Share

Kasih Cucu buat Mami

Laura mengerjap-ngerjapkan matanya kala mendengar ucapan Jonathan.

“Heuuh?” Laura menatap Jonathan dengan mulut menganga. 

Jonathan menghela napasnya dengan pelan kemudian memegang kedua lengan perempuan itu. Matanya menatap dengan lekat seraya tersenyum tipis. 

“Aku … cinta, sama kamu,” ucapnya pelan. 

Laura semakin salah tingkah. Dia tidak pernah tahu isi hati Jonathan yang ternyata sudah mencintainya. 

“Sejak kapan?” tanyanya kemudian. 

“Perasaan tidak pernah tahu kapan datangnya, Laura. Yang jelas, aku mencintai kamu karena kamu istri aku. Cukup tahu itu saja. Semoga kamu bisa membalasnya.” 

Laura kembali menganga. “Serius?” tanyanya lagi. 

Jonathan menggetok pelan kening istrinya itu. “Harus dibuktikan dengan apa, supaya kamu percaya kalau aku cinta, sama kamu?” 

Laura menghela napasnya. “Kiara. Kenapa dia sampai datang ke kampus, nyariin kamu? Katanya udah putus. Kalau belum, itu artinya kamu selingkuh. Aku ini istri kamu. Kasta tertinggi dari hanya sekadar pacar!” 

Jonathan mengangguk. “Kiara minta penjelasan. Udah aku putusin, tapi dia nggak terima. Mau gimana lagi, dia udah aku putusin lewat HP, nggak ada tanggapan. Udah diputusin di depan matanya, malah nggak mau. Aku kasih tahu, kalau aku sudah menikah. Dia malah ingin tahu, siapa perempuan itu.”

“Mau ngapain? Suruh cerai, sama kamu? Minta sono, sama Papa!” sengalnya kemudian. 

Jonathan terkekeh pelan. “Nggak usah dipikirin. Dia udah jadi urusan aku. Aku tidak akan mempermainkan pernikahan. Lagi pula, hubungan kami tidak akan berjalan lancar karena Mami dan Papi emang udah jodohin aku sejak hubungan kami masih berlangsung.” 

Laura memiringkan kepalanya seraya menatap Jonathan. “Sejak kapan? Aku tahunya bulan lalu. Satu minggu sebelum pernikahan itu dilaksanakan.” 

Jonathan mengendikan bahunya. “Sejak enam bulan yang lalu. Orang tua kamu datang ke rumahku, bilang katanya anaknya bandel, nggak mau nurut, harus dinikahkan supaya ada yang jaga.” 

Laura lantas menyunggingkan bibirnya. “Hanya karena pacaran sama Virza?”

“Nggak tahu pasti, Laura. Yang jelas, papa kamu tidak mau anak bungsunya terjerumus ke dalam jurang. Kamu dan Virza tidak akan bersama kalau tidak ada yang mau mengalah. Lagi pula, bukan hanya kamu saja, perempuan yang dia punya.” 

Laura menghela napas kasar. “Ngapain kamu pulang?” 

“Karena nyari kamu.”

“Ngapain nyari aku? Aku bisa jaga diri, kali. Udah gede!” 

Jonathan mengacak rambut perempuan itu. “Kamu sudah punya suami. Sudah ada yang tanggung jawab atas hidup kamu.” 

Jonathan mengambil tas milik istrinya dan membawa masuk ke dalam kamar. Menyimpannya di meja belajar perempuan itu kemudian duduk di tepi tempat tidur seraya menghubungi seseorang yang entah siapa, Laura tidak tahu. 

“Ada di rumah Kinara, tadi. Jangan sampai mereka ketemu. Tolong, awasi kalau aku nggak bisa ada di samping dia.” 

Jonathan menutup panggilan tersebut kemudian menghela napasnya dengan pelan. 

“Kamu kenapa sih, Jo? Emangnya ada apa? Kenapa harus jagain aku terus? Psikopat, mantan pacar kamu?” Laura semakin penasaran dengan sikap Jonathan. Menghubungi orang yang tidak tahu siapa orangnya.

“Nggak. Bukan karena psikopat. Tapi, untuk antisipasi aja. Namanya dia nggak terima aku putusin, pengen tahu siapa istri ak—“

“Aku punya Papa yang punya segalanya. Dia bisa bunuh orang yang berani mencelakai anak-anaknya. Kamu kira, Kak Gerald bisa nikah sama Kak Sandra karena siapa? Karena Papa. Sampai Gery berani tanda tangan surat cerai itu karena siapa? Karena Papa. 

“Aku nggak takut pada siapa pun kecuali Tuhan. Nggak! Dua puluh empat jam, Papa pasti on kalau aku hubungi. Nggak perlu takut sama perempuan gila, yang nggak terima diputusin. Kekayaan dia, lebih banyak dari Papa?” 

Jonathan menarik tangan perempuan itu kemudian memeluknya. Mengusapi punggung Laura dengan lembut seraya menghela napasnya dengan pelan. 

“Papa kamu memang punya kuasa. Semuanya untuk anak-anaknya. Aku merasa gagal jadi suami, kalau kamu meminta bantuan pada orang tua kamu,” ucapnya dengan pelan. 

Laura menelan saliva dengan pelan. “Cinta kan, sama aku?” 

Jonathan melepaskan pelukan itu. Kemudian menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya. Kamu sendiri?” 

Laura menggeleng. 

Jonathan kemudian memutar bola matanya pelan. “Ya sudah. Tidak mudah memang, jatuh cinta, sementara hati kamu baru saja mengeluarkan orang yang kamu cinta.”

“Kiara ngomong apa, sampai buat kamu khawatir, takut dan segala macem lainnya?” tanyanya ingin tahu. 

“Laura. Kamu ingat kan, permintaan Mami kemarin malam?” 

“Jangan out to topic, Jonathan! Jawab dulu pertanyaan aku, setelah itu ….” 

Jonathan menaikkan alisnya sebelah. “Setelah itu?” tanyanya seraya menjebak Laura. 

“Jawab dulu pertanyaan aku, Jonathan!” Laura sudah mulai kesal. 

Jonathan terkekeh pelan. “Dia pengen tahu, wanita mana yang sudah berani menikah dengan aku. Udah sih, itu aja.” 

Laura tersenyum pasi. “Masaa? Kalau hanya ingin tahu, kenapa sampai buat kamu khawatir kayak gitu?” 

“Siapa yang khawatir, Laura? Aku udah jawab pertanyaan kamu, sekarang turuti permintaan Mami.”

“Aku masih kuliah, Jo!” 

“Apa hubungannya, dengan kuliah? Kamu udah pulang. Ini di rumah, bukan di kampus. Kamu tahu nggak, dulu Gerald pernah bercinta di kampus?” 

“What? Serius? Kok bisa?” Laura kembali mengalihkan pembahasan. Sungguh, perempuan itu masih takut dengan pusaka besar milik suaminya itu.

Jonathan membuka satu persatu kancing kemejanya seraya menatap Laura. “Mungkin karena usia kamu saat itu masih kecil. Makanya dia nggak mau cerita. Dia banyak cerita ke Nicko and you know, kenapa Papa bisa kenal dengan orang tuaku.” 

Laura menelan salivanya kala Jonathan sudah membuka kemejanya. Bertelanjang dada, sisa celana yang belum dia buka. Laura yang tengah berdiri di tepi tempat itu lantas meraih kasur kemudian duduk di sana. 

“Nggak tahu kenapa, Kak Gerald suka banget melakukan hal extreme,” ucapnya pelan. 

Jonathan menatap Laura dengan lekat. “Mau tahu, kenapa Gerald berani bermain di mana pun dan kapan pun?” 

Dengan polosnya, perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kenapa?” tanyanya dengan mudahnya. 

Jonathan menyunggingkan senyumnya. “Karena enak, Laura. Gimana sih!” ucapnya kemudian duduk tepat di depan Laura. “Ke villa, yuk! Besok, aku mau ambil cuti. Kamu izin aja.”

“Jo.” Laura mengeluh lesu. “Aku belum siap, Jo.” 

“Nggak akan siap, kalau belum pernah mencobanya. Kamu takut banget, aku bobol.” Jonathan mengerutkan keningnya. 

“Aku masih perawan, Jonathan. Jangan mikir yang aneh-aneh!” 

Jonathan terkekeh pelan. “I trust you. Karena itu, aku ingin jadi laki-laki yang pertama kali bobol. Lagian kamu istri aku.”

Laura menghela napasnya dengan pelan kemudian melirik Jonathan yang tengah melipat tangan di dadanya seraya menatap dirinya dengan lekat. 

“Kamu sendiri, masih perjaka?” 

Jonathan menggeleng. “Sering buang calon anak di closet.” 

Laura menganga mendengarnya seraya mengerjap-ngerjapkan matanya. “Serius?” 

Jonathan mengangguk. “Belum pernah masuk, belum tentu masih perjaka. Jangan terkecoh dengan hal itu, Laura. Lagi pula, kamu tidak akan bisa membedakannya.” 

“Iya, sih,” ucapnya pelan sembari menggaruk rambutnya. 

“Laura. Jangan mengulur waktu. Kalaupun kamu hamil, ada suaminya. Emangnya Sandra. Hamil, bukan sama suaminya.” 

“Jangan bahas mereka, Jo. Bikin mumet ke—“ Laura menolehkan kepalanya dengan cepat kepada Jonathan. “Kok kamu banyak tahu tentang mereka sih? Sebenarnya kamu udah kenal aku dari kapan?” 

Jonathan tersenyum miring. “Enam bulan yang lalu.” 

“Terus, kenapa tahu banget soal Kak Gerald?” 

“Dari papa kamu lah. Dia nggak mau anaknya kayak kakaknya dulu. Nyari masalah dengan suami orang, sampai buat papa kalian hampir gila dibuatnya. Akhirnya aku tanya-tanya ke Nicko.” 

Laura menghela napas panjang. “Aneh!” 

“Aneh gimana? Aku ngomong apa adanya, malah dibilang aneh!” 

“Kamu aneh. Udah kenal aku dari dulu, tapi kayak orang asing kalau di kampus.” 

Jonathan menyunggingkan senyumnya. “Mau ya, kasih cucu buat Mami?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status