Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
"Saya hamil anak dari Mas Gilang, Tante. Mas Gilang harus tanggung jawab!" ucap seorang perempuan bermata sayu, sambil menahan air mata yang membendung.Perempuan itu adalah Arini. Ia hamil setelah mahkotanya direnggut Gilang, kekasih sekaligus bosnya di perusahaan tempatnya bekerja.Arini memberanikan diri bicara jujur pada Widia–mamanya Gilang dengan memberikan surat dari dokter yang menyatakan jika Arini sedang hamil. Dia datang bersama Ratih–mamanya Arini.Namun, ibunya ia paksa untuk menunggu di depan gerbang. Arini tahu, ibunya pasti akan emosional melihatnya berbicara dengan Gilang dan ibunya."Tidak mungkin! Gilang itu anak baik-baik. Dia tidak mungkin tidur sembarangan dengan perempuan seperti kamu, yang cuma karyawan rendahan. Benar kan, Gilang?" Widia menoleh pada anaknya."Iya, Ma, pasti Arini hamil karena tidur dengan pria lain, dan bilang itu anakku supaya dia bisa minta aku buat bertanggung jawab dan menikah dengannya?" ucap Gilang mengiyakan ibunya. Namun, dari wajahn
"Nak Wisnu mau menikah dengan Arini? Ini Ibu enggak salah denger, kan?"Ratih terpana mendengar ucapan Wisnu. Ternyata masih ada orang baik yang mau bertanggung jawab untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan."Iya, saya akan menikahi Arini, bertanggung jawab pada janin yang ada dalam rahimnya dan akan menjaganya seumur hidup saya."Ratih menjadi terharu, air matanya mengalir deras. "Nak Wisnu enggak perlu bertanggung jawab dengan Arini seperti ini. Kamu anak baik harus menikah dengan perempuan baik-baik juga." Ratih memegangi tangan Wisnu dan menepuk perlahan."Arini juga perempuan baik, Bu, tapi pasti Gilang itu yang merusaknya, pria seperti itu tidak pantas menjadi suami untuk Arini. Hanya akan membuat Arini semakin sakit hati.""Ibu juga tidak mengharap Gilang menikahi Arini.""Kalau begitu biar saya saja yang menikahi Arini, Bu." Wisnu terus meyakinkan Ratih."Tapi anak itu sudah tidak suci lagi. Apa Nak Wisnu bisa menerima kekurangan Arini?""Saya tidak peduli dengan itu. Sa
"Maaf ya, Mas. Aku membiarkan semuanya biar hubunganku dan Mas Gilang dulu enggak terdeteksi mereka."Wisnu hanya tersenyum mendengar penuturan Arini."Enggak apa-apa. Mas seneng aja dimanfaatkan karena itu jadi seperti doa, kamu jadinya nikah sama Mas.”Arini hanya tersenyum mendengar penuturan laki-laki di depannya ini.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.Sesampainya di kantor, Arini langsung disambut dengan tatapan sinis dari pada kolega kantornya.“Mbak Arini, kok tiba-tiba nikah gitu sih? Enggak ada kabar-kabar sama kita?”“Iya nih, atau jangan-jangan, terpaksa nikah aja tuh, soalnya…”“Hushh! Mana mungkin wanita sholeh seperti Arini melakukan itu,” ucap salah satunya dengan nada mengejek.Beberapa orang cekikikan menatap Arini yang wajahnya merah menahan malu. Lalu, buru-buru Arini pergi ke mejanya.Dua orang teman satu bagian dengan Arini menghampirinya. Mereka saling bertukar senyuman.“Selamat yaa Rin atas nikahan ka
Pada siang hari di kantor, Gilang memaksa Arini untuk ikut makan siang dengannya. Setelah kemarin rencananya untuk membuat Arini menggugurkan kandungan gagal, kini dia membuat rencana baru. Pria itu merasa sangat kesal dan ingin marah pada Arini kemarin. Kalo ini dia harus bisa memaksa Arini untuk tidak mempertahankan kehamilannya. Gilang mengemudikan mobil ke suatu tempat yang agak sepi di pinggiran kota. Dia belokkan mobilnya ke sebuah hotel kecil yang ada di sisi kiri jalan."Kok ke sini?" tanya Arini dengan perasaan bingung. Dia heran mengapa pria itu malah membawanya ke sebuah hotel kecil. Arini merasa takut Gilang akan melakukan sesuatu yang buruk padanya."Ikut saya turun!" ucap Gilang dengan memaksa.Arini pun mengikuti Gilang masuk ke hotel. Pria itu memesan sebuah kamar untuk mereka. Dia bawa Arini ke kamar itu dan memintanya menunggu sebentar. Gilang keluar dari kamar hotel untuk meminta bantuan dari karyawan hotel untuk membelikan makanan dan minuman untuknya dan Arini.
Pagi hari Arini bersiap akan ke kantor. Dia membuka lemari untuk memilih pakaian. Wisnu melihat itu lalu menghampiri Arini."Kamu mau ke mana, Rin?""Ke kantor, Mas, aku mau kerja."Dahi pria itu berkerut saat tahu istrinya tetap akan ke kantor. "Dokter bilang kamu harus istirahat di rumah. Kandungan kamu lemah, belum boleh banyak gerak dulu."Pria itu ingin Arini lebih memikirkan diri sendiri dan kehamilannya daripada memikirkan pekerjaan. Kondisi kehamilan Arini masih rentan."Aku enggak bisa diem di rumah cuma tidur-tiduran gitu. Rasanya lebih capek."Wisnu menarik lengan Arini lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang. Dia harus membuat Arini berubah pikiran agar fokus pada kehamilannya."Lebih baik kamu di rumah ya. Mas takut terjadi apa-apa sama kandungan kamu. Kamu enggak mau kan kehilangan calon bayi kamu?"Arini diam. Apa yang dikatakan Wisnu benar. Dia belum siap kalau harus kehilangan bayinya. Walaupun anak itu tidak diterima oleh ayahnya, dia tidak boleh egois hanya memikirka
Esok paginya, Arini baru keluar dari kamar mandi. Raut wajahnya terlihat panik setelah melihat bercak darah di pakaian dalamnya. Perempuan itu bergegas menuju kamar mencari suaminya. "Mas, pagi ini bisa anter ke dokter kandungan enggak?" Arini terlihat cemas dengan kandungannya. Wisnu terperanjat mendengar ucapan Arini. "Kenapa? Ada yang kerasa sakit?" Pria itu memang bahu Arini dengan perasaan khawatir. Arini menceritakan apa yang baru saja dia alami. Wisnu berpikir sesaat, tidak mungkin dia membawa Arini dengan motor pada kondisi kandungan istrinya yang lemah itu. "Kamu sabar dulu, ya. Mas mau telepon dokter kandungan. Nanti hasilnya Mas kasih tahu kamu." Arini menganggukkan kepala. Namun, dia juga merasa bingung, sejak kapan suaminya bisa dengan bebas menelepon dokter kandungan.Wisnu meraih ponsel di atas nakas. Dia cari nomor telepon dokter kandungan kemarin. Panggilan tersambung. "Halo, Dok. Istri saya pagi ini ngeflek. Harus dibawa ke sana untuk konsultasi apa saya bisa b