Home / Rumah Tangga / Ditalak 3 Lewat Telepon / 5. Belum Siap Berjumpa

Share

5. Belum Siap Berjumpa

last update Last Updated: 2023-05-12 23:57:29

Atira berbelok menuju rumah sakit kota. Ia pun segera mencari tempat parkir dan segera turun menuju ruang ICU.

“Atira!” panggil bu RT yang melihat Atira meskipun dari kejauhan.

“Bu, masih di sini? Ini udah mau malem!” ucap Atira yang merasa tak enak hati sudah merepotkan bu RT.

“Enggak apa-apa. Habisnya kamu lama banget, mau ditinggal kasihan, daritadi bu Asih nangis terus.”

Atira membulatkan matanya saat mendengar kabar bahwa bu Asih menangis.

“Ibu nangis? Ibu sadar?” tanya Atira penuh harap.

Bu RT menggelengkan kepalanya. “Bu Asih cuma ngigo, sama kaya tadi waktu kamu masuk. Tadi, karena saya bilang saya keluarga, jadi dibolehin masuk. Saya ngaji dekat bu Asih, dia nangis. Kata dokter, itu respon yang cukup baik.” Atira mendengarkan tanpa menanggapi ucapan bu RT.

“Oya, tadi ada dokter. Katanya ada tindakan yang butuh persetujuan keluarga. Saya bilang harus rembukan dulu sama keluarga yang lain.”

“Tindakan apa, Bu?” tanya Atira yang kini mengalihkan atensinya untuk bu RT.

“Enggak ngerti pasti, maklum saya lulusan SMP, enggak ngerti. Nanti kamu temuin dokternya aja lagi. Kalau enggak salah, operasi atau apa gitu.” ucap bu RT.

“Ya, ini harus atas persetujuan mas Bayu.” Ucap Atira lirih.

“Ya sudah, kamu telepon Bayu aja!” titah bu RT.

“Sudah saya coba Bu, tapi enggak berhasil.” ucap Atira sambil bersender ke senderan kursi.

“Mamah!” panggil seorang lelaki paruh baya ke arah Atira dan bu RT.

“Eh, papah. Untung papah datang, kok enggak bisa dihubungi?” tanya bu RT kepada suaminya yang baru datang.

“Mamah kenapa enggak aktif sih? Enggak bisa dihubungi?” keluh pak RT.

“Ada juga papah yang enggak bisa dihubungi.” Keluh bu RT sambil mencebikkan bibirnya. “Danu enggak bisa dihubungi, Atira juga tadi enggak bisa dihubungi. Mana ibu enggak bawa dompet lagi.” Bu RT meluapkan emosinya kepada pak RT.

“Ibu telpon saya? Kok, enggak ada telpon dari ibu?”

Atira mengotak-atik ponselnya yang kini sudah lowbat. Ia mencoba mencari riwayat panggilan masuk dari bu RT.

“Mah, ini!” Danu yang baru datang segera menyerahkan bungkusan nasi padang kepada bu RT.

“Ya ampun Danu, bukannya dari tadi. Mamah udah mau pingsan karna lapar,” cerocos bu RT sambil membuka bungkusan dan membaginya satu untuk Atira.

“Maaf ya, Tira ngerepotin semuanya!” ucap Atira yang merasa tak enak hati.

“Eh, bukan begitu, Tira. Ibu Cuma sebel sama dua orang lelaki tak karuan ini, punya ponsel keren kok pada enggak bisa dihubungi.”

Bu RT berbicara dengan mulut penuh rendang. Ia makan seolah-olah baru menemukan makanan setelah sekian purnama.

“Mamah, coba lihat deh! Bukan ponsel Danu yang bermasalah, tapi kuota mamah yang enggak ada.” Danu memperlihatkan sisa kuota dari provider milik ibunya.

“Sudah ah, mamah lapar. Makan jangan bersuara!” ucap bu RT yang membuat mereka tergelak karena mengelak akan kesalahannya sendiri, kecuali Atira.

***

“Ah ya, lu langsung masuk aja! Bener, dari situ belok kiri paling ujung, udah kelihatan ICU.”

Danu meletakkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia kembali terduduk dan memandangi Atira, wanita yang sempat menjadi incarannya kala itu.

Atira sudah menceritakan perihal talaknya dan penyebab bu Asih terkena serangan jantung dan koma.

Bu RT merasa geram dan hilang respek terhadap Bayu, sedangkan pak RT hanya manggut-manggut berusaha menutupi kesedihan yang juga ia rasakan.

“Bayu sudah ada di lobby!” ucap Danu seraya menatap penuh rasa iba kepada Atira.

“Mamah mau pites dia!” ucap bu RT menggebu-gebu.

“Sudahlah, Bu. Ini rumah sakit.” Pak RT mengelus punggung bu RT, berharap istrinya tidak tersulut emosi.

“Lihat Tira, Pah! Davin entah dimana, bu Asih koma, sedangkan dia... “

“Bu...!” Danu dan pak RT menegur wanita paruh baya itu agar tak melanjutkan ucapannya.

Atira segera beranjak dari tempat duduknya.

“Tira, mau kemana?” tanya bu RT yang khawatir dengan kondisi mental perempuan muda itu.

“Aku harus mewaraskan pikiran dulu, Bu. Aku rasa tak perlu bertemu mas Bayu.”

“Tira, kamu harus hadapi dan jangan lari! Ada aku dan kedua orang tuaku yang masih dukung kamu!” ucap Danu seraya mensejajari langkah Atira.

“Aku perlu waras dulu, Dan. Sebelum aku memutuskan maju ke medan perang.” Mata Atira berkaca-kaca saat mengatakan itu semua.

“Tapi, izinkan aku menemani kamu ya!” ucap Danu yang tak dijawab oleh Atira. Ia terus melangkahkan kakinya ke arah parkiran motor. Ia pun segera menaiki kuda besi itu.

“Tira, malam-malam begini kamu mau kemana?” tanya Danu yang sangat khawatir dengan keadaan Atira.

“Tolong Dan, jangan cegah. Aku Cuma mau minta kabari kalau ada apa-apa dengan ibu.” Atira langsung menstarter motor bututnya. “Enggak usah khawatir, kamu ingat kan kalau dulu aku juara taekwondo?” kekeh Atira seraya menancap gas dan meninggalkan Danu yang masih setia melihat kepergian Atira. Lelaki itu kini tengah disibukkan lagi dengan kenangannya tentang Atira.

***

Atira menyusuri jalanan malam yang lengang. Ia berniat untuk pergi ke rumahnya, tepatnya rumah Bayu. Ia ingin mengepak semua pakaian miliknya dan milik anak-anak. Tak ada lagi alasan yang membenarkan jika dia harus tetap tinggal di rumah itu. Meskipun ia sangat menyayangi bu Asih, namun bu Asih tetaplah ibunya Bayu. Jika hubungannya dengan Bayu berakhir, maka hubungan mertua menantu mereka pun ikut berakhir. Meskipun kasih sayang diantara mereka tak akan hilang.

“Mas Bayu pulang pasti bawa perempuan itu, aku belum siap, aku belum punya perlengkapan perang,” lirihnya sambil menatap kosong ke depan. “Kamu pulang dari Jepang, tapi... aku enggak mau. Padahal, selama ini aku selalu menanti kepulanganmu, Mas!”

Sepanjang perjalanan, hanya ada nama Bayu di otak Atira. Bu Asih dan Davin masih di dalam hati meskipun kadarnya sedang berkurang.

Sesampainya di kampung Bayu, Atira memarkirkan motornya di depan rumah bu Retno. Ia pun menyalakan ponselnya demi melihat waktu.

“Yah, mati lagi.” Atira berusaha menyalakan ponsel itu namun sia-sia.

Atira terduduk di depan teras rumah bu Retno. Ia ragu untuk mengetuk sang empunya rumah karena khawatir mereka sudah istirahat. Ia khawatir dengan keadaan Daffa yang ia titipkan dengan bu Retno. Terlebih lagi, jika Daffa melihatnya sekarang, balita itu khawatir tak mau ditinggal lagi dengan bu Retno.

Setelah sekitar setengah jam ia berdiam diri di depan teras bu Retno, akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi ke rumahnya saja. Berdiam diri di depan rumah tetangganya itu, tak akan merubah apapun. Biarlah Daffa di rumah bu Retno dulu sampai keadaan memungkinkan.

Atira pun segera melangkahkan kakinya ke rumah. Ia memegang satu kunci, sedangkan satu lagi kunci milik ibunya dititipkan pada bu Retno karena khawatir Daffa membutuhkan sesuatu.

Atira membiarkan motornya berada di depan rumah bu Retno yang memang bersebrangan dengan rumahnya.

Atira memasukkan kunci ke dalam lubangnya, kemudian ia putar. Setelah terbuka, ia pun memutar gagangnya dengan berat rasa, berat karena mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.

“Alhamdulillah, bu Retno udah nyalain lampu rumah.” Ucapnya saat ia memasuki rumah yang terang benderang, layaknya berpenghuni.

“Kok ada bekas makanan di rumah?” lirihnya pelan saat melihat meja ruang tamu yang penuh dengan makanan. Berantakan. Atira mengira bahwa Daffa dan bu Retno ada di sini. Ia pun segera melangkahkan kaki menuju ruang tengah.

“Daf...!”

Buggg...

Ucapannya terhenti karena tiba-tiba pundak Atira dipukul oleh seseorang dari belakang. Ada rasa sakit yang sangat di pundaknya saat ia melewati pintu ruang tengah dan... semuanya terlihat gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Haydar huzayfa
aduh, niat hati mau begini, apalah jdinya begono
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ditalak 3 Lewat Telepon   DTLT 188

    Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan

  • Ditalak 3 Lewat Telepon   DTLT - 187

    “Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba

  • Ditalak 3 Lewat Telepon   DTLT - 186

    “Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu

  • Ditalak 3 Lewat Telepon   DTLT - 185

    “Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran

  • Ditalak 3 Lewat Telepon   DTLT - 184

    “Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”

  • Ditalak 3 Lewat Telepon   DTLT 183

    Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status