"Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran.
"Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu." Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya? "Apa maksud Ibu?" "Mksud Ibu—" Tok tok tok. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan. "Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang. "Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu. "Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim. "Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. "Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena prestasinya, loh. Hanya sedikit mahasiswa yang tidak lulus jika dia yang mengajar. Dia rela datang jauh-jauh dari Sulawesi demi bisa menjenguk kamu. Sandi, kenalin, ini Adriana. Putri sulung Ibu," ucap Ibu memperkenalkan kami. "Hai. Salam kenal." Pria itu mengulurkan tangannya. "Salam kenal juga," ucapku menyambut uluran tangan itu. Tak selang berapa lama, aku menarik tanganku yang digenggamnya dengan erat. "Mmm, Nak Sandi, ibu tinggal keluar dulu, ya, mau cari makanan. Kamu ngobrol aja dulu sama Diana. Oke?" "Baik, Bu. Terima kasih." Ibu mengangguk, mengelus puncak kepalaku dan kemudian melangkah keluar dari ruangan ini. "Ah, iya, aku punya sesuatu buat kamu," ucapnya menghilangkan kecanggungan diantara kami. Merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya dan menyerahkannya padaku. "Apa ini?" Aku menerima kotak itu dan membukanya perlahan. "Wah, cantik sekali gelangnya. Ini kamu sendiri yang buat?" "Bukan. Itu buatan ibu aku. Waktu aku bilang mau datang ke sini buat jenguk kamu, ibu langsung membuat ini dan selesai hanya dalam waktu semalam." "Semalam?! Ini susah, loh, buat desainnya. Aku pernah coba, tapi gagal terus. Jadi pengen, deh, diajarin bikin sama ibu kamu." "Boleh. Nanti kalau udah sehat, berkunjunglah ke Sulawesi, nanti aku minta ibu buat ajarin kamu." "Insya Allah. Semoga kita semua masih diberi umur panjang." "Aamiin." "Ngomong-ngomong, kamu anak tunggal, kah?" tanyanya setelah beberapa saat kami terdiam. "Kenapa memangnya?" Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan pula. "Ah, enggak. Cuma mau tahu aja. Soalnya kelihatan banget orang tua kamu begitu menyayangimu." "Aku anak pertama sekaligus putri satu-satunya dari dua orang bersaudara. Adikku saat ini tengah menuntut ilmu di salah satu universitas yang ada di Riau ini dengan jurusan pertanian." "Wah, keren. Nggak banyak, loh, anak muda zaman sekarang yang mau masuk jurusan pertanian. Ah, iya, udah masuk semester berapa?" tanyanya kemudian. "Baru masuk semester dua." "Ooh, begitu. Kalau kamu? Ada niatan, kah, mau melanjutkan pendidikan lagi?" tanyanya memandangku dalam sekali, tapi ... bagaimana dia bisa tahu tentang pendidikanku yang sempat terhenti? "Bapak yang cerita," jawabnya cepat seolah paham dengan pikiranku. "Aku tergantung bagaimana keputusan Bapak nanti. Kalau Bapak minta aku untuk melanjutkan, maka akan aku patuhi perintahnya." "Begitu. Baiklah, semoga apapun keputusan kamu, yang terbaik pula buat kamu." "Aamiin." "Bapak nggak bisa ngelarang aku! Karena dia itu masih sah jadi istriku!" Aku dan Sandi terkejut mendengar suara ribut-ribut di luar. "Untuk saat ini, iya, tapi beberapa hari lagi kamu akan menjadi mantan bagi Diana!" Itu ... itu suara Bapak. Aku bangkit dan mencoba untuk turun dari tempat tidur, tapi mendadak kepalaku terasa sakit sekali. "Jangan bangun dulu, kamu masih belum sehat," ucapnya membantuku kembali ke posisi semula. Duduk bersandar di atas tempat tidur. "Tapi ... itu ... itu suara Bapak, Bang." "Kamu tunggu di sini dulu, ya, biar aku yang periksa keluar." Pria itu melangkah keluar meninggalkanku. Cukup lama mereka berada di sana, tapi belum juga ada yang masuk sekedar menjelaskan apa yang terjadi. "Aku nggak bisa terus diam begini, aku harus cari tahu sendiri!" Dengan langkah yang tertatih akibat rasa sakit pasca operasi itu, aku melangkah menuju ke arah pintu. "Sudahlah, Denny. Kamu tak perlu repot-repot lagi datang ke sini buat ngerawat Adriana. Udah ada kami, orang tuanya, dan juga Sandi." "Ooh, jadi Bapak mau menjodohkan putri bapak yang masih berstatus istri bagi orang lain itu? Orang tua macam apa Anda ini?" tanya Mas Denny tak tahu sopan santun. "Denny?!" bentak Bapak pada pria itu. "Maaf, Bang. Saya tidak punya maksud seperti itu. Saya datang ke sini karena undangan dari kedua orang tua Adriana." "Saya tidak sedang berbicara dengan Anda, PE BI NOR!" ucap Mas Denny menekankan kata terakhir dari ucapannya. "Kurang aj*r! Pergi kamu dari sini sekarang juga! Atau saya panggilkan satpam buat mengusir kamu!" ancam Bapak padanya. "Kalau aku nggak mau, Bapak mau apa?" Lancang sekali Mas Denny bicara begitu pada Bapak? "Maaf, Bang, ada baiknya bicara dengan lembut kepada orang tua. Terlebih itu mertua Abang sen—" "Diam kamu!" Mas Denny memotong cepat sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya. "Aku nggak lagi bicara sama kamu!" "Selamat malam, Pak. Mohon jangan membuat keributan di rumah sakit! Sebaiknya kalian selesaikan masalah kalian di luar." Itu pasti satpam rumah sakit. Hingga akhirnya aku tak mendengar apapun lagi. Mungkin mereka pergi keluar sesuai perintah dari satpam itu. Ceklek. Suara pintu yang terbuka membuatku terkejut hingga hampir saja terjatuh. "Astaghfirullah." Aku mundur beberapa langkah dengan gerakan yang sempoyongan. "Adriana, kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Sandi berlari menghampiriku yang hampir terjatuh. Menuntunku untuk kembali ke tempat tidur dan membantu merebahkan tubuhku dengan sangat perlahan. "Aku tadi mau menemui Bapak, tapi ... di mana Bapak?" Ah, iya, aku tak melihat Bapak, padahal beliau lah yang aku nantikan sejak tadi. "Bapak sedang mengurus suami kamu di bawah. Dia bersikeras mau menemuimu, padahal bapak sudah melarangnya." "Tapi kenapa bapak melarang Mas Denny masuk?" tanyaku spontan. "Sejauh yang kudengar, katanya bapak mau menceraikan kalian." Aku mengangguk tak menjawab ucapannya dan memilih mengambil ponsel yang ada di atas meja sebelah tempat tidurku. Mengotak-atiknya sebentar mencari aplikasi chat bergambar ponsel. Memeriksanya kembali berharap mendapatkan pesan dari orang yang selalu aku tunggu-tunggu. Nihil. Tak satupun pesan darinya kuterima. Bahkan belum ada yang berubah sedikitpun. Pesan itu masih saja centang satu. "Apa dia memblokir nomorku, ya? Tapi kenapa? Perasaan aku nggak buat kesalahan apapun. Apa karena aku wanita bersuami? Duh, Bang Renal, bagaimana caraku menghubungimu? Sedangkan tak satu orangpun dari keluargamu yang aku kenal." gumamku lirih. Kulihat dari sudut mata, Sandi tengah asik membaca sebuah buku di sofa yang tak jauh dari tempat tidurku. Begitu fokus ia membaca sampai tak sadar bahwa aku tengah memperhatikannya. *** Bersambung. "Bukankah takdir itu unik? Takdir akan membuatmu terluka sebelum memberikan kebahagiaan yang mungkin akan kau terima. Namun, terkadang kita menyadari datangnya kebahagiaan itu." ✨ _Renal Setiawan.Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit
Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,
Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da
--- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar