Share

Dipole
Dipole
Author: faihyuu

Satu

Shibuya, 10 Oktober 2015.

"Aku membutuhkan sebuah pekerjaan," Himeko kemudian menyeruput pelan kopinya. Kafein adalah salah satu zat yang selalu bersamanya. Namun, alangkah lebih baik lagi kalau dirinya dapat menemukan sebuah pekerjaan yang bisa menghasilkan pundi-pundi penentu hidupnya. "Pekerjaan yang tidak bakal membuatku lelah sekali. Yang berhubungan dengan sastra atau geografi, dan kalau bisa gajinya besar."

Seorang pemuda yang kini duduk tepat di hadapan sang gadis berambut hitam arang—Nakano Kei—mendengkus sebal. "Tidak ada pekerjaan yang tidak membuat lelah, Himeko. Makanya tidur. Matamu makin mengerikan. Hentikan juga kebiasaan mengiris kulit tanganmu, kalau mati duluan gara-gara itu bagaimana? Katanya mau berniat bunuh diri dengan menerjunkan diri ke palung Mariana sebagai lulusan oseanografi yang sukses."

Sang gadis yang tadi membuka pertanyaan, Watanabe Himeko menyingkap lengan baju panjangnya, ada luka sayatan di sana. Lumayan banyak. Himeko memang sedang stres akhir-akhir ini.

"Kau tahu? Ayah mulai mabuk-mabukan dan merokok, Nanami-nii menghamili pacarnya. Tambah chaos saja ketika Hanami, gadis itu membuka jasa telepon seks tiap malam pada hari Sabtu dan Minggu. Astaga, aku agak jijik ketika dia mastubasi sungguhan agar suaranya nyata," Himeko menutup kembali luka-luka itu dengan lengan panjang bajunya. Gadis itu yang mendengkus sekarang. "Mereka semua menyuruhku untuk cepat-cepat dapat pekerjaan setelah lulus, katanya sih agar aku bisa menghidupi diri sendiri agar tidak selalu membani mereka."

Ck, membebani apanya? Justru Himeko lah yang paling sering dibebani oleh mereka. Beban pikiran. Membuat si gadis Watanabe ini sulit tertidur tiap malamnya, merasa tak beguna dan ingin mati. Menjadikan self harm—menyakiti dirinya sendiri menjadi pilihan pengalih pikiran, dan emosi yang tidak tertahankan lagi.

Dua hari lagi ia akan sidang, setelah ribuan purnama sang dosen selalu berceloteh gila tentang skripsinya. Ia akan lulus, memperoleh gelar sarjana. Jika boleh hiperbola, bahkan sejak seminggu yang lalu keluarga besarnya sudah mulai menekan Himeko dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pekerjaan yang sama sekali tidak disukainya.

Manusia memang terlahir untuk mencintai uang. Himeko manusia, dan dia memang cinta uang.

Keluarganya yang menyebalkan selalu berceloteh dan memaksa. Keputusannya untuk berkuliah jurusan ini saja masih seringkali mendapat sindiran dan hinaan tiap makan malam keluarga yang sepi berlangsung, tetapi namanya juga orang-orang yang berlindung dari balik darah; suka sekali mengenakan topeng "kami hanya ingin yang terbaik untukmu saja".

Baik untuk reputasi dan uang kalian, tidak denganku. Himeko mencibir dalam hati. Keluarganya menginginkan Himeko menjadi seorang dokter atau pebisnis. Namun, sayang sekali Himeko memang tidak memiliki niat dan atensi sama sekali di kedua bidang itu walau dia bisa.

"Bekerja di restoran cepat saji menyenangkan sih, tetapi kau tahu 'kan? Restoran cepat saji di daerah ini memusuhi anak-anak kampus kita soal waktu. Konbini di dekat kampus dan rumahku juga tidak ada lowongan pekerjaan paruh waktu. Bekerja sebagai pelayan bar rendahan saja, malah aku yang dianggap sebagai jalang mahal. Aduh, aku masih jijik sekali pada paman-paman mesum yang mengajakku tidur beberapa bulan lalu." Himeko bergidik ngeri, terkadang hal-hal yang menyeramkan memang seringkali menyangkut lebih baik di ingatan daripada hal yang kiranya menyenangkan.

"Ya, kau 'kan memang memiliki tubuh idaman pria walau tingginya penuh kekurangan. Wajahmu juga manis. Sifatmu juga kadang dianggap lucu. Kau juga jarang sekali benar-benar terlihat meledak emosinya, yah, walau dengan sakitnya menyakiti diri untuk melampiaskan. Jangan lupa juga kerakusanmu itu, enam mangkuk ramen dengan tonkotsu besar saja habis kau libat, makanya itumu besar."

"Astaga, Kei-kun. Kau mesum, aku tidak menyangka kau menyadari ituku. Apa yang bakal Tamiko lakukan kalau dia tahu hal ini, ya? Lagi pula, kau juga sialan. Tamiko pastinya selalu memberimu jatah, 'kan? Mengapa masih melirik milik gadis lain?"

Tisu bekas pakai Kei hampir mengenai wajah Himeko. "Cerewet, kau mau kusamakan dengan Sasaki anak kedokteran yang galak dan mengesalkan itu? Atau dengan Hibiki si anak desain yang kepoan, centil, dan tukang gosip? Hibiki dan sohibnya si Sasaki. Duo cerewet universitas kita."

"Tidak." Himeko menutup tubir. Menggeleng. Sifatnya tiba-tiba menjadi kalem seperti biasanya. Dia kini menyeruput kopinya yang tinggal separuh.

Ya, Himeko sangat tidak suka dibandingkan dengan dua gadis kaya universitasnya itu. Walaupun kaya, Himeko tidak suka dengan kedua pemudi itu. Bukan karena sikap mereka yang cerewet, kasar, maupun tukang gosip. Itu semua masih bisa dikatakan normal. Bukan pula karena Himeko iri pada mereka yang terkenal dan juga kaya, tetapi kedua gadis itu pernah bermasalah dengannya.

Kedua gadis itu pernah menjadikannya bahan Truth or Dare secara tiba-tiba. Di tengah suana kantin seni dan sastra yang ramai—ya, banyak anak fakultas lain banyak yang lebih memilih untuk ke sini daripada kantin fakultas mereka masing-masing, memang sih kantin ini tampak jauh lebih lengkap dan terlihat keren, begitu pula Himeko si jurusan oseanografi yang sering ke kantin universitas untuk menyerahkan karya-karya tulisnya kepada klub sastra yang diikutinya—mereka berdua memanggilnya, dan terkesan memaksanya untuk mendekati mereka.

Himeko tak punya pilihan lain selain mengiyakan, karena saat itu dia tidak memiliki alasan untuk menolak. Toh, dia sudah menyelesaikan bekal dan telah meyerahkan lembaran puisinya kepada Atsuko si penyunting lepas dari klub sastra kampusnya. Dia berpikir saat itu, Sasaki ataupun Hibiki perlu bantuannya. Karena walau terlihat cupu begini, Himeko lumayan terkenal akan karya yang dia hasilkan, belum lagi gadis Watanabe itu memang merupakan seorang penulis utama dari majalah kampus yang dikelola klub sastra—namanya tertera lumayan besar di halaman depan majalah kampusnya. Dan juga Himeko memang pernah membuka jasa mengerjakan tugas makalah jika masih dirasa masih dalam batas kemampuan sang dara.

Namun yang terjadi malah petaka, seorang pemuda berambut pirang, berperawakan orang asing, tetapi memiliki kewarganegaraan Jepang. Nakamura Naoto—yang baru Himeko sadari saat itu tengah bersama duo gosip—tiba-tiba meneriakkan kata suka dan ajakan berpacaran, bahkan seakan-akan memaksakan hubungan tidak jelas itu dengan mengatakan—

"Mulai detik ini kita pacaran."

Sial, Himeko mendesis dalam hati.

Siapa sangka kantin bakal jadi rusuh begitu, meneriakkan kata yang memaksa Himeko untuk menerima.

Namun, kadang kejahatan itu memang tak kenal belas kasihan. Belum juga bibir Himeko bergerak untuk membalas, Naoto membuatnya bungkam. Saking kejamnya bahkan mempermalukannya sedemikian rupa.

"Sekarang kita putus, ya. Hari ini, aku punya kekasih dan memutuskan hubungannya tidak sampai semenit. Dare-ku tuntas, aku bukan pengecut. Maafkan aku jika menganggu.”

Sampai hari ini, hampir setahun lebih berlalu sejak kejadian itu, Himeko memutuskan untuk menjadi mahasiswi kupu-kupu. Gadis itu masih tidak terima peristiwa itu terjadi padanya. Para mahasiswa dan mahasiswi masih seringkali membicarakan itu ketika Himeko tiap mereka bertatap muka—sengaja, apalagi dengan tatapan yang agak menghina, menjadikan gadis Watanabe yang sudah tidak terlalu sehat kejiwaannya itu tambah terguncang.

Himeko bahkan keluar dari seluruh organisasi yang ikuti, dia merupakan mahasiswi pertama ada di kelas dan keluar dari kelas, bahkan gadis itu tak lagi pernah menginjakan kaki ke kantin universitas. Kantin sains jurusannya berada, kantin sosial, kantin matematika, dan tentu saja kantin sastra sebagai tujuan utama yang paling dihindarinya.

Hanya Kei dan sang pacar yang masih setia bersamanya, bahkan dia pernah berkeinginan untuk membalas perbuatan Naoto dan teman-temannya itu. Namun Himeko jelas menolak. Gadis itu hanya tidak ingin masalah makin panjang.

"Aku tahu, kau masih kesal sama para manusia tidak tahu diri itu 'kan? Sampai diam menjadi patung begini," Kei mengunyah croissantnya. Himeko mengecilkan bibir—menusukkan ujung garpu untuk gulungan kayu manisnya ke jari-jarinya sendiri, membuat ngilu jika ada yang melihatnya. Pemuda Nakano itu kemudian menghela napas. "Maafkan aku, ya."

Kini Himeko-lah yang menghela napas. "Iyaaa."

Kei kemudian memandangnya lembut. "Sejujurnya, aku sangat menyayangimu. Bukan rasa suka atau cinta terhadap lawan jenis seperti aku ingin kau jadi pacarku atau semacamnya. Namun aku menyayangimu seperti saudara, mirip rasa sayangku dengan Kak Kayano. Dari awal kita bertemu, aku selalu terbayang akan mendiang adikku. Kau pasti masih ingat tentang adikku, bukan?"

Kalau masalah ini, Himeko akan selalu ingat. Masih segar dalam ingatannya bahwa saat SMP— gadis itu bertemu dengan Kei, pemuda satu-satunya orang yang menawarkannya untuk masuk ke dalam kelompok belajar pertama kali di tahun pertama. Dimulai dari sanalah, dengan sikap Kei yang ramah dan tahu namanya batas—Himeko merasa nyaman, walau tak ingin terlibat kontak fisik dengannya. Dan sampai sekarang Kei sangat menghormati itu, belum lagi dengan goresan-goresan yang Himeko torehkan pada tangannya—pemuda itulah yang pertama kali memedulikannya—bahkan sempat ingin mengantarkan Himeko ke psikolog ataupun psikiater terbaik, walau harus sang gadis tolak.

Pada awalnya, Himeko memang mencurigai bahwa alasan perasaan semacam suka—lebih-lebih cinta, mendasari Kei dalam lingkup pertemanan ini. Bagaimanapun, stereotip laki-laki dan perempuan tidak akan hanya dapat menjadi sekadar teman masih sangat lazim bagi masyarakat penghuni kota besar yang modern pecinta drama romansa. Namun, Kei dengan mudah mematahkannya.

Prasangka Himeko dapat dipatahkan dengan sangat mudah ketika sang gadis bertemu dengan ibu dari Kei, wanita paruh baya itu menangis dan memeluknya. Tentu saja hal itu membuat benak Himeko bertanya-tanya, tetapi akhirnya gadis itu mengerti ketika Kayano—kakak dari Kei—menjelaskan bahwa perawakan Himeko mirip dengan mendiang adik terkecil keluarga mereka yang tak terselamatkan dari maut. Rambut hitam arang berponi tebal, pipi gembil yang kadang dihiasi rona merah, dan mata hitam nan bulat bagai leci—tetapi memiliki pandangan tajam.

Yang ternyata, merupakan saudari kembar fraternal dari Kei sendiri.

"Sudah jangan, memasang wajah sok bersalah begitu, Kei-kun. Aneh tahu, dasar anjing."

Anjing, Himeko terkikik. Anjing memang menjadi hewan kesukaan Kei, pemuda itu memelihara Siberian Husky putih besar bernama Shiro. Saking sukanya Kei pada anjing, pemuda itu tidak segan-segan menjadikan kamarnya sendiri sebagai kandang Shiro di rumahnya karena sang ibu alergi bulu hewan. Karena selalu hampir bersama anabul besar bergigi tajam itu tiap hari, menjadikan Kei juga memiliki bau yang entah mengapa serupa. Maka dari itu, sang pemuda kerap dipanggil anjing oleh seluruh kawan-kawan mereka.

"Sialan, kau jauh lebih aneh. Mana ada gadis waras berkeinginan bunuh diri di palung Mariana? Kau ingin bunuh diri atau mengeksplor laut?"

Untuk masalah bunuh diri di palung Mariana—palung terdalam di dunia itu, Himeko memang mengatakannya ketika mereka SMA. Dia cinta lautan, dan mungkin memikirkan nyawanya diambil tempat penuh rahasia itu merupakan hal yang terbaik. Sang gadis hanya ingin laut sebagai pencabut nyawa—bukan gedung tinggi, jembatan, pun racun. Himeko hanya ingin melepaskan nyawanya di tempat paling misterius di bumi.

Himeko ingin kembali membuka suara, tetapi Kei sudah lebih dahulu menyela. "Lagi pula, aku enggak mau, ya, punya pacar yang cita-citanya mau nyebur di palung Mariana begitu. Mending Tamiko-chan ke mana-mana! Sudah manis, pintar. Dan tentu saja, dia hebat di ranjang."

"Ewh!"

Bucin, sang gadis Watanabe menjadi tertawa geli sendiri. Manik cokelat gelap milik Kei tampak berbinar, wajah pemuda itu juga makin cerah ketika membicarakan sang pacar. Memang tipe pasangan dorky yang baru tahu namanya bersenang-senang.

"Geli, deh," katanya sembari terkikik. "Omong-omong, kita jadinya brother-sister zone, nih? Aku juga menganggapmu sebagai Kakak. Lebih dari Nanami malah." Himeko tersenyum manis, entah mengapa ada rasa hangat di hati ketika Kei mengatakan hal itu. "Kau benar-benar tidak ingin menyeleweng dari Tamiko?"

Jelas yang terakhir komedi.

"Sini kusentil dulu ginjalmu."

"Astaga, bercanda~"

"Kau juga akan begitu. Omong-omong kau kan sebentar lagi sidang, nih. Tidak ada traktiran buat sahabat merangkap Kakakmu ini?"

Mendengkus, Himeko mengerucutkan bibir. "Kalau aku punya uang untuk hal itu, aku tak akan bilang kalau lagi butuh kerja, Kei-kun."

Kei tertawa. "Bercanda. Aku akan mentraktir adik manisku ini, kok. Semangat sidangnya, doakan Kakakmu ini menyusul bulan depan!"

Sebenarnya ada rasa geli bagi Himeko ketika Kei memanggil dirinya sendiri kakak, dan dia adik. Mungkin hanya karena perbedaan usia mereka yang berjarak tiga bulan, atau jika Kei benar-benar menganggapnya sebagai mendiang sang kembaran—Himeko yakin mendiang saudari pemuda itu akan risih dipanggil adik, padahal usia mereka sama. Hanya berbeda menit.

Namun, sang gadis tak dapat menampik bahwa di dalam hati terdalamnya merasakan sebuah kehangatan. Pun demi dapat gratisan. Semua yang kiranya masih normal bakal Himeko lakukan.

"Baik, Kei-nii~" suara Himeko melembut, sengaja dipermanis. "Sekalian gulungan kayu manisnya ditambah lagi tidak apa-apa kan? Kei-nii baik dan tampan, deh! Terus aku tiba-tiba mau latte, nih! Bolehkan Kei-nii?"

"Kau tahu, Himeko? Kalau ada anak kampus mengetahui sifat perayumu yang seperti ini, pasti bakal lebih heboh daripada kasusmu sama anak-anak kurang kerjaan itu!"

"Ish, Kei-kyunnn~"

Himeko yang sekarang melempar tisu. Tentu saja hanya untuk bercanda. Si gadis Watanabe suka sekali bercanda, dan Kei senang sekali menggoda.

Lagi pula, agak mustahil pula mahasiswa universitas mereka ke sini. Kafe ini memang sangat jauh dari universitas, sudah jauh masih kecil pula. Jalan masuknya pun agak rumit karena tertutupi gedung. Namun, kafe ini tidak bisa juga disebut sepi. Himeko, Kei, dan pacar Kei menjadikan kedai kopi ini sebagai tempat nongkrong. Selain tempat ini sepi dari mahasiswa kampus mereka, menu di sini lumayan lengkap dan yang terpenting harganya sangat berteman di kantong.

"Omong-omong, Tamiko kemarin bilang konbini tempatnya bekerja sambilan di dekat apartemennya sedang membutuhkan orang, kau mau? Kalau mau segera saja hubungi dia. Di Toshima, lumayan dekat, kan? Tidak sampai setengah jam naik kereta dari kampus."

"Benarkah?" Rasanya seperti diterpa angin segar, dengan segera Himeko mengeluarkan ponselnya. Dia memang sangat butuh pekerjaan saat ini, keluarganya sedang krisis gara-gara ulah Nanami. Keluarga pacar Nanami meminta pertanggung jawaban, dan menikah adalah solusi. Menikah tentunya perlu biaya, belum lagi mengingat pacarnya Nanami yang kini tengah mengandung. Maka makin besar pula biaya yang dibutuhkan. Apalagi kalau bayinya sudah lahir. Himeko memang menyayangi bayi dan anak kecil, tetapi tidak dengan harga tinggi kebutuhan mereka.

Gaji ayahnya yang sudah renta tentunya tak seberapa, sekarang malah mencoba untuk mabuk-mabukan pula. Walaupun hanya dengan sake murahan, tetapi sama saja buang-buang sepersekian Yen gajinya. Namun untung saja walau agak brengsek, Nanami sedikit tahu diri. Kakak laki-lakinya itu bekerja sebagai karyawan di perusahaan internasional dengan penghasilan lumayan bisa mencukupi pernikahan dan mengurus keluarga kecilnya nanti. Hanami kelihatannya juga sudah bisa membaca hal ini, maka dari itu adik kecilnya memilih mengotori diri.

Di tahun pertama Himeko memasuki dunia perkuliahan, dia mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai restoran cepat saji. Gajinya lumayan. Bisa mencukupi kebutuhannya dan jajan sehari-harinya Hanami—pada bagian ini dia sangat bersyukur karena telah mengikuti semangatnya, Himeko berhasil meraih beasiswa karena nilainya yang selalu memuaskan, menjadikannya tidak terlalu khawatir pada biaya kuliahnya lagi. Gadis itu bertahan hampir dua setengah tahun di sana, tetapi sejak setahun yang lalu kebijakan waktu kerja paruh waktu di sana diubah, menjadikan sangat bertabrakan dengan jadwal kelas. Jadilah Himeko memilih untuk berhenti.

Kemudian, dia melihat lowongan pekerjaan sebagai pelayan di bar. Waktunya juga seperti sudah ditakdirkan pada Himeko. Maka dari itu tanpa tedeng aling-aling dia mendaftar, dan segera diterima. Namun tak sampai lima bulan, dia memilih berhenti. Gadis itu merasa jijik ketika selalu ada pria-pria hidung belang dan mesum selalu menganggapnya sebagai jalang, bukan sekali dua kali dia diajak tidur ataupun dilecehkan. Kei yang tahu akan hal itu tentu saja mengamuk, dan Himeko memang sudah rela untuk keluar dari bar itu walau gajinya agak lebih besar daripada di restoran cepat saji.

Beberapa bulan ini, Himeko memang menjadi seorang pengangguran. Karena hal itu pula, akhir-akhir ini keluarganya makin rewel. Makin gencar menyindirnya dengan mempertanyakan pekerjaan juga berapa gaji yang akan didapatkan seorang lulusan oseanografi yang nama jurusannya saja tidak terlalu terkenal. Saking gencarnya, bahkan ayah dan kakak laki-lakinya—Nanami sengaja memberi nasihat pada Hanami agar memilih jurusan yang bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar agar dapat hidup bahagia dan mengurangi beban hidup keluarga, seakan-akan menyindir Himeko sebegitu jelasnya.

"Aku langsung bilang Tamiko, ya."

Kei hanya menganggukkan kepala, kembali menikmati croissantnya.

Himeko tersenyum. "Terima kasih, ya, Kei-kun."

"Kau tidak perlu berterima kasih. Dan Himeko, kumohon," Kei bersuara lagi. Kini terdengar serak dan matanya berkaca-kaca. Himeko tahu, gadis itu sering mendengar kata-kata ini dan wajah bersalah sang pemuda. "Berhentilah untuk menyakiti dirimu lagi, kau berhak bahagia. Kau berhak marah. Kau berhak untuk apa pun. Aku akan ada selalu di sini, kau tahu 'kan?"

"Aku tahu, terima kasih," Himeko menggigit bibir bagian bawahnya. "Namun maafkan aku, Kei-kun. Untuk saat ini, aku masih—pokoknya, maafkan aku."

•••

Toshima, 23 Desember 2015.

Waktu berjalan dengan sebagai cepat, sampai-sampai Himeko tidak menyadari bahwa gadis itu sudah hampir dua bulan bekerja di konbini ini. Sekarang akhir Desember, dan gadis itu baru benar-benar akan diwisuda bulan Februari tahun depan. Omong-omong, Himeko benar-benar harus berterima kasih pada Tamiko. Pacar Kei itu banyak membantu sang Watanabe. Sejak awal Kei mengenalkan Tamiko sebagai pacarnya, Himeko tidak bisa untuk tidak setuju. Tamiko adalah gadis yang baik, manis—juga agak polos pada awalnya, tetapi nasibnya memang agak kurang baik karena mendapat pacar se-mesum Kei. Gadis itu menganggapnya sebagai sahabat dan Himeko sama sekali tidak bisa menolak perlakuan itu.

Dan omong-omong, bukannya Himeko sok tidak tahu apa pun, tetapi Tamiko di balik wajahnya manis pula ceria sering sekali menyisihkan separuh gajinya untuk membeli berkotak-kotak karet pengaman berbagai macam rasa ketika jalan bersama Kei. Ingatkan Himeko untuk sekadar menyindir Kei nanti. Masa, selalu pacar perempuannya yang menyisihkan uang untuk membeli karet pengaman, padahal yang jauh lebih bersenang-senang biasanya pihak laki-laki.

Manik hitam bak arang milik Himeko kembali menatap sekitar konbini. Omong-omong tentang konbini, Himeko benar-benar merasa kerasan di tempat ini.

Gaji yang ditawarkan lumayan, suasana kerjanya apalagi. Konbini ini memang bisa dibilang baru berdiri, sedang banyak melakukan penawaran-penawaran untuk menarik pelanggan.

Ada empat gadis dan dua orang pemuda yang dipekerjakan di tempat ini. Tamiko pacar Kei yang satu universitas dengannya, dan sisanya para mahasiswa penunggu wisuda—sama sepertinya—dari universitas lain.

Sore ini, Himeko berjaga bersama dengan Tamiko dan Natsu—seorang gadis yang tengah menunggu wisuda gelar sarjana ekonominya. Konbini saat itu tidak terlalu ramai, hanya ada mereka bertiga dan beberapa siswi SMA yang sedang ribut memilih camilan apa yang sebaiknya mereka makan saat natal bersama kawan nanti.

"Himeko, kau berjaga di kasir dahulu, ya. Aku dan Natsu mau mengecek persediaan kola di gudang."

"Hmm, cek saja. Kurasa tinggal beberapa kardus. Kemarin kola sedang laku. Sebentar lagi natal dan tahun baru. Pasti orang-orang ingin membuat pesta kecil-kecilan." jawab Himeko pelan. Gadis itu kini tengah mengecek ketersediaan dan kelayakan roti.

Kedua gadis itu kemudian berlalu, dan Himeko mendapati segerombolan gadis-gadis SMA mendekati kasir—berniat membayar camilan yang tadinya sempat mereka debatkan.

Himeko mungkin memang sarjana oseanografi, tetapi masalah kasir dia juga bisa. Semua orang harusnya bisa, sih.

"Semuanya jadi 1000 Yen." Gadis itu membatin banyak sekali camilan dan berbagai minuman yang dibeli para gadis-gadis SMA di hadapannya saat ini, mungkin mereka akan menginap di rumah salah satu teman mereka dan akan mengadakan pesta natal bersama, biasanya gadis SMA yang merantau tanpa orang tua. Makanya terasa bebas. Pasti bakal berantakan—Himeko pernah menemukan kebisingan dan pemandangan kapal pecah ketika Nanami mengundang teman-temannya menginap untuk pesta tahun baru saat kakak laki-lakinya itu SMA. Mau laki-laki ataupun perempuan sama saja jika berpesta, sama-sama kotor. Dan Himeko paling benci kalau disuruh membersihkan kekacauan itu. Untung saja Hanami lebih memilih rumah temannya untuk dikorbankan kalau ada acara menginap. Nanami pun begitu sekarang. Dan Himeko memang tidak memiliki teman perempuan yang dekat sampai bisa diajak untuk menginap. Lagi pula, ayah mereka yang sekarang makin mengganas itu pasti akan memenggal kepala mereka kalau rumah berantakan.

Selembar uang tepat seperti nominal yang disebutkan tergeletak di atas nampan kecil kasir, diterima Himeko dengan memasukkannya ke dalam cash drawer. Dengan cepat pula Himeko membungkus camilan-camilan itu dengan kertas belanja khas konbini tempatnya bekerja. Tak lupa pula Himeko mengatakan terima kasih dan ajakan untuk kembali berkunjung ketika menyerahkan barang yang dibeli gadis-gadis SMA itu.

"Persediaan kola di gudang memang sudah sedikit, aku sudah mengabari atasan. Katanya besok sore akan dikirim." Suara Natsu menyapa telinga Himeko. Gadis itu baru saja tiba dari gudang.

"Tamiko di mana?" Manik milik sang Watanabe tak menangkap adanya gadis yang diketahui sebagai kekasih dari sahabatnya.

"Ke toilet, katanya kebelet."

"Musim dingin kali ini memang lebih dingin, sih," Himeko menjawab sekenanya. "Aku membereskan rak camilan dulu, ya. Kurasa agak berantakan tadi, gadis-gadis SMA itu terlalu banyak memilih."

Natsu tertawa kecil. "Namanya juga pembeli. Penguasa. Beruntung mereka jadi membeli."

Himeko hanya tersenyum tipis saja untuk menjawab pernyataan Natsu. Gadis itu memilih untuk melangkahkan kakinya ke arah rak-rak camilan, lalu hening. Konbini rupanya benar-benar sedang kosong dari pembeli saat ini. Hanya ada pekerja. Dan Himeko yang sampai di depan rak camilan dengan cekatan gadis itu merapikan kembali sesuai dengan jenis dan merek dagang.

Namun, rupanya keadaan itu tak berlangsung lama. Suara khas pintu konbini terbuka terdengar, ada pelanggan. Dan Himeko dengan cepat menyelesaikan kegiatannya di rak camilan. Berjalan menuju kasir, siapa tahu pembeli tersebut membeli makanan siap saji yang tersedia di konbini ini ataupun membeli minuman hangat dari mesin yang sudah tersedia—Himeko memang dari awal ditugaskan untuk menggunakan microwave dan yang bertanggung jawab pula akan mesin minuman nan ada di konbini ini.

"Selamat datang." Suara ramah Natsu menyapa pendatang itu. Himeko tentu juga ikut memberikan senyuman ramah—tetapi rupanya hal itu tak berlangsung lama. Senyum sang Watanabe tergantikan raut penuh keterkejutan ketika manik hitam bak arangnya menangkap visualisasi seseorang yang datang saat itu.

Rambut pirang mentereng, kulit tan, dan manik safir—sangat khas. Mungkin terlihat seperti orang asing yang berasal dari Eropa atau Amerika. Namun, Himeko mengenali pemuda yang kini tampaknya agak terkejut juga ketika mereka bertatap sejenak itu sebagai warga negara nan sama sepertinya. Jepang. Pemuda itu hafu atau sekarang dikatakan daburu.

Nakamura Naoto.

Orang yang paling dihindarinya setahun ini. Tentu rasa takut dan tak nyaman sekarang menghantui benak sang gadis.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Catatan:

• Dipole dalam kamus oseanografi adalah suatu pola dengan perbedaan keadaan yang biasanya saling berlawanan (seperti tekanan tinggi dan rendah atau suhu permukaan laut yang hangat dan dingin).

• Oseanografi, ilmu yang mempelajari tentang kelautan.

• Shibuya adalah salah satu distrik khusus yang berada Tokyo. Salah satu distrik terpadat yang dijadikan sorotan oleh para wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu yang terkanal adalah Shibuya crossing—tempat penyebarangan jalan tersibuk dan terpadat di Jepang, bahkan dunia.

• Toshima adalah salah satu distrik khusus yang berada di Tokyo juga. Letaknya tak jauh dari Shibuya.

• Nii atau Nii-san adalah bahasa Jepang untuk kakak laki-laki.

• ... -kun/ ... -chan adalah sufiks dalam penyebutan nama di Jepang. Kun biasanya untuk laki-laki, Chan untuk perempuan. Sufiks yang digunakan jika merasa nemang sudah dekat. Sufiks ini juga sering digunakan untuk memanggil nama anak kecil, apalagi sufiks Chan.

• Konbini adalah bahasa Jepang serapan dari convenience store (toserba). Contohnya seperti L4wson.

• Hafu adalah penyebutan terhadap orang Jepang yang memiliki campuran darah Jepang dan luar negeri, berasal dari serapan kata half. Namun saat ini hafu seringkali digantikan dengan kata daburu yang merupakan serapan dari kata double. Artinya juga tetap sama (orang Jepang campuran).

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status