"Riko! Apa kamu tidak mendengar istrimu berteriak seperti itu?" tanya Sukma yang terlihat kesal.
"Halah, sudahlah. Bu, biarkan dia berteriak sesuka hati nanti kalau capek juga diam sendiri," jawab Riko sambil terus menatap ke arah televisi. "Bukan masalah dia nanti diam atau apa, tapi Ibu ini pusing mendengar teriakan istrimu. Lagi pula tidak enak jika sampai tetangga mendengarnya," ucap Sukma. "Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan, Ibu tahu sendiri aku sedang melihat acara televisi." Sambil menarik tangan Riko."Sekarang kamu masuk ke dalam dan minta istrimu untuk menghentikan teriakannya." "Tidak mau, aku masih melihat acara ini." Riko langsung menolak perintah Sukma. "Dasar anak tidak bisa di atur," gerutu Sukma sambil berjalan ke arah kamar Nia. Sukma yang baru saja membuka pintu terkejut saat melihat menantunya duduk di lantai dengan darah segar yang menggalir. Merasa khawatir Sukma langsung berteriak memanggil Riko. Hingga membuat seluruh orang yang ada di rumah itu terkejut. "Bu, aku mohon tolong anakku," ucap Nia sambil memohon."Ada apa sih, Bu? Teriak-teriak seperti itu!" bentak Sari yang baru saja datang. "Mana Riko?" tanya Sukma sambil menoleh ke arah Sari. "Ada apa, Bu." "Riko lihat istrimu, dia sedang menggalami pendarahan hebat." Sukma terlihat ketakutan. "Bukannya Ibu yang meminta ku untuk menggugurkan kandungan Nia, sekarang kenapa Ibu justru khawatir." "Apa! Jadi kamu sengaja menggugurkan kandunganku, Mas," teriak Nia sambil memegangi perutnya. "Ya sudah. Kalian urus saja semua sendiri, Ibu mau istirahat," ucap Sukma yang lansgung keluar dari kamar itu. Riko yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Kini sudah masuk ke dalam kamar. Perlahan dia mulai duduk di hadapan sang istri yang sedang kesakitan. "Mas Riko, aku mohon bawa aku ke Rumah sakit! Kasihan anak ini, Mas." "Kamu pikir aku peduli dengan anak ini? Asal kamu tahu aku tidak akan sudi menerima anak haram yang ada di perutmu itu," jawab Riko sambil tersenyum."Ya Allah. Mas, tega sekali kamu bicara seperti itu. Bukankah kamu sendiri yang memintaku melayani laki-laki hidung belang itu," ucap Nia sambil terus menagis kesakitan. "Aku memang menyuruhmu, tapi bukan memintamu untuk mengandung anak mereka," jawab Riko sambil menganggkat dagu Nia. "Terserah apa katamu, yang pasti kamu harus segera membawaku ke Rumah sakit, aku tidak mau meninggal sia-sia disini." "Tidak usah manja! Nanti juga berhenti sendiri darah itu, sakit sedikit saja sudah berteriak seperti orang mau mati!" bentak Riko sambil berdiri. "Mau kemana kamu, Mas?" tanya Nia saat melihat suaminya berjalan ke arah pintu. "Bukan urusanmu, oh ya. Awas kalau sampai orang lain atau orang tuamu tahu masalah ini, aku tidak segan-segan melaporkanmu ke Polisi atas tuduhan penggelapan dan penipuan," ancam Riko sambil menjambak rambut Nia. Nia yang melihat Riko keluar terus berteriak meminta tolong. Riko yang saat itu akan pergi langsunh mengunci pintu kamarnya. Dan langsung menyerahkan kunci tersebut pada sang ibu. "Ini kunci kamarku, tolong nanti siapkan makan siang untuknya." Riko menyerahkan kunci tersebut pada Sukma. "Tidak! Ibu tidak mau menyiapkan makanan untuk wanita itu, lebih baik kamu siapkan saja sendiri. Memang kamu pikir Ibu pembantu di rumah ini!" bentak Sukma. "Bu, aku ada urusan di luar. Belum lagi aku harus menitipkan Sandi pada keluarga Nia sampai dia sembuh, jika Ibu tidak mau memberi makan dia, apa Ibu mau di penjara jika dia meninggal di dalam kamar." "Ehm … ya sudah nanti Ibu siapkan," jawab Sukma dengan keterpaksaan. *** "Ini makan siangmu!" bentak Sukma sambil meletakkan piring berisi makanan di hadapan Noa dengan kasar. "Bu. Aku mohon bantu aku untuk ke Rumah sakit." Nia terlihat memohon dengan wajah pucat. "Kamu pikir ke Rumah sakit itu tidak pakai uang? Makan saja masih susah, sok-sokan mau ke rumah sakit. Sudah kamu diam saja di situ, nanti juga sembuh sendiri!" bentak Sukma. Sukma yang merasa tugasnya telah selesai. Langsung berjalan keluar kamar. Waktu berlalu dengan begitu cepat, kondisi Nia semakin hari semakin membaik. Nia memang terbebas dari tugasnya sebagai wanita panggilan. Namun, tidak dengan tugasnya sebagai seorang pembantu gratisan di rumah mertuanya. Sukma yang memang sangat membenci Nia terus memerintahkanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. *** "Nia. Kamu kenapa, Nak?" tanya Indah saat melihat wajah pucat sang putri. "Aku tidak apa-apa, Bu. Aku hanya merasa sedikit pusing saja," jawab Nia yang terlihat berusaha tersenyum. "Kamu sudah makan?" tanya Indah. "Belum, Bu. Ya sudah sekarang kamu makan dulu, setelah itu kamu minum obat dan istirahat," usul Indah pada sang putri. "Tidak perlu, Bu. Aku kesini hanya mau menjemput Sandi, setelah itu aku harus segera pulang. Aku takut Mas Riko pulang sebelum aku sampai di rumah." "Nak, kalau kamu sakit biarkan saja Sandi disini terlebih dahulu. Ibu dan yang lain tidak keberatan merawatnya, ya paling tidak sampai kamu sembuh," jelas Indah sambil menggusap pundak sang putri. Mendengar ucapan Indah, Nia langsung memeluk tubuh tua yang sudah melahirkannya itu. Air mata yang sejak tadi di tahan kini tak dapat lagi dia bendung. Hatinya saat ini benar-benar hancur, luka yang di berikan Riko benar-benar sudah membuatnya berantakan. *** Suatu pagi, Nia yang saat itu sedang membersihkan tempat tidur. Tanpa sengaja melihat sebuah pesan masuk di ponsel suaminya. Sebuah pesan mesra dari seorang wanita yang bernama Maya. Maya : [Sayang, kapan kamu sampai dirumahku. Aku sudah merindukanmu.]"Maya? Siapa wanita itu, kenapa dia memanggil Mas Riko dengan sayang. Apa jangan-jangan … ." "Sedang apa kamu membuka ponselku?!" bentak Riko yang ternyata sudah ada di dalam kamar. "Mas, siapa wanita yang bernama Maya ini? Apa dia kekasihmu," tanya Nia sambil menatap mata sang suami. Sambil merampas ponsel dari tangan Nia. "Bukan urusanmu, ingat urusanmu hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani tamu." "Selama ini aku sudah menuruti semua perintahmu, dan keluargamu. Apa ini balasanmu untuk semua pengorbananku selama ini!" teriak Nia sambil meneteskan air mata. "Lebay banget sih. Masalah begini saja sudah di besar-besarkan, aku dan Maya hanyalah sementara. Bukan selamanya," jawab Riko dengan entengnya. "Kamu mencintainya?" tanya Nia sambil menatap mata Riko. "Apa-apaan sih kamu." Sambil memegang tangan Riko. "Mas, jawab aku. Apa kamu mencintai Maya." "Jika iya memang kenapa? Kamu keberatan." "Bawa aku bertemu dengan Maya," ucap Nia hingga membuat Riko terkejut. "Tidak! Aku tidak akan membawamu bertemu dengannya," jawab Riko sambil menoleh ke arah sang istri. "Kenapa? Apa kamu takut aku menyakitnya. Kamu tenang saja, aku tidak akan melukai wanita yang kamu cintai itu." Nia berusaha meyakinkan Riko. "Apa mungkin aku mempertemukan mereka berdua," batin Riko sambil yerus menatap wajah sang istri."Aku akan membawa mu bertemu dengan Maya, tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa syaratnya?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Yang pertama kamu tidak boleh menyakitinya, dan yang kedua setelah bertemu dengannya kamu harus mau melayani seorang tamu," jawab Riko sambil dudukdi tempat tidur. "Syarat pertama aku terima, tapi tidak dengan syarat kedua. Aku akan bekerja sebagai pembatu untuk membayar semua hutang-hutang mu," ucap Nia dengan tatapan tajam. "Tidak bisa! Kamu harus terus melayani tamu yang datang, jika tidak aku akan melaporkanmu ke Polisi. Sekaligus tidak ada pertemuan dengan Maya." Bagaimana ini, lebih baik aku iyakan saja. Semua ini aku lakukan untuk mengetahui siapa wanita bernama Maya tersebut," batin Nia sambil menatap wajah licik sang suami. "Baik, aku terima semua syarat darimu." *** Keesokan harinya, Nia dan Riko akhirya pergi ke ruma Maya. Nia yang saat itu memiliki sedikit uang pemberian ibunya. Meminta sang suami untuk berhenti di sebuah toko kue. "Assalammua
Riko yang sudah menahan amarahnya sejak tadi. Langsung menyeret Nia kedalam kamar. Dengan sadis Riko langsung mencambuk istrinya itu dengan menggunakan ikat pinggang. "Dasar perempuan tidak tahu diuntung! Bisa-bisanya kamu kabur dari tempat itu." Riko terus mencambuk sang istri tanpa belas kasihan. "Ampun, Mas. Aku mohon ampuni aku!" teriak Nia sambil menangis. "Kamu tahu, gara-gara kelakuanmu itu hari ini aku rugi banyak! Dan kamu harus mengganti semua kerugian itu," jelas Riko sambil terus mencambuk tubuh sang istri. "Aku janji akan membayar semua, tapi aku mohon jangan paksa aku untuk melakukan pekerjaan itu lagi. Mas, aku lebih baik menjadi pembantu daripada harus melayani laki-laki yang bukan suamiku!" teriak Nia sambil memohon. "Tutup mulutmu! Ingat aku tidak akan segan-segan menyakitimu jika kamu melaporkan hal ini pada orang lain," ancam Riko sambil menjambak rambut Nia. Sambil mengetuk pintu kamar. "Riko! Riko. Cepat buka pintu kamarnya." "Ibu, ada apa sih mengganggu sa
Riko yang sejak tadi pergi. Kini sudah ada di depan pintu. Dengan segera dia langsung menarik tangan sang istri dengan kasar dan membawanya masuk kedalam kamar. "Riko! Lepaskan putriku. Kamu tidak bisa memperlakukannya seperti itu!" bentak Indah sambil menangis. "Kenapa tidak bisa? Aku suaminya, jadi aku bebas melakukan apapun yang aku mau," jawab Riko sambil mendorong mertuanya. "Dasar menantu durhaka, bisa-bisanya kamu memperlakukan mertua sendiri seperti itu!" bentak Rosa sambil membantu Indah berdiri. "Nia! Nia, keluar. Nak! Ayo kita pulang, lepaskan saja suamimu ini!" teriak Indah sambil menangis. Riko yang tidak mau tetangga mendengar pertengkaran itu. Langsung menyeret tangan Indah keluar dari rumahnya. Sukma yang melihat kejadian itu terlihat tertawa bahagia. "Kamu benar-benar menantu tidak punya hati, aku menyesal sudah menikahkan putriku dengan laki-laki sepertimu!" teriak Indah. Teriakan Indah ternyata didengar oleh beberapa tetangga Riko. Hingga membuat mereka semua
"Eh! Perempuan benalu, apa kamu tidak melihat cucian piring sudah menumpuk di belakang!" bentak Sukma hingga membuat Nia terkejut. "Maaf. Bu, apa tidak bisa hari ini aku beristirahat sebentar. Karena aku sedang tidak enak badan," jawab Nia sambil duduk di tempat tidurnya. "Tidak bisa! Pokoknya sekarang kamu bangun dan cepat kerjakan semua pekerjaan rumah." Sukma langsung menarik tubuh menantunya dan langsung membawanya ke dapur. Kehidupan Nia jauh dari kata sempurna. Bukan hanya dalam rumah tangga. Tapi dalam hal keuangan pun dia selalu kekurangan. Selama ini dia memang bekerja melayani lelaki hidung belang. Namun, seluruh uang tersebut justru di bawah oleh sang suami. Dia hanya memberikan uang 50 ribu per tamu. "Ya ampun lelah sekali rasanya," ucapnya sambil duduk di tempat tidur. Nia yang sudah kelelahan memutuskan untuk membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Baru juga dia memejamkan mata. Tiba-tiba terdengar suara ponsel berbunyi. [Halo, Nia. Apa kabar?] tanya Rafli m
"Apa jangan-jangan dia di rumah orang tuanya?" tebak Sukma. Mendengar perkataan sang ibu, Riko langsung melajukan motornya ke rumah mertuanya. Riko yang baru saja datang terlihat heran. Pasalnya rumah itu terlihat sepi seperti biasanya. Bahkan suara sang istri pun tidak terdengar. "Assalamualaikum … ." Riko mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. "Waalaikumsalam," jawab Indah. "Mau apa kamu kemari! Apa kamu belum puas karena sudah menghina kami di depan tetanggamu." "Kedatangan ku ke sini … ." "Ayah!" teriak ketiga anak Riko sambil berlari ke arahnya. "Ayah, Bunda mana? Kenapa hari ini dia tidak ke sini untuk menjenguk kami," tanya Sesil yang berdiri di hadapan sang ayah. "Nia belum kemari, apa jangan-jangan dia pergi bersama laki-laki itu," batin Riko yang terlihat berdiri mematung. "Ayah! Kenapa Ayah diam," ucap Sandi dan Doni secara bersamaan. Sambil terkejut. "Sekarang kalian masuk dulu, Ayah mau bicara sama Mbah Utie dan Akong." Mendengar perintah sang
"Mas, lusa aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Karena keadaan ibuku semakin kritis," ucap Nia yang saat itu berbaring di samping Rafi. "Iya, aku tahu. Lagipula kamu juga punya anak disana, kasihan mereka jika kamu tidak ada," jawab Rafli sambil menoleh ke arah wanita yang ada di sampingnya. Sambil memeluk tubuh Rafli. "Mas, aku nyaman bersamamu. Aku merasa bahagia bisa hidup bersamamu, kamu membuatku tertawa bebas." Perlahan Rafli mulai mencium bibir wanita muda itu. Perlakuan lembut Rafli membuat Nia merasa nyaman, hingga perlahan dia mulai membalasnya. Namun, baru saja Nia merasakan kenikmatan surga duniawi. Rafli tiba-tiba menghentikan aksinya. "Tidak, kita tidak boleh melakukan ini. Kamu bukan istriku, Nia," ucap Rafli yang langsung membelakanginya. "Kenapa? Bukankah kamu mencintai ku," jawab Nia yang terlihat kecewa. "Aku mencintaimu, tapi bukan berarti aku harus merusakmu. Laki-laki akan menjaga wanitanya jika dia benar-benar mencintainya, bukan malah merusaknya." R
Sejak saat itu kehidupan Nia mulai berjalan normal. Indah yang tidak terima dengan perlakuan menantu dan besannya itu melarang sang putri untuk tinggal bersama Riko. Hal itu tentunya membuat Riko marah dan tidak terima dengan keputusan mertuanya. "Kalian lihat saja apa yang akan aku lakukan pada putri kesayanganmu," batin Riko yang langsung meninggalkan rumah itu. [Bagaimana keadaan Ibu? Apa dia baik-baik saja,] tulis Rafli pada pesan singkat. [Ibuku baik, ternyata semua itu hanya kebohongan suamiku. Dia dengan sengaja membohongiku,] balas Nia. [Kurang ajar sekali dia, tapi kamu disana baik-baik saja 'kan.] [Alhamdulillah. Aku baik,] tulisnya sambil di sisipi emoticon senyum. Nia yang saat itu sedang berbaring di kamar. Terlihat terkejut saat melihat pintu kamarnya terbuka. Dengan segera dia menyembunyikan ponselnya. "Nia! Apa kamu tidak makan siang?" tanya Indah yang sudah berdiri di depan pintu. Sambil membuang nafas lega. "Ibu, aku pikir siapa." "Kamu pikir Ibu ini
"Halo, Mas. Aku pergi dari rumah," ucap Nia saat panggilannya terhubung. "Pergi dari rumah! Kenapa, apa ada yang menyakitimu?" tanya Rafli penasaran. "Mas Riko membawaku ke hotel. Padahal sebelumnya dia bilang jika dia akan mengajakku ke penggadilan agama, beruntungnya aku masih bisa kabur." "Penggadilan agama? Bukannya kamu bilang kalian sudah resmi bercerai!" ucap Rafli yang terdengar kaget. "Ceritanya nanti saja, Mas. Sekarang aku mohon selamatkan aku dulu." Nia terdengar ketakutan. "Baik-baik, sekarang kamu ada dimana?" tanya Rafli yang terdengar khawatir. "Aku ada di Terminal. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa ketempatmu," ucap Nia yang mulai ketakutan. "Kamu sekarang tenang dulu, kamu cari apa disana ada tempat travel. Biar aku yang bicara pada mereka." Nia yang ketakutan segera mencari agen travel terdekat. Dengan segera dia menyerahkan ponselnya dan membiarkan mereka bicara dengan Rafli. Setelah beberapa saat agen travel menyerahkan kembali ponsel milik Nia. "K