Lalita memergoki sang tunangan berselingkuh dengan adik tirinya. Sayangnya, tidak ada seorang pun mempercayai gadis itu, kecuali... Brian. Teman masa kecilnya itu mendadak datang dan menawarkan bantuan untuk membalas dendam--dengan 1 syarat: menjadi istrinya selama 24 bulan. Akankah Lalita menerima penawaran Brian?
View More"Aku gak tahan lagi buat pura-pura cinta sama Lalita! Udah bego, badannya gak berbentuk dan gak bisa rawat diri! Kok bisa sih dia jadi kakakmu?”
Deg!
Suara tunangannya itu sontak membekukan seluruh tubuh Lalita yang sedang memanggang daging di ruang privat RUMI, sebuah restoran all you can eat.
Matanya dengan cepat mencari–berharap apa yang didengarnya salah. Namun, ia benar-benar menemukan Aldo dengan adik tirinya!
Mereka persis di ruang privat sebelah Lalita. Pintu yang sedikit terbuka itu membuat Lalita bisa melihat keduanya dengan jelas.
Mereka berdua yang masih tak menyadari keberadaan Lalita–tampak berpelukan mesra. “Tahun ini, Papa akan pensiun. Dia udah janji bakal kasih perusahaan yang dia bangun sama mamanya Lalita ke aku karena Lalita gak mau terusin usaha dan fokus pernikahan,” jelas Citra, "jadi sabar, ya."
“Tapi, gimana kalau dia pensiun setelah aku dan Lalita nikah? Aku gak mau nikah sama dia! Aku mau nikah sama kamu.”
“Sayanggg... Ayolah...” ucap Citra manja. Ia menggenggam kedua tangan Aldo dan menciumnya lembut.
Tangan Lalita mengepal keras menyaksikan itu semua.
Selama ini, dia dibohongi!
Aldo dulu mengatakan dirinya ingin istri yang berdiam diri di rumah, mengabdikan hidupnya untuk mengurus rumah, suami dan anak.
Maka dari itu, Lalita mati-matian mengikuti kursus masak, les menjahit, merangkai bunga dan masih banyak lagi, hingga menghabiskan banyak uang dari ayahnya.
Ia sampai berhenti bekerja hanya demi menjadi versi "ideal" yang diinginkan Aldo.
Tapi, siapa sangka ini akal-akalan pria itu dengan adiknya sendiri?
Bahkan, mereka menempatkan Lalita bak penghalang dan antagonis keji di percintaan keduanya.
Wanita itu tersenyum getir, menertawakan kebodohannya yang percaya saat Aldo begitu gigih mengejarnya.
Lalita bahkan membantu Aldo dan Citra menyelesaikan tugas-tugas mereka di kampus, bahkan masuk ke perusahaan ayahnya. Padahal, ia sendiri sibuk dengan jurusan yang berbeda dan lebih berat.
Belum lagi, ia kembali mendengar kebohongan dari mulut sang adik. ”Tolong aku, Aldo. Kalau dia sekarang tahu kamu suka aku, dia pasti celakain aku dan mama,” kata Citra dengan suara bergetar, seolah ketakutan.
"Dia itu bodoh sayang, dia gak akan bisa celakain kamu."
"Kamu jatuh cinta sama dia ya?" tuduh Citra dengan berlinang air mata, "aku udah sering bilang, kan? Kalau gak ada kamu, baru sifat aslinya keluar. Dia gak sebaik itu, dia jahat! Dia jahat ke aku dan mama. Padahal, ada hak kami di situ."
Citra yang mengeluarkan air mata palsunya membuat Aldo kini tampak marah.
Melihat itu, Lalita menggelengkan kepala tak percaya.
Kapan dia pernah jahat ke Citra dan ibu tirinya?
Selama ini, Lalita memperlakukan mereka dengan baik.
Belum lagi, dia berbicara hak!
Lalita mendengus dalam hati. Hak apa?
Ibu Citra hanyalah ibu rumah tangga biasa. Ia baru hidup nyaman setelah menikah dengan ayah Lalita, yang merupakan pengusaha IT Consulting sukses.
Bahkan, perusahaan itu dibangun oleh ayah dan ibu kandung Lalita dari nol, sebelum ibunya meninggal.
Berani-beraninya mereka bicara soal "hak"?
Ibu tirinya tidak berkontribusi apapun dalam membangun perusahaan!
Hal yang Wita lakukan selama pernikahan adalah melayani suaminya, arisan, dan juga pilates. Bahkan wanita itu tidak pernah mencuci ataupun memasak, serta tidak pernah mengantar-jemput anak sekolah!
Wanita itu benar-benar menikmati hasil kerja keras ayah Lalita tanpa pernah tahu cara mendapatkan uang.
"Aldo pasti telah dimanipulasi Citra,” batin Lalita–kehilangan kesabaran.
Meski pedih, dia siap membatalkan pertunangannya.
Namun, ia merasa harus membersihkan nama baiknya dari fitnah ini.
Hanya saja, kalimat terakhir yang ia dengar dari Aldo–menghentikan niatnya.
“Sayangnya, racun itu belum berhasil membunuh Lalita,” ucap Aldo dingin.
Jantung Lalita berdegup begitu kencang. "Racun?" gumamnya tak percaya.
Dunia Lalita seolah berhenti.
Dengan sisa kewarasan yang ada, ia mengenakan masker dan melangkah keluar dari restoran.
Sayangnya, Lalita juga terlalu takut untuk pulang.
Dia tak yakin dirinya sanggup menjawab pertanyaan sang ayah jika melihat wajahnya yang sembab.
Apartemennya? Pastilah, Aldo akan mencarinya ke sana.
Hanya saja, Lalita mendadak teringat tempat masa kecilnya … Bandung.
Ia bisa beralasan untuk refreshing di sana sembari mencari rumah sakit terdekat untuk memeriksakan diri.
Dengan cepat, Lalita pun memesan tiket kereta cepat dan membooking hotel bintang 4 terdekat.
Namun, tak bisa dipungkiri jika pengkhianatan itu masih membekas di hati.
Bahkan, sesampainya di hotel, ia menangis–membuat matanya tampak kabur, hingga….
"Aawww!" Lalita jatuh tersungkur karena menabrak seseorang.
"Are you okay?" Suara bariton seorang pria membuatnya terkesiap.
Sepulang kerja, David tidak langsung belok ke unit apartemennya.Ia mondar-mandir di lobi, terlihat gelisah. Sesekali menatap pintu masuk, lalu melihat ke arah lift.Tangannya masuk ke saku, lalu keluar lagi. Nafasnya berat.Ada sesuatu yang jelas mengganggu pikirannya.Beberapa menit kemudian, beberapa orang terlihat masuk dari pintu lobi.Lalita dan Brian baru tiba.Melihat David berdiri di tengah lobi seperti orang bingung, Lalita menyapanya."Kamu kenapa? Kok kelihatan gelisah banget?"David kaget. Wajahnya langsung tegang saat melihat mereka berdua bersama."I... Iya... aku lagi nunggu kalian," jawabnya gugup. "Ehem... hmmm..."Lalita dan Brian saling melirik."Emangnya ada apa? Cari kita?" tanya Lalita.David melangkah lebih dekat ke arah mereka. Ia menatap Brian sebentar, lalu menoleh ke Lalita."Aku mau ajak Lalita nonton film," ucap David pada Brian.Hening.Mata Brian dan Lalita membelalak bersamaan.Brian menegang. "Lo gila, ya? Ngajak istri orang nonton film?"David tetap
Wita memang memiliki kebiasaan mabuk yang buruk.Dan seperti biasa, ketika alkohol sudah masuk ke tubuhnya, Wita berubah menjadi seperti anak kecil yang pemarah—keras, kasar, dan tak peduli siapa yang jadi sasaran."Ya, aku memang bodoh. Dan kau akan segera bercerai dengan orang bodoh ini," ucap Hadi, rahangnya mengeras. Suaranya gemetar, dan giginya bergemeletuk menahan emosi.Ia menatap Wita yang sudah teler setengah mati. Tubuh perempuan itu limbung di tempat tidur.Kepalanya terus berputar-putar sedari tadi.Hadi tahu, marah sekarang hanya akan seperti menjerit di ruang hampa—semuanya akan menguap, lenyap tanpa arti."Hadi bodoooohhh..."Suara Wita melengking, nyaring seperti suara anak kecil mengejek di tengah keramaian pasar."Bodooohhh..." ia mengulang, tertawa."Si bodoh yang dengan senang hati terus jadi donatur akuuu... Teruslah kerja yang rajin yaaa agar hidupku nyaman..." katanya sambil tergelak, matanya sudah menatap entah kemana dan air liur hampir menetes dari sudut bib
"Denger suara ketawa mama kamu yang bahagia banget itu, mana mungkin papa tegang," jawab Hadi datar, suaranya terdengar hambar, bahkan sorot matanya gelap."Bener dong aku, kamu cantik. Lebih cantik dari istriku, dan lebih hot juga," ucap Fuad menggoda Wita.Benar-benar definisi pria hidung belang."Berarti aku memang lebih enak daripada istri kamu, kan?" tanya Wita sok imut.Lalita benar-benar merasa jijik mendengarnya. Mereka seperti pinang dibelah dua, benar-benar serasi."Jelas dong, sayang... Bibir kamu juga manis banget. Mana sini coba bibirnya..."Lalita mengatupkan rahangnya.Ia tak sanggup membayangkan lebih jauh apa yang sedang terjadi di balik sekat kayu restoran itu. Suara mereka... tawa mereka... sangatlah mesra, terlalu nyaring untuk diabaikan.Pasangan itu seperti anak remaja dimabuk cinta—lupa waktu, lupa malu.Saat suara tawa mereka mulai menjauh, Lalita menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Ia akhirnya angkat suara, tajam dan tegas:“Papa har
Diana masih diam.Ia tak berniat menjawab Brian. Diana terus mengemasi pakaian dan barang-barang lainnya dengan gerakan cepat dan keras, seolah setiap lipatan kain adalah pelampiasan amarahnya.Ia berdiri sambil menarik koper besarnya, rodanya berdecit kasar menyapu lantai marmer apartemen.Sebelum benar-benar keluar, Diana berhenti di ambang pintu. Ia menoleh, menatap Brian tajam, lalu menunjuk wajah pria itu dengan telunjuk kanan."Kita bubar... kalau kamu gak cerain dia hari ini juga," ucapnya dingin.Pintu pun menutup keras di belakangnya, meninggalkan aroma parfum mahal dan ketegangan yang menggantung di udara.***Malam harinya, Lalita kembali ke apartemen Brian."Rasanya aku udah lama gak ke sini," katanya ringan, menatap sekeliling."Kamu memang udah lama gak ke sini," jawab Brian tanpa menoleh.Lalita tersenyum dan langsung masuk ke kamarnya.Namun, langkahnya terhenti seketika. Kamarnya berantakan
Citra masih tersenyum, meski matanya mencerminkan sebaliknya."Iya... nanti aku bayarin, kalau memang bisa pakai jaminan ya...""Terus... pengacaranya dari firma hukum yang gede aja ya, sayang..." pinta Aldo, suaranya manja seperti anak kecil minta dibelikan mainan mahal."Firma hukum mana maksud kamu?""Firma Hukum Darmawan aja, kalau bisa," jawab Aldo enteng, seolah meminta hal yang sangat sederhana.Citra tersenyum kecut."Kok gitu senyumnya? Kamu gak mau? Kalo gak mau ya gak usah sekalian!" sentak Aldo, wajahnya langsung berubah cemberut."Bukan gitu, sayang..." jawab Citra, berusaha tetap tenang. "Firma Hukum Darmawan itu punya papanya sahabat Lita. Takutnya... dia pakai itu juga. Kalau dia yang pakai, kita gak akan bisa pakai jasa mereka.""Coba tanya dulu dong ke mereka!" rajuk Aldo, berusaha menekan Citra."Aku maunya mereka. Firma itu selalu menangin kasus-kasus besar, sayang. Emangnya kamu gak mau aku cepet beb
Kamar hotel itu sunyi, hanya ditemani suara samar dari lalu lintas kota yang tersaring tirai tebal.Lampu gantung memancarkan cahaya hangat keemasan, menciptakan bayangan lembut di dinding."Sebaiknya kamu tetap ketemu sama si Aldo itu," ucap Fuad, nada suaranya tenang dan tegas. Ia duduk bersandar di sofa empuk, tangannya menggenggam gelas kopi yang sudah mulai dingin."Kenapa harus ketemu dia lagi sih, Om? Aku gak suka ke penjara, pasti serem deh di sana," gerutu Citra, memeluk bantal sofa seolah mencari perlindungan.Wajahnya merengut, alisnya bertaut, suara gadis itu menyatakan keberatan yang sangat jelas.Di samping mereka, Wita hanya menghela napas, duduk rapi namun gelisah."Kamu belum bisa buang dia sekarang. Gimana kalau sampai dia hilang rasa sama kamu? Kamu harus buat dia percaya sama kamu sampai akhir," ujar Fuad lagi, matanya tajam menatap Citra."Ya kalau dia hilang rasa dan gak percaya sama aku juga kenapa memangnya, Om
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments