Wisnu sudah menyerahkan hasil pemeriksaan tes DNA pada Baskara. Pria itu menunggu jawaban dari sang papa saat setelah membaca hasil pemeriksaan itu.'Maaf katena sudah berbohong, Pa, tapi Rasyid juga butuh pengakuan. Jangan abaikan dia hanya karena dia bukan anak kandungku,' ucap Wisnu dalam hati sambil berdoa semoga hati Baskara mau melunak."Jadi, Rasyid benar anak kandungmu?" tanya Baskara untuk memastikan apa yang dia baca itu adalah benar adanya."Iya, Pa. Kan aku sudah bilang Rasyid itu anakku. Sekarang Papa percaya kan setelah melihat hasil tes DNA ini?""Sekarang Papa percaya jika Rasyid adalah cucu Papa. Maaf karena sudah mengabaikannya selama ini. Untuk urusan berita murahan itu kamu tidak usah khawatir lagi, Nu. Semua sudah selesai.""Iya, Pa."Baskara menepuk lengan Wisnu beberapa kali. "Kerja bagus. Kalau ada waktu main ke rumah bawa Arini dan Rasyid sekalian. Papa mau bertemu dengan mereka."Wisnu diliputi perasaan bahagia. Dia belum pernah sebahagia itu bisa mempertemuk
Saat Rasyid sudah berusia dua tahun, Wisnu mulai mengajak Arini untuk membicarakan soal anak kedua pada Arini. Namun, Arini masih enggan untuk hamil lagi apalagi menambah jumlah anak. Wisnu terus membujuknya untuk memikirkan soal anak kedua. "Ayolah. Rin. Rasyid kan sudah dua tahun. Kasian dia kalau sendirian terus. Jadi, enggak ada teman mainnya." Begitulah salah satu cara Wisnu membujuk Arini. Arini menghela napas. "Mas, aku masih ingat gimana rasanya melahirkan itu. Jadi, aku masih belum mau hamil dan melahirkan lagi dalam waktu dekat." Arini sedikit trauma dengan yang namanya melahirkan itu. Dia masih berusaha untuk menghindarinya. "Gitu, ya? Ya sudah deh nanti aja kalau gitu." Arini tahu suaminya kecewa dengan penolakannya, tetapi dia memang masih belum mau untuk hamil lagi. Kali ini dia masih berusaha menolak sebisanya sebelum, tetapi jika nanti ternyata Arini hamil, dia akan menerima itu bukan karena terpaksa. Sebisa mungkin dia akan menghindari perasaan itu. ***Wisnu su
Malam itu Wisnu sudah membuat reservasi di sebuah restoran mewah untuk makan malam bersama Ratih dan keluarganya. Ratih merasa sangat senang diajak jalan oleh Wisnu bersama Arini dan Rasyid. Seketika perempuan paruh baya itu merasa kebahagiaannya lengkap bersama anak dan cucu."Nu, Mama sudah bahagia bersama kalian. Semoga kehidupanmu dan Arini beserta anak kalian bahagia juga selalu."Wisnu tersenyum bahagia mendapat doa yang baik dari Ratih. Dia pun merasa kebahagiaannya lengkap bersama Airin dan Rasyid walaupun. Perjuangannya menunggu Arini tidak pernah sia-sia."Aamiin. Makasih doanya ya, Ma. Semoga kita semua selalu bahagia."Selesai makan malam, Wisnu tidak langsung mengajak pulang kembali ke hotel. Dia mengajak mertua, istri dan anaknya mengelilingi kota Bogor. Baru kemudian kembali ke hotel.Malam itu Ratih tiba-tiba ingin mengajak Rasyid tidur bersamanya."Nu, tolong bawa Rasyid ke kamar Mama. Mama lagi enggak pengen tidur sendiri. Biar kamu menikmati waktu bersama Arini mala
Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
"Saya hamil anak dari Mas Gilang, Tante. Mas Gilang harus tanggung jawab!" ucap seorang perempuan bermata sayu, sambil menahan air mata yang membendung.Perempuan itu adalah Arini. Ia hamil setelah mahkotanya direnggut Gilang, kekasih sekaligus bosnya di perusahaan tempatnya bekerja.Arini memberanikan diri bicara jujur pada Widia–mamanya Gilang dengan memberikan surat dari dokter yang menyatakan jika Arini sedang hamil. Dia datang bersama Ratih–mamanya Arini.Namun, ibunya ia paksa untuk menunggu di depan gerbang. Arini tahu, ibunya pasti akan emosional melihatnya berbicara dengan Gilang dan ibunya."Tidak mungkin! Gilang itu anak baik-baik. Dia tidak mungkin tidur sembarangan dengan perempuan seperti kamu, yang cuma karyawan rendahan. Benar kan, Gilang?" Widia menoleh pada anaknya."Iya, Ma, pasti Arini hamil karena tidur dengan pria lain, dan bilang itu anakku supaya dia bisa minta aku buat bertanggung jawab dan menikah dengannya?" ucap Gilang mengiyakan ibunya. Namun, dari wajahn
"Nak Wisnu mau menikah dengan Arini? Ini Ibu enggak salah denger, kan?"Ratih terpana mendengar ucapan Wisnu. Ternyata masih ada orang baik yang mau bertanggung jawab untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan."Iya, saya akan menikahi Arini, bertanggung jawab pada janin yang ada dalam rahimnya dan akan menjaganya seumur hidup saya."Ratih menjadi terharu, air matanya mengalir deras. "Nak Wisnu enggak perlu bertanggung jawab dengan Arini seperti ini. Kamu anak baik harus menikah dengan perempuan baik-baik juga." Ratih memegangi tangan Wisnu dan menepuk perlahan."Arini juga perempuan baik, Bu, tapi pasti Gilang itu yang merusaknya, pria seperti itu tidak pantas menjadi suami untuk Arini. Hanya akan membuat Arini semakin sakit hati.""Ibu juga tidak mengharap Gilang menikahi Arini.""Kalau begitu biar saya saja yang menikahi Arini, Bu." Wisnu terus meyakinkan Ratih."Tapi anak itu sudah tidak suci lagi. Apa Nak Wisnu bisa menerima kekurangan Arini?""Saya tidak peduli dengan itu. Sa
"Maaf ya, Mas. Aku membiarkan semuanya biar hubunganku dan Mas Gilang dulu enggak terdeteksi mereka."Wisnu hanya tersenyum mendengar penuturan Arini."Enggak apa-apa. Mas seneng aja dimanfaatkan karena itu jadi seperti doa, kamu jadinya nikah sama Mas.”Arini hanya tersenyum mendengar penuturan laki-laki di depannya ini.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.“Mbak Arini, kok tiba-tiba nikah gitu sih? Enggak ada kabar-kabar sama kita?”“Iya nih, atau jangan-jangan, terpaksa nikah aja tuh, soalnya…”“Hushh! Mana mungkin wanita sholeh seperti Arini melakukan itu,” ucap salah satunya dengan nada mengejek.Beberapa orang cekikikan menatap Arini yang wajahnya merah menahan malu. Lalu, buru-buru Arini pergi ke mejanya.Dua orang teman satu bagian dengan Arini menghampirinya. Mereka saling bertukar senyuman.“Selamat yaa Rin atas nikahan ka