaknya, sorry-sorry deh. Saat kudengar suara baritone pria mengucapkan salam, aku menengok ke asal suara.

Seorang pria dengan tinggi sekitar 180cm dan berambut hitam dengan beberapa helai warna keabuan terlihat dari tempatku duduk sejak satu jam yang lalu. Wajah dan rahangnya tegas. Sangat manly.

"Ben.." Bisik Bu Fatimah kepadaku yang kujawab dengan anggukan dan senyum terpaksa.

 

Si pria jangkung ganteng tapi ubanan itu berjalan melewatiku tanpa sedikitpun menoleh, mata hitam tajamnya tertuju pada Ibunya. Ben mengecup pipi ibu Fatimah dan duduk di sampingnya. Pria bernama Ben itu mengenakan sebuah kemeja hitam dengan celana jeans, sebuah perpaduan aneh untuk seorang pebisnis. 

"Ben, this is Faiza. Your future wife." Ucap ibunya lembut. Matanya seakan bangga menyebutkan namaku. Mata Bu Fatimah tertuju padaku, Ben hanya menoleh ke arahku sebentar lalu asik dengan handphonenya lagi. 

"Okay, Aku ke kamar dulu Bu."

Eh buset, cewek kece dikacangin sama om-om, anjlok sudah harga diri princess. Kupalingkan wajahku memandang ke arah lukisan abstrak di samping lukisan keluarga, pura-pura tertarik. Kalau ia tampan tapi tingkahnya sok kece gini, malah aku yang ilfil abis. 

"Maafkan Ben ya... Mungkin dia lelah. Sudah seminggu dia lembur tidak pulang ke rumah." Ucap Ibu Fatimah sedikit memelas, berusaha tak terpengaruh akupun keluarkan senyum jurus maksimal...  and it works! 

Senyumku itu bisa melumerkan bongkahan es di kutub utara, makanya aku gak boleh banyak senyum, bisa banjir alam semesta ini gaes! 

Aku tidur di lantai dua tak jauh dari kamar Ben, dan... apa yang membuatku heran adalah... Kamar Ben sewaktu kulewati tadi sedang di beri pernak-pernik. Lucu pikirku, pria tanpa ekspresi itu centil juga rupanya... banyak pernak-pernik kamarnya, bah. Apakah ia girly atau... lebih parah ia feminime? Aduh.. langsung ngibrit kalau begini si calon. 

Masih cekikikan dengan pemikiran pria jutek centil itu, Ibu Fatimah memasuki kamarku membawakan cemilan dan air, wajahnya tulus tersenyum padaku. 

"Makan ini dulu Nak... Ini ibu buatkan khusus untukmu, kamu sudah tau kan acaranya diadakan besok lusa. Nanti kalau sudah halal... pindah ke kamar Ben yah. Itu kamar kalian nanti, Ibu sedang proses hias kamar pengantin."

"Oh... Iya. " Jawabku pasrah. Jebakan batmen namanya... Akhirnya aku sendiri yang kena. Semoga terjadi sebuah keajaiban, yang berakibat gagalnya pernikahan jahanam ini, atau tiba-tiba besok lusa ada angin tornado kencang dan mengahancurkan rumah ini. Tragis amat doaku, ya akunya mati juga dunk. Apapun itu, aku berdoa besok bisa gagal.. gal.. gal. Gagal total, aku bisa pulang ke Aussy lagi. Aamin. 

Dalam hening aku bermunasabah, he.. he.. gayanya. Setelah mengetahui situasi dan kondisi, lalu setelah melihat sang calon, yang ternyata agak ganteng dan sekaligus agak tua, apa yang harus kulakukan? ia tak masuk kategori dalam simulasiku sebelumnya, haruskah aku pura-pura kesurupan atau pura-pura hamil? Tapi di sisi lain tingkahnya dingin dan cenderung tak menghiraukanku, what should I do? George Clooney mantan pacarmu harus bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status