Tewas karena kerja lembur, Rania, seorang ahli strategi korporat, terbangun di tubuh Permaisuri Aurelia yang terbuang. Diasingkan oleh suaminya yang kejam, Kaisar Darrius, dan dikelilingi musuh, takdirnya adalah mati dalam kehinaan. Tapi Rania menolak untuk menjadi korban. Dengan otaknya sebagai senjata, ia mengubah istana penjaranya menjadi 'kantor' pusat, intrik politik menjadi 'rapat dewan', dan mulai menjalankan operasi hostile takeover terhadap takdirnya sendiri. Namun, permainannya yang dingin dan tak terduga justru menarik perhatian sang Kaisar, yang mulai melihat sosok berbahaya sekaligus memikat di dalam diri wanita yang dibencinya. Di dunia di mana pedang dan sihir berkuasa, bisakah strategi bisnis menyelamatkan nyawanya dan menaklukkan hati sang tiran?
View MoreDingin. Hal pertama yang menyadarkan Rania adalah rasa dingin yang merayap dari lantai pualam melalui gaun sutra tipis yang asing di kulitnya. Kepalanya berdenyut sakit, seolah ada gema dari kecelakaan fatal yang seharusnya merenggut nyawanya. Udara di sekitarnya terasa pengap, beraroma debu tua dan kain yang sudah lama tak dijemur. Saat ia membuka mata, yang ia lihat bukanlah langit-langit apartemennya di Jakarta, melainkan ukiran megah yang tertutup debu dan sarang laba-laba.
Ini bukan tubuhnya. Tangan yang diangkatnya terlalu pucat, terlalu ramping, dengan kuku-kuku yang terawat sempurna—tanda kehidupan yang tidak mengenal kerja keras. Lalu, gelombang ingatan brutal menghantamnya—bukan miliknya. Wajah tampan seorang Kaisar yang menatapnya dengan kebencian sedingin es. Vonis pengasingan yang diucapkan tanpa sedikit pun keraguan. Nama "Aurelia". Status: Permaisuri Terbuang. Dia ingat kilatan lampu truk, lalu kegelapan. Dia seharusnya sudah mati. Sepertinya, takdir punya selera humor yang kejam. Dia kini terjebak di neraka orang lain, sebuah sangkar emas yang telah ditinggalkan pemiliknya untuk membusuk. Pintu ruangan terbuka dengan kasar, membuyarkan lamunannya. Seorang kepala pelayan paruh baya, Delia, masuk tanpa membungkuk. Kunci-kunci yang tergantung di pinggangnya bergemeletuk, satu-satunya suara selain langkah kakinya yang berat. Wajahnya adalah topeng cemoohan saat ia meletakkan semangkuk bubur encer di meja dengan bunyi keras yang disengaja. "Nikmati sarapan Anda, Yang Mulia," katanya, nada suaranya penuh racun dan penghinaan yang tak terselubung. "Setidaknya Anda tidak akan mati kelaparan hari ini. Itu akan merepotkan kami." --- Aurelia yang asli pasti akan gemetar atau menangis mendengar hinaan ini. Tapi jiwa di dalam tubuh itu sekarang adalah Rania. Dan Rania tidak menangis. Dia menganalisis. Otaknya yang dingin langsung bekerja, memindai Delia seperti memindai seorang karyawan bermasalah saat rapat evaluasi. *Aset: nol. Kewajiban: tak terbatas. Ancaman langsung: wanita di depanku.* Delia, kesal karena tidak mendapat reaksi emosional yang memuaskan, mendecakkan lidahnya. "Apa Anda bisu sekarang? Cepat habiskan makananmu itu, saya tidak punya waktu seharian untuk melayanimu." Tapi Rania lebih dulu berbicara, memotongnya dengan presisi seorang ahli bedah. "Gaunmu," kata Rania. Suaranya serak karena lama tidak digunakan, tapi stabil dan tanpa emosi. Delia mengerjap bingung. "Apa yang salah dengan gaun saya?" "Tidak ada yang salah," ulang Rania, matanya yang biru pucat kini menatap lurus, tajam, dan tanpa kehangatan. "Justru itu masalahnya. Gaun seragammu itu linen-sutra dari Selatan. Mahal. Sangat tidak biasa untuk seorang kepala pelayan di istana terbuang yang bahkan tidak mampu membeli kayu bakar yang layak. Jahitannya juga baru. Siapa yang menyetujui anggaran untuk itu?" Kepercayaan diri di wajah Delia goyah untuk pertama kalinya. Ini bukan pertanyaan yang bisa dilontarkan oleh Aurelia yang naif. "Ini... ini seragam standar dari istana utama. Stok lama." "Benarkah?" Rania tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya dan membuat Delia merinding. "Kalau begitu, aku yakin kau tidak akan keberatan jika aku meminta untuk melihat buku besar pengeluaran istana ini. Aku hanya ingin memastikan semua aset Yang Mulia Kaisar dialokasikan secara efisien." Kata "efisien" terdengar begitu asing dan mengancam dari bibir Permaisuri. Warna terkuras dari wajah Delia. Buku besar? Dia tahu apa isi buku-buku itu. Kebohongan, pencurian, dan pengkhianatan yang ditulis dengan tinta. Selama ini, tidak ada yang pernah berpikir untuk memeriksanya, apalagi sang Permaisuri yang dianggap bodoh dan patah hati. Kepala pelayan yang tadinya angkuh itu kini berdiri kaku, bibirnya sedikit gemetar. Dia menatap Permaisuri di hadapannya—wanita yang sama yang biasa ia hina setiap hari. Tapi tatapan mata itu... tatapan itu berbeda. Di sana tidak ada lagi kesedihan atau keputusasaan. Yang ada hanyalah perhitungan yang dingin dan berbahaya, seperti predator yang baru saja menemukan jejak mangsanya. Untuk pertama kalinya, Delia tidak melihat seorang ratu yang telah mati. Dia melihat sesuatu yang jauh lebih menakutkan baru saja bangkit dari kuburnya.Keheningan yang ditinggalkan Lysander terasa berat dan dingin. Selama beberapa saat, satu-satunya suara di kantor pengurus yang pengap itu adalah isak tangis tertahan dari Elara, yang kini merosot di lantai, terlalu takut untuk berdiri. Rania sendiri tidak bergerak. Matanya terpaku pada ruang kosong tempat Lysander lenyap. Tangannya, yang beberapa saat lalu memegang buku catatan hitam yang menjadi kunci kemenangannya, kini terasa ringan dan kosong secara absurd. Senjatanya telah dicuri, tepat di depan matanya, oleh hantu yang tersenyum. Otaknya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, mencoba memasukkan data yang mustahil ini ke dalam kerangka logis. Sihir itu nyata. Itu adalah fakta pertama yang harus ia terima. Entitas dengan kekuatan tak terukur ada di istana ini. Itu fakta kedua. Dan yang paling mengerikan, entitas itu mengetahui rahasianya. Fakta ketiga. "Yang Mulia..." rintih Elara, suaranya pecah. "Si-siapa itu? Hantu? Iblis?" Rania akhirnya bergerak. Dia berjongkok di depan El
"Cordelia." Nama itu keluar dari bibir Rania dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di keheningan kantor yang pengap. Udara di sekitarnya seolah membeku. Elara, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan bingung dan takut pada perubahan ekspresi Permaisurinya. Bagi Elara, nama itu hanyalah nama seorang Selir yang kuat. Tapi bagi Rania, nama itu adalah kunci yang membuka ruang arsip berisi penderitaan Aurelia. Semua kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan presisi yang brutal. Senyum manis Cordelia yang palsu, hadiah-hadiah kecil yang seolah penuh perhatian, bisikan-bisikan simpati yang ternyata adalah racun. Semuanya adalah bagian dari sebuah kampanye penghancuran karakter yang panjang dan terencana. Aurelia yang asli pasti akan hancur, dilumpuhkan oleh rasa sakit pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman. Tapi Rania tidak merasakan itu. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih dingin dan lebih berbahaya: kejelasan. Kem
Tengah malam tiba seperti kain beludru hitam yang membekap Istana Bunga Es. Keheningan begitu pekat hingga Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tenang dan terukur, kontras dengan napas Elara yang terdengar cepat dan gugup di sampingnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka berdua tampak seperti bayangan yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, mengenakan gaun paling gelap yang bisa mereka temukan. "Waktunya," bisik Rania. Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan otoritas yang membuat Elara langsung mengangguk. Misi mereka dimulai. Bergerak menyusuri koridor yang dingin terasa seratus kali lebih berbahaya di malam hari. Setiap embusan angin terdengar seperti bisikan, setiap bayangan dari obor yang berkedip-kedip tampak seperti penjaga yang bersembunyi. Rania berjalan di depan, langkahnya ringan dan penuh perhitungan, mengandalkan denah mental yang telah ia bangun. Elara mengikuti di belakangnya, membawa lentera yang ditutup kain tebal, setiap derit papan la
Siang berganti menjadi sore. Cahaya matahari yang tadinya hangat kini memanjang dan menajam, menciptakan bayang-bayang yang dalam di koridor Istana Bunga Es. Bagi Rania, waktu yang merangkak lambat ini adalah sebuah siksaan. Dia duduk di meja kerjanya, di hadapannya terbentang peta kasar tata letak istana yang ia gambar dari ingatan Aurelia. Namun, matanya tidak benar-benar melihat gambar itu. Pikirannya berada di tempat lain, mengikuti sesosok gadis kurus yang kini menjadi tumpuan dari seluruh strateginya. Dia sedang menunggu data dari agen lapangan pertamanya. Ini adalah bagian terburuk dari setiap operasi: saat kau sudah mendelegasikan tugas dan tidak ada lagi yang bisa kau lakukan selain menunggu dan percaya pada personelmu. Rania benci perasaan ini. Di dunianya, dia bisa memantau kemajuan lewat email atau pesan singkat. Di sini, dia buta dan tuli. Dia menganalisis kemungkinan. Probabilitas keberhasilan Elara: 40%. Probabilitas kegagalan dan ketahuan: 35%. Probabilitas Elara
Kepergian Delia meninggalkan keheningan yang memuaskan di dalam ruangan. Kemenangan kecil itu terasa manis, tetapi Rania tidak membiarkan dirinya menikmatinya terlalu lama. Konfrontasi tadi hanyalah sebuah gertakan yang berhasil, sebuah manuver psikologis yang didasarkan pada asumsi dan sedikit informasi. Itu tidak akan cukup untuk jangka panjang. Untuk memenangkan perang, seorang jenderal membutuhkan lebih dari sekadar gertakan; dia membutuhkan data, intelijen, dan mata-mata. Dia membutuhkan timnya sendiri. Pikirannya yang terbiasa memetakan struktur organisasi langsung bekerja. Dia membutuhkan seorang "analis junior", seseorang yang bisa bergerak di lapangan, mengumpulkan informasi tanpa menarik perhatian. Seseorang yang bisa menjadi mata dan telinganya di istana neraka ini. Dia duduk di kursi kayunya yang keras, memejamkan mata, dan mulai menyisir database ingatan Aurelia. Dia membuang kandidat satu per satu seperti sedang menyeleksi setumpuk CV yang buruk. *Pelayan senior? Tida
Dingin. Hal pertama yang menyadarkan Rania adalah rasa dingin yang merayap dari lantai pualam melalui gaun sutra tipis yang asing di kulitnya. Kepalanya berdenyut sakit, seolah ada gema dari kecelakaan fatal yang seharusnya merenggut nyawanya. Udara di sekitarnya terasa pengap, beraroma debu tua dan kain yang sudah lama tak dijemur. Saat ia membuka mata, yang ia lihat bukanlah langit-langit apartemennya di Jakarta, melainkan ukiran megah yang tertutup debu dan sarang laba-laba. Ini bukan tubuhnya. Tangan yang diangkatnya terlalu pucat, terlalu ramping, dengan kuku-kuku yang terawat sempurna—tanda kehidupan yang tidak mengenal kerja keras. Lalu, gelombang ingatan brutal menghantamnya—bukan miliknya. Wajah tampan seorang Kaisar yang menatapnya dengan kebencian sedingin es. Vonis pengasingan yang diucapkan tanpa sedikit pun keraguan. Nama "Aurelia". Status: Permaisuri Terbuang. Dia ingat kilatan lampu truk, lalu kegelapan. Dia seharusnya sudah mati. Sepertinya, takdir punya selera hu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments