Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi.
"Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan. "Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar." "Sedikit ya?" "Gak ada!" "Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi. "Ngapain? Kamu mau bikin malu aku? Apa kamu mau tunjukin kamu bisa menafkahiku? Malu-maluin saja!" Yogi memang lelaki yang mempunyai rasa gengsi yang tinggi. Dia tidak pernah memperbolehkan Susi untuk melakukan aktivitas mencari nafkah ataupun membantu untuk mencari nafkah karena itu bagian dari mencoreng harga dirinya sebagai lelaki. Baginya, seberapapun nafkah yang diberikan itu adalah suatu kesanggupan seorang suami dalam membahagiakan istri dan Yogi merasa dia sudah sangat membahagiakan istrinya karena semua kebutuhan sudah dipenuhi bahkan sudah memberikan uang jajan yang nominalnya hanya 300.000 itu. Yogi merasa sudah sangat adil dan merasa sudah bisa membahagiakan istrinya sendiri. Padahal, terkadang Susi ingin membeli sesuatu yang dia inginkan seperti baju atau tas bermerk. Malam ini, Yogi belum juga pulang dan Maryati pun memperhatikan Suci yang masih menunggunya di depan pintu. Tidak biasanya memang Yogi pulang sampai larut dan itu cukup mengundang tanda tanya bagi semua penghuni rumah. "Yogi belum pulang juga?" tanya Marni yang juga ikut menunggu pulang Yogi dari tempat kerja. "Belum, Bu." "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu, Susi. Nikah 5 tahun belum juga punya anak jadinya kayak gini ini. Pergi ngelayap nggak ingat pulang," ucap Marni. Ucapan mertuanya sungguh membuat hati Susi merasa tersayat-sayat. Bukan hanya sekali Dia mendengar mertuanya menyinggung perihal keturunan tetapi sering bahkan hampir setiap hari. "Namanya juga belum rezeki Bu, doakan saja semoga bisa secepatnya mendapatkan momongan." "Nggak biasanya Yogi pulang malam loh. Kemarin Ibu sempat bertanya sama dia, apa dia nggak pengen punya anak. Dia bilangnya, masih ingin bahagiakan kamu. Sebenarnya Ibu kecewa dengan jawaban itu tetapi setelah Ibu pikir-pikir mungkin jawaban itu adalah bagian dari kekecewaannya. Coba kamu kontrol, siapa tahu kamu bermasalah." "Iya." Susi tidak bisa membantah ucapan yang lain karena jika dibalas dengan jawaban yang lebih panjang maka mertuanya akan bertambah panjang menceramahinya. Dia memilih untuk masuk ke dalam kamar dan menunggu suaminya dari kamar saja daripada di luar dan mendengarkan ocehan mertuanya yang kadang membuat hatinya merasa kepikiran yang macam-macam.Susi merasakan ranjang yang bergoyang. Dia sedikit bergerak dan merasa suaminya sudah pulang. Namun, dia sengaja berpura pura tidur agar tak perlu berdebat malam malam.
Pagi hari, dia bangun seperti biasa. Melakukan tugasnya sebagai istri dan menantu di rumah ini. Tak ada yang berubah, kecuali perasaannya.
"Semalam pulang jam berapa?" tanya Susi sengaja.
"Jam 11.”
“Memang harus pulang semalam itu?”
“Ada salah satu kedai yang Emang sedang ramai dan kebetulan malam Minggu jadinya tutupnya agak malam. Memangnya kamu nungguin?"
"Ya iya, bukan hanya aku yang nungguin. Ibu juga sampai nungguin kok di depan. Dia nyindir dan mengatakan yang nggak nggak tentang aku. Bikin aku gak tenang dan kepikiran terus kalau kamu pulang malam."
“Ya nggak usah dipikirkan.”
“Gimana nggak dipikirkna, orang ngomongnya nanceb banget sampai hati. Bisa bisanya kayak gitu, astaga. Ibu itu ada dendam apa sih sama aku, Mas? Ngatain mandul segala loh,” cerocos Susi meluapkan segala emosinya pada sang suami.
“Kamu kayak nggak ngerti tabiat orang tua saja. Ya sudah, lupakan saja. Memang seperti itu kan Ibu? Apa apa diomong. Yang waras ngalah dikit,” ucapnya.
“Memang agak agak ibumu itu,” gerutu Susi. Beruntung suaminya tak membela sang ibu, jika itu terjadi, jelas Susi akan semakin kesal dan menyalahkan suaminya yang kenapa tidak mau progam kehamilan.
Yogi hanya menanggapi biasa saja dan memakai kembali pakaiannya setelah mandi. Dia memang sering mendengar keluahan dari keduanya, tapi dia tak ambil pusing. Dia yakin itu bukan karena memang ibunya sengaja, tapi lebih ke memberi semanat saja.
Saat keluar dari kamar, Marni sedang mengelap meja. Dia melirik ke arah anaknya yang keluar dengan pakaian rapi dan menantunya yang baru keluar kamar.
"Apa nggak takut rezekinya dipatok sama ayam? Lain kali kalau adzan subuh itu langsung bangun dan Masak Biar suaminya Kalau mau pergi nggak kelaparan."
“Nggak mungkin kelaparan lah, kan sudah ada masakan Ibu. Ibu sudah masak ‘kan?” tanya Susi sengaja. Sedang malas berdebat tapi jika disindir pun tak mau kalah juga.
Susi langsung ke dapur dan menyiapkan piirng untuk mengambil makanan. Mertuanya memang terlihat sibuk di dapur, tapi bukan menyelesaikan masakan. Bahkan Marni tidak terbiasa masak karena ada saja yang terjadi jika dia itu di dapur.
“Ibu duduk saja, ribut kalau pagi,” ucap Yogi meminta sang Ibu duduk. Yogi juga tidak membolehkan ibunya itu terlalu lelah karena usianya yang sudah dianggap sepuh padahal umurnya masih 50-an tahun.
Masakan sederhana tersaji di meja makan dan mereka sarpan juga bersama sama. Yogi masuk ke kamar lagi dan keluar dengan aroma parfum yang sangat wangi sampai membuat Susi heran sendiri.
"Mas mau ke mana lagi ini sampai terlihat rapi begitu?"
“Ada urusan lah, kerja. Apalagi?” tanya Yogi.
"Tumben pagi? Biasanya juga siang atau sore."
"Pas kebetulan lagi ada urusan pagi ini dan Mas harus pergi dengan cepat."
"Gak bawa bekal lagi?"
"Mas Udah kesiangan Nanti kamu makan sama ibu aja sisanya."
Susi menerima uluran tangan dari suaminya dan mengantarnya sampai ke depan pintu. Tidak biasanya suaminya melewatkan bekal tambahan padahal kadang menyempatkan untuk membawa bekal dari rumah jika siang atau sore karena beralasan hemat dan tidak ingin membuang-buang uang hanya untuk makan di luar.
Marni melihat anaknya sudah pergi tanpa sarapan dan dia lagi lagi menyindir menantunya yang sedang bengong di luar.
"Anak Ibu nggak bawa bekal ya?"
Susi hanya mengedikkan bahu lalu berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Percuma saja dijawab karena pasti mertuanya akan ngoceh panjang lebar.
"Makanya jadi istri itu yang cekatan dan jangan bangun lebih terlambat daripada suami. Itu tuh, Suami pergi dalam keadaan marah dan pasti di luaran cari yang bisa bikin kenyang! Kalau sudah begitu istri yang rugi!"
Ucapan itu masih terdengar oleh Susi meskipun sudah di dalam kamar. Dia pun menjadi kepikiran tentang perginya sang suami yang tidak biasanya pagi ini tanpa sarapan. Dia pun merasa resah, Apa mungkin suaminya itu benar-benar pergi karena bekerja atau memang ada urusan lain?
---Pagi merekah pelan di antara sela-sela jendela kamar yang setengah terbuka. Cahaya matahari menyusup masuk, menyentuh wajah Susi yang masih terlelap dalam pelukan ibunya. Mustika terbangun lebih dulu. Tatapannya tertuju pada wajah putrinya, yang kini sudah dewasa namun tetap menyimpan sisa-sisa wajah kecil yang dulu sering ia kecup sebelum tidur.Mustika mengusap pelan rambut Susi. Ia tak henti-hentinya bersyukur. Setelah bertahun-tahun dihantui penyesalan, rasa bersalah, dan harapan yang hampir padam, Tuhan mengembalikan anaknya.Tak lama kemudian, Susi mengerjapkan mata. Pandangannya bertemu dengan senyum hangat ibunya.“Pagi, Ma,” ucapnya lirih.“Pagi, Sayang,” jawab Mustika, mengecup kening Susi. “Tidur nyenyak?”Susi mengangguk, lalu duduk dan bersandar di kepala ranjang. “Ini tidur paling damai yang pernah aku rasakan selama bertahun-tahun.”Di luar kamar terdengar suara gaduh kecil. Ada suara wajan yang dijatuhkan dan teriakan panik Rendy yang jelas tak cocok berada di dapu
Setelah tangis mereka reda, Susi masih berlutut di depan Mustika, menggenggam erat tangan ibunya. Hatinya terasa penuh dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seumur hidup ia berpikir tak punya siapa-siapa, dan kini, ada sosok ibu di depannya dan seorang adik di sampingnya."Maafkan aku lama sekali pulang, Ma," bisik Susi dengan suara bergetar.Mustika menggeleng pelan. "Bukan salahmu, Nak. Mama yang seharusnya mencari lebih keras. Mama nggak pernah berhenti berdoa supaya kamu ditemukan dalam keadaan selamat. Tapi lelaki itu memanipulasi semuanya dan kita jadi terpisah lama."Susi mengangguk, air matanya masih berlinang. Ia lalu meraih tangan Mustika dan menciumnya penuh haru. "Aku di sini sekarang, Ma. Aku nggak akan pergi lagi."Rendy tersenyum di samping mereka. "Akhirnya, keluarga kita utuh lagi."Rendy merasa semua ini berhasil. Tak ada yang meleset dari dugaannya. Dibantu teman temannya juga, dia bisa dengan mudah mengumpulkan bukti dan mengungkap semua kejaha
“Mbak, ada gambaran keinginan nggak?”Susi mengernyitkan keningnya, lalu melanjutkan aktivitas nya. “Mbak.”“Gak ada, bisa kerja dengan baik sama kamu aja udah bagus. Cari apa lagi?”“Mau aku kenalkan sama keluarga aku gak?”Susi menghentikan aktivitas nya, mencuci tangan lalu menyangga wajah dengan kepalanya melihat Rendy yang sepagi ini sudah bertanya hal aneh.“Mendadak banget pengin ngenalin,” kekehnya.“Serius, Mbak. Mungkin mbak lupa sesuatu yang dulu pernah mbak rasakan.”Susi menatap Rendy dengan bingung. “Kenapa tiba-tiba ngomong soal kenalan sama keluarga? Ada apa?”Rendy menelan ludah, jelas terlihat gelisah. “Sebenarnya... ada seseorang yang pengin banget ketemu Mbak. Dari dulu.”Kening Susi mengernyit. “Siapa?”Rendy menghela napas panjang. “Ibuku.”Susi menegakkan punggungnya, menatap Rendy lebih intens. “Ibumu? Kenapa ibumu mau ketemu aku? Kita bahkan belum pernah kenal.”Rendy tersenyum hambar. “Ada sesuatu yang kamu nggak tahu, Mbak. Ibuku... pernah kehilangan anakny
Yogi terduduk lemas di kursi, kepalanya tertunduk dalam. Dunia yang dia pikir sudah sempurna setelah mencampakkan Susi dan menikahi Monica, kini berantakan di depan matanya. Bayi yang dia banggakan, yang dia yakini sebagai penerus namanya, ternyata bukan anak kandungnya. Dan Monica—wanita yang dia bela mati-matian di hadapan ibunya—bahkan tak tahu siapa ayah dari bayi itu.Rendy menyeringai puas, lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, dia menoleh dan berkata dengan nada penuh sindiran, “Nikmati hidupmu, Yogi. Oh ya, jangan lupa—anakmu bukan anakmu.”Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan keheningan mencekam di dalam ruangan. Monica meremas ujung selimut dengan wajah penuh air mata. “Mas Yogi… aku nggak pernah bermaksud begini. Aku benar-benar nggak tahu…”“Kapan kau selingkuh?” Yogi menatapnya tajam. Matanya memancarkan amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Kali ini dia benar benar sudah tidak bisa bersikap sabar. Semua bukti yang diberikan Rendy sanga
Rendy sudah menyiapkan kejutan besar untuk Yogi dan Monica. Kali ini, kejutan itu akan membuat Yogi pasti menyesal sudah membuang Susi sebagai istrinya. Dia menemui Alfa, meminta tes DNA anak Monica yang baru saja dilahirkan belum lama ini.“Gimana hasilnya?” tanya Rendy.“Negatif, dia bukan anak Yogi. KIta akan uji dengan sample darah siapa?” tanya Alfa.“Baj!ngan itu. Aku yakin, bajingan itu yang menghamili Monica.”Alfa mengangguk. Dia akan melakukan itu dengan mudah karena sekarang ini Rudi sedang berada di sel tahanan. Dia hanya perlu meminta petugas kesehatan lapas untuk mengambil sampel darah dan rambut, lalu pengecekan akan dimulai dari 3 hari ini.Rendy kembali beraktivitas seperti biasa. Ibunya yang sudah mulai ceria karena sudah mendapatkan hiburan baru di rumah, dia juga sudah mulai lega karena masalah sudah mulai clear. Tinggal dia membereskan urusan kakaknya yang tak lain adalah Susi.“Gimana kerjaan hari ini, Mbak?” tanya Rendy.“Biasa, gak ada yang berubah. Kamu nih ya
Asri berjalan gontai keluar ruangan, sesekali menyeka air mata yang terus jatuh tanpa bisa ia hentikan. Langkahnya terasa berat, seolah ada ribuan beban yang menekan pundaknya. Bayangan Meysila, anaknya yang kini terbaring koma di rumah sakit, terus menghantui pikirannya. Ia tidak bisa kehilangan anaknya. Tidak peduli betapa hancurnya harga dirinya saat ini, ia harus bertahan.Rendy menutup pintu kamar dengan kasar, menatap ibunya yang tampak kelelahan. Mustika masih berbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, tetapi Rendy tahu pikirannya terus bekerja.“Mama yakin dengan keputusan ini?” Rendy bertanya dengan nada hati-hati.Mustika membuka matanya perlahan. “Mama tidak yakin, Nak. Tapi mama tahu satu hal—jika mama memilih untuk membiarkan dia dipenjara, itu tidak akan mengubah apa pun. Keluarganya tetap akan menderita, anaknya tetap akan kesulitan. Dan itu tidak akan membuat kita lebih bahagia.”“Tapi, Ma… bagaimana kalau dia berkhianat lagi?” Rendy masih belum bisa menerim