( POV DONI )
"Halo, Bu, Maafin aku ya, Dari dulu gak mau dengar ucapan Ibu." ucap Doni, seraya berjalan menjauhiku menuju teras belakang rumah.
"Kata-kata ibu memang benar dan hari ini kejadian beneran. Fatimah perempuan gila! Bener-bener kurang ajar! Sudah seenaknya hina orang tua, bilangin matre dan pelit. Setiap hari Fatimah cuma bisanya ngatur. Aku nyesel nikah sama dia." Ucap Doni, dengan amarahnya yang menggebu.
" Nah kan, benar kata ibu dulu. kamu sih,gak mau dengar! Itulah kalau gak mau dengar nasehat ibu. Dari awal ibu sudah ada firasat gak baik sama Fatimah, Cuma aneh saja bapakmu itu justru suka dengannya . Dipuji-puji terus, dia bilang anaknya baik , sopan. Berlebihan sekali bapakmu. Emang aneh Bapakmu itu. Asal setuju-setuju saja!". Sambung ibu, dengan penuh emosi.
" Terus sekarang gimana bu, Itu Fatimah sudah mau minggat, Semua barangnya pun sudah mulai di kemas dan dibawa ke teras depan rumah." Ungkap Doni.
"Ah sudahlah, biarin saja dia pergi. Gak usah kamu urusin gak usah kamu fikirin. Terserah saja dia pergi kemanapun juga, jadi perempuan tidak tahu diri. Besok Ibu Bapak beserta om akan dateng kesana. Sekarang kami akan langsung siap-siap. Segala keputusan, nanti kita bahas di sana saja. Kamu tunggu saja dirumah, Dan Fatimah biar saja tidak usah kamu larang kalau dia mau pergi biarkan saja pergi." Jawab Ibu, santai.
" Sekarang matikan saja telponnya, Ibu akan segera berangkat kesana." Lanjut ibu.
***
Aku penasaran dengan apa yang dibicarakan suamiku dan ibunya di telpon. Aku pun segera beranjak dari tempatku,untuk menguping pembicaraan mereka. Segeralah kulangkahkan kakiku mengendap-endap pelan-pelan menuju dapur, dan aku mulai mendengar Kak Doni berbicara. Ku simak perkatan yang keluar dari mulutnya.
"Aku nyesel nikah sama dia." Itu kata-kata yang kudengar. Aku benar-benar kaget setengah mati. Ya Allah, aku gak salah dengar kan? Jadi begitukah yang ada dalam hati dan fikiran suamiku, hingga dengan mudah bilang nyesel nikah sama aku. Aku cukup mengerti sekarang, dan aku benar-benar kecewa, sangat kecewa.
Sambil menahan amarah, ku berjalan cepat menuju ruang tamu. Ku raih semua bingkai foto-foto pernikahan kami yang terpajang rapih didinding ruang tamu. Tiga bingkai foto dengan sekuat tenaga aku lempar kearah dinding.
Taaaarrrrrrrr!

Terlihat kaca bingkainya retak dan sebagian sisi hancur. Aku menatap foto-foto itu sambil menangis tersedu... Puas ya kamu sekarang udah nyakitin perasaanku.... Sekarang sesakit ini hatiku kau buat, hingga kulampiaskan semuanya. Batinku benar-benar teriris.
Aku benar-benar kecewa mendengar ucapannya tadi, akupun jadi berfikir, percuma kita nikah! Percuma aku korbankan semua? percuma!!! Jeritku dalam hati.
Tidak cukup sampai disitu, aku ambil kertas foto dalam bingkai tersebut dan aku robek menjadi 2 bagian. Foto tersebut aku robek tepat disisi tengah antara aku dan suamiku. Aku pungut bagian fotoku sendiri lalu aku simpan kedalam koper. Aku biarkan Foto Kak doni tergeletak dilantai.
Tak lama berselang, Kak doni muncul dan membentakku.
"Ok pinter! Ini masih kurang hancur. Ini aku tambahin ya!
Tttaaaaaaaaaarrrrrr!!
Semua bagian bingkai terlihat semakin hancur berkeping-keping dan berceceran tak karuan dilantai.
"Sana! Kamu kalau mau pergi , pergi saja!, aku udah sangat muak liat kamu!" Bentaknya dengan cukup keras.
Aku hanya terdiam tanpa sepatah katapun. Aku sudah hilang kekuatan... seharian ini aku tak istirahat dan tak makan. Kepalaku pun terasa sangat pusing, aku tak kuat melakukan apapun lagi.
Baiklah, mau bagaimana sekarang... sepertinya aku lebih baik pergi besok pagi saja. Sekarang tidak memungkinkan aku untuk keluar dari rumah dalam kondisi lemah.
Kulihat jam pun sudah menunjukkan pukul 21.00 , aku gak mungkin memaksakan untuk pergi malam-malam sendirian. lebih baik aku istirahatkan fikiran dan badanku dulu..
Malam ini aku terpaksa tidur di teras dekat pintu, barangku sudah disana sejak sore. Suamiku pun tak memperbolehkanku untuk tidur dikamar. Bahkan saat aku masih berdiri diteras, ia langsung mengunci pintu ruang tamu dari dalam.
Melihat perlakuannya aku hanya bisa pasrah, tak bergeming sedikitpun. Ya sudah, mau bagaimana lagi sekarang... tak apa aku tidur diluar saja. Semoga malam ini tidak datang hujan.. Untungnya juga masih ada pagar jadi aku masih merasa cukup aman diluar.
Aku kecewa menikah dengan Kak Doni. aku merasa tertipu. Dulu saat masih pacaran Ia begitu baik dan sabar. Sukan membantuku . Namun setelah menikah malah kelihatan watak sebenarnya. Aku sangat kecewa...
Malam ini, aku yang biasanya penakut seketika sama sekali tak merasa takut. Aku terlalu kecewa, sakit hati bahkan lelah, hingga tak terlintas sedikitpun fikiran aneh-aneh.
Kemudian Aku mengambil handuk dari dalam tas koper, dan membentangkannya dilantai, Aku rebahkan badan dan kusenderkan kepalaku di tas. Tanpa proses yang lama akhirnya aku tertidur pulas diteras rumah suamiku.
***
"Doni... Doni ... Doni,"
Sontak aku terkejut dan terbangun, karena mendengar teriakan cukup keras dari arah pagar. Ku bangkitkan badanku dan ku lihat ke arah pagar rumah.
Hah, Ibu mertua , Bapak dan Om?
Ku segera berjalan cepat ke arah pagar, dan bersamaan dengan itu Kak Doni membuka pintu ruang tamu, dan menemui Orang tuanya.
"Ayo Bu, Pak dan om Masuk" ucap Kak Doni, tanpa menoleh kearahku. Ku pun hanya berdiri tertunduk, aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku masih bingung ini maksudnya apa? Aku tak berani berucap sepatah kata pun. Ibu Mertua dan yang lain pun tak ada yang menyapaku.
Kulihat sudah pukul 05.30 pagi. Tanpa membersihkan wajah maupun badanku, aku bersiap untuk keluar. Aku masuk sebentar kedalam rumah. Niatku ingin meminta kunci motorku yang biasa aku titipkan pada suamiku.
Namun saat aku baru melangkah sampai pintu kamar, Ibu mertua menyodorkan kunci motor tersebut tanpa aku minta.
Tau dari mana Ibu mertua, kalau aku berniat akan mengambil kunci. Pikirku dalam hati.
Mungkin Ibu memang sudah menginginkan aku untuk segera pergi , mangkanya kunci motor langsung dia beri tanpa aku yang memintanya lebih dulu. Aku masih tetap terdiam tanpa satu patah kata pun.
Aku bergegas keluar dan mengangkat semua barangku, ku ikat diatas motor dan aku hidupkan mesin motor. lalu aku buka pintu gerbang. Saat aku akan menjalankan motor tiba-tiba Om menghadangku.
"Eh, kamu mau kemana Fatimah. Jangan pergi dulu. Kita mau musyawarah dulu sekarang. Ayo masuk lagi. Biar selesai masalahnya," Ucapnya, sambil memegangi motorku.
"Ok , Baiklah Om... " ucapku datar.
Kami pun musyawarah bersama, Tapi anehnya sejak tadi aku tak diberi kesempatan untuk berbicara atau menjawab 1 kata pun. Aku diserang, aku di marahi, aku di hakimi. Aku awalnya tertunduk dan diam. Aku merasa di dzolimi. Dalam hatiku sakit...
Sesekali aku mengelap air mata yang terjatuh membasahi pipi. Om dan Ibunya menghardikku, mereka merasa kalau aku salah. Mereka membela Kak Doni habis-habisan. Sedangkan Bapaknya hanya diam tanpa suara dan dengan mimik wajah yang sulit ditebak. Entah marah atau tidak wajahnya hanya terlihat datar.
Berulang kali Om nya menunjuk-nunjuk kearah wajahku. Kak Doni pun hanya terlihat diam. Dia amat sangat dibela oleh Ibu dan Om nya. Aku benar-benar dikeroyok oleh mereka. Kudengar ucapan terakhir dari Ombnya.
"Sekarang kita putuskan saja, ini mau cerai atau lanjut" tanya Om. Aku masih diam tak bergeming. Dalam hatiku tak ada harapan apa-apa, aku sudah pasrah dan menyerah. Terserah mau selesai sampai disini atau tidak. Aku hanya ingin yang terbaik.
Kak Doni pun diam saja tak memutuskan apa-apa. Kak Doni hanya terlihat melamun menunduk tak berucap sepatah kata pun. Sampai 2 kali omnya bertanya ke Kak Doni namun ia tetap tak menjawab. Karena tak ada keputusan. Akhirnya Om memberikan waktu Kak Doni untuk memikirkan 1 hari untuk bercerai atau tidak.
Dan om pun menyuruh Kak Doni untuk pulang ke kampung saja. Terlontar ucapan dari mulut Om yang menyarankan untuk bercerai saja, tidak usah dilanjutkan pernikahan kalian. pintanya, beberapa kali. Tapi raut wajah kak Doni mendadak berubah setiap kali Om dan Ibunya menyingung soal perceraian.
Setelah musyawarah, aku langsung kembali menghidupkan motorku, tanpa pamit dan tanpa berbicara apapun. Dari luar rumah tak sengaja kulihat Kak Doni seperti menatapku samar-samar dari balik kaca jendela, entah tatapan apa itu. Bukan seperti tatapan marah, dan juga bukan seperti tatapan sedih.
Dia seperti mengawasiku dari kejauhan hingga aku benar-benar sudah tak terlihat. Aku tak peduli tatapan apa itu. Karena dia sudah cukup menghancurkan perasaanku, Sekarang aku baru menyakini bahwa dia itu sama jahatnya seperti keluarganya.
Aku terus melajukan motorku. Dadaku teramat sesak hatiku sedih..., mataku sembab, aku tak hentinya menangis di atas motorku... separuh jiwaku hilang. Yang awalnya cintaku begitu besar padanya tiba-tiba lenyap seperti tak bersisa.
Dari yang awalnya aku nilai dia begitu baiknya tiba-tiba berubah menjadi sangat jahat. Aku belum siap menghadapi perubahan sikapnya, ini seperti mimpi. Aku tak menyangka dia bisa seperti ini. Karena saat pacaran dia begitu lembut.
Setelah puas berjalan berkilo-kilo meter. Aku pun berniat pergi kerumah seorang teman baikku, aku ingin menumpahkan perasaanku ini kepadanya... Dan ingin menumpang sementara waktu dirumahnya.
Aku akan beristirahat sejenak, mengistirahatkan fikiran dan juga tubuhku. Jika nanti badanku sudah kuat aku berencana untuk mencari kos-kosan baru. Untuk tempat aku tinggal.
***Selalu like dan komen yuk biar semangat up hehe salam kenal kk sayang.
Episode 18 POV Bapak Mertua...Namaku Pak Yansah, umurku saat ini 60 tahun. Aku bekerja sebagai Petani Sawit. Aku memiliki Empat Orang anak. Dan aku menyayangi semuanya.Saat pertama kali aku mengenal Fatimah, aku sangat senang dan setuju. Fatimah memiliki sifat yang hampir sama dengan anakku Andini. Sama-sama tahu sopan santun dan suka basa-basi terhadapku. Dan mau meladeni setiap aku mengajaknya mengobrol.Mereka berdua juga pantang menyerah, sama-sama perasa dan pengertian. Namun Ke Duanya juga mudah sekali menangis alias sensitif sekali perasaanya. Beda dengan Yesi aku tak pernah sekalipun melihatnya sedih ataupun menangis. Bahkan saat Ia menikah dengan Erik.Aku sebenarnya suka dengan Fatimah tanpa mempersoalkan latar belakang keluarganya. Tapi karena Istriku sangat membenci Fatimah dan setiap hari bercerita tentang ketidak sukaannya terhadap Fatimah. Aku pun jadi bimbang.
Episode 17 *** “Kak Doni, aku keluar dulu, ya.” Ucapku pada suamiku yang sedang duduk diteras rumah bersama Bapak Mertua dan Suami mbak Andini. “Lho, mau kemana Dek?” tanyanya penasaran. “Mau ke tempat Mbah Sri, kak. Aku mau urut dulu badanku pegel-pegel, kepalaku agak migrain juga, mungkin masuk angin,” jawabku. “Kakak anter ya, udah minum obat belum Dek ?” tanyanya lagi. “Gak usah Kak, jalan kaki aja deket. Sambil olah raga. Tadi udah minum obat, tapi masih aja kerasa migrain. Mangkanya mau coba urut. Biasanya sembuh. Ibu dan yang lain dimana, Kak?” tanyaku “Pada dikamar Dek, lagi ngobrol kayaknya,” jawabnya memberitahu. Aku menghampiri Ibu kekamar. “Lagi pada ngapain nih, hehe... Ibu, Aku mau pamit bentar, mau keluar dulu ya Bu,” ucapku lembut sambil tersenyum. “Memangnya mau kemana kamu
Episode 16 "Assalamu'alaikum... Doni, Doni," terdengar suara memanggil dari luar gerbang. "Wa'alaikum salam..." saut kami bersamaan. Kami mengintip dari balik jendela, terlihat Mbak Andini, Suaminya, Bapak, Ibu, Erik, Yesi dan Dua keponakan berdiri menunggu dibalik gerbang. Kami langsung keluar membukakan pintu gerbang mempersilahkan semuanya masuk kedalam rumah. Kami menyalami semua satu persatu. Mbak Andini masih selalu sama melempar senyum ramahnya padaku. "Apa kabar Fatimah, semua sehat, kan," sapanya Mbak Andini padaku. "Alhamdulillah, kami sehat semua Mbak... Oiya, tadi berangkat jam berapa Mbak... " tanyaku basa basi. "Jam 11 malem. Ini Mbak bawain oleh-oleh dari rumah buat kamu. Banyak roti dan kue. Mbak tarok kulkas ya..." ucapnya. Sambil meminta izin untuk meletakkan bungkusan kue kedalam kulkas. "Wah, repot-repot b
Episode 15 (POV Ibu Mertua) *** Namaku Ibu Yana, aku istri dari Bapak Yansah. Aku memiliki Empat orang anak Dua Perempuan dan Dua laki-laki. Andini anak pertamaku yang berumur 40 tahun sejak menikah tak lagi tinggal bersamaku. Ia diajak suaminya tinggal di Kota C yang berjarak Delapan jam dari rumahku. Suami Andini adalah orang kaya raya, dia pejabat di Kota C. Sedangkan Andini bekerja sebagai Pegawai Negri. Mereka memiliki 2 anak Putra dan Putri. Kehidupan Andini sangat mapan bersama suaminya. Ia tinggal disebuah Rumah mewah 2 lantai dan memiliki 2 Mobil mewah. Dahulu aku sering menasehati Andini untuk mencari suami yang kaya. Sebenarnya aku menyuruhnya mencari suami Dokter. Namun Ia menolak dan memilih menikah dengan Anak Pejabat. Meskipun begitu aku sangat setuju. Tak masalah menikah tidak
Episode 14 *** Kami semua duduk dikursi tamu dibawah tarub diluar rumah Yesi. Aku melihat sekeliling rumah Yesi. Menurutku biasa saja. Terlihat seperti Rumah tua yang mungkin berumur puluhan tahun dan sudah terlihat usang. Menuju rumahnya pun jalannya sulit licin dan hanya cukup 1 kendaraan. Masuk kedalam melewati jalan yang rusak yang sangat becek dan melewati kebun karet sejauh 2 kilo. Disitu aku melihat memang acaranya mewah kursi tamunya banyak, dan ada hiburan biduan yang berjoget sekitar 15 biduan. Aku sejak tadi menemani Mbak Luluk diatas kursi rodanya, aku perhatikan orang-orang yakni keluarga Yesi menatap heran kearah Mbak Luluk. Kemudian aku melihat Mbak Andini sedang menemani anaknya bermain di sekitaran kuade panggung pengantin. Kemudian Ia naik keatas panggung pengantin dan mencoba duduk dikursi pengantin bersama anaknya.
Episode 13 *** Jam 3 pagi hari sebelum subuh, Kami sampai dirumah mertua.Dan tak lama setelah kami sampai Mbak Andini beserta suami dan ke 2 anaknya pun tiba dirumah mertua. Jadi aku lebih dulu sampainya. Aku bergegas ke dapur untuk membuatkan teh Mbak Andini dan keluarganya. Aku belum istirahatsama sekali. Diperjalanan juga aku tidak bisa istirahat karena kondisi mobil travel sangat berdesakkan. Membuat aku kesulitan untuk beristirahat. Dirumah mertua ada 4 kamar besar dan 1 kamar kecil. Satu yang besar kamar mbak Luluk, Kamar Mbak Andini , Kamar Erik Dan Kamar Mertua. Sedangkan kamar Aku dan Kak doni tidur di kamar kecil yang tidur pun tak bisa lurus harus menekukkan kaki. Tanpa pintu. Apalagi disitu adalah tempat sholat umum. Jadi aku susah untuk berganti pakaian dan sulit untuk