Share

Bab 6

Author: Rarha Ira
last update Last Updated: 2024-10-04 21:21:49

Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar.

"Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.

"Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja.

"Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya.

"Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu.

"Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu."

"Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal.

"Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin.

Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah, tapi ... tak bisa kupungkiri bahwa rasa nyaman ini sudah merasuk ke dalam pikiran.

Renal Setiawan, pria yang kukenal beberapa bulan yang lalu itu mampu menarik seluruh perhatianku, bahkan dari suamiku sendiri.

Awal perkenalan yang tak disengaja itu membawa kami pada rasa yang salah. Yaitu rasa suka yang tak seharusnya ada. Ungkapan perasaan yang diucapkan olehnya, mampu menggoyahkan kesetiaan yang sudah kupupuk selama bertahun-tahun. Namun, semua itu tak lepas dari perilaku suami yang semena-mena dan selalu menghinaku setiap saat.

Ya, memiliki suami dengan sifat ingin menang sendiri lah yang akhirnya membuatku sedikit berpaling. Caci makinya yang selalu terdengar membuatku merasa nyaman berbincang dengan Bang Renal yang menurutku penyayang dan perhatian. Walaupun suka sama suka, tapi kami berbincang dan berkirim pesan masih dalam batas wajar.

'Dalam batas wajar bagaimana jika nyatanya kalian suka sama suka?' Pertanyaan itu sering kali muncul dalam benakku. Jujur, aku tak mampu menjawabnya, tapi tak mampu juga tuk menyangkalnya.

Berkali-kali mencoba tuk menjauh darinya, tapi nyatanya perhatian kecil itu mampu mengalihkan seluruh perhatianku.

[Gimana, sih, caranya bikin perempuan yang ngambek itu kembali ceria?] tanyanya kala itu.

[Tergantung perempuannya lah. Soalnya nggak semua perempuan itu sama. Ada yang minta didiemin dulu, ada yang pengen langsung di bujuk. Ada yang maunya di peluk dulu,] balasku menjelaskan padanya, [emang kenapa? Lagi merajuk, ya, ayangnya?]

[Iya, nih. Eh, bukan ayang maksudnya, tapi orang yang aku suka.]

[Widih. Siapa, tuh? Spill, dong, ayangnya!]

[Jangan, nanti kamu stalking lagi.]

[Lah, iya, dong! Sudah pasti itu,] balasku dengan emoticon tertawa.

[Enggak perlu, nanti kamu bakal tahu sendiri, kok.] balasnya dengan emoticon batu.

[Gimana bisa tahu kalau nggak di-spill.] Tak lupa aku membubuhi akhir pesan itu dengan emot cemberut.

[Dia satu grup chat dengan kita.]

[Grup yang mana? Kita ada banyak grup, loh, yang sama!]

[Grup anime.]

[Apakah Kak Nadia? Soalnya Abang semangat banget berbalas pesan sama dia.]

[Salah! Silakan coba lagi!]

[Dih, nggak mau ngasih tahu, yaudah!] balasku dengan emoticon manyun.

[Kalau kamu pas ngambek, biasanya pakai cara apa ngebujuknya?] tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.

[Kalau aku, ya, sukanya di peluk kalau lagi dekat, tapi kalau lagi berjauhan minimal di rayu gitu.]

[Yaudah, Abang pakai cara ini. Adriana cantik, Adriana manis, jangan ngambek lagi, ya!]

[Tunggu-tunggu. Ini maksudnya gimana? Kok, aku nge-lag, ya? Atau jangan-jangan ... Orang yang Abang suka itu adalah aku? Duh, kamu kepedean sekali, sih, Adriana!] Aku yang sedikit paham hanya bisa menerka. Tak lupa membubuhi akhir pesan dengan emoticon tertawa.

[Kalau memang iya, gimana?]

[Duh, ternyata pesona istri orang itu benar-benar memikat, ya?] Lagi-lagi aku mengakhiri pesan itu dengan emoticon tertawa sebelum mengirimkannya pada pria itu.

"Iya kah? Kok, Abang nggak percaya, ya?" tanya pria diseberang sana membuyarkan lamunanku pada pesan-pesan itu.

"Yaudah kalau nggak percaya, aku ngambek!" ucapku dengan bibir yang cemberut. Aku yakin pria itu tak akan tahu kalau saat ini bibirku tengah manyun beberapa centi ke depan.

"Duh, si cantik lagi ngambek. Enaknya diapain, ya?" Seketika aku tertawa mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, ia selalu memuji dengan kata-kata yang indah, tidak seperti Mas Denny yang selalu mengucapkan cacian setiap kali ada di dekatku.

"Enaknya dihalalin. Eh,"

"Dasar istri orang!" ucapnya membuatku tertawa mendengarnya.

"Eh, BTW, Abang kemana aja? Kok, nggak ada ngabarin sedikitpun? Bahkan nomornya juga nggak aktif." Aku langsung memberondong pria itu dengan banyak pertanyaan. Berharap ia akan menjelaskan.

"Belakangan Abang lagi banyak kerjaan, Di. Jadi nggak bisa bebas main hp kayak biasanya."

"Ooh, gitu. Yaudah, kalau Abang sibuk, nggak balas chat aku juga nggak apa, kok."

"Duh, istri siapa, sih, ini pengertian banget."

"Istri siapa, ya?" tanyaku berpura-pura.

"Ya, istrinya suami kamu lah." Terdengar jelas dari suaranya bahwa pria itu saat ini sedang merasa bete.

Kami lanjut berbincang santai siang ini. Tak lupa kuceritakan juga perihal keadaanku saat ini dan juga penyebabnya.

"Awas saja, kalau sampai ketemu sama tuh orang, pasti aku hajar habis-habisan!" ucapnya penuh emosi.

Aku diam tak menjawab ucapannya. Apa yang akan aku ucapkan? Sedangkan kami tak memiliki hubungan apapun. Ya, hanya cinta semu yang tumbuh di dalam hati.

“Bang,” panggilku setelah beberapa saat kami saling diam.

“Iya.”

“Hmm,”

“Kenapa, Dek?”

“Abang bisa, nggak, sehari itu ngabarin seenggaknya sekali? Soalnya …”

“Soalnya kenapa?”

“Rain (du),” ucapku malu-malu. Rain (du) adalah kata-kata ketika aku mengucapkan kata rindu.

“Gimana, ya, Abang usahain, tapi nggak bisa janji,” ucapnya mematahkan semangatku.

“Yaaaah.” Aku mengeluh sebab jawabannya tak sesuai dengan harapanku.

“Di, boleh Abang tanya sesuatu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Boleh. Mau nanya apa?”

“Kenapa kamu minta Abang kabarin kamu tiap hari? Padahal, kan, Abang bukan siapa-siapa kamu.” Ah, pertanyaan itu sebenarnya aku juga tak bisa menjawabnya.

“Kala hati menjadi risau, bayang wajahmu datang menghantui. Perasaan ini, aku pun tak tahu dari mana datangnya. Hati, mengapa engkau membagi hati yang ada di dada? Mengapa kau memberi harap kepada dia yang tak bisa kau miliki? Entahlah, aku pun tak tahu apa yang terjadi. Aku sadar, bahwa aku ini hanyalah pengagum yang tak tahu diri.” Kata-kata itu terucap begitu saja oleh bibirku, bahkan tanpa berpikir terlebih dahulu.

“Duh, kata-katanya menyentuh sekali.”

“Refleks aja ngucapinnya. Mungkin, karena sesuai isi hati kali, ya?”

“Kenapa kamu bisa suka sama Abang, Dek? Padahal, kan, Abang orangnya biasa aja.”

“Perasaan itu datang sendiri, Bang. Nggak diinginkan, tapi dia datang tanpandi undang. Lagi pula, aku orangnya juga jelek, kok.”

“Padahal Abang berharap dibilang tampan.” Mendengar ucapannya, refleks aku tertawa. Terdengar suara cengengesan dari seberang sana.

“Mau bilang gitu, tapi … takut.”

“Takut kenapa? Ya kali dibilang tampan langsung gigit.”

“Takut dijadikan istri.” Aku tertawa setelah mengatakannya.

“Emangnya nggak mau?” tanyanya seolah sedang melamar pujaan hatinya. Duileh, percaya diri bener lu, Adriana.

“Keknya lebih ke nggak mungkin, deh, tapi nggak tahu juga gimana kedepannya, kan?”

“Iya. Semoga pernikahan kamu langgeng, ya?!”

“Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Bang. Semoga Abang juga cepet dipertemukan sama jodohnya, bahagia dunia dan akhirat.”

“Aamiin,” ucapnya mengamini doaku, “Dek, udah dulu, ya, Abang mau lanjut kerja lagi, soalnya jam istirahat udah habis.”

“Lah, iya. Nggak terasa ternyata, ya, kita ngobrolnya udah lama.”

“Ngobrol sama kamu memang bikin lupa waktu. Soalnya suka bikin nyaman gitu.” Seketika aku tersenyum mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, dia selalu saja memujiku begitu.

Pipiku terasa memanas, mungkin jika diperhatikan, kini pipiku sudah berubah warna menjadi warna merah. “Duh, aku jadi tersepona.”

“Di, Abang pamit dulu, ya! Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawabku. Panggilan pun terputus.

Selang beberapa menit setelah panggilan terputus, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku.

‘Mungkin itu Ibu,’ gumamku dalam hati.

“Iya, masuk!” ucapku mempersilakan orang itu.

Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….

***

Bersambung.

"Jika memang ditakdirkan untuk bersama, bagaimanapun keadaannya pasti akan bersua juga. Jika tidak sekarang, maka Sang Maha Kuasa akan mempertemukan kita dengan versi terbaik kita." ✨

_Renal Setiawan

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Malam Yang Mencekam

    Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria bernama Jafar

    Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mulai terungkap

    Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status