Ayah Archio menunggu dengan cemas putrinya di depan pintu kedatangan Bandara Juanda, Surabaya.Hari sudah hampir tengah malam dan udara begitu dingin sehabis hujan.Beberapa jam lalu Svarga menghubunginya melalui sambungan telepon, menantunya itu tumben sekali banyak bicara selama hampir satu jam menceritakan masalah yang sedang menyambangi rumah tangganya dengan Zaviya.Ayah Archio tidak bisa menanggapi banyak karena belum mendengar versi Zaviya.Tapi apapun yang Svarga katakan tentu Zaviya lah yang akan dia bela.Svarga juga menyebutkan jadwal landing pesawat yang dinaiki Zaviya ke Surabaya beserta nomor pesawatnya.Sudah ayah Archio duga sebelumnya kalau cepat atau lambat Zaviya akan kembali pulang kepelukannya.Sebagai orang yang menjodohkan Zaviya dengan Svarga, tentu ayah Archio merasa sedih dan bersalah karena telah bertaruh dengan masa depan dan kebahagiaan putrinya.Ternyata orang tua juga manusia yang bisa salah dan khilaf.Karena keegoisannya yang tidak menyetujui hubungan
“Bunda sama ayah kok enggak pernah berantem sih? Bund beruntung ya dapetin suami yang sayang sama Bunda.” Zaviya bergumam, pandangan menatap kosong langit-langit kamar.“Kata siapa enggak pernah berantem? Berantem mah pasti pernah lah, sering malah … apalagi akhir- akhir ini setelah ayah udah tua yang sifatnya kadang kaya anak kecil … tapi separah apapun kami bertengkar—kami selalu ingat kalau kami saling mencintai jadi menghindari perasaan ingin puas … maksudnya puas membuat pasangan sakit hati.” Zaviya menoleh menatap bunda. “Mungkin itu definisi cinta sejati ya Bun … enggak kaya Zaviya sama Svarga yang menikah karena perjodohan … kalau Bunda sama ayah ‘kan bertemu terus saling mencintai lalu dipisahkan oleh keadaan dan dipertemukan kembali karena jodoh … memang kalau dijodohin Tuhan lebih afdol ya, bahagianya dunia akhirat.” “Berani bilang gitu di depan ayah?” Bunda nantangin.“Enggak, takut ayah sakit hati.” Zaviya menyengir.“Kami ‘kan udah denger tuh cerita versi Svarga, sekar
Zaviya menatap nanar monitor yang menampilkan kondisi di dalam rahimnya, ada makhluk hidup di sana yang masih berbentuk seperti kacang tanah dengan berat satu gram dan panjang satu koma enam senti meter.Dia tengah mengandung, anak dari Svarga.Tadi Zaviya terbangun di IGD dan kebetulan dokter Obgyn sedang praktik jadi Zaviya dialihkan ke poli Obgyn setelah mendapat pemeriksaan awal dan hasil tes darah keluar.Pandangannya dia alihkan pada ayah dan bunda yang setia menemaninya, mereka tampak bahagia tapi kenapa hati Zaviya justru merasa sedih?Bagaimana bisa dia bercerai dengan Svarga di saat bayi ini hadir di tengah-tengah mereka?Benak Zaviya berkecamuk dengan beban hidup permasalahan rumah tangganya sampai tidak mendengar apa yang disampaikan dokter.Awan mendung terus membayangi wajah Zaviya hingga mereka tiba di rumah—kepala seperti tidak pegal menunduk sembari memegang perut.Bunda menyikut lengan ayah kemudian mengendikan dagu pada Zaviya yang berjalan nyelonong sendiri dengan
“Svarga!” Gladys melambaikan tangan dari meja di mana dia duduk.Svarga melangkah gontai menuju ke sana, raut wajahnya tampak lesu tidak bersemangat.“Apa yang terjadi? Apa yang bisa aku bantu? Ceritakan kepadaku.” Gladys bertanya penuh perhatian, sedang berperan sebagai malaikat.Svarga mengembuskan napas panjang setelah bokongnya mendarat di kursi tepat di depan Gladys.“Aku dan Zaviya bertengkar … dia pulang ke rumah orang tuanya,” adu Svarga dengan tampang sendu.Gladys mendengkus. “Sudah aku duga, dia tidak pantas menjadi istrimu … dia anak kecil manja … Zaviya belum siap berumah tangga.”Gladys kelepasan, tidak bisa menahan dirinya.Svarga mendongak menatap Gladys, kerutan di antara alisnya muncul pertanda pria itu tidak suka dengan ucapan Gladys.“Lalu perempuan seperti apa yang pantas untukku menurutmu? Kamu?” Svarga bertanya menyindir.Dari semua orang yang mengetahui permasalahan rumah tangganya dengan Zaviya, hanya Gladys yang menyalahkan Zaviya.Gladys memutus tatapan samb
“Sedangkan tadi, saat aku mencurahkan isi hati dan keluh kesahku tentang Zaviya kepadamu … kamu malah mengompori secara tidak langsung mempengaruhi agar aku menceraikan Zaviya dengan memberikan deretan pendapat negatif tentang Zaviya … aku tidak bisa, Gladys … aku tidak bisa berada di sekitar orang-orang seperti itu agar keputusanku ke depannya tidak salah karena ini menyangkut hidup dan masa depanku.” Gladys tergelak menutupi emosi yang bergejolak di dadanya karena wajah perempuan itu telah memerah. “Memangnya aku orang seperti apa, Svarga? Aku ini sahabatmu … hanya aku sahabat yang mengerti kamu.” Gladys mengingatkan.“Justru itu, semestinya kamu mendukung hubunganku dengan Zaviya … bukannya menginginkanku bercerai dengan Zaviya ….” Svarga sengaja berhenti bicara hanya untuk menatap Gladys sesaat dengan cara paling dingin sampai Gladys merasa pria itu membencinya.“A … aku ….” Gladys tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, dia membuang pandangan ke arah lain.“Maaf Gladys … dengan b
Sudah tengah malam saat Svarga tiba di Surabaya, mobil yang menjemputnya dari Bandara memelankan laju hingga akhirnya berhenti tepat di depan sebuah gerbang besar dan tinggi.Svarga ragu untuk masuk ke rumah mertuanya menemui Zaviya sekarang tapi dia ingin tahu bagaimana keadaan Zaviya.Ayah mertuanya tidak pernah memberitahu kondisi Zaviya, sepertinya kecewa setelah obrolan panjang mereka terakhir kali.Sedangkan Svarga segan kalau harus mengganggu sang ibu mertua meski baik padanya.Dan Zaviya masih tidak mau membalas pesan atau mengangkat panggilan telepon.Ingatkan Svarga untuk tidak membuat masalah lagi karena ternyata membujuk Zaviya lebih sulit dari membujuk klien besar untuk menjalin kerjasama bisnis dengan AG Group.“Pak, cob putari rumah ini,” pinta Svarga kepada driver.Driver mulai melajukan kendaraannya dengan kecepatan pelan setelah merespon menggunakan anggukan kepala.Rumah ayah dan bundanya Zaviya berada di hook jadi dari jalan di samping rumah—Svarga bisa mel
“Zaviya … ngapain di luar?” Suara bunda terdengar bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam.Zaviya refleks menoleh ke belakang dan Svarga bangkit dari berlututnya.“Bunda.” Svarga dan Zaviya kompak bergumam.“Loooh, kalian ngapain di luar? Ini tengah malam… ayo masuk, mana Zaviya lagi hamil muda… enggak baik wanita hamil ada di luar malem-malem.” Bunda nyerocos sembari menarik tangan Svarga dan Zaviya sampai masuk ke dalam rumah, beliau lantas menutup pintu.“Bun—““Itu—“Bunda mengangkat tangan menghentikan kalimat Zaviya dan Svarga.“Sekarang kalian naik ke atas, Svarga ajak Zaviya tidur… tadi pagi Zaviya pingsan lagi karena kekurangan darah, ternyata begadang terus… ya pantes aja, ibu hamil enggak boleh begadang.” Bunda menasihati Zaviya.“Ayo-ayo naik ….” Bunda mendorong tubuh Svarga dan Zaviya yang tidak diberi kesempatan bicara.Svarga menoleh pada Zaviya yang kemudian mendelik kesal lalu melangkah lebih dulu melewatinya.“Kamu harus sabar,” kata bunda sembari menepuk
Svarga direnggut paksa dari tidur lelapnya tatkala suara melengking menembus indra pendengaran sampai menghasilkan kerutan di kening.Dia yang tidur terlentang kemudian bergerak miring hendak memeluk sang istri tercinta namun kosong yang dia temukan.Di antara suara melengking yang tidak nyaman di telinga itu masih terdengar, akhirnya Svarga membuka mata.Svarga lalu menyadari Zaviya tidak ada di sampingnya dan langsung menduga kalau suara yang berhasil membangunkannya itu adalah suara Zaviya dari kamar mandi.Svarga bergegas turun dari atas ranjang, dia berlari menuju kamar mandi yang pintunya terbuka.Di sana Svarga menemukan istrinya sedang berlutut di depan closet mencoba memuntahkan sesuatu.“Zaviya!” Svarga mengesah memburu Zaviya.Dia mengumpulkan rambut Zaviya menjadi satu genggaman.Wajah Zaviya sudah memerah dan mata yang basah oleh buliran kristal, urat-urat di lehernya muncul disertai suara melengking saat Zaviya sedang berusaha mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.Layaknya