"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick.
"Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya.Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!""Ini ... sudah aku tanda tangani barusan." Alissa menyodorkan kertas perjanjian itu pada Reyvan.Reyvan melihatnya sekilas, sudah ada tanda tangan Alissa di sana. "Bagus, sekarang apa rencanamu? Kamu ingin aku langsung membawamu pergi dari sini sekarang, atau bagaimana?"Alissa pun nampak berpikir. Ia sebenarnya ingin sekali segera pergi dari cengkraman Erick tapi ia masih teringat bagaimana dengan anaknya. Lagipula ia juga masih ingin mengetahui kabar ayahnya. Ya. sejak ia sakit dan Erick melarangnya menggunakan ponsel, ia belum pernah sekalipun memberi kabar pada ayahnya."Aku masih ingin tetap di sini. Aku ingin tahu apa saja yang telah Erick lakukan dan juga aku tidak bisa meninggalkan putriku begitu saja.""Jadi Kakak ingin aku melakukan apa?" Reyvan heran dengan Alissa yang ingin minta tolong tapi tidak mau dibawa pergi."Aku ingin kamu bantu aku untuk mencari bukti kejahatan Erick. Dan lagi selama ini perusahaan yang Erick pegang adalah perusahaan ku. Aku juga ingin merebut itu kembali," jelas Alissa."Baiklah, kurasa ini akan jadi panjang urusannya. Aku akan selidiki segalanya lebih dulu kalau begitu." Reyvan pun beranjak untuk pergi. Namun, sejenak kemudian ia teringat akan sesuatu. "Tunggu, bagaimana dengan dirimu? Bukankah akan bahaya jika kamu tetap di sini?""Aku masih bisa jaga diri. Selama mereka tidak curiga, aku masih bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa."Reyvan pun mengerutkan keningnya. Ia berpikir, kenapa Alissa tetap memilih bertahan dan itu membuatnya ragu. "Sebenarnya, apa yang membuatmu yakin jika suamimu ingin membunuhmu?""Secara tidak sengaja, aku mendapati kucingku mati setelah minum obat yang selama ini aku konsumsi. Aku juga tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka," jelas Alissa."Jadi maksud Kakak, suamimu ingin membunuh melalui obat itu?"Alissa pun menganggukkan kepalanya. "Kamu benar dan aku tidak tahu obat apa itu sebenarnya? Yang jelas, obat itu membuatku lemah dan tidak bertenaga seperti orang lumpuh.""Itu artinya kita harus cari tahu obat apa itu sebenarnya. Kakak nanti simpan obat itu, aku akan mengambilnya nanti malam atau besok. Baiklah, aku pergi dulu sekarang. Nanti aku akan hubungi Kakak lagi," ucap Reyvan. Namun, saat ia melangkah untuk pergi, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Alissa."Apa kamu tetap akan datang seperti ini? Kamu tahu, jika begini kamu itu seperti maling saja. Bagaimana jika kamu ketahuan oleh para satpam?"Seketika Reyvan menoleh kembali ke arah Alissa dengan senyum penuh arti. "Hmm ... ternyata Kakak ini perhatian juga, ya!" Perlahan Reyvan melangkah mendekati Alissa. "Jika perhatian seperti ini, bagaimana aku bisa jauh dari Kakak?"Mendadak Alissa menjadi gugup lalu memundurkan langkahnya untuk menghindari Reyvan, namun Reyvan semakin maju mendekatinya hingga ia terpojok. "A-apa yang mau kamu lakukan?""Hahaha ... ternyata Kakak lucu juga kalau sedang gugup. Tenang kak? Aku cuma bercanda. Serius amat!""Huh ... kamu tuh bikin aku jantungan saja." Seketika Alissa pun merasa lega.""Dah, lah! Aku pergi dulu. Aku akan hubungi Kakak nanti untuk langkah selanjutnya. Setelahnya Reyvan pun pergi dengan menuruni tiang seperti biasanya. Ia melihat dua satpam di sana masih tertidur pulas. Ya. Sebelumnya Reyvan datang dengan pura-pura memberi minuman, ternyata dalam minuman itu sudah ia beri obat tidur. Melihat keadaan terasa aman ia pun pergi dari rumah Alissa.Hingga akhirnya malam pun tiba. Alissa sedang gelisah memikirkan bagaimana ia bisa mengelabuhi Riana lagi untuk tidak minum obat. Apalagi obat yang akan diberikan padanya sekarang punya efek lebih dari pada obat sebelumnya. "Aku harus memikirkannya, tapi bagaimana caranya?" batin Alissa.Ditengah kebingungannya, tiba-tiba ia mendengar suara diketuk dari luar. "Masuk," teriaknya.Tak berselang lama pun tampak Riana sedang masuk membawa makan malam juga obatnya. Riana berjalan mendekati Alissa yang sedang duduk di ranjang di samping nakas, lalu menaruh makanan itu di atas nakas. "Makan malamnya, Nyonya.""Baiklah, ambilkan makanan itu!"Riana pun mengambilkan makanan itu dan menyerahkannya pada Alissa. Alissa memakan makanan itu perlahan sambil memikirkan lagi cara mengelabuhi Riana. Hingga sejenak kemudian sebelum makanannya habis ia pun terbersit ide."Riana, Erick sedang di dalam ruang kerja, kan? Tolong panggilkan!" perintah Alissa.Riana yang ingat perintah Erick menjawab, "Tidak mungkin, Nyonya. Saya harus memastikan Anda minum obat lebih dahulu.""Aku akan meminumnya nanti, Riana. Sekarang panggilkan dulu suamiku Erick atau kamu aku pecat," ancam Alissa. "Ayolah, aku akan meminumnya setelah kamu kembali," lanjutnya.Riana tidak punya pilihan lain, akhirnya ia pun pergi untuk memanggil Erick. Dengan cepat Riana menghampiri Erick di ruang kerjanya, namun seperti dugaannya. Erick marah besar padanya."Dasar bodoh! Sudah kubilang pastikan dulu dia minum obatnya." Erick pun akhirnya beranjak pergi dan berjalan menuju kamarnya bersama Alissa.Sementara di kamar Alissa segera menghabiskan makanannya dan menuang obatnya lagi ke selimut tebalnya. Tak lama kemudian ia terkejut saat tiba-tiba pintu terbuka dari luar."Sayang, ada apa kamu memanggilku?" Erick menatap pada Alissa lalu matanya fokus pada gelas yang di atas nakas yang ternyata sudah kosong isinya. "Sial ...!" ucapnya dalam hati."Nggak, Mas! Tadi aku butuh kamu tapi sekarang sudah bisa sendiri, kok!"Dalam hati, Erick merasa geram. melihat gelas obat yang kosong membuat Erick mulai curiga lagi. "Ya sudah, Sayang. Aku kerja lagi, ya?" pamit Erick.Alissa hanya menganggukkan kepalanya menanggapi Erick, lalu pura-pura berbaring untuk tidur.Setelah melihat Alissa tidur, Erick melangkahkan kakinya keluar meninggalkan kamar dan diikuti oleh Riana. Sampai di luar, mendadak ia menghentikan langkahnya. "Kau lihat! Obat itu sudah habis, apa kau yakin Alissa sudah meminumnya, hah?!""Ma-maaf, Tuan. Tadi ...."Ucapan Riana pun terpotong saat tiba-tiba tangan Erick mencengkeram rahang Riana. "Ingat ini! Kau akan tahu akibatnya jika ternyata wanita itu tidak meminumnya." Kemudian Erick melepas cengkeramannya dengan kasar. "Obat itu pasti sudah bekerja, sekarang kita pastikan. Berharap lah wanita itu sudah meminumnya," ucap Erick, berjalan kembali ke kamar.Kini Erick dan Riana sudah di kamar Alissa dan melihat Alissa tertidur pulas. "Sekarang kita lihat, apa kau sedang pura-pura tidur atau tidak." Erick pun berjalan menuju nakas dan mengambil sesuatu dari dalam nakas."Jarum? Untuk apa jarum itu, Tuan?" tanya Riana, namun tidak ditanggapi oleh Erick.Erick hanya diam, lalu mendekati dan meraih tangan Alissa. Dengan senyum seringai di wajahnya, ia menusuk-nusuk jari Alissa.***Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya
Alissa dan Reyvan keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Erick yang kebetulan tidak jauh dari kamar Alissa di deretan paling ujung. Kini keduanya pun sampai di ruang kerja Erick. "Baiklah, Kakak sekarang cari di mana obat itu sementara aku akan mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti," pinta Reyvan.Alissa mengangguk, kemudian keduanya menggeledah semua barang yang ada di sana. Namun, belum sempat keduanya mendapatkan apa yang mereka cari, mereka mendengar suara mobil yang datang. "Kenapa ada suara mobil? Jangan-jangan suamimu kembali," ucap Reyvan."Kamu benar, bagaimana ini?" tanya Alissa khawatir. "Kita harus kembali ke kamarmu sekarang." Tanpa sadar Reyvan menarik tangan Alissa lalu menggandeng Alissa pergi menuju ke kamar Alissa kembali. Dengan langkah cepat, Reyvan menarik Alissa tanpa melihat kondisi Alissa di belakangnya. Hingga ketika sampai di kamar Alissa, Reyvan begitu terkejut saat menoleh ke belakang dan melihat Alissa yang tampak tidak baik-baik saja
"Dari mana saja kamu, Reyvan?" Reyvan membelalakkan matanya saat melihat sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya berada di sana. "Hehe ... Mama. Kapan Mama datang?""Itu nggak penting. Bukannya hari ini tidak ada pertemuan dengan klien, kenapa bisa pulang selarut ini?" Risa melipat kedua tangan di perutnya seraya mengerutkan keningnya, heran dengan apa yang dilakukan oleh putranya."Aku? Ya pergi main, lah, Ma! Memang mau dari mana lagi?" Reyvan mendekati mamanya lalu memeluk mamanya dari belakang. "Mama tumben kemari, mama sendiri apa sama kak Rena?""Main sama siapa? Mama tahu kamu bohong. Nggak usah mengalihkan pembicaraan, cepat katakan!" Vira pun melepaskan pelukan Reyvan lalu memutar tubuhnya menghadap Reyvan. "Teman lama, Ma. Mama nggak percaya, sama Reyvan?" "Percaya Rey ... Mama penasaran saja karena tidak biasanya kamu seperti ini."Sudahlah, mending Mama istirahat saja. Kita bicarakan ini lagi besok. Ayo! Rey antar mama ke kamar?" Reyvan pun menggiring mamanya nai
Mendengar pertanyaan Alissa, seketika membuat Erick gugup dan memalingkan wajahnya. Wajah Erick tampak memerah, seperti menahan amarah, juga tangannya terkepal kuat. Namun, sejenak kemudian Erick mencoba mengendalikan dirinya dan bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Erick menoleh lagi ke arah Alissa dengan senyum merekah di bibirnya. "Aku tidak tahu, Sayang. Tidak mungkin ada yang berani menyakitimu," ujar Erick.Tanpa Erick sadari, semua gerak gerik Erick sebelumnya tak luput dari perhatian Alissa. Alissa dapat melihat jelas dengan perubahan yang terjadi pada Erick. "Tapi Mas ... kalau memang tidak ada, kenapa aku bisa terluka?" desak Alissa.Desakan Alissa membuat Erick semakin geram. Erick menjadi berpikir, kenapa Alissa semakin lama semakin terlihat sehat. Erick yang tak ingin terlalu memikirkannya pun mencoba untuk melimpahkan kesalahannya pada Riana. "Coba nanti aku tanyakan pada Riana, Sayang. Jika sampai dia terlibat, aku pasti akan memberinya pelajaran."Lagi-lagi Alissa te
Setelah mendengar semua percakapan Erick dan Riana, Alissa segera pergi meninggalkan ruang kerja Erick menuju meja makan. Tubuhnya sedang berjalan, namun pikirannya seakan di tempat. Ia terus terpikirkan oleh ucapan Erick yang ingin memastikan perihal obat yang harusnya ia minum. Alissa tidak menyangka, ternyata sikapnya telah membuat Erick curiga. Akhirnya Alissa pun tiba di meja makan. Ia duduk di salah satu kursi meja makan seraya menunggu Erick dan Riana. Tak sampai lama ia menunggu, Erick tampak datang seorang diri. "Kamu dari mana saja, Mas? Aku cari-cari, kok tidak ada?" bohong Alissa."Aku tadi dari ruang kerja, Sayang. Aku harus periksa berkas proposal yang akan aku ajukan pada klien lebih dulu." "Ooh ...." Alissa hanya menganggukkan kepalanya mengerti. "Ya sudah, ayo kita makan, Mas!" Erick bergegas mengambil centong makan dan menyiapkan makanan untuk Alissa, namun tiba-tiba tangan Alissa terangkat mencegah Erick melakukan itu. "Jangan, Mas! Kamu siapkan untuk dirimu se
Erick hampir saja membuka pintu ruang kerjanya, tetapi gerakannya terhenti kala tiba-tiba ia mendengar suara Riana dari belakang. "Tuan!" Seketika Erick menoleh. "Riana! Kapan kamu pulang? Bukankah seharusnya kamu mengantar Ellena?" "Iya, Tuan. Saya sudah mengantarnya dan baru saja kembali. Saya ada di belakang Tuan saat Anda masuk gerbang tadi." "Ooh ... baguslah, kebetulan ada yang mau aku bicarakan. Ayo kita masuk!" Erick pun membuka pintu ruang kerjanya, lalu melangkah masuk dan diikuti ole Riana. Di dalam ruang kerja, Alissa sudah tidak terlihat di sana. Ternyata saat Riana dan Erick berbicara, di gunakan Alissa untuk bersembunyi.Erick berjalan menuju mejanya dan duduk di kursi kebesarannya, sementara Riana berdiri di depan Erick. "Maaf, Tuan. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Riana seraya menundukkan kepalanya. Erick menatap Riana dari ujung kepala hingga ujung kaki Riana sembari mengetuk-ngetuk mejanya. Selama ini, Riana lah yang sudah membantunya dalam segala hal. E
"Reyvan, Rena, apa yang kalian rencanakan?" Risa yang baru saja datang melihat kedua anaknya tampak aneh. Hal itu pun membuat Risa bertanya-tanya. "Rencana apa sih, Ma? Ini lho ... rencana perkembangan kerja sama dengan PT Adiguna. Aku butuh bantuan Reyvan untuk menanganinya kali ini," bohong Rena. Rena tidak ingin mamanya mengetahui bahwa ia menyuruh Reyvan untuk menyelamatkan temannya. Tanpa Rena ketahui ternyata hal itu dimanfaatkan oleh adiknya sendiri.Risa yang tidak mengerti tentang masalah perusahaan hanya mengangguk saja. "Ooh, aku kira apa. Oh ya, Rey! Bagaimana penawaran Mama kemarin, kamu mau, kan?" "Penawaran apa, Ma?" Reyvan pura-pura tidak mengerti ucapan sang Mama. Ia sebenarnya tahu kemana maksud arah pembicaraan mamanya, namun ia sengaja tak ingin membicarakannya. "Mama tahu kamu hanya pura-pura, kan? Mau tak mau, kamu harus melakukannya," putus Risa yang sudah tidak ingin didebat lagi. "Aku pun sama, Ma ... tetap pada keputusanku. Mama tidak bisa memaksaku." teg
"Ren, Aku nggak menyangka kamu akan datang kemari? Terima kasih, ya," ucap Alissa seraya menggiring Rena berjalan menuju ruang tamu"Maaf ya, aku akhir-akhir ini sangat sibuk, jadi baru sempat ke sini sekarang." "Nggak pa-pa, Ren. Kamu ke sini sekarang aja aku dah seneng banget, kok." Alissa ingin sekali mengatakan sesuatu pada Rena, namun ia harus memastikan bahwa Riana tidak boleh mendengarnya. Ia pun melirik ke arah belakang. Ia melihat ada Riana yang sedang mengikutinya, membuat ia mengurungkan niatnya. Alissa dan Rena duduk bersebelahan di sofa ruang tamu dan sedang bercanda bersama. Akan tetapi, Riana yang sejak tadi mengikuti mereka, seakan tidak mau pergi dan itu membuat mereka merasa tidak nyaman. Riana seakan sengaja mengawasi mereka. "Kamu sampai kapan sih, berdiri di sini, Riana? Pergi dari sini! Buatkan minum untuk temanku?" tegur Alissa."Maaf, Nyonya! Baik, akan saya buatkan." Riana pergi meninggalkan Alissa dan Rena dengan wajah di tengkuk ke depan. Ia seakan tidak t