Aroma khas mie sedaap membangkitkan selera pria yang menghabiskan malamnya didepan laptop. Sesekali pria itu membagi pikirannya untuk mengingat algoritma serta menikmati kuah mie sedaap yang sangat cocok dengan hawa sejuk gerimis yang melanda kota Jakarta. Ya, biarpun memiliki rekening yang jumlahnya tak patut disebut sedikit, rupanya tak mengubah kebiasaan sederhananya. Selama ini secara tak sadar Morgan telah menikmati hidupnya menjadi anak kost. Hingga akhirnya ia terbiasa dengan hal sederhana yang menciptakan kebahagiaan tersendiri. "Lewat jam 12 tugas harus dikumpulkan. Kalau tidak jangan harap lulus matkul saya,"Bila mengingat ocehan dosen satu ini, muncullah beberapa ide untuk membuat professsor berinisial J itu naik darah. Bukankah sangat menyenangkan berdebat dengan pak Jensen? Baru saja Morgan menekan tombol Send pada sebuah situs google form. Dimana jam laptopnya menunjukkan pukul 23.58. "Ini! baru namanya tepat waktu," ucapnya sambil memetikkan jarinya. Beribu alasa
"Please! give me a chance to win," Seorang wanita berambut panjang duduk sambil memeluk lututnya. Morgan tak berani mendekat begitu tangisan wanita itu semakin menjadi-jadi. Dari iringan ia melihat sorot kedua mata sipit yang sembab. Bekas kacamata membekas disekeliling area bawah mata. Tampak beberapa kertas desain poster dan juga tulisan tangan yang memang dibuat dengan penuh kesungguhan. "Ya allah please, I have to win," ujarnya lagi.Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan apa yang diucapkan wanita itu. "Regina.. apaan sih, ngapain juga dia nangis disini," batin Morgan. Membayangkan kesempurnaan nasib menjadi anak professor Robert membuatnya lupa bahwa wanita itu memiliki segudang beban yang tidak diketahui banyak orang. Hal yang membuat Morgan tersentuh hatinya adalah melihat dan mendengar secara langsung isak tangis seorang perempuan. Itu membuatnya tersiksa. Lantas ia mendekati wanita itu lalu duduk disampingnya. Ia memberanikan diri untuk menyentuh pundak wanit
"Bodoamat mau dikasih nilai Z, nggak ngaruh," ujar Morgan. Terlanjur kesal, Morgan memilih kembali ke kost untuk melanjutkan rutinitas utamanya. Apalagi kalau bukan tidur. Tapi biarpun begitu, angan-angan tidak lulus mata kuliah yang diampu oleh Prof. Robert terus menghantui pikirannya. Meskipun begitu, jiwa bar-barnya menjadi ciri khas seorang tukang ojek yang ternyata cucu konglomerat. "Besok lagi kalau ada orang mau bunuh diri nggak usah disamperin aja deh. Bikin repot aja," gerutunya sambil memakai helm. Tangan kanannya bersiap menekan stater motor. "Morgan! Morgan! Tunggu..," Suara yang tak asing di telinganya itu berhasil mengurungkan niatnya untuk pulang. "Regina," ucapnya begitu kedua matanya melihat seorang wanita berlari menghampirinya. Ia memutuskan untuk melepas helm, dan turun dari motornya. "Morgan! Kamu---" Regina berhenti tepat dihadapan Morgan. Itupun dengan keadaan nafasnya terengah-engah. Seperti habis marathon mengelilingi fakultas teknik."Atur nafas dulu
06.30~Pagi ini untuk pertama kalinya mahasiswa tersantuy seperti Morgan tiba di kampus. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, sekalipun hari ini tidak ada jadwalnya Prof. Robert. "Gabut banget hidupku sekarang. Ngojek enggak, kaya iya," ucapnya sambil berlalu melewati taman kampus. Keinginannya untuk ngojek bukan semata mencari uang. Melainkan sebagai satu-satunya cara untuk menikmati hidup sederhana dan menemukan secercah kebahagiaan baru yang mungkin tak bisa didapatkan dengan uang. "Kalau gini caranya, bisa mati bunuh diri gara-gara stres jadi cucunya Arthur Collim. Kayaknya nasibku sama anaknya Prof. Robert hampir sama deh. Ah sialan," gerutunya. Biarpun begitu tak terasa langkahnya mendekati tangga lantai dua. Dimana sebentar lagi ia tiba di ruang kelasnya. "Weiii kang ojek nongol juga akhirnya. Kemana aja kemarin," Lagi dan lagi ia dihadang oleh sekelompok geng resek itu. "Yaelah pasti ngojek lah. Kayaknya banyak orderan ya bro!" sahut yang lain sambil sok asyik mera
Bukan Morgan namanya kalau baterai ponselnya full. Ia datang ke kantin dan memilih meja yang ada stopkontak. Dengan begitu ponselnya yang tak jadul-jadul amat bisa dinyalakan."Mau pesen apa mas?" tanya seorang wanita. "Es teh aja," Baru saja wanita itu meletakkan daftar menu diatas meja, si Pelanggan tanpa pikir panjang langsung memesan menu. Pelanggannya kali ini memang sedikit menyebalkan. "Baik, ada lagi mas?""Nggak," "Baik, tunggu sebentar ya mas," Usai wanita itu pergi, Morgan mengeluarkan dompet tipuannya dimana hanya ada 5000 rupiah. "Duh, es tehnya tadi berapa ya. Auto jual ginjal kalau uangku kurang," ujarnya mendadak panik. Masa bodo dengan uang yang dia bawa, justru notifikasi telpon dari seseorang membangkitkan hasrat tangannya untuk memegang benda pipih tersebut. Tertera jelas deretan nomer tanpa nama. Yang benar saja, beberapa hari ini ia sering mendapat panggilan dari nomer tak dikenal. Seperti dikejar pinjol saja. "Hallo," ujarnya sambil mendekatkan ponselnya
"Berapa mas?"Melihat sosok wanita yang baru saja turun dari motor sambil menggendong buah hatinya yang sangat gemoy, kemudian sosok itu dengan tergesa-gesa membuka dompet hanya demi mengeluarkan uang. "Seikhlasnya aja buk," sahut Morgan sembari membenarkan spion. "Lah, kok gitu," keluh penumpangnya. "Saya ngojek buat ngisi waktu luang. Saya seneng kok bisa nganterin orang, dan juga bisa bantuin orang. Termasuk ibuk. Selagi masih bisa bantuin orang," jelas Morgan. "Mantep mas! Jarang-jarang ada anak muda berpikiran kesitu. Udah ganteng, baik pula," puji penumpangnya sembari menyodorkan uang yang telah dilipat pada Morgan. "Ibuk bisa aja," Morgan menundukkan kepalanya. Begitu penumpangnya pergi, dibukalah lipatan uang dari penumpangnya tadi yang ternyata hanya selembar 2000-an. Morgan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Bukan masalah seberapa ikhlas ibu tadi memberikan ongkos. Melainkan seberapa besar niatnya hari ini untuk ngojek mengobati rasa rindunya di jalan. "Nikmat
"Besok lagi, jangan nerima penumpang pakek masker," ujar Morgan.Begitu tiba di lampu merah yang jaraknya tak jauh dari kampus, Morgan menghentikan motornya. Terlebih lagi, ia tak berhenti mengomel sepanjang jalan gara-gara aksi kakeknya tadi.Begitu lampu hijau menyala, Morgan melaju di jalanan dengan sepeda motornya, rambutnya terombang-ambing oleh angin. Di dunia luar, ia adalah ojek dengan jaket usang dan helm lawas. Tetapi, di dalam hatinya, Morgan tahu bahwa gelar mahal dan kekayaan keluarganya tidak selalu membuatnya bahagia.Ponsel Morgan bergetar di dalam saku jaketnya yang serba simpel. Ia menarik ponselnya dan melihat pesan dari Kakeknya.[Ke kampus sekarang atau kakek sebarkan fotomu, biar semua orang tau siapa kamu sebenarnya]Deg!Jantungnya nyaris berhenti berdetak setelah membaca pesan tersebut. "Buset dah, aki-aki ini nekat banget," ucapnya sambil menggelengkan kepala. "Ahhhh, malas kali ikut seminar. Apalagi yang ngisi kakek," gerutunya menciptakan rasa malas di dal
Keriuhan menyebar diantara para peserta seminar ketika layar proyektor tiba-tiba mati. Sementara suara kakek Morgan terputus, meninggalkan suasana sunyi yang tidak nyaman.Morgan, yang sebelumnya hampir terlena oleh kejutan kehadiran Regina, kini sepenuhnya sadar dan duduk dengan tegang. Menatapnya wajah bingung semua orang, menciptakan suasana yang mirip dengan listrik mati di tengah pertunjukan.Regina mengangkat bahunya dengan santai, seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. “Kayaknya wifi-nya lemot lagi,” katanya sambil tersenyum kepada Morgan.Meski suasana tegang, Morgan tak bisa menahan tawa kecilnya. Rupanya kejadian ini berhasil meruntuhkan sekat-sekat ketidakpedulian Morgan, dan ia menyadari bahwa di balik pesona Regina, gadis itu membawa keceriaan dan ketenangan di saat-saat genting.Sementara itu, di panggung, kakek Morgan tampak agak kesulitan. Mikrofonnya terputus, dan dengan suara yang terdengar dari belakang panggung, ia mencoba memberikan isyarat pada panitia