Share

Empat

Toshima, 25 Desember 2015.

Hari ini, Natal telah dilaksanakan. Banyak pegawai konbini yang sebenarnya ingin meliburkan diri, tetapi hanya sedikit nan diizinkan atasan. Alasannya—konbini 24 jam ini memang harus tetap buka, banyak orang yang masih membutuhkan sesuatu pula masih terdapat diskon nan menggiurkan. 

Himeko salah satu yang tidak mendapat jatah libur—pun gadis itu memang tidak menginginkannya. 

Natal diidentikan dengan libur—kumpul bersama keluarga, sahabat, atau bahkan sekadar menghabiskan waktu bersama pacar jika memilikinya. Namun, Himeko tak memiliki alasan-alasan klise seperti di atas. 

Keluarga Watanabe kecil milik Himeko tak lagi pernah berkumpul lagi sejak dirinya kuliah. Ayahnya yang galak sampai sekarang masih agak tidak menerima dirinya menjadi sarjana oseanografi, tidak memilih jurusan yang dikehendakinya. Pun pria baya itu mungkin akan kini lebih memilih menghabiskan waktunya di Izayaka yang memang membuka penawaran perayaan Natal menggiurkan bersama para rekan kerjanya nan rata-rata sama-sama duda. Kakak laki-lakinya, Nanami, memang lebih memilih untuk merayakan natal bersama kawan—atau sekarang bersama pacarnya. Dan Hanami, sang adik, kini lebih memilih untuk menghabiskan libur dengan belajar mati-matian untuk tes ujian masuk universitas tahun depan. 

Kawan ataupun sahabat? Himeko masih waras untuk tidak ikut Nakano Kei yang berlibur ke Hokkaido bersama Tamiko sang pacar, sekali pun gadis itu tidak perlu memikirkan biaya. Himeko tidak ingin menjadi nyamuk—lebih-lebih orang ketiga. 

Pacar? Sejak duduk di bangku sekolah, Himeko bukanlah gadis yang cantik pun menarik perhatian. Alias, tidak punya. 

Hanya ada tiga pegawai yang bertahan di konbini sore ini; Himeko, Natsu, dan seorang pria bernama Shota yang memilih bekerja di libur musim dingin untuk menambah penghasilan karena istrinya akan melahirkan beberapa bulan lagi. 

Dan tentunya, beberapa pelanggan. Rata-rata tengah menyelusuri rak-rak; memilih barang yang mereka inginkan. Terdapat juga seorang yang tengah duduk di depan kaca tebal bening nan menampilkan sore hari bersalju. Tadi seseorang itu—yang merupakan seorang pemuda, membeli latte, donat, dan beberapa pastri. Memilih untuk menikmati semua itu di konbini ini secara langsung, belum lagi pemuda itu kini juga tengah fokus ke dalam laptop. Lagaknya seperti sedang berada dalam kafe saja. 

"Himeko, katakan padaku secara jujur, itu pacarmu, 'kan?" 

Natsu sedari tadi entah mengapa menjadi sedikit menyebalkan masih saja bertanya dengan bisik-bisik tidak berguna—karena suaranya masih dapat dikatakan agak keras. Sejujurnya mengganggu Himeko yang kini tengah memanaskan bento pesanan salah satu pelanggan. 

"Tidak, harus kukatakan berapa kali, Natsu?" Himeko mulai jengah, gadis itu mencebik sebal. 

"Habisnya, kau terlihat cocok dengannya. Belum lagi saat datang, dia menyapamu dengan sangat—hangat. Aku masih yakin, kau berbohong." 

Himeko memutar bola mata bosan mendengar ucapan Natsu. Gadis Watanabe itu menggeleng-geleng pelan, mendesah pasrah. 

Pemuda itu yang membuat Natsu menjadi cerewet seperti ini.

Pemuda yang tengah duduk dan fokus dengan laptop sembari menyesap latte—Nakamura Naoto. 

"Aku juga ingat, Himeko. Dia pelanggan beberapa hari lalu 'kan? Dia seakan-akan menungguimu, aku yakin kalian berdua pulang bersama. Jangan coba berbohong padaku, manis." Natsu tersenyum melihat Himeko yang entah sudah ke berapa kalinya menghela napas. Namun gadis Watanabe itu tidak mengelak seperti sebelumnya. 

Ya, karena memang sebuah fakta. Himeko pulang bersama Naoto, walau terpaksa. Atau secuil momen bahwa Himeko beberapa hari lalu memang dibantu oleh pemuda itu—ditumpangi payung dan ditraktir café au lait. Walaupun Himeko telah menolak sekeras mungkin, menurut gadis itu saja, sih. Namun, ternyata Naoto lebih keras kepala. Pemuda itu beberapa hari lalu memang benar-benar mengajaknya ke sebuah kafe di dekat stasiun Nagatacho untuk melindungi diri mereka dari hujan salju hari itu. 

"Sudahlah, Natsu. Lagi pula, kenapa kau yang sangat heboh kalau Himeko pacaran? Bukankah seharusnya kau mulai mencari juga?" Shota datang dari gudang persediaan, membawa beberapa permen dan cokelat untuk ditata dekat meja kasir. Menghentikan aksi Natsu yang kini cemberut. "Sebentar lagi kau akan diwisuda, supaya ada gandengan."

Shota, pria itu menyeringai penuh ejekan ketika melihat Natsu yang mendengkus sebal. Pun Himeko yang harus menahan tawa, dengan rasa agak puas di dada karena merasa kekesalannya terbalaskan. 

"Jangan menghinaku, Shota-san. Lihat saja, aku akan mendapatkan pacar yang jauh lebih tampan!" sahutnya dengan semangat berapi-api. Himeko dan Shota menggeleng pelan, dan Natsu yang lagi-lagi mendengkus sebal. "Lihat saja, Himeko. Pacarku nanti mungkin akan lebih tampan daripada pacarmu."

"Sini, aku kasih kalian wejangan," Shota yang selesai menata permen dan cokelat mendekat. Himeko juga mulai mengeluarkan bento yang tadi salah satu pelanggan minta hangatkan di dalam microwave dengan hati-hati. "Jangan terlalu muluk-muluk mendapatkan pasangan hidup seperti dalam imajinasi kalian. Syukuri orang yang benar-benar membuat kalian nyaman dan benar-benar menghargai kalian—mencintai kalian."

Natsu yang tadinya memperlihatkan wajah masam pada Shota dan Himeko kini berubah drastis menjadi meringis—kegelian. Gadis yang namanya serupa musim panas itu tertawa kecil. 

"Jangan berbicara seperti itu, Shota-san. Anda terdengar seperti orang tua, padahal usia Shota-san hanya berbeda 5 tahun dari kami."

Pria bernama Shota itu menggeleng saja. Tersenyum tipis. 

"Suatu saat kalian pasti akan mengerti." katanya, sebagai akhir percakapan untuk saat ini. Membuat Himeko tertegun akan senyum tipis—tetapi dalam benak gadis Watanabe dirasa menyimpan banyak ketulusan. Shota, pria yang ceria. Dan tiap kali menceritakan tentang istrinya, Shota akan melembut—seakan-akan menunjukkan betapa beruntungnya pria itu dipertemukan dengan sang istri. 

Apakah ayah dan mendiang ibunya dahulu juga merasakan seperti itu?—Himeko bertanya-tanya. Ayahnya yang selalu dipandangnya sebagai pria menyeramkan; suka marah-marah—galak, kata-katanya benar-benar tajam, dan sejak ibunya tiada pria itu tega memukuli anak-anaknya ketika emosi.

Apakah ayahnya pernah menjadi selembut Shota? 

"Permisi, apakah bentonya sudah siap?"

Himeko yang tadi tengah merenung, sekejap kembali pada realita. Menyodorkan sekotak bento yang telah hangat pada pelanggan nan akan membayar. 

•••

"Kau pulang sangat malam hari ini," Naoto tertawa kecil ketika Himeko menjauh beberapa langkah darinya. Mereka terhalang tiga langkah. "Maaf, jika aku terlalu dekat."

Sudah jam sembilan malam. Himeko biasanya menjaga konbini dari pagi hingga sore, tetapi gadis itu lebih memilih untuk lembur. Gajinya lumayan menggiurkan, Naoto paham mengapa banyak orang yang memilih untuk bekerja di libur musim dingin begini. 

"Kau sudah makan malam?" Pemuda Nakamura itu sedikit tersenyum ketika melihat sebuah keluarga yang berada di seberang mereka. Sama-sama sedang menunggu kereta. Pasangan suami-istri yang kelihatannya masih muda, dengan sesosok batita nan tertidur dalam buaian sang bunda. Mungkin pasangan itu menikah muda, mendobrak usia menikah di negara mereka yang biasanya dilakukan di usia akhir kepala dua—bahkan kepala tiga. 

"Apakah kau ingin aku mengganti uangmu? Untuk membeli café au lait dan pastri kemarin." 

Naoto mengangkat alis, ucapan Himeko sama sekali tidak memiliki korelasi dengan pertanyaannya tadi. 

"Maaf?"

"Katakan saja, aku harus membayar langsung atau mentraktir seperti kemarin." Tangan mungil Himeko yang terbalut sarung tangan berwarna ijas dimasukkan ke dalam mantel musim dingin nan warnanya hampir serupa—gandaria pucat. Kepala bermahkotakan rambut hitam bak arang juga dihiasi oleh topi rajut berwarna lila. Membuat Naoto menebak bahwa gadis di dekatnya ini memang pecinta warna ungu. 

"Kan sudah kubilang, aku ikhlas. Kau tidak perlu mengganti apa pun." 

"Lalu mengapa kau datang kembali ke konbini? Dari siang hingga aku pulang—kurasa tak ada yang perlu kaulakukan di sana." Himeko menghentikan langkahnya. Berdiri diam menunggu kereta yang tiga menit lagi akan tiba. 

Naoto mengikuti sang gadis untuk menghentikan langkah. "Memangnya aku tidak boleh ke sana?"

"Bukan begitu, hanya saja..." Himeko menatap kereta yang berhenti di seberang, jelas bukan kereta tujuannya. "... Kurasa di dekat kampus dan dekat apartemenmu banyak terdapat konbini. Mengapa harus ke konbini yang jauh-jauh berada di Toshima?"

Keluarga muda kecil tadi menghilang—sudah masuk ke dalam kereta. "Karena di konbini tempatku berkerja, harganya masih murah. Dan banyak promosi. Yah, kau mengerti 'kan?"

Himeko menghela napas. "Omong-omong, itu konbini bukan kafe. Kau tidak bisa terlalu lama di sana, membuka laptop, minum latte juga makan pastri cantik di sana. Lagi pula, tempatnya kurang estetik. Ada banyak kafe murah, kenapa harus ke konbini?"

"Kau mengusirku?" Naoto terkekeh pelan. Melirik Himeko yang kini menundukkan kepala. Hening sejenak. Kereta mereka berdua akan tiba kurang dari semenit lagi, bahkan suara moda transportasi itu sudah terdengar mendekat. 

"Sebenarnya, mengapa kau tiba-tiba ingin berteman denganku sebegininya? Kurasa walau kita memang sekelompok, kita tak dekat. Bicara saja hampir tidak pernah, aku bahkan melupakan bahwa kita pernah sekelompok saat orientasi. Ketika kejadian memalukan itu juga, kita tak pernah bertemu. Aku juga tidak menganggapmu sebagai apa pun, hanya orang iseng kurang kerjaan." 

Ketika Himeko selesai mengatakannya, kereta yang akan mereka dinaiki mereka berhenti. Begitu juga Naoto yang sempat membeku sesaat. 

"Aku hanya ingin minta maaf." ujar pemuda itu pelan, tetapi tak terdengar oleh Himeko yang kini berjalan menjauh—berjalan ke arah kereta untuk dimasuki, setelah menunggu beberapa penumpang turun dari sana. 

•••

Kyojima, 26 Desember 2015.

Sungguh, apa dosa Himeko? 

Pagi-pagi sekali—bahkan dapat dikatakan masih dini hari, ayahnya baru pulang. Mengetuk pintu keras-keras, mengabaikan potensi bahwa bisa saja ada tetangga yang merasa terganggu. Beruntung tidur Himeko tak seperti orang mati. Namun, tentu bangkit saat sudah mengistirahatkan diri sepenuhnya terasa amat berat. Himeko sempat sempoyongan, tetapi teriakan marah sang ayah di luar sana membuat gadis itu memaksakan dirinya untuk lebih cepat dalam bergerak. 

Ketika Himeko berhasil membukakan pintu, terlihat pria paruh baya yang terlihat seperti habis mabuk. Pandangannya tidak fokus, rambutnya agak berantakan, dasi yang sudah longgar, dan aroma alkohol nan menyengat. 

Ayahnya mabuk. Sake. Memangnya apa yang Himeko harapkan dari seorang pria paruh baya nan sebenarnya tidak kuat mengonsumsi alkohol? Apalagi ayahnya baru pulang dari Izakaya. Pun sang ayah berkata jika beliau diundang oleh rekan kerjanya di libur musim dingin begini. Biasanya pria itu lebih memilih menginap di penginapan murah jika melewati pukul sebelas malam— bersama orang yang mengundangnya. Hanami sang adik pun telah izin padanya untuk menginap di rumah salah satu temannya—katanya untuk belajar bersama di tengah Natal. Dan sang kakak, Nanami yang menghabiskan Natal bersama keluarga pacarnya. Maka dari itu, Himeko yang hanya sendiri dan jelas kelelahan setelah pulang dari konbini pada pukul sebelas malam memilih untuk mengunci pintu rumahnya dengan alasan keamanan. 

"Kenapa lama sekali?!" Jelas nada suara yang dikeluarkan pria paruh baya tinggi. Nyawa Himeko yang kiranya masih sedikit melayang segera kembali ke tubuh. Gadis itu terkejut. Ayahnya membentak. "Dasar anak bodoh! Tak tahukah kamu kalau aku lelah?"

"M-maafkan aku," Himeko menunduk. Hanya dapat membalas itu. Jantungnya berdebar keras karena takut. 

"Gadis idiot, mengapa kamu mengunci pintu? Kau pikir ini rumahmu? Aku bisa mengusirmu kapan saja," Ayahnya masih meracau membuka dengan asal sepatunya di genkan mereka yang terang. Baru Himeko sadari di beberapa bagian wajah ayahnya terlihat lebam. "Siapkan air hangat untukku, aku ingin mandi."

"Chichi-ue—i-itu mengapa ada lebam?"

Himeko juga tidak tahu mengapa dirinya bisa seberani itu, tetapi pada akhirnya gadis itu sangat menyesali perkataan yang keluar dari tubir. 

Sang ayah murka. Pria paruh baya itu bangkit, menggapai rambutnya untuk dijambak. "Anak sialan!"

Tubuh gadis Watanabe itu bergetar, kulit kepalanya sudah terasa sakit. "M-maafkan aku, Chichi-ue—"

"—anak kurang ajar, mengatai Ayahnya sendiri." Kini punggung Himeko yang terasa sakit, pria paruh baya memukulnya keras. Sang gadis yakin—pukulan itu menambah rangkaian lebam yang sudah dihasilkan ayahnya lagi. 

"M-maafkan aku—" Jambakannya terlepas. Himeko bergetar penuh takut dan kesakitan. 

"Jangan kau urusi hidupku!" Sebuah tamparan dilayangkan ke pipinya. Sebagai 'hukuman' terakhir sang ayah malam itu. "Sekarang cepat siapkan air hangat."

"B-baik." Tamparan itu jelas sakit. Namun Himeko tak bisa mengatakan apa pun lagi. Menunduk, meminta maaf, menuruti keinginan sang ayah—gadis itu bahkan tak berani untuk mengatakan kesakitannya. 

Himeko tidak bisa tidur. Lagi pula, gadis itu juga merasa tanggung—sudah pukul tiga pagi, Himeko biasa bangun pukul lima. 

Di tengah kamar sederhananya yang sunyi—kamar nan berukuran dua kali tiga meter dengan cat yang sudah sedikit mengelupas, di atas kasur yang kini sudah agak lapuk. Himeko merebahkan diri, menatap langit-langit kamar yang sudah terlihat tua.

Pun di tangan gadis itu, terdapat sebuah cutter—yang terlihat sudah digunakan. Dengan mata yang kosong, Himeko menatap pergelangan tangannya yang kini dihiasi lebih banyak luka—bahkan terasa lebih banyak darah. Mengalir mengenai baju yang kini dikenakannya, bahkan menodai kasur pula. 

BERSAMBUNG 

Catatan: 

• Genkan: Area pintu masuk bergaya khas tradisional Jepang, ukurannya kecil saja. Biasanya para orang membuka alas kaki dan menaruhnyanya di tempat ini. 

• Chichi-ue: Panggilan ayah dalam bahasa Jepang. Ayah dalam bahasa Jepang, juga dapat dipanggil dengan Tou-san/Tou-chan/Papa, tetapi kata Chichi biasanya dikhususkan untuk memanggil ayah kandung sendiri. 

• ... -san: Suffiks yang digunakan untuk memanggil seseorang nan dihormati; lebih tua dari kita; atau biasanya juga untuk memanggil orang yang belum kita kenal dekat. 

Fyi, di Jepang para masyarakatnya jarang yang menikah muda (di usia rentang kepala dua). Mereka lebih sering menikah di usia 20 akhir, kepala tiga (30-an)—atau bahkan banyak artis Jepang (terutama pengisi suara anime) yang menikah pada usia kepala empat (40-an). Karir adalah segalanya bagi mereka. Namun, ibu rumah tangga—adalah 'pekerjaan' yang paling dihormati juga di Jepang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status