Share

Telepon dari Reza

Penulis: Nomela Rosana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-21 00:31:09

Mas Dimas mulai melajukan mobil VW Kodok antiknya perlahan keluar dari halaman rumahku. Menyusuri jalanan desaku yang masih berbatu, melalui kebun, rumah warga dan berujung ke area persawahan yang luas membentang. Kami masih saling diam terpaku. Mas Dimas fokus menyetir, sedangkan aku hanya menatap kosong pemandangan di balik jendela kaca mobil ini dengan mata yang dipenuhi embun.

"Ris, yang kuat ya ... maafin aku yang secara tidak langsung sudah bikin nasibmu jadi begini." Mas Dimas mulai membuka percakapan.

Aku masih terdiam, tidak tahu harus bicara apa.

"Mas Dimas semalam udah coba telepon si Reza, dan sialnya dia nggak mau angkat telepon dariku. Dasar laki-laki pengecut!" geram Mas Dimas sambil memukulkan tangannya yang terkepal di atas stir.

"Reza yang kukenal saat masih sama-sama di pondok dulu itu, adalah sosok yang baik, pendiam dan sholeh. Makanya saat dia minta tolong sama Mas untuk dicarikan calon pendamping, mas tidak ragu untuk mengenalkannya padamu. Aku nggak nyangka pola pikirnya sepicik itu. Cari istri kok cuma diliat dari fisiknya aja."

Aku menghela napas panjang. Bulir bening kembali menetes di pipiku.

"Ris, kamu nangis ya?" Mas Dimas langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan, masih di areal persawahan.

"Ris, aku paling nggak bisa liat perempuan menangis. Sayangi air matamu Ris, air matamu terlalu berharga untuk laki-laki pengecut dan pecundang seperti Reza."

Ku usap cepat pipiku, Mas Dimas masih menatapku lekat. Aku mencoba untuk menenangkan perasaanku yang sedang kalut ini. Akhirnya aku mengangguk pelan. Kutarik napasku dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan.

"Baiklah Mas, aku berjanji tidak akan menangis lagi. Aku akan berjuang untuk tetap tegar. Ini mungkin ujian dari Allah agar aku bisa naik level Mas. Tidak mengapa aku kehilangan suami, asal aku tidak kehilangan Allah, asal Allah selalu menyayangiku, menjagaku dan ridho padaku."

"Nah ... itu baru cakep!" Mas Dimas tersenyum sambil menjentikan jarinya.

"Mas sangat bangga padamu Ris, Mas akan selalu berada di belakangmu dan mendukungmu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk minta tolong sama Mas ya!"

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.

Mas Dimas kembali melajukan mobilnya, kini mobil telah melaju dengan mulus di jalan raya.

"Oya, di mana sebaiknya Kamu tinggal nanti ya Ris?"

"Kita cari kos-kosan murah di sekitar kampus aja Mas, siapa tau nanti aku bisa buka usaha kecil-kecilan di sana."

"Oke, siap Ris!" jawab Mas Dimas sambil menambah laju kecepatan mobilnya.

Waktu masih pagi, semoga perjalanan lancar dan kami bisa secepatnya mendapatkan kos-kosan.

***

Dua jam kemudian kami sudah tiba di kota Jogja. Setelah melewati Ring Road Utara, mobil kami berbelok ke arah jalan Kaliurang. Menyusuri gang yang ada di jalan itu. Ya di situ dekat dengan kampus UGM.

Pandanganku fokus ke arah kiri jalan, mengamati rumah-rumah yang berjejer sepanjang gang, berharap ada tulisan yang ditempel di dinding rumah "Kos-kosan, masih ada kamar kosong" namun belum juga kujumpai tulisan itu. Ternyata tidak gampang mencari kos-kosan tanpa ada referensi terlebih dahulu.

"Ris, kita makan sego pecel aja dulu yuk. Perutku udah mulai laper lagi nih," ajak Mas Dimas dengan ekspresi wajah nyengirnya.

"Kebetulan Mas tau tempat makan sego pecel yang enak di daerah sini. Di pinggir Selokan Mataram. Dulu waktu Mas Dimas kuliah di sini, sering banget makan di sana."

Aku hanya tersenyum simpul mendengarkan cerita Mas Dimas. Aku yang dulunya kuliah di Solo memang nggak begitu hafal daerah Jogja. Jarang banget main ke Jogja.

Tak berapa lama, kami tiba di warung SGPC (Sego Pecel). Warungnya nampak sederhana tapi ramai dikunjungi pembeli.

Setelah memesan makanan kami pilih duduk di tempat yang paling ujung, kebetulan ada space kosong di sana.

Tiba-tiba gawaiku yang ada di dalam swing bag-ku berdering. Gegas kurogoh gawaiku, nampak panggilan dari Mas Reza tertera di layar. Sesaat aku terdiam termangu, ada apa dia meneleponku. Haruskah kuterima telepon darinya?

"Telepon dari siapa, Ris?" tanya Mas Dimas penasaran.

"Dari Mas Reza, Mas," jawabku lirih.

"Terima Ris, nanti kalau kalian sudah bicara, kasih teleponnya ke aku!" perintah Mas Dimas dengan nada emosi.

Kutekan lambang telepon berwarna hijau di layar, lalu kutempelkan benda pipih itu di telinga kananku. Terdengar suara Mas Reza di seberang sana.

"Halo ... Ris ... assalaamu'alaikum," sapa lelaki yang sudah menjadi mantan suamiku itu.

"Wa'alaikumussalam," jawabku pelan.

"Eh ... anu Ris, sebelumnya aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi ini. Kuharap Engkau bisa memakluminya. Begini ... orang tuaku sudah mengetahui tentang hal ini. Awalnya mereka marah padaku Ris. Tapi akhirnya mereka mau menerima keputusanku. Cuma ... anu ... duh aku sebenernya nggak enak mau ngomong ini sama Kamu."

Mas Reza agak lama terdiam. Akupun juga hanya diam menunggu apalagi yang hendak disampaikannya.

"Ini ... ini soal cincin tunangan dan mahar yang sudah kuberikan padamu ... mhh ... anu ... bundaku mau memintanya lagi, karena cincin itu adalah yang diwariskan turun-temurun untuk istri dari keturunan Eyangku. Kuharap Kamu bisa mengerti Ris, sekali lagi mohon maaf aku terpaksa memintanya lagi. Sebetulnya aku sudah mengikhlaskannya untukmu Ris .... "

Aku menghela napas panjang. Aku nggak nyangka mantan ibu mertuaku yang meminta ini semua. Untuk cincin okelah nggak papa kalau mau diminta lagi. Tapi mahar ... ah sudahlah aku tak perduli lagi. Aku juga rasanya ingin melemparkan semuanya ke muka lelaki itu.

Untung benda itu semuanya kubawa. Jika tidak bisa repot nantinya kalau aku harus pulang kembali ke rumah untuk mengambilnya.

"Ambil aja lagi semuanya Mas. Aku juga nggak butuh barang itu. Melihatnya hanya membuat hatiku terluka." Jawabku tegas.

Tiba-tiba Mas Dimas merebut gawai yang sedang kupegang.

"Heh ... Reza!! Kurang ajar Kamu ya!! Kamu udah menyakiti adek sepupuku!! Kamu itu memang nggak punya hati ya?! Ayo kita ketemuan, aku mau buat perhitungan sama Kamu!!" bentak Mas Dimas dengan suara keras.

Haduh, semua pengunjung SGPC jadi melihat ke arah kami. Aku jadi malu.

"Mas ... udah Mas, malu diliat orang-orang!" Aku memohon dengan suara yang tertahan.

"Halah ... aku nggak peduli, aku udah nggak bisa lagi nahan emosiku." Mas Dimas menatapku dengan wajah memerah.

"Heh!! Reza, kutunggu Kamu di depan Masjid Kampus UGM ba'da Dzuhur!!" teriak Mas Dimas dan tidak lama kemudian telepon akhirnya ditutup olehnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ditalak Usai Resepsi   Bahagia Usai Resepsi

    Tepat pukul delapan, semuanya telah lengkap berada di dalam Masjid Kampus nan Agung dan indah itu Bagas dengan balutan tuxedo berwarna putih tulang itu telah duduk bersila di depan meja persegi panjang yang berkaki pendek. Di depannya telah duduk pak penghulu dan pakleknya Riris--adik dari bapaknya-- yang akan menjadi wali nikahnya.Sang pengantin pria yang diapit oleh Pak Bimo dan Pakde Arya, terlihat sedikit tegang. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya untuk memulai hidup yang baru. Sedangkan Riris bersama ibunya dan Bu Bimo juga para keluarga dan tamu undangan wanita, telah duduk di balik hijab. Sehingga untuk prosesi akad nikah, hanya para hadirin pria yang bisa melihatnya secara langsung. Riris dan para hadirin wanita hanya bisa melihat di tayangan video siaran langsung yang ada di layar kaca yang terpasang di bagian depan ruangan berhijab itu.Riris duduk bersimpuh diapit oleh sang ibu dan calon ibu mertua. Di belakangnya para keluarga dan tamu wanita dari desanya Ri

  • Ditalak Usai Resepsi   Terpukau Melihat Sang Pengantin

    "Kalau boleh tau, apa syaratnya, Ris?" tanya Bagas penasaran."Nduk, kok pake syarat toh?" bisik Bu Rohman ke telinga putrinya. Riris kemudian memandang ibunya, lalu tersenyum sembari mengangguk. Sedangkan Bu Rohman justru menunjukkan wajah tegangnya."Syaratnya, pertama ... saya minta akad nikahnya nanti di Masjid Kampus yang ada di Universitas nomor satu di Jogja, karena saya memiliki kenangan yang dalam, saat pertama kali mendatangi masjid itu dan bermunajat di sana. Yang kedua, saya ingin setelah menikah nanti, Mas Bagas harus menerima ibu saya untuk tinggal bersama kita nantinya. Karena ibu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, kecuali putri semata wayangnya," ucap Riris dengan suara bergetar hingga netranya yang berkaca-kaca. Riris dan ibunya kembali saling tatap, di kedua manik mereka telah dipenuhi oleh embun. Bu Rohman merasa terharu dengan permintaan putrinya itu, ternyata meski putrinya mau dinikahi oleh pemuda kaya, Riris masih ingat ibunya, masih amat peduli padanya.Riri

  • Ditalak Usai Resepsi   Lamaran

    Hari yang dinanti telah tiba, selama dua pekan ini Riris dan ibunya sibuk mempersiapkan acara lamaran untuk menyambut kehadiran Bagas dan keluarganya. Dari pagi, Riris telah merias dirinya, berbekal ilmu yang didapatnya dari terapis kecantikan salon ternama yang dipesan oleh Bagas selama dia menginap di apartemen.Riris mengenakan gaun kebaya panjang selutut, berwarna hijau lumut dengan hiasan payet pada bagian bawah pinggang serta di ujung tangannya, menambah kesan mewah dan anggun. Gaun itu telah dipesan oleh Bagas dan dikirimkan pak Dul dua hari sebelumnya. Untuk bawahannya, Riris mengenakan kain jarik berbordir emas yang diwiru dengan rapih menambah kesan elegan. Rumah Riris juga telah dipasang tenda untuk para tamu undangan, dan bagian dalamnya di dekor sedemikian rupa sehingga nampak indah dengan aneka bunga di setiap sudut rumah. Back drop yang terlihat indah dan mewah terpasang di salah satu sisi dinding dalam ruang tamu untuk momen lamaran dan pengambilan foto.Dari semua o

  • Ditalak Usai Resepsi   Pulang ke Solo

    Tak terasa sudah sepekan Riris dan Bu Rohman menginap di apartemen milik keluarga Bagas. Selama itu pula mereka setiap hari didatangi terapis kecantikan langganan yang dari awal men-treatment Riris.Gadis yang dulunya berwajah manis dan terlihat sederhana itu, kini telah berubah wajahnya semakin cantik cemerlang, meski perawatannya tidak dengan cara yang ekstrim seperti operasi plastik dan sebagainya. Perawatannya hanya membuat kulit dan wajah Riris terlihat semakin glowing. Selain itu, Riris juga belajar cara merias wajah supaya bisa tampil cantik dan lebih percaya diri. Riasan yang mampu menutupi kekurangan di wajah dan bisa menonjolkan kelebihan, sehingga terlihat semakin cantik bersinar. Apalagi Riris juga memiliki kecantikan yang terpancar dari dalam, dari hati yang bersih dan tulus apa adanya."Ris, makin hari Kamu semakin cantik, maasyaa Allah," puji Bagas di suatu sore saat mereka tengah duduk di taman tepi kolam renang yang ada di rooftop apartemen. Angin bertiup agak kencan

  • Ditalak Usai Resepsi   Di Rumah Reza

    Setelah dirawat di rumah sakit selama dua pekan, akhirnya Bu Santi sudah diperbolehkan untuk pulang. Walaupun kondisinya belum banyak perkembangan, separuh badannya sebelah kanan lemah, namun bisa dilakukan perawatan di rumah. Asalkan minum obat dari dokter secara rutin, makan makanan yang sehat dan rendah lemak, rajin melakukan terapi dan olah raga ringan.Sumi telah diberi pengarahan oleh Bulik Tutik, bagaimana cara merawat Bu Santi dengan baik. Di pagi dan sore hari Sumi memandikan majikan perempuannya itu dengan mengelap seluruh badan dengan handuk yang dibasahi dengan air hangat dan dicampur dengan sabun mandi yang lembut. Sumi melakukannya dengan penuh hati-hati agar tidak menyakiti tubuh Bu Santi. Setelah mandi, Sumi mengajak wanita paruh baya itu jalan-jalan di halaman rumah yang luas itu dengan kursi roda. Sekedar untuk menghirup udara segar dan mengusir kejenuhan Bu Santi.Sumi juga bertugas menggantikan pampers jika sudah penuh dengan air seni dan ketika Bu Santi buang air

  • Ditalak Usai Resepsi   Bagas Buka Suara

    Tepat jam sembilan malam, Riris dan Bu Rohman tiba di apartemen. Pak Dul yang diserahi kartu untuk akses agar bisa masuk ke unit delapan kosong delapan, ikut mengantarkan Riris dan ibunya masuk sampai dalam unit."Mbak Riris, ini kartunya dipegang sama Mbak saja, pesan dari Pak Bagas. Agar Mbak bisa bebas keluar masuk apartemen ini." Pak Dul menyerahkan kartu itu pada Riris."Baik, Pak Dul, terima kasih," jawab Riris sembari tersenyum dan menerima benda tipis persegi itu dari tangan Pak Dul."Baiklah, Mbak Riris dan Bu Rohman, saya pamit dulu. Selamat istirahat. Nanti kalau mau ada perlu untuk anter-anter, bisa telepon saya."Pak Dul sedikit membungkukkan badannya lalu bergegas ke luar dari unit apartemen setelah Riris mengucapkan terima kasih padanya.Riris segera menutup pintu. Lalu keduanya memasuki kamar di mana sudah ada lemari yang berisi pakaian yang dibelikan Bagas tadi pagi. Bu Rohman sempat menyusunnya ke dalam lemari sebelum mereka mengunjungi rumah Pakde Arya."Nduk, maasy

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status