"Kalian berdua memalukan! Anak tiga saja kalian tidak mampu memberi kehidupan yang layak, sekarang malah mau punya anak lagi." Sukma masuk ke dalam rumah sambil marah-marah.
"Ada apa, Bu? Pulang dari Rumah sakit malah marah-marah seperti itu?" tanya Rumi yang saat iti duduk di sofa bersama Sari. Sambil menoleh ke arah Nia dan Riko yang ada di belakangnya. "Kalian tanya saja sama saudara kalian ini." "Nia! Apa kamu tidak melakukan KB selama ini?" tanya Riko pada sang istri. "Tidak, Mas. Karena selama ini aku tidak pernah cocok setiap melakukan KB," jawab Nia sambil menunduk. "Itulah bodohnya dirimu, sudah tahu miskin masih saja sok-sokan punya anak lagi," ucap Sukma. "Riko Ibu tidak mau tahu kalian harus menggugurkan anak itu." "Apa di gugurkan? Tidak aku tidak mau mengugurkan anak ini!" bentak Nia sambil memegang perutnya. "Jadi wanita miskin ini sedang hamil, dasar tidak tahu diri. Bayakin itu uang bukan anak," ucap Sari sambil memandang Nia dengan tatapan hina. "Ibu benar, kamu harus menggugurkan anak itu." "Apa kamu sudah gila, Mas? Anak ini adalah anakmu, bagaimana bisa kamu mau membunuh anak ini." "Baik jika kamu tidak mau menggugurkan kandunganmu lebih baik kalian berpisah saja!" usul Sukma. "Lagipula apa yang kamu harapkan dari wanita pembawa sial seperti dia." "Aku mohon, Mas. Jangan gugurkan dan ceraikan aku, bagaimana pun juga anak ini adalah aanak kandungmu." Nia langsunh memohon dan memegang tangan sang suami. Sambil langsung menarik tangan Nia ke arah kamar. "Ayo ikut denganku."***"Bu, apa Ibu yakin wanita itu sedang hamil?" tanya Rumi yanh terlihat penasaran. "Jelas yakin. Karena Dokter sendiri yang bilang, jika usia kehamilan Nia sudah memasuki minggu ke 3." Sukma duduk di sofa. "Gawat jika Nia memiliki anak lagi, aku yakin kekayaan keluarga Hendrawan akan jatuh ke tangannya," batin Rumi sambil bersandar di sofa. 7 tahun sudah Rumi dan Anton berumah tangga. Namun, sampai sekarang belum juga memiliki keturunan. Jadi wajar saja jika Rumi menaruh rasa iri pada Nia."Sepertinya aku harus mempengaruhi Ibu mertuaku agar membenci dan meminta Nia untuk menggugurkan kandungannya," batin Rumi sambil melirik ke arah Sukma."Bu, bagaimana jika wanita itu tidak mau menggugurkan bayinya?" tanya Rumi."Tidak bisa, wanita itu harus mau menggugurkan kandungannya. Jika dia tetap nekat, aku sendiri yang akan memaksanya untuk bercerai dari Riko." Sukma menatap ke depan dengan tatapan benci."Bagus, dengan begitu aku tidak memiliki saingan lagi," batin Rumi sambil tersenyum kecil. ***Sambil mendorong tubuh Nia ke tempat tidur. "Sekarang katakan siapa Ayah dari anak itu." "Apa maksudmu, Mas. Ayah anak ini adalah kamu," jawab Nia sambil menangis. "Tidak mungkin. Aku tidak yakin anak itu adalah anak ku, apalagi kamu sudah pernah tidur dengan beberapa pria selama ini, jadi cepat katakan siapa Ayah anak ini!" bentak Riko sambil menganggkat dagu istrinya. "Mas Riko benar, aku sudah pernah tidur dengan beberapa lelaki, lalu siapa Ayah dari anak ini," batin Nia. Riko yang sudah sangat membenci Nia langsung keluar dari kamar nya. Sukma, Rumi dan Sari hanya bisa melihat Riko keluar dari kejauhan. Riko terlihat begitu sangat marah dan kesal. "Ya Allah. Apa benar anak ini bukan anak Mas Riko, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" ucap Nia sambil mengusap perutnya yang masih rata. Keadaan ini benar-benar membuat Nia bingung. Antara dia memilih mempertahankan rumah tangganya. Atau mempertahankan anak yang ada dalam kandungannya. ***"Nia! Bagaimana, apa kamu sudah memilih antara anak mu itu atau suamimu?" tanya Sukma yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamarnya. "Aku mohon, Bu. Jangan memintaku memilih, biarkan anak ini hidup. Bayi ini tidak bersalah," jawab Nia sambil menatap Sukma dengan sayu. "Anak itu memang tidak salah, tapi kamu yang bodoh. Pokoknya aku tidak mau tahu, kamu harus segera menggugurkan kandunganmu. Jika tidak aku akan minta Riko menceraikanmu," ancam Sukma yang langsung berjalan meninggalkan Nia sendirian.Riko yang baru saja pulang lansgung berjalan ke arah dapur. Dengan sigap dia langsung membuat segelas teh hangat. Sukma yang melihat tingkah sang putra langsung berjalan mendekati Riko. "Sedang apa kamu?" tanya Sukma dengan ketus. "Membuat teh hangat untuk Nia," jawab Riko tanpa melihat ke arah sang ibu. "Jadi kamu mau mempertahankan anak itu." "Bu, ini rumah tanggaku. Jadi biarkan aku yang menggaturnya, aku harap Ibu tidak perlu ikut campur dengan apa yang terjadi antara aku dan Nia." Riko menoleh ke arah Sukma. "Kamu benar-benar sudah di butakan oleh cinta, sampai-sampai kamu rela melakukan apapun demi wanita itu!" bentak Sukma. Beberapa saat Riko dan Sukma terlihat berdebat di dapur. Hingga tanpa mereka sadari ada sepasang mata memperhatikan mereka dari balik tembok. Sepasang mata yang terlihat begitu bahagia saat mendengar keputusan Riko. "Aku mau ke kamar dulu," ucap Riko sambil membawa cangkir berisi teh hangat. *** "Nia." Riko masuk ke kamarnya dengan perlahan. "Mas Riko, kamu sudah pulang?" tanya Nia. Nia yang sejak tadi menangis kini terlihat sangat lusuh. Kedua mata yang jernih itu kini terlihat sembab. Wajah yang biasanya segar pun terlihat begitu pucat. "Aku minta maaf atas apa yang sudah aku lakukan padamu selama ini," ucap Riko sambil mengusap wajah wanita berusia 27 tahun itu. "Apa itu berarti kamu menerima kehadiran anak ini, Mas?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Iya, Sayang. Anak ini tidak berdosa jadi kenapa harus di gugurkan," ucap Riko sambil tersenyum. "Sekarang kamu minum dulu teh ini, agar tubuhmu sedikit lebih baik." "Alhamdulillah, akhirnya Mas Riko mau menerima anak ini," batin Nia sambil mengambil cangkir yang ada di tangan sang suami. Dengan rasa bahagia Nia langsung meneguk teh hangat itu. Setelah menyerahkan cangkir tersebut pada sang suami. Riko langsung berjalan keluar kamar. "Sekarang kamu istirahat, agar tubuhmu bisa lebih segar." Riko tersenyum dan langsung berjalan meninggalkan sang istri. "Mas, terima kasih." Nia lansgung memegang tangan suaminya. ***"Riko! Apa kamu yakin dengan keputusanmu, menghidupi anak tiga saja sulit apalagi empat," ucap Sukma sambil berjalan mengikuti Riko kedapur."Sudahlah, Bu. Biarkan aku melakukan apa yang ku mau," jawab Riko yang terlihat meletakkan cangkir di atas meja. "Dasar anak tidak tahu diri, di nasehati orang tua malah tidak mau mendengar. Lihat saja, jika suatu saat kamu butuh bantuan Ibu tidak mau membantumu," maki Sukma yang terlihat mulai kesal. Mendengar ucapan Sukma, Riko hanya tesenyum. Dengan segera dia langsung berjalan di ruang tamu. Dan menatap televisi sambil sesekali menatap ke arah jam dinding."Mas Riko! Tolong aku." Tiba-tiba terdengar teriakan Nia dari dalam kamar."Riko! Apa kamu tidak mendengar istrimu berteriak seperti itu?" tanya Sukma yang terlihat kesal. "Halah, sudahlah. Bu, biarkan dia berteriak sesuka hati nanti kalau capek juga diam sendiri," jawab Riko sambil terus menatap ke arah televisi. "Bukan masalah dia nanti diam atau apa, tapi Ibu ini pusing mendengar teriakan istrimu. Lagi pula tidak enak jika sampai tetangga mendengarnya," ucap Sukma. "Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan, Ibu tahu sendiri aku sedang melihat acara televisi." Sambil menarik tangan Riko."Sekarang kamu masuk ke dalam dan minta istrimu untuk menghentikan teriakannya." "Tidak mau, aku masih melihat acara ini." Riko langsung menolak perintah Sukma. "Dasar anak tidak bisa di atur," gerutu Sukma sambil berjalan ke arah kamar Nia. Sukma yang baru saja membuka pintu terkejut saat melihat menantunya duduk di lantai dengan darah segar yang menggalir. Merasa khawatir Sukma langsung berteriak memanggil Riko. Hingga membuat seluruh orang yang ada di rumah itu te
"Aku akan membawa mu bertemu dengan Maya, tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa syaratnya?" tanya Nia yang terlihat penasaran. "Yang pertama kamu tidak boleh menyakitinya, dan yang kedua setelah bertemu dengannya kamu harus mau melayani seorang tamu," jawab Riko sambil dudukdi tempat tidur. "Syarat pertama aku terima, tapi tidak dengan syarat kedua. Aku akan bekerja sebagai pembatu untuk membayar semua hutang-hutang mu," ucap Nia dengan tatapan tajam. "Tidak bisa! Kamu harus terus melayani tamu yang datang, jika tidak aku akan melaporkanmu ke Polisi. Sekaligus tidak ada pertemuan dengan Maya." Bagaimana ini, lebih baik aku iyakan saja. Semua ini aku lakukan untuk mengetahui siapa wanita bernama Maya tersebut," batin Nia sambil menatap wajah licik sang suami. "Baik, aku terima semua syarat darimu." *** Keesokan harinya, Nia dan Riko akhirya pergi ke ruma Maya. Nia yang saat itu memiliki sedikit uang pemberian ibunya. Meminta sang suami untuk berhenti di sebuah toko kue. "Assalammua
Riko yang sudah menahan amarahnya sejak tadi. Langsung menyeret Nia kedalam kamar. Dengan sadis Riko langsung mencambuk istrinya itu dengan menggunakan ikat pinggang. "Dasar perempuan tidak tahu diuntung! Bisa-bisanya kamu kabur dari tempat itu." Riko terus mencambuk sang istri tanpa belas kasihan. "Ampun, Mas. Aku mohon ampuni aku!" teriak Nia sambil menangis. "Kamu tahu, gara-gara kelakuanmu itu hari ini aku rugi banyak! Dan kamu harus mengganti semua kerugian itu," jelas Riko sambil terus mencambuk tubuh sang istri. "Aku janji akan membayar semua, tapi aku mohon jangan paksa aku untuk melakukan pekerjaan itu lagi. Mas, aku lebih baik menjadi pembantu daripada harus melayani laki-laki yang bukan suamiku!" teriak Nia sambil memohon. "Tutup mulutmu! Ingat aku tidak akan segan-segan menyakitimu jika kamu melaporkan hal ini pada orang lain," ancam Riko sambil menjambak rambut Nia. Sambil mengetuk pintu kamar. "Riko! Riko. Cepat buka pintu kamarnya." "Ibu, ada apa sih mengganggu sa
Riko yang sejak tadi pergi. Kini sudah ada di depan pintu. Dengan segera dia langsung menarik tangan sang istri dengan kasar dan membawanya masuk kedalam kamar. "Riko! Lepaskan putriku. Kamu tidak bisa memperlakukannya seperti itu!" bentak Indah sambil menangis. "Kenapa tidak bisa? Aku suaminya, jadi aku bebas melakukan apapun yang aku mau," jawab Riko sambil mendorong mertuanya. "Dasar menantu durhaka, bisa-bisanya kamu memperlakukan mertua sendiri seperti itu!" bentak Rosa sambil membantu Indah berdiri. "Nia! Nia, keluar. Nak! Ayo kita pulang, lepaskan saja suamimu ini!" teriak Indah sambil menangis. Riko yang tidak mau tetangga mendengar pertengkaran itu. Langsung menyeret tangan Indah keluar dari rumahnya. Sukma yang melihat kejadian itu terlihat tertawa bahagia. "Kamu benar-benar menantu tidak punya hati, aku menyesal sudah menikahkan putriku dengan laki-laki sepertimu!" teriak Indah. Teriakan Indah ternyata didengar oleh beberapa tetangga Riko. Hingga membuat mereka semua
"Eh! Perempuan benalu, apa kamu tidak melihat cucian piring sudah menumpuk di belakang!" bentak Sukma hingga membuat Nia terkejut. "Maaf. Bu, apa tidak bisa hari ini aku beristirahat sebentar. Karena aku sedang tidak enak badan," jawab Nia sambil duduk di tempat tidurnya. "Tidak bisa! Pokoknya sekarang kamu bangun dan cepat kerjakan semua pekerjaan rumah." Sukma langsung menarik tubuh menantunya dan langsung membawanya ke dapur. Kehidupan Nia jauh dari kata sempurna. Bukan hanya dalam rumah tangga. Tapi dalam hal keuangan pun dia selalu kekurangan. Selama ini dia memang bekerja melayani lelaki hidung belang. Namun, seluruh uang tersebut justru di bawah oleh sang suami. Dia hanya memberikan uang 50 ribu per tamu. "Ya ampun lelah sekali rasanya," ucapnya sambil duduk di tempat tidur. Nia yang sudah kelelahan memutuskan untuk membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Baru juga dia memejamkan mata. Tiba-tiba terdengar suara ponsel berbunyi. [Halo, Nia. Apa kabar?] tanya Rafli m
"Apa jangan-jangan dia di rumah orang tuanya?" tebak Sukma. Mendengar perkataan sang ibu, Riko langsung melajukan motornya ke rumah mertuanya. Riko yang baru saja datang terlihat heran. Pasalnya rumah itu terlihat sepi seperti biasanya. Bahkan suara sang istri pun tidak terdengar. "Assalamualaikum … ." Riko mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. "Waalaikumsalam," jawab Indah. "Mau apa kamu kemari! Apa kamu belum puas karena sudah menghina kami di depan tetanggamu." "Kedatangan ku ke sini … ." "Ayah!" teriak ketiga anak Riko sambil berlari ke arahnya. "Ayah, Bunda mana? Kenapa hari ini dia tidak ke sini untuk menjenguk kami," tanya Sesil yang berdiri di hadapan sang ayah. "Nia belum kemari, apa jangan-jangan dia pergi bersama laki-laki itu," batin Riko yang terlihat berdiri mematung. "Ayah! Kenapa Ayah diam," ucap Sandi dan Doni secara bersamaan. Sambil terkejut. "Sekarang kalian masuk dulu, Ayah mau bicara sama Mbah Utie dan Akong." Mendengar perintah sang
"Mas, lusa aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Karena keadaan ibuku semakin kritis," ucap Nia yang saat itu berbaring di samping Rafi. "Iya, aku tahu. Lagipula kamu juga punya anak disana, kasihan mereka jika kamu tidak ada," jawab Rafli sambil menoleh ke arah wanita yang ada di sampingnya. Sambil memeluk tubuh Rafli. "Mas, aku nyaman bersamamu. Aku merasa bahagia bisa hidup bersamamu, kamu membuatku tertawa bebas." Perlahan Rafli mulai mencium bibir wanita muda itu. Perlakuan lembut Rafli membuat Nia merasa nyaman, hingga perlahan dia mulai membalasnya. Namun, baru saja Nia merasakan kenikmatan surga duniawi. Rafli tiba-tiba menghentikan aksinya. "Tidak, kita tidak boleh melakukan ini. Kamu bukan istriku, Nia," ucap Rafli yang langsung membelakanginya. "Kenapa? Bukankah kamu mencintai ku," jawab Nia yang terlihat kecewa. "Aku mencintaimu, tapi bukan berarti aku harus merusakmu. Laki-laki akan menjaga wanitanya jika dia benar-benar mencintainya, bukan malah merusaknya." R
Sejak saat itu kehidupan Nia mulai berjalan normal. Indah yang tidak terima dengan perlakuan menantu dan besannya itu melarang sang putri untuk tinggal bersama Riko. Hal itu tentunya membuat Riko marah dan tidak terima dengan keputusan mertuanya. "Kalian lihat saja apa yang akan aku lakukan pada putri kesayanganmu," batin Riko yang langsung meninggalkan rumah itu. [Bagaimana keadaan Ibu? Apa dia baik-baik saja,] tulis Rafli pada pesan singkat. [Ibuku baik, ternyata semua itu hanya kebohongan suamiku. Dia dengan sengaja membohongiku,] balas Nia. [Kurang ajar sekali dia, tapi kamu disana baik-baik saja 'kan.] [Alhamdulillah. Aku baik,] tulisnya sambil di sisipi emoticon senyum. Nia yang saat itu sedang berbaring di kamar. Terlihat terkejut saat melihat pintu kamarnya terbuka. Dengan segera dia menyembunyikan ponselnya. "Nia! Apa kamu tidak makan siang?" tanya Indah yang sudah berdiri di depan pintu. Sambil membuang nafas lega. "Ibu, aku pikir siapa." "Kamu pikir Ibu ini