Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik.
"Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias. Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung. "Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan, Renja malah berakhir dengan seorang montir. Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau jangan jadi seperti kakakmu, Sera." Sera mendengus, melipat tangan di dada bergaya sombong. "Papa enggak lihat gaya semua laki-laki yang aku bawa ke sini? Tampang mereka biasa saja, tetapi motor dan mobil mereka menunjukkan mereka memiliki uang." Fika mengangguk, dia telah menilai mereka dengan matanya. Dia membuat perbandingan dengan mengasihani Renja, namun di sisi lain dia kesulitan tanpa Renja. Semua pekerjaan rumah Fika yang mengerjakan, sementara Sera merawat diri agar tetap cantik untuk memancing pria kaya. "Hidup kita susah, setidaknya setelah kamu menikah nanti kamu bisa bantu orang tua." "Papa tenang saja, aku juga enggak mau melanjutkan hidup susah seperti Kak Renja." "Jadi ... kau ke rumah Renja tadi? Bagaimana keadaan rumahnya?" Sera mendadak terkikik kecil, terbayang Renja dikelilingi babi hutan atau nyamuk ganas di rumahnya. "Aku tidak singgah karena malas nunggu Kak Renja ke pasar dulu, tapi katanya rumahnya di dalam hutan-hutan. Pelosok, Pak!" Sera memekik girang, seolah perutnya digelitiki oleh bulu halus angsa. Amar menggelengkan kepala, putrinya hidup lebih susah dari pada dirinya. Sementara Fika berdecak lidah. *** Hutan malam mengerikan Renja lewati menggunakan sepeda dan senter, dia ketakutan tapi dia nekat keluar sebab rasa tidak nyaman yang membuat dia tidak bisa tidur. Suara gesekan daun berdesir, nyanyian serangga menambah kesan sepi, menggoyahkan tekad wanita pengecut. "Sedikit lagi keluar dari hutan, sedikit lagi." Bulu kuduk Renja berdiri, mengayuh cepat pedal sepeda sekuat yang ia bisa. Tak lama kemudian lampu gerbang terlihat, tinggal melewati persimpangan maka Renja bisa menemukan deretan rumah warga, jalanan yang dilalui orang lain juga. "Akhirnya~" Renja bernapas lega, meringankan kaki di bawah sana untuk lebih santai. Dia tidak sendirian lagi sekarang, ada banyak orang berlalu lalang. Memasuki beberapa persimpangan lain, Renja sampai di dekat bengkel tempat Darel kerja. Renja berhenti sebelum Darel menyadari keberadaannya, melihat Darel tengah duduk santai di ban memegang sebatang rokok menyala di jarinya. 'Dia seperti orang yang tidak ada niat untuk pulang.' Renja melirik sekitar, ada 4 montir lain yang tengah berkutat dengan mesin mobil atau pun motor. Mereka semua sibuk kecuali Darel. Haruskah Renja membahas masalah rumah tangga ini lalu di dengar oleh mereka? Memalukan. Dia menunduk mencengkeram setang kuat-kuat. Setelah nekat menelusuri malam mengerikan, kini dia ragu untuk menghampiri Darel di sana yang pria itu tidak sendiri. Lama sekali Renja hanyut dalam kebimbangan, sampai Darel dengan sendirinya sadar ada Renja di tepi jalan seorang diri tersorot oleh lampu dari mobil yang lewat. Dia mengernyit, lantas beranjak menghampiri Renja setelah membuang asal sebatang rokok masih panjang. "Kenapa kau ke sini?" Suara Darel membuat Renja tersentak kaget, reflek mendongak. Sejak kapan Darel di dekatnya? Renja sama sekali tidak sadar sebelum dia mendengar suara berat itu. Mereka saling tatap, Renja ketakutan melihat rahang Darel mengeras. Pria itu marah! Renja seakan berhadapan dengan monster, atau seperti kapas yang tertindas oleh kerasnya batu. "K-kau kenapa tidak pulang?" Mata Renja gemetar, tidak berani menatap Darel lebih lama lagi sehingga dia langsung menunduk menahan takut. Darel diam, matanya menatap lekat wanita lembut yang bernasib malang sebab menikah dengan pria bertampang kasar seperti dirinya. "Pulanglah duluan nanti aku menyusul." Renja menggeleng, tidak ada jaminan Darel akan benar-benar pulang. Renja ingin menyelesaikan masalah ini di rumah, sungguh. Dia sudah lelah menangis melihat makanan yang ia buang--tidak bisa masak untuk diri sendiri sebab takut Darel pulang dalam keadaan lapar. "Renjaaa," panggil Darel panjang terkasan menekan. Sekali lagi Renja menggeleng, masih menunduk tak ingin memperlihatkan wajah ketakutannya. "Aku akan pulang." Darel meyakinkan, tidak menyangka gadis yang tampak lembut ini pandai mengeraskan kepalanya. "Benarkah?" "Benar." "Kalau begitu aku akan memasak untukmu." "Aku sudah makan, kau masak untuk dirimu sendiri saja." Renja menggeleng cepat, ia yakin Darel tidak akan pulang. Apalagi setelah mendengar fakta bahwa dia tidak ingin makan di rumah. Darel mengacak surainya frustrasi. "Baiklah, kau masaklah juga untukku." Barulah Renja mendongak, mengangguk sembari tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku menunggumu di rumah." Kaki Renja siap untuk kembali mengayuh, sebelum pergi dia berkata, "Jangan melupakan janjimu!" Darel memperhatikan punggung Renja semakin jauh, gaun lusuh gadis itu membuat Darel mengurut pangkal hidung merasakan otaknya memanas. Istrinya berpenampilan seperti gembel, jika keluarganya yang di kota melihat, maka mereka akan menertawakan Darel telah memungut gadis pemulung di gunung sampah. "Adiknya berpakaian bagus, kenapa kakaknya memakai kain lap?" Perbedaan besar antara Renja dan Sera. Darel bisa melihat siapa yang merupakan anak kesayangan, sedari awal dia masik ke keluarga mereka. Mungkin karena Sera aktif dalam bergaul, sementara Renja berdiam diri di rumah menjadi anak penurut yang menyerupai pembantu tanpa disadari. Apa Renja tidak pernah merasa cemburu pada adiknya? Orang tuanya pilih kasih. Biasa antara saudara akan ada drama seperti itu, mungkin memang terjadi dalam kehidupan Renja, hanya saja Darel tidak melihat itu. Darel menyalakan ponsel, melihat-lihat gambar sesuai selera Darel. Bibirnya menukik tipis pada layar, sebuah hiburan dalam tahap awal membuat batu menjadi secantik berlian. "Hm, ini cocok." Berisiknya suara mesin dan palu tidak mengusik Darel, semua orang bekerja keras mengejar target perbaikan agar pelanggan tidak menunggu lama. Namun Darel seakan tidak terkekang oleh aturan di bengkel ini, dia leluasa mau melakukan apapun yang dia mau. Setelah puas melihat ponselnya, Darel pergi tanpa pamitan pada siapa pun. Tidak ada yang menghentikan meski mereka melihat Darel naik motor di saat masih banyak pekerjaan belum mendapat penanganan. Bengkel di daerah jalan lintas itu ... mobil Dam atau Tronton menjadi pelanggan yang sering nangkring.Para pembantu mengemasi barang dari lemari ke koper. Sementara dia wanita duduk di birai ranjang dengan perasaan yang berbeda. “Kenapa tidak menunggu lahiran saja baru pulang, Nak?” Berat Liana melepaskan menantunya yang telah menemani selama enam bulan di sini. Ia lihat senyuman Renja tampak tak sabar meninggalkan rumahnya, membuat ia bertanya-tanya tentang kenyamanan menantu di rumah mertua seburuk apa? “Aku merindukan rumahku, Bu. Lagipula di sana Darel bisa istirahat sepenuhnya dari pada mengurus pekerjaan yang tiada habis. Kasihan, dia baru saja sembuh.” “Ibu mengerti, tapi ... Apa tidak masalah Darel meninggalkan kantor sekarang? Bagaimana kalau ....” Liana tidak melanjutkan perkiraan buruk, ia yakin Renja mengerti apa maksudnya. “Darel bilang dia meletakkan Bapak duduk di kursi CEO, tentu bergerak sesuai perintah Darel. Pemilik bisa melakukan hal itu, menggerakkan orang untuk mencari uang menggunakan uang. Aku pernah dengar kata-kata itu.” Renja sudah terbiasa dengan
Kurang dari seminggu, berita ahli waris sebenarnya dari perusahaan di ujung tanduk kebangkrutan mengambil kembali posisinya menyebar dan menarik perhatian. Berbagai macam spekulasi dari internet, rata-rata mempertanyakan apakah pewaris asli akan berhasil mendirikan kembali kejayaan yang dibangun kakek dan ayahnya? Ya, itu pertanyaan yang patut dipertanyakan. Darel tidak memedulikan nasihat dari sesama pebisnis, mereka mengutarakan pendapat dari dampak kerugian besar jika Darel terus melanjutkan hal yang seharusnya tidak dapat diperbaiki lagi. “Kami menghormati Anda, tapi kami tidak bisa bertaruh pada hasil yang tidak terlihat sama sekali.” Ini sekian kalinya Darel ditolak oleh investor incarannya. Mungkin bapak itu akan dengan senang hati bekerja sama dengan bisnis Darel yang lain, namun tidak dengan perusahaan kritis ini. Darel permisi keluar dari ruangan, dia keluar dari perusahaan tersebut tanpa menggenggam hasil. Meski begitu, tidak ada raut kecewa sama sekali di wajah Da
Kepala Renja mendongak tinggi, berusaha melihat sebuah bangunan mewah yang sayangnya tak dapat dicapai matanya sampai ke puncak. Kekaguman terpancar jelas dari netranya, terpaku di samping mobil dalam halaman luas tertata strategis. Saat Darel keluar dari mobil, pria itu merangkul pinggangnya, membawa Renja masuk tanpa memberikan penjelasan ini rumah siapa. “Ini rumah siapa?” tanya Renja menghentikan langkah, tangan Darel hampir terlepas dari panggangnya sebelum pria itu ikut berhenti. “Mertuamu,” jawab Darel dalam sekali helaan napas berat. Wajah Renja seketika pucat, memegang kepala dengan kedua tangan, frustrasi. Kenapa Darel tidak bilang sejak tadi? Dia tidak membawa apa pun sebagai hadiah. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti? Terlebih ini kali pertama mereka akan bertemu. Mata Renja menilik cepat, membara kesal. “Bagaimana aku bisa masuk tanpa membawa apa pun?! Darel kau benar-benar—” Telunjuk Darel mendarat di bibir Renja, membungkuk, wajahnya begitu dekat sampai
[Nah, kan, benaran hamil. Selamat, Renja.] ~Dorie.Renja tersipu setelah pesannya dibalas oleh Dorie. Setelah semuanya jelas, kebahagiaan Renja sulit digambarkan. Tidak menggunakan prasangka untuk menilai, berakhir salah paham yang membuat dia hampir melakukan tindakan konyol seperti menyembunyikan kehamilan. Memang Renja harus menekankan diri untuk komunikasi, berhenti menebak-nebak seperti dia hidup sendiri saja. Kabar ini harus diberitahukan ke keluarga. Renja menggeser layar ponsel, mencari nomor kontak mamanya. Kemudian jarinya berhenti, ponsel tersebut terlepas dari genggamannya. "Astaga bagaimana aku bisa lupa?! Bapak!" pekik Renja, memegang kepala sendiri menggunakan kedua tangan. Mabuk berkelanjutan usai turun dari penerbangan, menjadi penyebab Renja sibuk memikirkan kondisi dirinya sendiri. Pun Darel tidak menyebutkan hal itu juga, selain ikut berpikir tentang sakit Renja yang sering mual kala lapar sedikit saja. Kaki Renja turun dari Ranjang, berlari kecil keluar dari
Menjengkelkan, hari masih gelap di luar sana, dan Renja terbangun oleh gejolak di perutnya. Wanita itu melarikan diri ke wastafel, memuntahkan makanan yang ia santap semalam. Seluruh tubuh lemas, pandangan berkunang-kunang, sehingga ia harus mencengkeram erat pinggiran wastafel. Usai itu Renja tersandar di dinding, kian merosot ke bawah sampai ia terduduk di lantai. Ranja melipat tangan di perut, meringis oleh rasa sakitnya. Terpikir olehnya untuk lekas meminum obat Magh, namun bayangan Dorie muncul begitu saja. "Kau yakin itu Magh? Bisa saja kau hamil.""Ini Testpack, kau ambil." Dia menyerahkan tiga sekaligus. "Pastikan semuanya, dan beritahu aku hasilnya nanti."Benarkah hamil? Jadi bagaiamana dengan obat yang diminum Renja? Lenguhan berat lolos, bersama tangannya yang bergerak mencengkeram surainya sendiri. Denyutan pusing semakin keras, kepalanya seakan mau pecah. Tidak bisa, ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu, sepertinya itu cara yang paling ampuh. Bersusah payah ia ban
Sudah lebih dari seminggu liburan bersama ini, beberapa kali kapal singgah di berbagai negara berbeda, dan mereka hanya turun sebentar saja setidaknya ke toko terdekat—hanya sebatas waktu kapal berlabuh. Liburan yang menyenangkan, tidak ada penyesalan sama sekali meski ada beberapa tragedi mendebarkan. Dipikir-pikir sepertinya itu merupakan pengalaman yang berkesan, akan selalu teringat sampai kapan pun. Waktunya mereka kembali pulang, naik pesawat untuk sampai ke negara asal. Seperti waktu mereka berangkat, Renja mabuk penerbangan. Lemas, beberapa kali muntah. Darel terpaksa memberinya obat tidur, atau Renja menderita sepanjang penerbangan. "Ada apa dengan Nyonya, Pak?" tanya Malen, mengambil alih koper dari tangan majikannya setelah ia melihat keberadaan mereka di bandara—bertugas menjemput Darel. Renja terkulai lemas dalam gendongan layaknya anak kecil dalam pelukan ayahnya. Mata tertutup, wajah teramat pucat. Malen mengkhawatirkannya. "Mabuk penerbangan," jawab Darel. Kemudi
Wanita gaun biru muda di sana sangat cantik; menggunakan topi baret putih, rambut tergerai di tiup angin, lalu heels putih berenda mutiara mini melingkar di kaki rampingnya. Dia memegang pembatas besi, bercakap-cakap menghadap laut bersama satu teman wanita yang manis menggunakan rok kuning kecoklatan, dipadukan baju kuning pisang tanpa lengan. Liana diterpa kehangatan yang mampu mencairkan kristal es di hatinya. Senyumnya terbentuk tulus, tatapan terpaku pada menantunya. Bolehkah ia menyapa? Ia ingin mengobrol dengan Renja meski sebentar. Kemudian dia melirik pria yang berbaring santai di kursi, berkaca mata hitam menghadap langit biru, membiarkan matahari pagi membakar kulitnya. Dia berjarak beberapa meter dari Renja, namun bukan berarti tidak mengawasi. Liana mendesah berat, Darel tidak mungkin senang dengan keberadaannya. "Ibu menatap kakak ipar terus. Jangan sampai punggung kakak ipar jadi bolong sebab tatapanmu, Bu," singgung Dika. Dia memakai topi dan kaca mata hitam, dudu
“Uh, sekarang kopermu jadi berat!” Renja menoleh ke belakang mendengar rintihan Dorie, bertanya-tanya sejak kapan wanita itu mengambil alih kopernya. Ia melirik Darel, pria itu mengangkat bahu. “Dorie, apa yang kamu lakukan?”“Aku akan membantu membawa koper, biar Darel menggendongmu. Kau masih pucat, masih sakit, kan?” ucap Dorie. Mereka terdiam di tempat memperhatikan wanita yang sibuk sendiri itu. Angin laut menyibak masing-masing pakaian serta rambut, berdiri lebih lama lagi di pelabuhan ini, Renja rasa ia akan terbawa angin. Lantas Renja melirik Zainal, pria itu diam-diam menikmati usaha istrinya. Mereka suami istri memang cocok. “Aku baik-baik saja, Dorie. Mungkin ini efek bergadang, aku tidak tidur semalaman.”Dorie sontak mendongak, melepaskan koper, berjalan cepat sehingga jaraknya hanya satu jengkal dari Renja. Telunjuknya naik satu. “Jangan bilang kau akan tidur lagi setelah naik kapal! Ayolah, Renja, apa liburan ini hanya diisi dengan tidur siangmu.”Renja menggenggam
Ini baru pertama kali Renja naik pesawat, gugup dan takut. Tangannya dingin, ia menggenggam tangan Darel erat saat pesawat lepas landas terdapat guncangan tak terhindarkan. Darel sabar menenangkannya, berempati pada Renja yang mengalami pusing sepanjang penerbangan hingga pendaratan. Darel harus menggendongnya saat mereka turun, sebab wajah Renja begitu pucat tanda ia tidak berdaya. “Apa Renja baik-baik saja?” Dorie ikut khawatir, ia menyaksikan sendiri bagaimana Darel merawat istrinya tadi. “Dia akan baik-baik saja setelah bangun tidur,” jawab Darel, sembari ia mengelus punggung Renja yang digendong menghadap depan seperti anak kecil dengan menggunakan satu tangan saja—tubuh kecil Renja memudahkan Darel—sementara tangan lainnya memegang sebuah koper. Zainal, suaminya Dorie, memperhatikan bagaimana repotnya Darel. Ia takjub akan kasih sayang pria itu terhadap istrinya. Sudah sering ia berpapasan saat melewati rumah Darel, namun baru kali ini melihatnya begitu dekat. “Koper kalian