Satu minggu di rumah sakit, Shifra akhirnya tahu apa yang telah dialaminya. Dan dia menjadi lebih tegar saat tahu dalam tubuhnya ada nyawa yang harus dijaga.
'Siapapun ayah kandungmu, aku berjanji akan membuat Si Breng-sek Javaz merasakan apa yang kurasakan!' batinnya di setiap sujud yang dilakukan janda dari Elzien itu.Dalam keadaan hamil, setiap wanita di dunia akan didengar semua doa dan keluhannya pada Tuhan meskipun tak dilafadzkan dalam lisan. Begitulah kajian yang sudah sering didengar Shifra di Pondok saat masih berstatus santri dulu.Dengan tekad kuatnya untuk melupakan semua rasa sakit demi anak dalam kandungannya. Hari ini Shifra mendatangi sidang pertama atas kasus Javaz dan Haribawa sebagai korban.Ditemani Pak Arya dan tiga asisten pengacara, wanita yang sekarang mulai mengenakan penutup wajah itu memasuki ruang sidang dengan langkah pasti. Tanpa keraguan dan ketakutan, sorot mata itu menunjukkan sebuah keyakinan pada pertolongan Tu"Pak Arya, tolong bebaskan Javaz dan bekukan semua aset yang kumiliki dari Mas Elzien, tanpa sisa. Aku akan memulai hidup bersamanya di dekat Pesantren, sebagai orang biasa. Itu hukuman yang lebih pantas untuk pria itu, Pak. Shifra mohon ...," ucapnya setelah lima belas menit bertahan dalam posisi yang sama dan sudah mereda tangisnya.Pria berkemeja putih di balut dengan jas hitam beraksen keemasan di bagian ujung lengan dan kerahnya itu menatap dengan raut wajah bingung. Dia tak mampu mencerna apa yang dimaksud oleh wanita yang seusia dengan anaknya itu. Susah payah Baron dan dirinya mengungkap semua bukti tindakan Javaz untuk Shifra., dimentahkan dengan pengakuan tak masuk akal. Benarkah dia sudah tak waras, itu yang selalu ditampiknya di kepala dan hati Pak Arya."Kita bicarakan nanti setelah sidang pembacaan kesimpulan hari ini, sebentar lagi. Apa kamu mau istirahat dulu? Makan atau mungkin tidur sejenak di ruangan Saya di lantai atas?" tawar pria yang kesehari
"Jav ... sepertinya aku-kon-trak-si! To-long ...," Shifra mengerang kesakitan di lantai dengan bersimbah darah di bagian bawah gamisnya."Oh ... Shifra! No ... no ... no ...! Ini, apa yang harus kulakukan? Oh God ...!" Javaz meletakkan galon di lantai dan berjongkok mendekati Shifra dengan wajah pucat pasi."Ambil perlengkapan di dalam kamarku, Jav!" desis Shifra meringis menahan sakit, terbata memerintah Javaz yang panik.Dengan gerakan cepat, pria yang hanya memakai celana pendek itu membuka kamar istrinya. Tempat yang belum pernah dia masuki sebulan ini. Shifra menolak satu kamar dengan alasan masih belum bisa melupakan bayangan mantan suaminya dan akan sulit melupakan kesalahan Javaz. Pria itu menurut, demi mendapatkan kata maaf dan cintanya."Tahan, tahan dulu, Shif! Gu ... aku ... Aarrrgh!" Pria itu ragu akan menyentuh wanita yang selalu melarangnya mendekat itu.Dia hanya mondar-mandir meremas rambutnya dengan wajah cemas. Tak tahu harus apa dan bagaimana dalam situasi seperti
"Oke ... dorong kuat-kuat, Bu!"Sesuatu keluar dari bagian tengah kaki Shifra yang terangkat ke atas. Tiga petugas medis itu seketika membelalakkan mata menatap apa yang pertama kali mereka lihat di klinik itu.Suara tangisan bayi yang hanya seperti anak kucing baru lahir. Tubuh kecil berwarna merah dengan kepala yang hanya berdiameter sekitar 10 sentimeter itu diangkat dengan dua telapak tangan Sang Bidan."Di Klinik ini tidak ada fasilitas inkubator, Pak. Sebaiknya cepat lengkapi administrasi prosedur untuk rujukan ke Rumah Sakit di Kota. Klinik ini hanya bisa melakukan pertolongan pertama saja," katanya dengan bergetar menyerahkan bayi Shifra pada salah satu suster."Apa maksud Anda?" protes Javaz sedikit meninggi."Iya, mari ikuy dengan Saya! Saya buatkan surat rujukan ke Rumah Sakit." ajak Bidan itu sambil melepaskan sarung tangan dan keluar ruang bersalin setelah mencuci tangannya.Javaz mengepalkan tangan menatap Shifra ya
"Tidak! Dia akan kuberi nama Abyaz Ezra, Sang Penyelamat yang taqwa. Itu kamu Jav ..., terima kasih!" pangkas wanita itu menampakkan senyuman terbaiknya pada Javaz yang mengangguk.Wanita yang awalnya sangat ingin Javaz menderita hidup dan hatinya hancur seperti apa yang dirasakannya itu mulai menunjukkan perubahan. Sedikit, hanya sebatas senyuman tanpa tertutup cadarnya. Selain itu Shifra masih belum mengakui bahwa bayinya adalah darah daging dari pria yang mencintainya sejak lama itu.Nama Abyaz Ezra sejatinya sebuah tekad kuat Shifra agar Javaz menjadi penyelamatnya yang taqwa nantinya. Meski hati Shifra masih belum bisa melupakan rasa sakit yang diterimanya."Ya, nama yang bagus. Aku bahkan tak memikirkan untuk memberinya nama sebagus itu. Terima kasih Shifra, kamu dan-""Ezra, Mas El dan Shifra. Jangan harap aku akan secepat itu menerimamu sebagai ayahnya. Pengorbananmu belumlah cukup, Jav. Jadilah seperti Mas El agar aku bisa melihatmu." potong Shifra yang tahu Javaz bingung hend
Kehidupan baru Javaz dimulai sejak Shifra diperbolehkan pulang. Dia berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Mulai dari menjadi kuli panggul di pasar hingga membantu truk dan kendaraan yang tak kuat menaiki tanjakan jalan.Sebelum Subuh dia sudah memaksa dirinya bangun dan pergi untuk bongkar muat aneka sayuran atau bahan dagangan dari petani ke tengkulak atau sebaliknya. Saat adzan berkumandang dia gegas ke Surau terdekat dan ikut shalat berjama'ah di sana. Semua rutinitas dilakukan hanya demi Shifra dan Ezra yang sampai saat ini masih di Rumah Sakit.Masih harus di dalam inkubator hingga nanti berat badannya sudah ideal dan organ dalamnya telah siap menghirup udara di luar. Masih sangat berisiko jika dirawat sendiri di rumah. Pria itu benar-benar bertekad kuat merubah dirinya bisa diterima oleh ibu dari Ezra. Awalnya memang berniat sekadar karena Shifra dalam melakukan ibadah pada Tuhannya. Seiring waktu berjalan dia merasakan ketenangan dalam hat
Apa yang salah dengan Shifra? Dia masih belum menerima kepergian Elzien yang bahkan sudah satu tahun meninggal dunia? Aku kalah telak jika seperti ini. Dia masih menyebutnya di setiap hembus napas. Aku yang di sini mencintaimu, Shif ... AKU!' lantang suara hati Javaz yang tak pernah bisa diucapkan."Shif?" gumam Javaz lirih menatap dua mata wanita bercadar itu."Astagfirullah!!!"pekiknya menegakkan tubuh, berdiri menatap Javaz yang masih menumpu pada siku di tanah.Pria itu berusaha bangun sendiri dengan susah payah. Tangan kirinya susah digerakkan dan sedikit bengkak di bagian atas siku."Lain kali hati-hati, Shif!" omelnya saat sudah berdiri dengan benar tapi memeluk lengan kirinya dengan yang kanan."Maaf ... boleh aku lihat?" tanya wanita itu ragu menatap wajah marah Javaz yang tampak berbeda di matanya."Nggak apa, ayo!" katanya menggeleng lalu memberi isyarat dengan dagu ke arah warung lesehan seberang jalan."Kita pulang dulu aja, Jav! Sepertinya itu keseleo,""Masih belum seb
'Mencintai sendirian itu memang menyakitkan Shifra ... itulah yang aku rasakan selama ini. Melihat kebersamaan kamu dengan Elzien. Sakit! Sakit banget, Shif!' batinnya membuang napas perlahan lalu menghirup udara banyak-banyak."Jav ... apa kamu benar-benar bisa membayar biaya NICU Ezra? Tadi aku tanya ke kasir, per harinya-" Shifra menjeda kalimatnya dengan melirik sekilas ke wajah pria yang sedang dia olesi minyak gosok dari ibu penjual."Perbulannya sepuluh juta, kan?"Wanita itu menggeleng, "per harinya dua juta, satu bulan 30 hari ..." dia menunduk lagi tak berani menyebutkan angka fantastis di matanya sekarang. Tak seperti dulu bersama Elzien, angka itu bahkan hanya uang hariannya selama dua tahun menikah dengan almarhum suami pertamanya itu."Iya, ada. Semoga bulan depan sudah bisa pulang ya? Dua gadget dan jam tanganku terjual dua ratus juta, makanya besok aku mau ambil sisa uangnya di Koh-""Kamu percaya gitu aja? Tanpa jaminan?" potong Shifra sedikit kaget. Pria berpendidika
"Kamu?""Mas ...."Gumam keduanya bersamaan, menggeleng dan mengerjap seolah tak percaya dengan apa yang terlihat oleh mata kepala mereka."Silakan bunuh dan bakar mereka jika kalian belum pernah melakukan kesalahan! Belum pernah marah dan membalas jika seseorang mencubit kalian padahal kalian nggak memulai duluan! Siapa? Siapa yang sudah tertib shalat 5 waktunya? Yang sujud tiap dini hari? Yang sedekah tiap Jumat di Masjid? Yang dzikir dan ingat Tuhan kalian setiap menghirup napas?! SIAPA!?!" Suaranya semakin keras dan lantang menunjuk satu per satu wajah orang-orang yang paling depan dalam kerumunan.Serentak mereka menggeleng dengan berkaca-kaca dan mundur selangkah. Menurunkan tangan terangkat berbagai benda yang hendak dilemparkan pada pasangan itu."Mereka-" perkataannya terhenti dan tak dilanjutkan lagi, "Bubar sekarang atau Saya panggilkan POLISI?!" teriaknya lagi dengan nada lebih tinggi di akhir kata."Siapa Lo? Berani