Share

bab 4

Penulis: Maey Angel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-06 20:11:18

Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya.

"Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..."

Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam.

Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya.

“Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan.

Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Marni menatapnya sekilas. “Kalau begini terus, nanti anakku cari makan di luar. Hati-hati lho, banyak godaan di luar sana.”

Susi menelan ludahnya, tidak tahu harus menjawab apa. Sindiran Marni selalu berhubungan dengan kurangnya perhatian terhadap Yogi dan masalah anak yang tak kunjung hadir. Dengan perasaan tertekan, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan.

---

Pukul sembilan, Yogi keluar dari kamar dengan rapi. Wanginya terasa lebih tajam dari biasanya, dan Susi memperhatikan gerak-geriknya. Tanpa ponsel dan alat komunikasi yang bisa digunakannya, Susi tak bisa bertanya lebih jauh tentang aktivitas Yogi.

"Mas, tumben rapi banget. Mau ke mana?" tanya Susi hati-hati.

"Kerjaan," jawab Yogi singkat sambil melihat jam tangan. "Ada urusan di cabang baru. Kamu jangan boros-boros di rumah."

Susi mengernyit, merasa kata-kata Yogi seperti peringatan yang tidak perlu. Dia tahu suaminya sangat menjaga pengeluaran mereka, bahkan melarangnya untuk membeli ponsel, apalagi kendaraan. Semua itu dianggap Yogi sebagai kemewahan yang tidak perlu.

“Tapi kenapa harus rapi banget, Mas? Biasanya nggak sampai segini,” tanyanya mencoba memahami.

Yogi berhenti sejenak, menatap Susi dengan sedikit kesal. “Kerja ya kerja. Nggak usah tanya-tanya mulu. Lagian kamu nggak ngerti soal bisnis.”

Hati Susi tersentak. Sikap Yogi yang semakin dingin semakin memperbesar keraguan di hatinya. Namun, tanpa alat komunikasi atau akses untuk mencari tahu, Susi hanya bisa menunggu di rumah, terkurung dalam kekhawatiran dan kecurigaan.

---

Setelah Yogi pergi, Susi menghabiskan waktunya membersihkan rumah sambil melamun. Tidak adanya ponsel membuatnya terputus dari dunia luar. Dia tidak bisa memantau apa yang dilakukan Yogi, dan rasa curiganya semakin tumbuh. Marni juga tak henti-hentinya menyindir, membuat Susi merasa semakin terpojok.

Pukul dua siang, Susi duduk di ruang tamu dengan kepala penuh pertanyaan. Ia tak bisa ke mana-mana tanpa izin atau transportasi, dan ini membuatnya merasa terpenjara. Pikiran tentang Yogi yang mungkin menyembunyikan sesuatu terus menghantuinya.

Di tengah lamunan, pintu rumah terbuka. Marni datang dari luar dengan wajah yang sumringah, membawa kantong belanjaan. Tanpa basa-basi, ia langsung masuk ke dapur untuk merapikan barang-barangnya.

"Nah, Susi, kamu kapan belanja?" tanya Marni sambil menata belanjaannya di meja dapur. “Jangan terlalu ngirit juga, nanti kebutuhan suami nggak terpenuhi.”

Susi tersenyum tipis, mencoba menahan rasa kesalnya. “Saya belanja seperlunya, Bu. Lagi pula, Mas Yogi juga yang bilang jangan terlalu banyak keluar uang.”

Marni mendecakkan lidahnya. “Ya, tapi jangan terlalu hemat juga. Nanti suami nggak nyaman di rumah, malah betah di luar.”

"Bu, jangan suka ngomong yang malah jadi doa. Bisa nggak sih?" berang Susi.

"Kenyataan kok, di mana mana laki laki itu cari yang bisa servis luar dalam. Kamu itu bukan payah dalam hal masak, dalam penampilan pun. payah!"

Perasaan Susi semakin campur aduk. Ia teringat betapa susahnya hidup dengan semua keterbatasan yang diberlakukan oleh Yogi. Tanpa kendaraan atau ponsel, Susi merasa seperti hidup di bawah pengawasan ketat. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin memperburuk situasi rumah tangganya. Namun, mertuanya malah membuatnya jengkel dan kesal.

---

Malamnya, ketika Yogi pulang, Susi sudah menyiapkan makan malam. Yogi duduk tanpa banyak bicara, wajahnya tampak lelah. Susi mengamati gerak-geriknya, berharap bisa mendapatkan sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi di luar sana.

“Mas, kamu kelihatan capek. Ada apa?” tanya Susi hati-hati.

Yogi hanya mengangguk kecil, tanpa menoleh. “Biasa, banyak kerjaan.”

Susi mendekat, mencoba mencairkan suasana. “Kalau capek banget, aku bisa bantu urus apa yang kamu butuh, Mas. Tapi ya… kalau aku bisa punya ponsel atau motor, biar aku nggak perlu nunggu di rumah terus.”

Yogi langsung mengangkat kepalanya, menatap Susi dengan tajam. “Ngapain kamu minta-minta ponsel segala? Kita kan udah sepakat, nggak ada barang mewah-mewahan. Apa kamu nggak puas sama yang ada sekarang?”

Susi terdiam, merasa terpojok. Bukan kemewahan yang ia inginkan, hanya sekadar cara untuk terhubung dengan dunia luar dan membantu suaminya lebih mudah.

“Kamu pikir aku mau pamer kemewahan? Nggak, Mas. Aku cuma ingin bisa lebih tahu kabar kamu, bantu urus ini-itu. Kadang, nggak ada apa-apa di rumah bikin aku bingung sendiri, Mas.”

Yogi mendengus pelan, lalu berdiri dari kursinya. “Nggak usah ikut campur urusan kerjaanku. Kamu fokus aja ngurus rumah.”

Susi hanya bisa memandangnya saat Yogi berbalik pergi ke kamar. Hatinya semakin gelisah, dan keraguan semakin menggerogoti. Namun, tanpa alat komunikasi atau kendaraan untuk mencari tahu lebih jauh, Susi merasa dirinya semakin terisolasi, terperangkap dalam ketidakpastian.

---

Keesokan harinya, saat Susi sedang membersihkan rumah, Marni kembali dengan senyuman lebar di wajahnya.

“Kamu harus siap-siap, Susi,” kata Marni tiba-tiba.

Susi menghentikan pekerjaannya. “Siap-siap buat apa, Bu?”

Marni duduk di kursi, mengamati Susi dengan pandangan penuh makna. “Kita bakal pindah rumah. Aku udah ngobrol sama agen properti kemarin. Rumah ini terlalu besar buat kita, lagian siapa tahu dengan pindah, kamu bisa lebih fokus nyari cucu buat Ibu.”

Susi tertegun. Pindah rumah? Ia belum pernah mendengar Yogi membicarakan hal ini.

“Tapi, Mas Yogi tahu soal ini?” tanya Susi ragu.

Marni tersenyum tipis. “Nggak usah repot-repot kasih tahu sekarang. Nanti kalau udah selesai, baru kita kabari dia.”

Susi merasa tenggelam dalam kebingungan. Apakah keputusan sebesar ini tidak perlu dibicarakan bersama Yogi? Atau memang Marni memiliki rencana lain? Bagaimanapun juga, rumah ini menyimpan banyak kenangan, meskipun selama tinggal di sini, Susi merasa terkekang oleh aturan-aturan ketat dari Yogi dan mertuanya.

---

Malam harinya, Susi memutuskan untuk berbicara dengan Yogi mengenai masalah rumah. Saat Yogi tiba di rumah, wajahnya tampak lebih dingin dari biasanya.

“Mas, Ibu bilang kita mau pindah rumah. Kamu nggak bilang apa-apa soal ini ke aku?”

Yogi menatap Susi sekilas, tampak tidak terkejut. “Aku belum ada waktu buat ngomong. Lagian ini keputusan keluarga. Rumah terlalu besar buat kita, dan hemat tempat juga hemat biaya.”

Hati Susi terasa sakit. Segala keputusan diambil tanpa melibatkan dirinya, seolah ia hanya penonton dalam hidupnya sendiri. Tanpa ponsel, tanpa mobil, tanpa hak untuk menentukan hal-hal besar dalam rumah tangga mereka, Susi merasa dirinya semakin tak berdaya.

Tapi, kali ini ia tidak bisa tinggal diam. “Mas, aku juga punya hak buat tahu dan ikut memutuskan. Ini rumah kita. Kamu nggak bisa cuma ikut keputusan Ibu terus.”

Yogi menghentikan langkahnya, menatap Susi dengan tajam. “Dengar, Sus. Semua ini demi kebaikan kita. Kalau kamu nggak bisa terima, ya terserah. Tapi aku nggak mau denger keluhan soal ini lagi.”

Susi menggigit bibirnya, merasa hatinya semakin hancur. Yogi semakin jauh, dan rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman, kini terasa seperti penjara yang mengekangnya dari semua sisi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Direndahkan Mertua   ending

    ---Pagi merekah pelan di antara sela-sela jendela kamar yang setengah terbuka. Cahaya matahari menyusup masuk, menyentuh wajah Susi yang masih terlelap dalam pelukan ibunya. Mustika terbangun lebih dulu. Tatapannya tertuju pada wajah putrinya, yang kini sudah dewasa namun tetap menyimpan sisa-sisa wajah kecil yang dulu sering ia kecup sebelum tidur.Mustika mengusap pelan rambut Susi. Ia tak henti-hentinya bersyukur. Setelah bertahun-tahun dihantui penyesalan, rasa bersalah, dan harapan yang hampir padam, Tuhan mengembalikan anaknya.Tak lama kemudian, Susi mengerjapkan mata. Pandangannya bertemu dengan senyum hangat ibunya.“Pagi, Ma,” ucapnya lirih.“Pagi, Sayang,” jawab Mustika, mengecup kening Susi. “Tidur nyenyak?”Susi mengangguk, lalu duduk dan bersandar di kepala ranjang. “Ini tidur paling damai yang pernah aku rasakan selama bertahun-tahun.”Di luar kamar terdengar suara gaduh kecil. Ada suara wajan yang dijatuhkan dan teriakan panik Rendy yang jelas tak cocok berada di dapu

  • Direndahkan Mertua   Makan malam bahagia

    Setelah tangis mereka reda, Susi masih berlutut di depan Mustika, menggenggam erat tangan ibunya. Hatinya terasa penuh dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seumur hidup ia berpikir tak punya siapa-siapa, dan kini, ada sosok ibu di depannya dan seorang adik di sampingnya."Maafkan aku lama sekali pulang, Ma," bisik Susi dengan suara bergetar.Mustika menggeleng pelan. "Bukan salahmu, Nak. Mama yang seharusnya mencari lebih keras. Mama nggak pernah berhenti berdoa supaya kamu ditemukan dalam keadaan selamat. Tapi lelaki itu memanipulasi semuanya dan kita jadi terpisah lama."Susi mengangguk, air matanya masih berlinang. Ia lalu meraih tangan Mustika dan menciumnya penuh haru. "Aku di sini sekarang, Ma. Aku nggak akan pergi lagi."Rendy tersenyum di samping mereka. "Akhirnya, keluarga kita utuh lagi."Rendy merasa semua ini berhasil. Tak ada yang meleset dari dugaannya. Dibantu teman temannya juga, dia bisa dengan mudah mengumpulkan bukti dan mengungkap semua kejaha

  • Direndahkan Mertua   dipertemukan

    “Mbak, ada gambaran keinginan nggak?”Susi mengernyitkan keningnya, lalu melanjutkan aktivitas nya. “Mbak.”“Gak ada, bisa kerja dengan baik sama kamu aja udah bagus. Cari apa lagi?”“Mau aku kenalkan sama keluarga aku gak?”Susi menghentikan aktivitas nya, mencuci tangan lalu menyangga wajah dengan kepalanya melihat Rendy yang sepagi ini sudah bertanya hal aneh.“Mendadak banget pengin ngenalin,” kekehnya.“Serius, Mbak. Mungkin mbak lupa sesuatu yang dulu pernah mbak rasakan.”Susi menatap Rendy dengan bingung. “Kenapa tiba-tiba ngomong soal kenalan sama keluarga? Ada apa?”Rendy menelan ludah, jelas terlihat gelisah. “Sebenarnya... ada seseorang yang pengin banget ketemu Mbak. Dari dulu.”Kening Susi mengernyit. “Siapa?”Rendy menghela napas panjang. “Ibuku.”Susi menegakkan punggungnya, menatap Rendy lebih intens. “Ibumu? Kenapa ibumu mau ketemu aku? Kita bahkan belum pernah kenal.”Rendy tersenyum hambar. “Ada sesuatu yang kamu nggak tahu, Mbak. Ibuku... pernah kehilangan anakny

  • Direndahkan Mertua   hancur

    Yogi terduduk lemas di kursi, kepalanya tertunduk dalam. Dunia yang dia pikir sudah sempurna setelah mencampakkan Susi dan menikahi Monica, kini berantakan di depan matanya. Bayi yang dia banggakan, yang dia yakini sebagai penerus namanya, ternyata bukan anak kandungnya. Dan Monica—wanita yang dia bela mati-matian di hadapan ibunya—bahkan tak tahu siapa ayah dari bayi itu.Rendy menyeringai puas, lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, dia menoleh dan berkata dengan nada penuh sindiran, “Nikmati hidupmu, Yogi. Oh ya, jangan lupa—anakmu bukan anakmu.”Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan keheningan mencekam di dalam ruangan. Monica meremas ujung selimut dengan wajah penuh air mata. “Mas Yogi… aku nggak pernah bermaksud begini. Aku benar-benar nggak tahu…”“Kapan kau selingkuh?” Yogi menatapnya tajam. Matanya memancarkan amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Kali ini dia benar benar sudah tidak bisa bersikap sabar. Semua bukti yang diberikan Rendy sanga

  • Direndahkan Mertua   Tes DNA

    Rendy sudah menyiapkan kejutan besar untuk Yogi dan Monica. Kali ini, kejutan itu akan membuat Yogi pasti menyesal sudah membuang Susi sebagai istrinya. Dia menemui Alfa, meminta tes DNA anak Monica yang baru saja dilahirkan belum lama ini.“Gimana hasilnya?” tanya Rendy.“Negatif, dia bukan anak Yogi. KIta akan uji dengan sample darah siapa?” tanya Alfa.“Baj!ngan itu. Aku yakin, bajingan itu yang menghamili Monica.”Alfa mengangguk. Dia akan melakukan itu dengan mudah karena sekarang ini Rudi sedang berada di sel tahanan. Dia hanya perlu meminta petugas kesehatan lapas untuk mengambil sampel darah dan rambut, lalu pengecekan akan dimulai dari 3 hari ini.Rendy kembali beraktivitas seperti biasa. Ibunya yang sudah mulai ceria karena sudah mendapatkan hiburan baru di rumah, dia juga sudah mulai lega karena masalah sudah mulai clear. Tinggal dia membereskan urusan kakaknya yang tak lain adalah Susi.“Gimana kerjaan hari ini, Mbak?” tanya Rendy.“Biasa, gak ada yang berubah. Kamu nih ya

  • Direndahkan Mertua   Masih dimanfaatkan?

    Asri berjalan gontai keluar ruangan, sesekali menyeka air mata yang terus jatuh tanpa bisa ia hentikan. Langkahnya terasa berat, seolah ada ribuan beban yang menekan pundaknya. Bayangan Meysila, anaknya yang kini terbaring koma di rumah sakit, terus menghantui pikirannya. Ia tidak bisa kehilangan anaknya. Tidak peduli betapa hancurnya harga dirinya saat ini, ia harus bertahan.Rendy menutup pintu kamar dengan kasar, menatap ibunya yang tampak kelelahan. Mustika masih berbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, tetapi Rendy tahu pikirannya terus bekerja.“Mama yakin dengan keputusan ini?” Rendy bertanya dengan nada hati-hati.Mustika membuka matanya perlahan. “Mama tidak yakin, Nak. Tapi mama tahu satu hal—jika mama memilih untuk membiarkan dia dipenjara, itu tidak akan mengubah apa pun. Keluarganya tetap akan menderita, anaknya tetap akan kesulitan. Dan itu tidak akan membuat kita lebih bahagia.”“Tapi, Ma… bagaimana kalau dia berkhianat lagi?” Rendy masih belum bisa menerim

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status