"Aku pengin dipijit. Kakiku pegal sekali, Mas." Aku merajuk manja sambil memegangi kaki."Ih, tumben nih istriku yang satu ini manja amat.""Ya sudah kalau nggak mau, sana! Sana! Pergi ke ketiak Kartika sana!""Iya, iya, mulai deh ... nggak usah mancing-mancing. Ayo kamu berbaring biar kupijit.""Aku pun berbaring dan dipijit Mas Fikri tapi baru 1 kaki yang dipijit dia terlihat terus menguap." "Ra, habis minum susu kok ngantuk berat ya. Benar kata Kartika, katanya kalau habis minum susu pasti teler." Awas saja kamu Kartika, akan kukasih pelajaran sudah memberiku obat tidur.Dan sekejap, Mas Fikri sudah terkapar di sampingku tak ingat apa-apa. Saatnya aku akan lihat keadaan Kartika di handphoneku.Dia tampak sedang bersolek di depan kaca memakai lingerie warna merah. Menantang sekali. Dasar perempuan penggoda. Penampilannya seperti pelac** saja. Ternyata selama ini dia yang sengaja memberiku obat tidur di susu supaya bisa menguasai Mas Fikri. Sekarang rasakan, Kartika, senjata makan
Matanya terbelalak, "Ini maksudnya apa? Susu yang aku kasih ke kamu ada obat tidurnya?!" "Iya, Mas! Aku tidak menyangka Mas Fikri tega melakukan itu! Mas Fikri mau membunuh bayi kita?! Iya, Mas?!" Aku beradegan sandiwara, akan kukuliti Kartika melalui Mas Fikri."Aku tidak mungkin melakukan itu, Ra. Kartika yang membuat susu itu. Aku hanya mengantarkannya padamu!" Mas Fikri bangkit dari duduknya menghampiri Kartika."Tolong kamu jelaskan, Kartika?! Apa yang kamu lakukan pada Tiara dan anakku?!""Mas Fikri percaya dengan Mbak Tiara?! Mbak Tiara bedrest, Mas. Dia tidak pernah kemana mana. Jadi bagaimana mungkin bisa ke laboratorium. Pasti itu semua rekayasa Mbak Tiara, Mas, untuk memisahkan kita." Dengan wajah ketakutan, masih saja dia mengumbar kebohongan untuk membela diri.Dia tidak tahu kalau aku lebih lihai. Susu yang dikasihkan Mas Fikri dulu kusimpan dan kukirim ke laboratorium melalui ojeg online. Aku sudah menghubungi pihak laboratorium. Teknologi komunikasi semakin memudahkan
POV Fikri Aku bersimpuh di kakinya, "Tiara, aku sudah menepati janji, kembalilah padaku. Aku mohon," Baru kali ini dadaku begitu sesak dan akhirnya aku menangis, sangat memalukan.Tapi Tiara terus berjalan ke taxi tanpa mempedulikanku. Aku mengejarnya. Memohon sekali lagi di depan pintu taxi, merendahkan diriku sendiri. "Tiara, aku mohon jangan pergi. Kita lupakan semuanya. Kita pulang ke rumah memulai hidup baru, menunggu kelahiran anak kita. Ayo,Tiara, kita pulang." Kutarik paksa lengannya.Tanpa sepatah kata, dia berusaha melawanku, melepaskan tangannya. Berkali kali dia mengusap pipinya yang basah dengan terisak isak. Aku sangat mengenal Tiara. Dia perempuan yang gampang memaafkan kecuali pada orang yang sangat ... sangat menyakitinya. Iya, luka yang kutorehkan memang terlalu dalam. "Tiara, maafkan aku, aku bersalah, aku menyesali semuanya," permohonan terakhirku yang tetap tak bisa menahannya.Tiara membuka pintu taxi dan masuk kedalam lalu taxi melesat kencang. Meninggalkank
Sambil mengemasi baju, aku terus mencoba menelepon Tiara tapi handphonenya tidak aktif. Aku yakin tujuannya Surabaya. Akan kususul dia. Setelah semua beres, buru-buru kutemui Ibu yang masih ada di ruang tengah bersama anak-anak."Ayah, mau kemana? Aku ikut!" Randi, Dimas, Vania mengakhiri aktivitas bermainnya setelah melihatku menggendong tas ransel."Randi, Dimas, Vania, ayah pergi sebentar. Ayah janji nanti pulang dibeliin mainan.""Mau kemana kamu, Fikri?" tanya Ibu."Aku mau nyusul Tiara, Bu.""Jangan bodoh, Fikri! Ngapain ngemis-ngemis sama dia! Kamu itu laki-laki yang punya harga diri! Dia sudah meninggalkanmu, tidak pantas kamu bela belain begitu! Ibu tidak mengijinkan kamu pergi!" "Tapi, Bu. Ada anakku di perut Tiara. Aku akan memperjuangkannya!""Soal anak itu gampang. Nanti kalau sudah lahir kita tinggal sewa pengacara, kita rebut hak asuhnya dari Tiara! Sekarang lebih baik kamu perjuangkan istri dan anak yang jelas-jelas ada di depan matamu, Fikri!" "Kartika bukan istriku
Lalu aku membuatkan dia susu di dot barunya, "Rania, sementara minumnya pakai ini dulu ya, sayang. Ibu lagi ngambek. Nanti kalau Ibu ngambeknya sudah sembuh, minum ASI ibu lagi." Pelan-pelan kumasukkan DOT di mulutnya. Pertama dia seperti asing, sempat menolak tapi lama-lama mau juga. Lega melihat susunya habis dan akhirnya Rania tertidur pulas. Saatnya aku akan berangkat kerja."Hari ini aku nitip Rania dulu ya, Bu. Dia sudah tidur di kamarku. Mau kutinggal kerja. Nanti coba aku cari baby sister untuk mengasuh Rania biar besok tidak merepotkan Ibu lagi." "Fikri, kenapa kamu bikin repot dirimu sendiri. Rujuk dengan Kartika dan kamu tidak perlu serepot ini!" "Maaf, Bu, Fikri tidak bisa!" ucapku yakin, aku tidak mau kalah dengan ancaman Kartika. Siang hari, handphoneku berdering. Ibu menelepon, suaranya tampak khawatir."Fikri! Rania muntah-muntah dan diare dari tadi pagi! Sekarang badannya lemas lunglai, pucat sekali. Kaki dan tangannya dingin, nafasnya juga seperti berat tersengal
"Iya, Pak, ini akan kita beri susu formula terhidrolisa dulu semoga tubuhnya bisa menerima, tidak menimbulkan reaksi lain.""Bu, Ibu di sini dulu, ya, jagain Rania, Fikri mau pulang dulu membujuk Kartika untuk mau memberikan ASI nya.""Rujuk dengan Kartika, Fikri dan semua selesai, Rania sembuh! Jangan utamakan egomu. Pikirkan keselamatan anakmu!"Aku segera pergi. Sampai di rumah, kuhampiri Kartika yang sedang memompa ASI di kamar. Sepertinya ASI nya melimpah karena tidak diminumkan dan pasti itu sangat menyiksanya. Kata Kartika dulu bikin panas dingin badan."Kartika, sini hasil pompa ASI mu kuambil buat Rania. Dia sangat membutuhkannya.""Tak semudah itu, Mas. Kalau Mas Fikri menginginkan ASI ini, kita rujuk dulu.""Tolong, Kartika, jangan paksa aku untuk rujuk! Kamu itu Ibu macam apa?! Anakmu sedang berjuang antara hidup dan mati dan obatnya ASI mu!""Kenapa Mas Fikri juga sangat egois sekali! Mas Fikri juga tidak mau berkorban demi Rania! Kenapa Mas Fikri lebih memilih berkorban
Aku masuk ke dalam taxi tanpa menengok ke belakang. Suara mengiba Mas Fikri kuanggap angin lalu."Ayo jalan, Pak." perintahku pada sopir taxi."Mbak Tiara mau kemana kok tujuan ke Gambir?" Aku tersentak mendengar ucapan sopir itu. Kulihat dengan seksama wajahnya di spion dari kursi belakang."Rafli?!""Iya, Mbak, ini saya." "Bukannya kamu melaut?" "Nggak, Mbak. Profesi itu bagian dari sandiwara. Mulanya saya pengangguran. Lalu Pak Fikri menawariku pekerjaan yang tidak berat dengan imbalan yang sangat besar. Saya cuma disuruh main sandiwara berperan jadi istrinya Mbak Kartika. Dan Pak Fikri menjanjikan membelikan saya mobil second. Ini mobilnya, Mbak, akhirnya bisa saya gunakan untuk cari duit."Benar- benar permainan sandiwara yang sangat sempurna. Ternyata Mas Fikri seorang sutradara yang handal. Penipu ulung!"Saya tahu banyak tentang Pak Fikri dan Mbak Kartika, Mbak. Sebenarnya mereka itu ...""Sudah, Rafli, aku sudah tahu semuanya!" "Alhamdulillah, akhirnya Mbak Tiara tahu jug
Aku tersentak. Sepertinya dia tidak main-main. Tatapan mata laki-laki itu menjadi sangat menakutkan. Pelan-pelan aku mundur menjauh berniat lari kencang tapi tiba-tiba dia mencekal lenganku kuat."Mau lari kemana?!" Dia menarik paksa tanganku. Kulawan tapi dia terus menariknya sampai sebuah mobil taxi berhenti. Seorang laki-laki keluar, menghampiri kami dan mengambil travel bagku."Mau kamu bawa kemana istriku?! Lepaskan dia! Atau saya telepon polisi!" Teriak laki-laki itu sambil berusaha melepaskan cekalan laki-laki berandal itu dari tanganku lalu dia yang menarik tanganku sambil menyeret travel bag ku masuk ke mobil.Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan, aku duduk di samping laki-laki yang tak kukenal. Aku sadar, aku belum terlepas dari marabahaya. Entah apa tujuan laki-laki ini menolongku. "Ya Allah, lindungi hamba," doaku dengan dengan ketakutan sekaligus sedih.Baru hari pertama tanpa suami aku sudah diuji dengan ketakutan seperti ini bagaimana aku akan menjalani hari hari