Regina baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di kampus. Namun, kelelahannya tak menjadikannya bermalas-malasan. Justru ia harus segera merawat rambutnya yang kusut. Regina berdiri di depan cermin kamar mandi, tetesan air masih terasa di kulitnya. Warna senja yang mulai meredup memancarkan sinar lembut ke dalam kamar mandi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Dia membiarkan handuk putih lembut melilit rambutnya yang basah, meresapi sensasi hangat setelah selesai keramas. Dalam kesendirian itu, Regina merasa seolah-olah kamar mandi menjadi tempat perlindungan dari segala masalah yang terjadi di luar sana. Tetesan air yang menetes dari rambutnya menciptakan melodi lembut yang seolah-olah membawanya ke dunia yang jauh dari keriuhan dan drama kampus. Ponselnya yang ditaruh di samping wastafel, tanpa disadari bergetar seiring dengan notifikasi yang masuk. Namun, Regina masih asyik mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Dalam keheningan tersebut sambil mengeringka
Pagi ini keluarga Jensen menyantap hidangan sarapan. Ruangan itu terhias elegan, dengan kursi-kursi empuk dan meja panjang yang dihiasi penuh dengan hidangan lezat. Semuanya terlihat begitu sempurna, seolah-olah menciptakan semacam kebahagiaan yang bersifat rutin di keluarga ini. "Itu tolong airnya ditambah ya bik,""Baik nyonya,""Sama satu lagi, ambilin buah di kulkas ya bik,""Iya nya,"Jauh sekali dengan kebiasaan Morgan sehari-hari. Yang hanya mengandalkan mie instan sebagai menu utama dan abadi. Jangankan duduk di meja makan, kos-kosannya saja tidak muat diisi seperangkat tempat duduk. Justru Kasur yang seharusnya menjadi tempat tidur malah digunakan sebagai alas apapun. Alas pantat, misalnya. Prof. Robert Jensen, duduk di ujung meja dengan sikap yang tenang. Dengan setelan jas yang rapi, dia memberikan kesan otoritas. "Ada kelas pagi yah?""Nggak,""Kok tumben berangkat pagi,""Mau rapat bentar,"Sedangkan Regina, anak semata wayangnya, duduk di seberangnya. Pakaian dan pena
"Jadi selama ini atmnya ada di kalian?"Di depan ruko dua misterius itu menghadap Morgan. Merekalah bodyguard Arthur Collim yang berhasil dihubungi oleh Morgan. Sehingga mereka datang kesini itupun dengan penyamaran. "Benar tuan," sahut salah satu dari mereka. "KURANG AJAR! Jadi kalian yang narik uang itu," terlanjur naik pitam, Morgan menarik kerah baju pria itu hingga mendekat. "Demi Tuhan tuan, s-saya tidak pernah menyentuh apalagi mengecek isi atm tersebut," ujarnya ketakutan. "La terus siapa kalau bukan kamu," bentak Morgan. Geram dengan sikap bodyguardnya, Morgan sampai menghentakkan kaki melampiaskan amarahnya."Di rekening itu ada 4 triliun. Selama 24 jam hampir habis, ulah siapa kalau bukan ulah kalian!!!""Maaf lancang tuan muda. Beberapa hari ini tuan Arthur juga mengalami hal yang sama. Dana perusahaan juga menghilang. Jumlahnya tak sedikit tuan, hampir mendekati 2 triliun. Sedangkan rekening pak Arthur juga sepertinya dibajak oknum tak bertanggung jawab," ungkap seor
Dalam hening koridor kampus yang sepi, Prof. Gin memimpin dua mahasiswa yang berjalan dibelakangnya. Morgan dan Derren mengikutinya dengan irama langkah yang sama. Sesekali mereka saling melempar tatapan sinis. Jelas di wajah mereka tersirat amarah yang belum terbalaskan. Ketika tiba didepan pintu ruangan, Prof. Gin segera membuka pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Ruangan itu penuh dengan aroma buku serta pengharum ruangan yang khas. Rak-rak penuh dengan literatur teknologi dan dinding dipenuhi dengan sertifikat dan penghargaan. Prof. Gin duduk di meja kerjanya dengan santai, tetapi tatapannya tajam dan penuh otoritas. Morgan dan Derren berdiri di depan meja profesor itu, merasa seakan ditarik masuk ke dalam pusaran masalah yang lebih besar. "Silakan duduk," ucap Prof. Gin, suaranya yang tenang tidak mencerminkan kesabarannya. Kedua mahasiswa itu duduk di kursi yang tersedia. "Saya yakin kalian tahu mengapa kalian dipanggil ke sini," ujar Prof. Gin dengan nada naik turun
"Kalau kamu ingat, saya pernah memaksa kalian bertiga untuk segera melakukan observasi ditempat yang jauh bahkan tempat itu hanya rekayasa. You know? Orang dan bangunan disana berasa didalam kendali saya," ucap Prof Gin. Morgan menggertakkan giginya. Ingin rasanya ia segera keluar dari ruangan ini. Namun naasnya pria itu membuatnya penasaran akan rencana murahan yang telah dirancang. "Rencana pertama berhasil. Dengan membuat kalian bertiga betah disana. Kemudian serangan terakhir saya adalah mengirimkan anak buah untuk merusak project kalian. Dengan begitu fokus kalian teralihkan pada masalah tersebut. Itu artinya semakin mudah tim IT untuk menyabotase ponselmu. Dan ternyata semua dokumen ada disitu. Sama sepertimu yang selalu memunculkan gagasan ide terbaru tentang program. Saya juga sering meluncurkan aplikasi hacker sekali klik, bisa mengakses seluruh informasi," sambung Prof Gin. 'Kurang ajar!! Jadi selama ini---' Morgan hanya bisa membatin. Sementara kedua tangannya mengepal.
"Woi, Morgan si tukang ojek ngapain kuliah. Udah sana lanjut ngojek!!" Sebuah suara dari belakang menyentak Morgan yang masih duduk di kursi motornya. Sebuah mobil mewah berjalan melewatinya.“Udahlah, kamu itu percuma kuliah Morgan. Ujung-ujungnya ya ngojek lagi pekerjaanmu, hahaha!”Pengemudi yang duduk di belakang membuka jendela mobil ikut menertawai kondisi Morgan. Hingga bersahut-sahutan melontarkan kalimat yang tak pantas untuk didengar.Itu adalah Derren, anak dekan yang sangat sombong dan selalu merasa sebagai penguasa di kampus itu.Tak ingin membuang tenaganya untuk menanggapi mereka, Morgan memilih diam dan tetap fokus mengemudi. Andai ada jalan lain, mungkin saat ini ia akan memilih jalan itu untuk menghindari mereka yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menghinanya.“Hahaha! Sampai ketemu di kampus, Pecundang!”Sesampainya di kampus, Morgan menghentikan kendaraannya, di antara deretan sepeda motor lainnya di parkiran kampus. Usai mematikan mesin motornya, pria be
Morgan mengernyitkan dahi melihat pakaian yang mereka kenakan.Kedua orang itu dibungkus jaket hitam, celana hitam, dan topi hitam, tampil dengan gaya yang begitu stylish. Meskipun wajah mereka sebagian tertutup oleh topi, Morgan merasa tidak asing melihat mereka. Dua pria pria itu tampak terkejut dengan reaksi Morgan. Mereka saling menatap. "Emang kalian siapa? Orang nggak kenal," maki Morgan."Tapi kami mengenal anda. Kami yakin dari motor anda. Bukankah motor ini diberikan oleh tuan Arthur Collim kepada anda, cucu kesayangannya," Morgan mengamati motor miliknya dengan seksama. Hal yang sama juga dilakukan dua pria itu. "Enak aja! Ini motor belinya pakai uangku sendiri," elak Morgan. "Tapi kami yakin anda adalah cucu Tuan Arthur Collim, terlihat jelas dari tanda lahir di telapak tanga anda,"tegas pria itu.'Sialan! Jadi selama ini mereka ngikutin aku,' batin Morgan sambil menggengam telapak tangannya untuk menutupi tanda lahirnya."Kami diberi tugas untuk mencari anda dan memba
Ting~ Sebuah pesan masuk dari rekannya yang bernama Dion dari jurusan Elektro. [Lagi di taman nih. Join sini, aku tungguin] Begitu membaca pesan itu dari panel notifikasinya, Morgan pun segera membalasnya. [Otw] Usai mengirim pesan tersebut Morgan segera memakai helmnya. Rekannya satu ini menjadi harapan terakhir Morgan dalam mencari pinjaman uang.Rekannya itu merupakan ahli kelistrikan yang sering menangani projek desain listrik rumah maupun perusahaan. Karena itulah Morgan tak ragu meminjam uang padanya. Dari segi keakraban dan juga finansial, temannya itu membawa harapan besar bagi Morgan. Melihat Dion, Morgan segera mendekat ke arahnya. Namun, ia menyadari kalau disana ada gengnya Derren. Si anak Dekan yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejeknya. Alih-alih meninggalkan tempat itu karena malas menghadapi geng tersebut, Derren justru memanggilnya. "Eh bro! Mau kemana, buru-buru amat," ucap Derren. Hingga akhirnya Morgan pun berbalik badan menghadap mereka. Kin