Zaviya kesal sekali karena si nenek lampir Gladys malah ikut staycation seperti keluarga yang lain.Padahal dia hanya orang yang kenal dengan keluarga Folke, bukan bagian dari keluarga Folke.Jadi wajah Zaviya memberengut saat dia, Svarga dan para sepupu yang lain serta si outsider Gladys berjalan beriringan menuju sebuah area permainan paintball.Jadi untuk mengisi waktu staycation, mereka memilih permainan simulasi perang atau bermain perang-perangan dengan menggunakan senjata khusus peluru cat, memakai seragam ala tentara, body protektor dan face shield.Dalam permainan ini dibagi menjadi dua tim yang beranggotakan enam orang setiap timnya.Tim A beranggotakan Svarga, Zaviya, Gladys, Reyzio-adik dari Ghazanvar, Shaquelle dan Arumi-anak dari om Kaivan yang nantinya akan melawan Tim B.Tim B terdiri dari Ghazanvar, Reynand-kakak dari Arumi, Aruna-adik bungsu Ghazanvar dan Richard, Enrico, serta Paulina yang merupakan kakak sepupu Svarga dari pihak papa Arjuna.Setiap tim tentunya me
Svarga mengembuskan napas kasar, mengusap wajah lantas menyugar rambut ke belakang.Dia selalu dibuat frustrasi setiap kali menghadapi Zaviya.“Kenapa sih, apa-apa kamu nangis … apa-apa nangis!” Svarga menggeram dengan sorot mata sejuta kesal membuat air mata Zaviya semakin mengalir deras.“Aku … hiks … aku anak bungsu.” Dengan polosnya Zaviya beralasan.Tangisnya terdengar pilu dan dalam memberitahu Svarga kalau sang istri tengah terluka parah padahal dia hanya memintanya duduk di luar area simulasi.Svarga duduk di samping Zaviya, raut wajah garangnya menghadap ke depan.Seorang suami pada umumnya akan memeluk sang istri agar tenang dan berhenti menangis tapi Svarga tidak tahu kalau itu yang harus dilakukannya jadi dia duduk saja di samping Zaviya sampai istrinya itu berhenti menangis.Dia mengorbankan diri tidak ikut bermain lagi dan pasti Shaquelle akan marah-marah karena timnya kekurangan orang lalu kalah karena tidak imbang.Zaviya bergerak mendekat. “Svargaaa …,” panggilnya mer
“Bunda sama ayah pulang duluan ya, ayah diteleponin terus sama sekretarisnya … Bunda juga harus ngurus resto, kasian bude sampai kewalahan.” Bunda Venus memeluk kemudian mengecup kening Zaviya.“Svarga … Ayah titip Zaviya ya.” Ayah berpesan saat bersalaman dengan menantunya.“Iya, Yah.” Svarga menyahut singkat.Hari ini seluruh keluarga dari Indonesia akan bertolak pulang, Svarga dan Zaviya mengantarnya sampai ke Bandara.Momen pernikahan Zaviya ini menjadi moment yang tidak akan mereka lupakan karena bisa menyatukan tiga keluarga besar sekaligus liburan bersama.Zaviya menggendong keponakan-keponakannya dan menciumi membabi buta sebelum mereka naik ke pesawat.Janu malah tantrum karena tidak ingin meninggalkan aunty kesayangannya dan kalau sudah seperti ini, kedua orang tua Janu yang repot.Mereka akhirnya masuk duluan ke dalam pesawat.“Selamat bulan madu ya,” kata Amaranggana menggoda adiknya.Zaviya mengulum senyum, menjatuhkan tatap pada perut Amaranggana yang masih rata.“Sehat
Sisi wajah Zaviya tidak menempel sepenuhnya di tembok karena dilapisi tangan Svarga saat pria itu menarik pinggangnya hingga menungging seksi.Jujur, Zaviya senang bila Svarga selalu menginginkannya karena hal tersebut pertanda kalau dia sudah menaklukan pria itu.Dengan mudah Svarga menurunkan kain berenda sampai melingkari kaki Zaviya di lantai.Setelah itu Svarga menarik turun sleting dan mengeluarkan sesuatu yang telah menyesakan celananya.Svarga tidak langsung masuk, dia belai dulu lubang ‘miliknya’ yang merupakan bagian tubuh Zaviya itu agar tidak terluka saat melakukan penetrasi nanti.“Aaah… Svarga.” Zaviya mendesah, punggungnya menegak karena jemari Svarga sama nikmatnya ketika memanjakannya di bawah sana.Karena pergerakan Zaviya tersebut, Svarga jadi bisa mengecup leher Zaviya, menyesap melibatkan lidah menambah tanda merah di sana.Zaviya tidak menyadarinya, tengah tenggelam dalam kenikmatan yang disungguhkan Svarga.Sampai akhirnya Svarga masuk, Zaviya menarik napas, mat
Hubungan Svarga dengan Zaviya memang memiliki banyak kemajuan terutama soal urusan ranjang tapi karakter Svarga yang cuek, dingin dan ekspresi wajahnya yang sering membuat Zaviya salah paham tidak bisa diubah.Zaviya sedang berusaha menerima karena mau bagaimana lagi—dia sudah menikah dengan Svarga.Meski sesungguhnya Zaviya menginginkan Svarga yang hangat, perhatian, pengertian, romantis seperti Argo.Argo selalu memberi kabar, mengirim pesan singkat atau quick call hanya untuk bertanya Zaviya sedang apa dan di mana.Zaviya jadi merindukan pria itu, atau mungkin sebenarnya Zaviya merindukan diperlakukan layaknya seperti seorang wanita yang dicintai.Hembusan napas terdengar berat keluar dari mulut Zaviya.Dia sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan khusus menjual perabotan dan furniture rumah tangga.Sambil menunggu bangunan restorannya rampung direnovasi dan untuk mengisi waktu luang—Zaviya berbelanja printilan keperluan di restorannya nanti seperti hiasan bunga artifisial, sendo
Svarga tahu kalau Zaviya masih marah, mood Svarga jadi ikut- ikutan buruk.Pria itu yang bayar belanjaan, mendorong troli dan memindahkan barang dari troli ke bagasi sementara itu Zaviya kesal hanya kalimat bercandanya saja.Sungguh keterlaluan.Dia balas menutup bagasi cukup kencang kemudian masuk ke dalam mobil, menyalakan GPS dan mulai mengemudi pulang ke apartemen.Sepanjang jalan tidak ada yang bersuara, Zaviya masih kesal begitu juga Svarga.Hanya karena perkara sepele saja mereka sampai tidak mau bicara satu sama lain.Svarga turun dari dalam mobil setelah memarkirkan mobilnya tanpa menurunkan barang belanjaan yang Zaviya beli, dia berpikir kalau barang-barang itu akan di drop Zaviya di restorannya nanti.Memang benar, barang-barang itu akan Zaviya drop nanti di restoran tapi apa Svarga tidak bisa basa-basi bertanya apakah barang-barang belanjaan tadi mau diturunkan atau tidak?Hati Zaviya jadi panas dan merembet ke kepalanya apalagi saat Svarga meninggalkannya begitu saja tanp
“Selamat datang di rumah, suami.” Zaviya menyambut Svarga pulang dari kantor.Berdiri tidak jauh dari pintu dengan kedua tangan terentang dan senyum lebar yang menambah kecantikannya.Tidak bisa Svarga pungkiri kalau Zaviya memang cantik, apalagi kalau sedang tersenyum.Svarga melangkah pelan mendekat, raut wajahnya datar seperti biasa tapi Zaviya sudah terbiasa.Pria itu berhenti tepat di depan Zaviya sehingga dia bisa memeluknya.Pelukan Zaviya terasa erat sampai Svarga bisa merasakan satu sisi wajah Zaviya menekan dadanya.Kedua tangan Svarga yang penuh membawa jas dan tas tidak bergerak tetap berada di sisi tubuh.Meski sebenarnya dia bisa melakukan effort lebih besar lagi untuk membalas pelukan Zaviya namun Svarga memilih tidak melakukannya karena sedang kecewa karena Zaviya memblokir nomor Gladys.“Aku masak menu baru, kamu cobain ya!” Zaviya yang merasa tidak bersalah apalagi berdosa itu merangkul lengan Svarga menuntunnya ke ruang makan.Mereka sempat berhenti di ruang televi
“Aku enggak suka sama Gladys … aku mau kamu jauhin dia!” Keceriaan di wajah Zaviya menghilang berganti dengan amarah.“Kamu enggak bisa melarang aku menjauhi Gladys, dia itu sahabat aku … aku kenal Gladys jauh sebelum aku kenal sama kamu.” Padahal Svarga mengatakannya biasa saja tapi Zaviya emosi mendengarnya.“Lalu kenapa kamu enggak menikah dengan dia? Kenapa kamu enggak nikahin dia dari kecil, Hah?” Zaviya sedang bersarkasme, kepalanya terangkat menantang bersamaan dengan nada suaranya yang meninggi.“Karena dia sahabat aku! Kenapa kamu menginginkan aku menjauhi Gladys? Salah dia apa?” Svarga menuntut penjelasan sebelum dia menjelaskan panjang lebar tentang perasaannya terhadap Gladys.“Dia menyukai kamu, aku udah bilang berapa kali kalau Gladys menyukai kamu!” “Tentu saja, aku harus mengatakannya berapa kali? Tentu saja dia menyukai aku, dia sahabat aku … aku juga menyukainya karena kalau kami tidak saling menyukai, berarti kami bermusuhan.” Zaviya menggelengkan kepala. “Bukan …