Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….
“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju ke sisi ranjang yang lain. “Kenapa kamu panggil dia, Di? Mau kamu jadikan dia sebagai obat nyamuk?” tanya Mas Denny sombong. “Bukan dia yang akan jadi obat nyamuk, tapi kamu, Mas!” ucapku sinis pada pria yang masih berstatus suami bagiku. “Apa maksud kamu, Di?” tanya Mas Denny mulai terpancing emosinya. Aku menggamit tangan Bang Sandi erat dan berkata, “ya, sesuai yang kamu pikirkan, Mas. Setelah masa iddahku selesai, Aku dan Bang Sandi akan melangsungkan pernikahan. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot lagi memikirkan siapa yang akan mengurus diriku!” “Kurang ajar!” ucap Mas Denny menghampiri Bang Sandi dengan raut wajah yang begitu memerah karena amarah. Aku tahu, pasti dia berniat ingin memukul Bang Sandi. Dan, sebelum itu semua terjadi, aku menarik tangannya dan berusaha mencegahnya. “Berhenti! Sekali saja Bang Sandi merasakan sakit karena ulahmu, aku akan langsung memanggil satpam dan seumur hidupku takkan mau lagi mengenalmu!” Ternyata ancamanku itu berhasil. Mas Denny berhenti dan mundur mengurungkan niatnya. Aku tahu bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku, tapi sifat patuhnya pada ibu yang tak pernah menganggapku sebagai menantunya lah yang membuatku merasa muak mencintainya. “Di, kamu nggak serius, kan, ngomong seperti tadi? Kamu mau, kan, maafin aku dan kasih kesempatan lagi?” tanyanya menggenggam tangan kananku. Aku melepaskan gamitan tanganku pada Bang Sandi dan membalas genggaman tangan Mas Denny. Terlihat raut wajah Bang Sandi yang … entahlah. Aku tak bisa menggambarkannya. Tak lama setelah itu, aku pun melepaskan genggaman tangan Mas Denny pada kedua tanganku. “Aku sudah memaafkanmu, Mas, tapi untuk kembali …,” jedaku, “maaf, aku nggak bisa.” “Tapi kenapa, Di? Bukankah kamu mencintaiku? Begitu juga denganku, aku juga sangat mencintaimu, Di!” “Aku udah pernah kasih kamu kesempatan, Mas, tapi kamu tetap mengulangi kesalahan itu. Bahkan, semua bertambah parah setiap harinya. Sekarang, aku tak mau menentang titah Bapak lagi. Karena aku pernah menentangnya dan akhirnya mendapat kesialan karena memaksa ingin menikah denganmu!” ucapku panjang lebar. “Di, aku mohon kasih aku kesempatan, sekali saja. Aku janji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Pliss, Di!” Pria itu sampai berlutut memohon padaku, tapi keputusanku sudah bulat. “Bang Sandi, boleh aku minta tolong?” Aku menoleh ke arah pria yang sejak tadi diam menyaksikan perdebatan diantara kami, iya masih saja setia menemaniku di sini. “Tentu. Minta tolong apa, Dik?” “Tolong usir pria ini dari sini! Atau perlu panggilkan sat—” “Tidak perlu! Saya bisa keluar sendiri!” ucapnya melihat ke arahku dengan pandangan yang … entahlah. “ Dan untuk kamu, Di, sudah cukup kamu ngerendahin aku. Oke! Aku akan terima permintaan perceraian kamu dan orang tuamu, tapi ingat satu hal! Jangan pernah mencari ataupun menuntut atas apapun itu. Sekalipun jika kamu tengah mengandung anakku!” “Tentu saja, Mas. Setelah semua ini, aku bahkan tak pernah berharap bertemu denganmu lagi!” “Dasar wanita sombong!” Pria itu melangkah menuju keluar dan menghilang dari balik pintu itu. Sedangkan Bang Sandi masih setia berdiri dan menemaniku hingga saat pria itu menghilang. “ Maaf, ya, aku udah libatin Abang dalam masalahku?!” ucapku padanya. “Tak apa. Hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu. Insya Allah aku akan segera datang,” ucapnya dengan tulus. “Ah, iya. Ngomong-ngomong, kita belum saling save nomor telepon, ya? Gimana aku mau menghubungi kalau nggak punya kontak Abang?” Aku cengengesan ketika mengatakannya. Sebenarnya malu, tapi apa boleh buat, semua sudah terucap. “Betul. Coba sebutkan nomor telepon kamu, biar aku save di handphone-ku.” Akupun menyebutkan nomor telepon yang dimintanya. Tak lama kemudian ada panggilan dari Bang Renal, tapi hanya beberapa detik saja hingga panggilan diakhiri begitu saja. ‘Ah, mungkin kepencet,’ bisikku dalam hati. “Nomor aku yang ujungnya 2002, ya, Diana.” Ucapan Bang Sandi membuyarkan lamunanku. Kembali mengecek ponsel dan menyadari ada satu panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Astaga, saking seriusnya aku memikirkan Bang Renal sampai tak menyadari adanya panggilan masuk dari Bang Sandi. “Oke. Aku save, ya, Bang.” Pria itu mengangguk tanda setuju. Aku pun mempersilakannya untuk duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangku. Hening, tak ada obrolan diantara kami hingga beberapa saat. Hingga akhirnya aku berkata, “Abang Sulawesi dimananya? Terus, ngajar jurusan apa?” “Sulawesi Barat. Aku ngajar di fakultas keguruan jurusan matematika.” “Wah, keren. Matematika adalah pelajaran kesukaan aku. Oh, iya, kalau misalnya nanti aku jadi lanjut kuliah, boleh, dong, hubungi Abang kalau ada kesulitan?” “Tentu saja boleh.” Pria itu tersenyum padaku. Senyumnya manis sekali, tatapannya yang teduh, hangat, sungguh menghanyutkan siapapun yang memandang. Aku yakin, pasti banyak wanita yang tengah mengejarnya. Apalagi mahasiswi di kampusnya. “Kenapa tidak di kampus aku ngajar saja kuliahnya? Kan, nanti lebih gampang konsultasinya.” “Wah, ide bagus, tuh!” ucap seseorang yang tiba-tiba saja ke ruangan ini. “Bapak!” ucapku malu, “nggak enak, dong, kalau sampai ngerepotin Bang Sandi.” “Nggak ngerepotin, kok. Aku malah senang kalau kamu beneran mau,” ucap Bang Sandi cepat, “kan, bisa ketemu tiap hari. Jadi, kalau kangen tinggal lihat kamu dari jauh.” Apa yang dikatakannya tadi? Kangen? Sama aku? Ini aku yang salah dengar, atau dia yang salah bicara, sih? Ngaco! “Gimana menurut kamu, Nak?” tanya Bapak padaku. “Aku nurut gimana baiknya aja, Pak.” “Yasudah, nanti kita minta tolong Sandi daftarin kamu di sana. Sandi, kamu mau, kan, nolongin Bapak?” tanya Bapak menghadap ke arah pria yang baru aku kenal hari ini. “Tentu saja, Pak. Dengan senang hati akan saya lakukan.” “Terima kasih banyak, Nak. Dengan begitu, Bapak akan lebih tenang melepaskan Adriana untuk pergi ke sana. Karena Bapak yakin kamu akan menjaganya dengan baik.” Bapak menepuk pelan pundak Bang Sandi. Terlihat jelas cinta pertamaku itu begitu percaya padanya. “Yasudah, kalian lanjutkan ngobrolnya. Bapak mau temui dokter dulu. Semoga saja besok kamu sudah boleh pulang.” Bapak mengelus puncak kepalaku pelan, kemudian meninggalkan kami lagi. “Ehm, Bang. Maaf, ya, aku ngerepotin lagi,” ucapku sedikit canggung padanya. “It’s oke. Malah aku seneng, kok, kalau kamu beneran kuliah di sana.” “Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, ma–maksudnya … sebenarnya aku ….” *** Bersambung.Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit
Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,
Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da
--- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar